Senin, 16 Mei 2011

Berperang Demi Tuhan Karya Karen Armstrong

 
Weko Kuncara

 
The Book of the Sects
Buku Armstrong ini yang dibicarakan di sini berjudul Berperang Demi Tuhan: Fundamentalisme dalam Islam, Kristen dan Yahudi (Bandung: Mizan dan Serambi, 2001). Melihat judul dalam bahasa aslinya (Inggris), judul terjemahan ini tidak ada distorsi, artinya memang sesuai dengan maksud pengarangnya.[1] Ditulis dalam 640 halaman terjemahan termasuk 26 halaman bibliografi yang memuat ratusan referensi menunjukkan keluasan bahan yang dimiliki sekaligus juga memperlihatkan keseriusan pengarang dalam menulis topik ini, buku ini pada dasarnya ditulis dalam format penuturan kronologis menyangkut perkembangan tiga “agama dari kemah Ibrahim” mulai dari tahun 1492 hingga 1999 dalam kaitannya dengan reaksi terhadap modernitas. Sampai di sini saja telah terlihat betapa luas persoalan yang hendak diliput buku ini.

Nama Karen Armstrong akhir-akhir ini cukup populer di Indonesia. Dia sendiri tampaknya adalah seorang pengarang yang produktif. Dalam waktu kira-kira 10 tahun (1991-2001) dia telah menulis 9 judul buku, yang berarti rata-rata dalam setahun ia menghasilkan sebuah buku, dalam subjek-subjek yang terkonsentrasi pada religionwissenschaft. Di Indonesia ia mulai terkenal setelah penerbitan terjemahan bukunya Muhammad: Sang Nabi (Surabaya: Risalah Gusti, 1998), yang tampaknya cukup sukses di pasaran Indonesia. Bukunya yang paling populer di Barat adalah Islam: A Short History (New York: Ballantine Books, 2000) dan telah pula diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, Islam: A Short History. Sepintas Sejarah Islam (Jakarta: Ikon Teralitera, 2002). Satu edisi majalah Basis (lihat edisi No.05-06, Mei-Juni, 2002), terbitan komunitas Serikat Yesus Katolik Indonesia, khusus membahas karya dan tantangan provokatifnya, A History of God: the 4000-Year Quest of Judaism, Christianity and Islam (1993), yang telah pula diindonesiakan, Sejarah Tuhan (Bandung: Mizan, 2001). Bagaimana tidak provokatif bila dalam bab terakhir buku itu ia menantang dan bertanya: “Adakah Masa Depan bagi Tuhan?”.

Kesan pertama ketika membaca buku yang sekarang ini mengingatkan saya akan terjemahan tulisan al-Syahrastani (ahli heresiografer Islam yang meninggal tahun 1153), al-Milal wan Nihal [2], tentang sekte-sekte Islam. Tentu saja, yang dibahas dalam buku ini adalah gerakan-gerakan ketiga agama, Yahudi, Kristen dan Islam, dalam merespon perubahan dunia yang cepat terkait dengan kemajuan sains dan teknologi yang berdampak pada sekularisme. Maka, pertama-tama, kita perlu melihat pretensi Armstrong.

Armstrong telah dengan benar menunjuk anggapan umum bahwa “sekularisme adalah suatu keniscayaan dan bahwa faktor agama tidak berperan penting dalam peristiwa-peristiwa besar dunia. Aksiomanya adalah jika manusia menjadi lebih rasional, maka mereka tidak lagi berperan penting dalam peristiwa-peristiwa besar dunia. Atau kalau tidak, mereka akan memasukkan agama itu menjadi sesuatu yang pribadi, suatu wilayah kehidupan privat” (hlm. X). Karena sifat sekularisme yang ingin meminggirkan dan bahkan melenyapkan agama inilah maka, kaum agamawan yang masih taat pada agamanya melakukan defense mechanism: mempertahankan diri dengan cara melakukan perlawanan terhadap ancaman pemusnahan. Bagi mereka, perlawanan ini bukanlah peperangan biasa, melainkan suatu “peperangan kosmis antara kebaikan dan kejahatan” (hlm. XII). Berbagai gerakan dalam rangka pertahanan dan perlawanan kemudian muncul, dan Armstrong, sembari menginsyafi bahwa gerakan itu muncul dalam setiap agama, memfokuskan bukunya pada gerakan yang terdapat pada agama Yahudi, Kristen dan Islam. Inilah sebabnya, bahkan semenjak awal hingga akhir bukunya sarat dan penuh sesak dengan paparan gerakan-gerakan keagamaan dari ketiga agama tersebut. Dan, oleh karena tidak setiap gerakan keagamaan itu mendapatkan pengakuan dari pihak-pihak yang dianggap otoritatif dari institusi resmi agama masing-masing, maka saya mendapat kesan buku ini merupakan deskripsi “sekte-sekte” itu.

