Weko Kuncara
Agaknya sejak awal telah diyakini oleh para Islamis Indonesia bahwa Islam adalah agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia, betapapun kualitas keislamannya. Angka yang selalu ditunjuk adalah bahwa 90% penduduk Indonesia beragama Islam. Keyakinan ini, dan adanya fakta bahwa sejak Kerajaan Demak, raja-raja Jawa merupakan raja-raja Islam, membawa para politikus Islam Indonesia untuk berpendapat bahwa satu-satunya dasar yang absah bagi identitas nasional Indonesia adalah Islam. Untuk lebh meyakinkan pihak-pihak di luar Islam, beberapa politikus Muslim dengan bersemangat menunjukkan bahwa kebangkitan nasional Indonesia tidak dimulai oleh Budi Utomo yang didirikan pada tahun 1908, melainkan oleh Sarekat Dagang Islam yang berdiri pada tahun 1905 dan satu tahun berikutnya bertransformasi menjadi Sarekat Islam. Ditambahkan sebagai argumentasi bahwa bila Budi Utomo memperjuangkan kesadaran di kalangan elit priyayi Jawa —dan kenyataannya memang hanya menarik bagi kalangan tersebut— maka Sarekat Islam ditujukan kepada semua lapisan dan golongan dalam masyarakat yang ada di seluruh Indonesia.
Sementara itu, para pembela nasionalisme Indonesia berpendapat bahwa untuk mengatur negara sebaiknya agama tidak dijadikan sebagai dasar pertimbangan. Pendapat ini terutama didasarkan pada anggapan bahwa justru karena agama (Islam)-lah kondisi Indonesia terpuruk, dengan menunjuk pada paham fatalisme, ketidakmauan untuk berubah dari tradisi, dan ketidakmampuan Islam dalam berdialog dengan kemodernan. Hal ini akan kita bicarakan lebih lanjut di bawah. Maka, bagi pembela nasionalisme, dasar yang absah bagi identitas nasional Indonesia adalah nasionalisme Indonesia sendiri yang —dalam istilah Soekarno— bukan nasionalisme Barat dan bukan nasionalisme Timur, namun yang berakar pada kultur Indonesia sendiri. Paham tersebut kemudian mengkristal menjadi apa yang disebut Pancasila, yang dengan tegas meminggirkan peranan agama dalam masalah-masalah kenegaraan.
Tulisan ini bermaksud memaparkan upaya-upaya substansiasi identitas nasional Indonesia itu mulai dari periode pergerakan sampai dengan periode paling akhir dari sejarah modern Indonesia. Untuk sekadar memudahkan penyebutan, istilah yang digunakan di sini adalah Muslim bagi golongan yang membela Islam sebagai dasar identitas nasional Indonesia dan sekular bagi golongan yang membela paham pemisahan urusan agama dan negara. Disadari bahwa pemakaian kedua tersebut dapat mengundang perdebatan teoretik. Deliar Noer (1996) untuk kedua kata tersebut mengistilahkannya dengan kaum Nasionalis-Muslim dan kaum Nasionalis yang netral agama, sedangkan Endang Saifuddin Anshari (1986) menyebutnya Nasionalis Islami dan Nasionalis “Sekuler”, dan Bernard Dahm (1987), seorang sejarawan Jerman yang ahli Indonesia, mengidentifikasi sebagai Muslim dan Nasionalis “Sekuler”. Tulisan ini berpendapat bahwa kategorisasi yang dibuat oleh Dahm lebih meyakinkan. Tanpa mengingkari kemungkinan adanya simplifikasi yang berlebihan dan kenyataan bahwa banyak di antara para pembela pemisahan urusan negara dan agama yang memang, tetapi justru di sinilah letak titik persoalannya.