Dalam satu sudut, paparan perlawanan kaum agamawan terhadap sekularisme, yang berbasiskan sains dan teknologi, dapat dipandang sebagai sejarah perlawanan “agama” terhadap ilmu pengetahuan. Maka, Armstrong juga mengungkap bagaimana gereja pertama sekali bereaksi terhadap Galileo. Meskipun, menurut saya, perlawanan “agama” terhadap ilmu itu hanya benar dalam konteks Eropa dan Barat. Dunia Islam cukup apresiatif terhadap sains dan teknologi bahkan semenjak awal kemunculannya. Apa yang telah dimatikan dalam Dunia Islam adalah pemikiran spekulatif filsafat yang dicurigai mempersoalkan hal-hal yang telah tidak boleh dipersoalkan lagi dalam agama (ushul al-din) dan ini tidak tidak terlalu berkaitan langsung dengan perkembangan sains dan teknologi.

Gereja, dan begitu pula dengan gerakan keagamaan yang muncul kemudian, melakukan perlawanan terhadap sains dan ilmu sebagai cikal bakal sekularisme, secara sederhana karena Gereja sebelumnya telah memiliki pandangan tertentu menyangkut kosmos, fenomena alam, dan kebenaran. Ketika sains telah berkembang dan mengalami kemajuan pesat, tampaklah bahwa pandangan-pandangan gereja itu tidak dapat dipertahankan lagi oleh karena memang tidak dapat dibuktikan dalam ukuran-ukuran rasional dan metode ilmiah. Bahwa Adam, manusia pertama, hidup pada tahun 5000 SM, dan diciptakan secara sempurna oleh Tuhan, bahwa bumi adalah pusat tata surya, kisah-kisah dalam Alkitab tidak dapat dibuktikan secara historis, dan akhirnya, seluruh penjelasan rumit mengenai Trinitas Kristen dijadikan bahan tertawaan karena tidak ada satu metode pun (juga filsafat) yang dapat membuktikan hal tersebut. Membuktikan satu Tuhan yang transenden dari alam saja sudah sulit, apalagi harus membuktikan bahwa “Dia” juga hadir di dunia material. Maka, runtuhlah sudah seluruh fundamental bangunan dogmatika gereja yang telah dibangun berabad-abad. Perlawanan terhadap sains dan metode-metode rasional menjadi umum di kalangan kaum taat beragama. Ada suatu kisah menarik yang dituturkan oleh Armstrong dalam kaitannya dengan ini.

Pada tahun 1925 di kota Daytona, Amerika Serikat (AS), John Scopes mengajarkan teori evolusi di dalam kelas biologi. Dia kemudian dituntut oleh para pemuka agama Protestan AS, dengan William Jennings Bryan, pemuka kaum Protestan AS, sebagai jaksa penuntut umumnya. Sementara American Civil Liberties Union, yang menganggap ini sebagai pelanggaran terhadap hak-hak kebebasan berbicara bagi warga negara mengirimkan Clarence Darrow sebagai pembela Scopes. Kasus ini digambarkan oleh Armstrong bukan lagi sebagai perkara pengadilan, melainkan sebagai “pertentangan antara Tuhan dan ilmu pengetahuan” (hlm. 277). Di sini akan saya berikan kutipan yang agak lengkap mengenai garis besar persidangan.
“Ketika Darrow berhadap-hadapan dengan Bryan di persidangan, ia menyerang Bryan secara tajam dan tanpa ampun mengungkapkan kekacau-balauan dan kedangkalan cara berpikirnya. Dalam keadaan tersudut, Bryan dipaksa mengakui bahwa usia alam semesta jauh lebih tua dari enam ribu tahun seperti yang terkandung dalam pengertian harfiah di dalam Alkitab, bahwa masing-masing ‘hari’ dalam enam hari proses penciptaan yang disebut dalam Kitab Kejadian jauh lebih panjang dari 24 jam, bahwa dia tidak pernah membaca catatan-catatan kritis tentang orisinalitas ayat-ayat Alkitab, bahwa dia tidak punya ketertarikan pada agama lain, dan akhirnya, pengakuan bahwa ‘saya tidak memikirkan hal-hal yang tidak saya ingin pikirkan’ dan hanya ‘sesekali’ memikirkan apa yang memang dia pikirkan. Ini adalah kekalahan mutlak” (hlm. 278).
Meskipun Scopes akhirnya dinyatakan bersalah dan dikenai sanksi denda, tetapi “Darrow muncul sebagai pahlawan kebebasan berpikir secara rasional dan jernih, dan pak tua Bryan mendapat reputasi buruk sebagai orang yang kikuk, tidak cakap, dan tak jelas pandangannya; dia meninggal hanya beberapa hari setelah persidangan itu, akibat kelelahan” (hlm. 278).
 
Kasus kekalahan “Tuhan” di hadapan ilmu pengetahuan tidak sekali itu saja terjadi. Kasus tersebut hanyalah sebuah contoh saja untuk menunjukkan betapa absurdnya sikap tidak mau mengapresiasi secara layak pemikiran rasional, modernitas dan akhirnya sekularisme. Era modern sudah seharusnya meninggalkan agama yang merupakan produk manusia-manusia jaman pramodern. Ia hanya cocok untuk masa lalu, karena di masa lalu agama merupakan mode of existence manusia. Sementara, yang kompatibel dengan masa kini, dan oleh karena itu merupakan modern age mode of existence, adalah berpikir secara rasional dan mengandalkan sains yang ilmiah. Karena keterbatasan rasionya, manusia di masa lalu hanya mampu mengungkap sedikit fenomena alam, tetapi tidak untuk hari ini. Semuanya kini bisa dijelaskan dan oleh karenanya tiap-tiap pandangan, pendapat dan kepercayaan harus ditundukkan oleh rasio dan ilmu pengetahuan. Sementara itu, karena agama tidak mampu menunjukkan atau membuktikan klaim-klaim kebenaran yang dinyatakannya, maka, atas nama harkat dan martabat kemanusiaan, agama harus ditinggalkan, kalau memang manusia ingin tetap berpartisipasi dalam kehidupan di dunia modern ini.

Di AS kini, agama Protestan, yang dianut mayoritas penduduknya, secara kasar dapat dibedakan dua “jenis” penganut: fundamentalis dan sekular. Yang tetap berpegang secara harfiah kepada teks-teks Alkitab dan yang berpandangan secara lebih positif terhadap pemikiran rasional. Pada dasarnya, seluruh agama monoteis yang dibahas dalam buku Armstrong memiliki dua “jenis” pengikut yang semacam itu. Apabila terhadap penganut agama yang bersedia menerima kemodernan dianggap sebagai hal yang wajar, maka terhadap kaum fundamentalis ini Armstrong ingin menunjukkan bahwa sikap mereka itu “telah didorong rasa ketakutan, kecemasan, dan hasrat umum yang tampaknya merupakan respons yang lazim terhadap berbagai kesulitan hidup di dunia modern yang sekular” (hlm. XIII).

 
Agree in Disagreement
Masalahnya adalah: semakin kaum fundamentalis ditekan dan ditindas serta dipaksa menerima modernitas dan sekularisme, mereka akan semakin militan dan mengeras perlawanannya. Untuk ini, Armstrong telah membuktikan dengan amat meyakinkan: kasus Scopes, sayap radikal Ikhwan al-Muslimun di Mesir (yang menembak mati Anwar Sadat), Zionis-religius di Israel (ingat pembunuhan Yitzhak Rabin oleh mereka), dan yang paling spektakuler: keberhasilan Revolusi Islam Iran setelah penindasan yang begitu mendalam oleh rejim Syah Iran. Maka, tidak ada cara lain untuk membiarkan kaum fundamentalis dengan keberadaan dan cara keberadaan mereka, menghormati keyakinan mereka; sebagaimana kita menuntut agar mereka lebih simpatik dalam sikap perlawanannya terhadap mereka.