Merujuk pada bibit-bibit munculnya konsepsi sekularisme di Eropa abad ke-16 dan ke-17, yang dimaksudkan sekular adalah orang yang berpendapat diharuskannya pemisahan antara urusan agama dan negara. Konsepsi mana diidentifikasi lebih lanjut oleh Profesor M. Rasjidi (1988) sebagai suatu semangat anti agama. Dengan demikian, walaupun seseorang beragama Islam tetapi bila berpandangan bahwa urusan agama dan negara harus dipisahkan, by the definition, dia adalah seorang sekular. Selanjutnya, dalam upaya mengabsahkan pemisahan urusan negara dan agama, golongan sekular menawarkan gagasannya dalam konsep yang disebut nasionalisme.
Di lain pihak, tulisan ini mengidentifikasi Muslim sebagai seorang penganut Islam yang berpendapat bahwa Islam harus diterapkan dalam semua segi kehidupan manusia. Islam harus dilaksanakan secara menyeluruh (QS. 2:208) dan merupakan larangan untuk menerapkan hukum yang tidak didasarkan kepada apa yang diturunkan oleh Allah (QS. 5:44, 45, 47), oleh karena itu, urusan bernegara pun tidak dapat dipisahkan dari agama (Islam).
Substansiasi dalam Masa Pergerakan
Sudah sejak tahun 1925, Agus Salim, seorang tokoh pergerakan Sarekat Islam dengan reputasi Internasional, mempersoalkan dasar nasionalisme untuk dijadikan identitas nasional Indonesia. Baginya “memulihkan tanah air diatas segalanya dapat mencairkan keyakinan tauhid seseorang dan mengurangi bakti pada Tuhan” (dalam Noer 1996, 274). Namun demikian, cinta tanah air dan persatuan adalah suatu yang penting dan oleh karena itu hendaknya diarahkan sebagai suatu
Jawaban yang diberikan Soekarno terhadap argumentasi Salim tersebut malah mempertegas wujud nasionalisme yang hendak dibangun oleh golongan sekuler. Pertama-tama Soekarno menandaskan
Oleh karenanya orang-orang sekuler,
Dalam suatu artikel untuk menjawab argumen-argumen Natsir, Soekarno menjelaskan konsepnya dengan menunjukkan perkembangan hubungan antara Islam dan negara di Turki. Menurutnya, Turki melalui Kemal Atattruk berhasil memperkuat dan menjadikan Islam modern dengan memisahkan agama (Islam) dari negara. Bagi Soekarno, yang kurang terlatih dalam khazanah keilmuan Islam, tidak ada ijma’ ulama mengenai persatuan agama dan negara, karena itu ada pula di kalangan Islam yang berpendapat bahwa agama dan negara dapat terpisah. Dengan tepat, Soekarno mengambil pendapat Ali Abdur Raziq4, yang berusaha membuktikan bahwa tugas Nabi ialah menegakkan agama tanpa bermaksud membentuk negara.5 Baginya, mempersatukan Islam dan negara sama saja dengan membentuk pemerintahan diktator. Katanya,
Pertarungan antara golongan Muslim dan sekuler, dengan juru bicaranya masing-masing ini, sepenuhnya berada dalam tataran intelektual, polemik dan debat terbuka secara tertulis di berbagai media massa yang terdapat pada waktu itu. Kedua golongan belum lagi memikirkan konsepsi masing-masing dalam kapasitas sebagai para negarawan Indonesia merdeka. Dapat dipahami karena sampai saat itu Belanda masih menancapkan kuku jajahnya. Tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa dalam benak masing-masing telah ada gambaran bagaimana negara mereka kelak hendak diwujudkan. Oleh karenanya perang wacana antara kedua golongan tersebut, yang tanpa disadari terjadi di ujung kekuasaan Belanda, boleh dikatakan hanya merupakan “pemanasan” saja. Perang wacana yang sesungguhnya, di mana mereka berhadap-hadapan dan karena itu terjadi dialog secara langsung, baru akan terjadi di akhir-akhir kekuasaan Jepang di Indonesia dalam sidang-sidang BPUPKI. Sebuah badan bentukan Jepang yang memiliki tugas mempersiapkan segala perangkat yang perlu bagi kemerdekaan Indonesia, memiliki anggota 62 orang, dengan komposisi hanya 15 di antaranya yang Muslim dan sisanya (47 orang) dapat dikatakan merupakan golongan sekuler. Tambahan lagi, badan ini diketuai oleh seorang dokter yang menganut kuat paham Kejawen, Radjiman Wediodiningrat.
BPUPKI dan PPKI: antara Kesepakatan dan Pengingkaran
BPUPKI didirikan 29 April 1945 sebagai realisasi janji Jepang untuk memerdekakan Indonesia. Dilantik pada 28 April 1945 dan segera mengadakan serangkaian sidang pada 29 April sampai 1 Juni 1945. Segera tampak dalam sidang bahwa yang menjadi pokok masalah adalah filsafat yang mendasari negara Indonesia kelak. Usulan-usulan yang dikemukakan adalah: dasar negara Islam, nasionalisme dan sosial-ekonomi. Usulan terakhir ini hanya didukung oleh tidak lebih dari 6 anggota. Maka seperti yang dikatakan Soepomo,
Dalam rangka menyokong gagasan golongan sekuler Soepomo mengajukan kritiknya yang sangat mendasar. Dia mengakui bahwa Islam memang sistem kehidupan yang komprehensif, tetapi yang berbeda dengan Irak, Iran, Mesir, atau Suriah yang bercorak Islam (corpus Islamicum) maka negara Islam harus ditolak. Tambahan lagi, seandainya memang Islam hendak dijadikan dasar apakah Syariah yang hendak diterapkan itu sekarang ini (yakni saat itu, tahun 1945) mampu memenuhi kebutuhan manusia modern (dalam Maarif 1985, 107).
Sementara itu, melalui Ki Bagus Hadikusumo (Ketua Muhammadiyah saat itu), golongan Muslim mengajukan argumentasinya, bahwa al-Qur’an berkepentingan dengan masalah politik dan duniawi. Dengan mendukung pendapat KH. Ahmad Sanusi (tokoh PUI, Parsatuan Umat Islam) bahwa di antara lebih dari 6000 ayat al-Qur’an hanya sekitar 600 ayat saja yang membicarakan masalah-masalah keagamaan dan urusan akhirat, selainnya membicarakan kehidupan duniawi, yang di dalamnya termasuk persoalan politik (dalam Maarif 1985, 106).
Karena belum ada titik temu di antara kedua golongan tersebut maka sidang menyetujui untuk membentuk Panitia 9 guna membicarakan dasar negara yang akan dituangkan dalam Preambule konstitusi. Panitia 9 ini mampu menyusun suatu bentuk kompromi antara golongan Muslim dan sekuler ke dalam sebuah dokumen yang kemudian dikenal sebagai Piagam Jakarta, suatu sebutan yang diberikan oleh Muhammad Yamin. Yang membedakan antara Piagam Jakarta dengan UUD 1945 adalah anak kalimat pada alinea keempat, “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya,…”. Walaupun hasil ini adalah kompromi namun sesungguhnya memenangkan golongan Islam. Karena, sebagaimana ditegaskan berulang-ulang oleh Anshari (1983), negaralah yang mewajibkan umat Islam untuk menjalankan syariat. Negara berkepentingan secara langsung dengan urusan agama Islam, karena itu, by the definition, Indonesia menurut Piagam Jakarta bukanlah negara sekuler. Oleh karena itu, tidak heran bila kompromi ini tidak segera disetujui di dalam sidang paripurna BPUPKI, seperti dicerminkan dalam kekhawatiran Wongsonegoro dan Hussein Djajadiningrat, seorang cendekiawan yang telah mencapai gelar doktor pada 1916. Tetapi tampaknya Soekarno mampu meyakinkan para anggota sidang untuk menyetujui hasil kerja Panitia 9.