Untuk ini Armstrong memiliki teori menarik, yang diambil dari Johannes Sloek, intelektual Denmark. Menurutnya, manusia masa lalu mengembangkan dua cara berpikir, dua cara berbicara, dan dua cara memperoleh pengetahuan: mitos (mithoi) dan logos (logoi). Keduanya penting dan dianggap “saling melengkapi dalam mencapai kebenaran, dan masing-masing memiliki kelebihan” (hlm. XV).
“Mitos berurusan dengan makna dan tidak berurusan dengan masalah-masalah praktis. Manusia akan mudah jatuh ke dalam keputusasaan jika mereka tidak menemukan makna dalam hidup mereka. Mitos dalam suatu masyarakat memberi manusia konteks yang membuat kehidupan rutin mereka masuk akal … Mitos tidak bisa ditunjukkan dengan bukti-bukti rasional. Manfaatnya lebih bersifat intuitif … Pada zaman pramodern, manusia memiliki pandangan sejarah yang berbeda. Mereka kurang tertarik dengan apa yang sebenarnya terjadi. Mereka lebih tertarik dengan makna dari kejadian tersebut. Peristiwa historis tidak dilihat sebagai kejadian unik yang terjadi di suatu masa nun jauh di sana, melainkan dilihat sebagai perwujudan eksternal reaalitas abadi yang konstan” (hlm. XVI-XVII).
Sedangkan logos adalah “pemikiran rasional, pragmatis, dan ilmiah yang memungkinkan manusia berfungsi dengan baik di dunia … Kita menggunakan penalaran logis dan diskursif jika kita ingin mewujudkan sesuatu, menuntaskan pekerjaan, atau membujuk orang lain melakukan tindakan yang sama. Logos bersifat praktis” (hlm. XVII-XVIII). Tetapi, logos memiliki kelemahan. Ia “tidak mampu mengurangi kesedihan dan kepedihan manusia. Argumen rasional tidak mampu memahami tragedi. Logos tidak mampu menjawab pertanyaan tentang nilai puncak dalam kehidupan manusia. Seorang ilmuwan bisa membuat sesuatu berfungsi lebih efisien dan menemukan fakta-fakta baru tentang alam fisik, namun dia tidak akan bisa menjelaskan makna kehidupan” (hlm. XIX). Pada titik inilah manusia memerlukan mitos.

Agama kaum fundamentalis, yang dipahami oleh Armstrong sebagai produk manusia di masa lalu, adalah merupakan mitos. Dan persis itulah yang coba dihilangkan oleh manusia modern. Maka modernisasi “selalu menjadi suatu proses yang menyakitkan” (hlm. XX). Betapapapun aneh dan tidak masuk akalnya agama kaum fundamentalis itu, namun, kata Armstrong, “untuk mencegah memanasnya konflik, terkadang kita harus mencoba memahami rasa sakit dan persepsi dari sudut pandang lain” (hlm. XX), maksudnya dari sudut kaum fundamentalis sendiri.
 
Eksistensi kaum dan gerakan fundamentalis adalah kenyataan, sementara realitas dan sikap hidup dunia modern menghendaki untuk menerima perbedaan sebagai sesuatu yang wajar. Bila kita berharap agar kaum fundamentalis lebih simpatik dalam cara mereka keberadaan dan perlawanan mereka sekalipun, maka hendaknya kita pun dapat lebih empatik dalam memahami persoalan-persoalan yang mereka hadapi.


Tidak Tajam, tetapi Kerikil
Buku ini merupakan sebuah serangan yang terencana terhadap eksistensi agama. Meskipun secara simpatik Armstrong telah mengajak orang untuk lebih memahami kaum beragama dan sistem kepercayaan yang mereka anut, namun dia —seperti halnya pandangan kaum sekularis— memandang bahwa agama sebenarnya adalah sesuatu yang kuna dan sudah tidak relevan untuk diikuti pada masa modern ini. Agama adalah mitos, agama adalah produk masa lalu dan hanya berguna ketika manusia belum sanggup mengoptimalkan kemampuan daya berpikirnya, agama adalah pedoman hidup di masa lalu. Di masa sekarang pedoman hidup itu adalah ilmu pengetahuan, sains dan teknologi. Masa bagi agama sudah lewat. Para penganut agama adalah kaum yang masih beromantisme dengan masa lalu. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa pemeluk agama seperti “penderita penyakit tertentu”. Dan terhadap orang yang sedang “sakit”, siapapun juga harus lebih memberikan perhatian kepadanya. Bila kaum beragama adalah “orang yang sakit”, kaum fundamentalis adalah “penderita yang sakitnya sudah agak parah”. Jadi perhatian ekstra atau lebih besar lagi harus diberikan kepada mereka.