Pokok pembicaraan berikutnya adalah konstitusi.6 Untuk kepentingan tulisan ini, hanya akan difokuskan pada debat antara Muslim dan sekuler dalam hal presiden Indonesia. A. Wachid Hasjim mengusulkan, agar presiden dan wakil presiden adalah orang Indonesia asli yang beragama Islam. Menurutnya, sesuai dengan kesepakatan dalam Piagam Jakarta, negara turut menyelenggarakan urusan umat Islam, maka agar instruksi-instruksi presiden dan wakil presiden mendapatkan warna Islam dan memiliki pengaruh yang besar bagi umat Islam, presiden dan wakilnya haruslah beragama Islam (Anshari 1983, 36). Memang sulit dibayangkan seorang yang tidak beragama Islam turut menyelenggarakan urusan Islam. Usulan ini mendapat dukungan dari Pratalykrama, KH. Masjkur, Kahar Muzakkir, dan Hadikusumo, serta penulis kira semua pendukung substansi Islam bagi identitas negara Indonesia. Selanjutnya mengenai agama negara, Hasjim mengusulkan hendaknya agama negara adalah agama Islam, dengan menjamin kemerdekaan orang-orang yang beragama lain.
Memberikan tanggapan terhadap usul tersebut, Otto Iskandar Dinata berpendapat bahwa pasal tentang kriteria presiden hendaknya dihapus. Sementara Sukardjo Wirjopranoto menganggap bahwa usulan tersebut sama dengan mengingkari kesamaan kedudukan semua warga negara di mata hukum, suatu pasal yang telah disetujui sebelumnya. Sedangkan Soepomo, dalam rangka menenangkan golongan Muslim, berpendapat bahwa apabila benar klaim golongan Muslim bahwa 95% penduduk Indonesia beragama Islam, maka tak perlu ada kekhawatiran presiden selain beragama Islam. Sebab dengan sendirinya penduduk Islam tersebut tidak akan mau memilih pemimpin yang tidak beragama Islam (Anshari 1983, 45-46). Masalahnya adalah, persis seperti keadaan di BPUPKI, seseorang yang beragama Islam belum tentu memperjuangkan Islam, dengan kata lain, tetap sekuler.
Di tengah-tengah suasana yang memanas karena deadlock di depan mata, Soekarno meminta ijin berpidato,
Sampai di sini dapat dicatat beberapa hal, yang pertama, debat yang dijalankan oleh para pemimpin bangsa yang terkemuka itu tidak mendapat tekanan dari pihak manapun, kehadiran orang-orang Jepang lebih merupakan peninjau (yang tak memiliki hak suara) dan yang karenanya berlangsung secara terbuka, tak ada intimidasi atau bentuk-bentuk tekanan politis lain, kecuali waktu yang sudah amat mendesak. Kedua, dalam situasi keterbukaan tersebut yang dicari dan diputuskan bukanlah “kalah-menang” tetapi lebih kepada “win-win sulotions”. Seperti dikatakan Dahm (1987, 362-264) pada prinsipnya golongan Muslim siap berkompromi demi tercapainya kemerdekaan, demikianlah pula dengan pihak sekuler yang sesungguhnya dengan mudah dapat mencapai kemenangan karena posisinya mayoritas (47 orang). Kesediaan kompromi ini dicerminkan dalam kekerasan sikap Soekarno yang bahkan dengan “rasa menangis” menginginkan supaya kompromi dapat tercapai. Ketiga, secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa upaya subtansiasi golongan Muslim bagi identitas Indonesia merdeka berhasil tercapai dengan gemilang. Walaupun pada dasarnya konsepsi Pancasila diterima, namun konsepsi tersebut telah termodifikasi sedemikian rupa sehingga tidak dapat tidak bersubstansi Islam. Inilah sebabnya umat Islam di kemudian hari menuntut pemberlakuan Piagam Jakarta (dan konstitusi yang didasarkan kepadanya) manakala upaya menjadikan Islam sebagai dasar negara tidak dapat diterima oleh pihak selain Islam.7
Tetapi kemenangan umat Islam dalam BPUPKI ini tidak bertahan lama karena hanya satu hari sesudah proklamasi kemerdekaan, ide-ide Islam dalam konstitusi yang hendak diberlakukan dianulir, berdasarkan usulan Hatta. Dalam sidang PPKI (yang dibentuk 9 Agustus 1945 untuk menggantikan BPUPKI) tersebut Hatta mengusulkan agar: (1) kata “mukaddimah” diganti dengan “pembukaan”, (2) anak kalimat “dengan menjalankan kewajiban Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diganti dengan “Yang Maha Esa”, (3) syarat agama Islam bagi presiden dihapus, dan (4) pasal 29 ayat 1 yang juga mencantumkan “dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diganti sehingga menjadi “Negara berdasarkan atas Ke-Tuhanan Yang Maha Esa”.