Karena pandangan semacam itulah maka tidak heran bila Armstrong dalam sejumlah tempat di buku ini menggunakan kerangka teori Sigmund Freud. Ahli psikoanalisis ini sudah terkenal akan pendapatnya bahwa agama adalah semacam penyakit neurosis tertentu. Penerimaan Armstrong atas teori Sloek juga membuatnya sejak semula telah memiliki pandangan sekular, pemisahan yang sakral dan profan. Oleh karena itu, meskipun Armstrong mengajak orang lain untuk lebih memahami, menoleransi dan lebih mengapresiasi para pemeluk agama, ajakan itu tidaklah didasarkan pada pandangan bahwa “kita harus bisa menerima perbedaan pendapat dalam banyak hal, terutama dalam masalah keyakinan”, namun lebih karena para pemeluk agama adalah orang-orang yang menderita penyakit tertentu.

Jelaslah bahwa pandangan ini merupakan suatu serangan terhadap agama. Namun, baik serangannya maupun ajakannya bukanlah hal yang baru. Malah bisa dikatakan merupakan sebuah perkembangan wajar bagi orang Barat mengingat gelapnya masa lalu mereka dalam berhadapan dengan agama. Agamalah yang telah membuat orang Barat masa lalu terkungkung dalam kebodohan, agamalah yang telah menjerumuskan mereka ke dalam perang saudara selama puluhan tahun dan bekas-bekasnya masih dapat dirasakan hingga kini. Dan agamalah pulalah yang kini menghalang-halangi mereka untuk lebih mengeksplorasi ilmu dan sains. Berbarengan dengan kesadaran untuk “lebih menghormati keyakinan lain” mulai muncul ajakan untuk bisa menerima dan menoleransi keberadaan “yang lain” itu.

Bagi umat beragama serangan Armstrong ini ibaratnya kerikil, belumlah suatu besar karena dia tidak pernah memasuki ranah yang paling “suci”, misalnya, teks-teks kitab suci atau para nabi. Oleh karena itu, Berperang Demi Tuhan, meskipun kerikil namun tidak terlalu tajam. Bahwa kita umat pemeluk agama harus sungguh-sungguh menyimak apa yang dikatakan Armstrong adalah jelas: “berhentilah, mau menang dan merasa benar sendiri; mulailah mengenal dan menerima keberadaan yang lain”. Sebab, meskipun tidak tajam, dia tetaplah kerikil; dan sejauh kerikil dia dapat mengganggu cara dan kecepatan kita berjalan. Saya kira, itulah bahan perenungan kita bersama.

Sungguh mengherankan bahwa Armstrong memerlukan diri untuk menyiapkan ratusan halaman guna menjelaskan dua hal yang sebenarnya bukan sama sekali baru. Dalam pandangan saya, sebenarnya, karya Armstrong dapat dipadatkan hingga setengah atau sepertiga tebal saat ini. Paparannya terlalu bertele-tele. Analisis Armstrong yang luas, tak membuatnya mendasar dan mendalam. Ia, misalnya, sama sekali tak melihat perlawanan agamawan yang di-package dalam label keagamaan, tidak benar-benar religius, melainkan semata-mata perlawanan terhadap penindasan kemanusiaan atau, lebih spesifik lagi, hak-hak politik dan keinginan penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya. Sebenarnya, analisis Armstrong akan menarik dan mendalam bila ia menggunakan pendekatan analitik struktural yang mengombinasikan antara kenyataan-kenyataan sosial, ekonomi dan politik, sehingga gambaran lengkap perlawanan kaum fundamentalis terungkap. Marilah kita lihat kasus paling spektakuler dan dicontohkan sendiri oleh Armstrong: Revolusi Islam Iran.