Sungguh aneh, bahwa berbagai pasal yang telah diperdebatkan tanpa ujung pangkal dan sekali-sekali diselingi dengan nada emosi tinggi itu, tanpa banyak menimbulkan perdebatan langsung disetujui untuk dianulir. Penting diketahui komposisi keanggotaan PPKI ini adalah 24 anggota sekuler dan 3 untuk anggota Muslim. Agaknya perdebatan lebih lanjut, apalagi bila keputusan diambil melalui suara terbanyak, golongan Muslim sama sekali tidak memiliki kans untuk menang atau mempertahankan Piagam Jakarta. Tidakkah ini merupakan suatu pengkhianatan terhadap konsensus awal? Banyak Muslim berpendapat demikian.
Suatu hal dapat dicatat bahwa keberadaan sebuah kementerian yang khusus menangani agama, yang pada sidang BPUPKI ditolak, kini disetujui pembentukannya. Tetapi perlu diketahui bahwa keberadaan kementerian ini pun berdasarkan usulan Sutan Sjahrir, yang terang sekali dari golongan sekuler, yang memandang bahwa terlalu berat bagi kementerian pendidikan untuk juga menangani urusan agama, sebagaimana disetujui pada sidang BPUPKI. Dalam pada itu keberadaan departemen agama harus tetap dibaca dalam konteks hasil kompromi. RM. Kafrawi menjelaskan,
Babak Konstituante: Kerja Keras yang Tak Diakui
Sebagaimana dalam BPUPKI, dalam sidang-sidang Konstituante, sebuah badan pilihan rakyat yang sengaja dibentuk untuk menyusun konstitusi yang baru yang lebih komprehensif, pun semua masalah dapat diselesaikan dengan lancar kecuali persoalan dasar negara.
Bagi Muhammad Natsir, seorang pemimpin Persis dan pemuka Masyumi, Indonesia hanya memiliki dua pilihan bagi dasar negara, yakni sekularisme (la diniyah) dan paham agama (dini). Pancasila yang dibela golongan sekuler adalah bentuk sekularisme karena tidak mau mengakui wahyu sebagai sumbernya, ia adalah hasil penggalian terhadap kultur yang berkembang di Indonesia. Mengikuti Ibnu Khaldun, pioner sejarah dan sosiologi dalam Islam, ia berpendapat bahwa hubungan antara masyarakat dan negara adalah seperti hubungan antara benda dan bentuk, tergantung satu sama lain. Katanya, “negara itu harus mempunyai akar yang langsung tertanam dalam masyarakat”. Nah, Islam sebagai agama mayoritas rakyat Indonesia memiliki akar dalam masyarakat, yang karena itu merupakan alasan kuat untuk dijadikan dasar negara. Tambahan lagi, menurutnya, Islam adalah agama dengan sifat-sifat sempurna bagi kehidupan negara dan masyarakat, serta dapat menjamin keragaman hidup antara berbagai golongan dalam negara dengan penuh toleransi (dalam Maarif 1985, 127-128). Berdasarkan surat al-Dzariyaat ayat 56, Natsir menjelaskan,
Sementara itu golongan sekuler mengulang-ulang argumentasi yang dikemukakan Soekarno pada sidang-sidang BPUPKI. Soekarno sendiri tidak dapat mengemukakan gagasan barunya untuk meyakinkan salah satu dari dua pihak, karena dia tidak termasuk dalam anggota Konstituante, dia adalah presiden. Dalam pada itu menarik untuk diperhatikan bahwa seorang Kristen, Arnold Mononutu, berusaha menafsirkan Pancasila dari sudut pandang Kristen. Betapapun dapat diperdebatkan, misalnya bagaimana mungkin Ketuhanan Yang Maha Esa dapat disandingkan dengan Teologi Kristen, tafsiran ini hanya membuat golongan Muslim yakin bahwa Pancasila yang diajukan orang-orang sekuler dapat ditafsirkan menurut pribadi penafsir masing-masing. Adalah tepat jika Sutan Takdir Alisjahbana, filsuf dan cendekiawan terpandang Indonesia, dalam sidang tersebut mengemukakan bahwa Pancasila adalah gagasan yang tercerai berai tanpa ada kepaduan yang kohesif dalam dirinya sendiri. Tetapi Alisjahbana tetap membela Pancasila, dalam arti sebagai bentuk kompromi politik yang paling memungkinkan, dibandingkan semata-mata sekulerisme atau Islam. Terhadap yang terakhir ini Alisjahbana mengingatkan bahwa bila memang Islam di Indonesia sekarang ini mendapatkan tugas memikul Dasar Negara, besar kemungkinannya hanya akan melemahkan kedudukan Islam” (dalam Maarif 1985, 161). Dikatakannya, dengan ucapan itu ia tidak hendak bersiasat-politik, “tetapi lahir sesungguhnya dari perasaan simpati dan harapan yang sebaik-baiknya akan agama Islam yang melahirkan saya sendiri yang tak dapat disangkal mempengaruhi jalan pikiran saya dengan bermacam-macam cara” (dalam Maarif 1985, 161).
Tantangan positif Alisjahbana ini tidak mendapatkan jawaban yang memuasakan dari golongan Muslim. Apa yang dipersoalkan Alisjahbana, bagi penulis, benar-benar telak dan mengenai sasaran. Satu kenyataan kecil tetapi penting dan seharusnya membuat pemikir Muslim di Konstituante mengubah asumsi utamanya adalah bahwa mereka tidak mamapu memenangkan suara mayoritas baik di Parlemen dan Konstituante dalam Pemilu 1955. Mereka mengajukan klaim bahwa umat Islam Indonesia berjumlah 90%, tetapi suara yang mereka menangkan tak lebih dari 48%, jauh yang diharapkan oleh konstitusi yang berlaku pada waktu itu, yakni UUDS 1950 (yakni ± 67% atau 2/3 suara) untuk memenangkan suatu gagasan. Sebaliknya golongan sekuler pun untuk memenangkan Pancasila (yang sekuler) juga tidak mampu, karena suaranya hanya ± 52%. Maka tidak ada lagi jalan lain kecuali mengadakan, sekali lagi, upaya kompromi. Suatu hal yang sebenarnya telah disepakati seperti terlihat berikut ini.
Dalam Rapat Pleno 11 Juli 1957 dibentuk Panitia Perumus Dasar Negara yang pada 6 Desember 1957 menghasilkan 13 titik pokok kesimpulan, di mana salah satu di antaranya menyatakan:
Selanjutnya, akibat provokasi Suwirjo (Ketua Umum PNI) dan PKI, anggota-anggota Konstituante, kecuali golongan Muslim, tidak mau lagi menghadiri sidang-sidangnya. Di pihak lain, ambisi kekuasaan Soekarno untuk lebih memainkan peran yang aktif dalam panggung politik Indonesia turut melemahkan posisi Konstituante. Atas desakan Angkatan Darat, melalui Nasution, dan PKI, Soekarno akhirnya mengeluarkan dekritnya yang terkenal itu. Konstituante bubar dan UUD 1945 berlaku kembali. Sekali lagi, dengan cara yang tidak demokratis, umat Islam harus menelan pil pahit kekalahan. Kerja dua tahun Konsituante tak diakui bahkan dicampakkan sama sekali. Dekrit yang menunjuk UUD 1945 itu dengan sendirinya akan mengembalikan posisi Soekarno sebagai kepala eksekutif, yang sebenarnya sejak September 1945 telah ditanggalkan darinya. Inilah saat-saat di mana Soekarno, dengan Angkatan Darat dan PKI sebagai tiang sangga utama, memulai periode Demokrasi Terpimpin dengan cara yang, sulit dipungkiri, mirip dengan raja-raja Jawa di masa lampau.