Kasus apakah yang kita hadapi di sini? Keberingasan kaum fundamentalis atau kezaliman penguasa Syah Iran? Akankah kaum Muslim Syiah akan bersedia secara sukarela mendukung habis-habisan Khomeini seandainya dia bukanlah simbol perlawanan terhadap rejim yang menindas? Dan mengapa Khomeini, bukankah Marja’-i-taqlid (otoritas tertinggi Syiah Iran) pada waktu itu adalah Ayatullah Burujerdi? Mungkinkan Burujerdi tidak akan ditinggalkan oleh umatnya bila dia tidak nyaris hampir selalu mengesahkan penindasan yang dilakukan oleh rejim penguasa? Dan mengapa tokoh intelektual semacam Ali Syari’ati yang jelas-jelas berkecenderungan Marxisme bisa mendapat tempat sebagai salah seorang ideolog Revolusi Iran? Mengapa pula pimpinan partai komunis Iran, Bani Shadr, masih dipercaya sebagai salah seorang pemimpin Iran sesudah rejim Syah Iran jatuh? Jelaslah di sini bahwa kita tidak sedang berhadapan dengan keberingasan kaum fundamentalis Syi’ah, melainkan kita sedang menyaksikan revolusi warga negara terhadap penguasanya yang lalim. Tidak kurang dan tidak lebihnya, kita sedang melihat Revolusi Perancis terulang dalam konteks Iran. Jadi, pendekatan Armstrong gagal menjelaskan fenomena ini. Revolusi Iran hanya dapat dipahami secara lebih baik dalam konteks: keadilan sosial-ekonomi dan partisipasi politik warga negara. Bahwa para pemimpin Revolusi Iran sadar betul agama bisa memainkan peranan dalam menjatuhkan rejim sudah jelas: warga Iran sedang butuh ideologi untuk mempersatukan mereka. Apakah itu akan mereka ketemukan pada diri Imam Khomeini, pikiran-pikiran revolusioner Ali Syari’ati ataupun komunisme Bani Shadr, warga negara barangkali sudah tidak terlalu peduli lagi. Gulingkan dan usir Syah dari Iran, lain-lain bisa dibicarakan belakangan.

La yukallifullahu nafsan ila wus’aha


Catatan Akhir
[1] Sekadar menyebutkan contoh judul buku yang didistorsi pihak penerbit untuk lebih memperoleh pasar yang lebih luas adalah buku Abdelwahab el-Affendi Masyarakat Tak Bernegara (judul aslinya Who Need an Islamic State?, 1991; terj. Amiruddin Ar-Rani). Yogyakarta: LKiS, 1994, mestinya berjudul Siapa yang Membutuhkan Negara Islam?; dan William Montgomery Watt Studi Islam Klasik: Wacana Kritik Sejarah (judul aslinya The Formative Period of Islamic Thought; terj. Sukoyo, Zainul Abas, Asyahabuddin). Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999, mestinya berjudul Periode Pembentukan Pemikiran Islam.
[2] Muhammad bin Abdul Karim al-Syahrastani. Sekte-sekte Islam: Bagian tentang Sekte-sekte Islam dalam Kitab al-Milal wan Nihal (Muslim Sects and Divisions. The Section on Muslim Sects in Kitab al-Milal wan-Nihal, trans. AK. Kazi and JG. Flynn, London: Kegan Paul International, 1984; terj. Karsidi Diningrat). Bandung: Pustaka, 1996.

4 komentar:

  1. resensinya keren mas.....kayaknya amstrong melewatkan beberapa ya...

    BalasHapus
  2. thanks. kasih kritikan dan masukan lain bila melihat kekurangan dalam tulisan saya, ya!

    BalasHapus
  3. dimanakah saya bisa memperoleh buku "berperang demi Tuhan" dan "sejarah tuhan"? terima kasih

    BalasHapus
  4. Sebenarnya, buku-buku Armstrong relatif mudah ditemukan. Baru beberapa hari yang lalu saya jalan-jalan ke Togamas Surabaya dan Gramedia, buku-buku yang Anda tanyakan masih cukup banyak tersedia.

    BalasHapus