Dalam periode ini upaya substansisi Islam terhadap identitas Indonesia hampir-hampir mandeg. Masyumi, tempat para pembela Islam bernaung, diperintahkan untuk membubarkan diri oleh Soekarno. Indonesia tidak saja menunjukkan citra sekular, tetapi bahkan kekiri-kirian yang umum dikaitkan dengan ateisme, akibat banyaknya kesamaan antara gagasan revolusi Indonesia Soekarno dan PKI. Partai politik terbesar kedua, Nahdlatul Ulama (NU), lebih memilih untuk menyesuaikan diri dengan pola kekuasaan Soekarno. Penyesuaian diri itu dilakukan dengan mendasarkan pada kaidah usul fiqh: maa laa yudraku kulluhu laa yutraku ba’duhu, yang berarti: apa yang tidak tercapai 100% janganlah ditinggalkan (dibuang) hasil yang cuma sebagian (yang kurang dari 100%) (Saifuddin Zuhri dalam Maarif 1988, 85). Tetapi, sebagaimana dapat diduga, lebih banyak yang harus dibuang daripada yang dapat diambil. NU hampir-hampir selalu mengikuti keputusan-keputusan Soekarno. Malahan, dalam suatu kontroversi menyangkut keabsahan pernikahan menurut Islam di Indonesia yang dipimpin oleh Soekarno, NU mengeluarkan fatwa bahwa Soekarno adalah seorang waliul amri bidldlaruri yang wajib dipatuhi. NU juga mendukung Soekarno untuk menjadi presiden seumur hidup. Yang cukup memprihatinkan adalah keseluruhan bentuk dukungan kepada Soekarno itu didasarkan kepada berbagai macam dalil keagamaan, baik al-Qur’an maupun Hadits Nabi. Soekarno pun tidak berdiam diri, ia menyambut dukungan NU yang hampir-hampir tanpa syarat itu, dalam Ulang Tahun NU ke-40 ia bepidato: “Saya cinta NU, cintailah saya. Saya rangkul NU maka rangkullah saya” (dalam Maarif 1988, 109).
Tentu saja apa “yang dapat diambil” itu tetap ada. Setidaknya di sini dapat dikatakan dua hal. Pertama, HMI tidak dibubarkan oleh Soekarno. Telah sejak lama PKI tidak menyukai HMI karena dianggap underbouw Masyumi. Walau berbagai provokasi telah dilakukan, pembubaran tidak dilakukan. Tentu saja bukan karena jasa NU semata, peranan Angkatan Darat, dalam hal ini Nasution, juga besar. Kedua, dan ini yang penting, NU mampu mendirikan IAIN di hampir seluruh kota besar di Indonesia, dengan berpusat di Yogyakarta. IAIN merupakan gabungan dari dua jenis pendidikan tinggi Islam yang sebelumnya telah ada, yakni Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) dan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA).
Menyusul kudeta G30S/PKI yang gagal, kejatuhan Soekarno hanya menunggu waktu. Dalam pada itu secara bertahap namun meyakinkan, Angkatan Darat mulai mengambil posisi-posisi strategis. Dan pada saatnya MPRS, yang telah dikuasai oleh Soeharto, menjatuhkan vonisnya bahwa Soekarno dinyatakan tak mampu lagi mengemban amanat rakyat. Kekuasaan dialihkan kepada Soeharto, dan selama 31 tahun kemudian di Indonesia berlangsung rejim Orde Baru, yang tak kurang tak lebih, sama otoriternya dengan Demokrasi Terpimpin.
Orde Baru: Saat Memberi – Saat Menerima
Perbedaan mendasar antara Soekarno dan Soeharto adalah bila yang pertama masih membutuhkan militer sebagai salah satu penopang kekuasaannya, maka yang terakhir ini tidak membutuhkannya karena dia adalah bagian dari militer itu sendiri. Sebagaimana jamak terjadi pada negara-negara yang baru lahir pasca Perang Dunia II, militer senantiasa memainkan peranan yang dominan.
Dengan sistematik Soeharto membangun jaringan politiknya mulai dari pusat sampai ke pelosok-pelosok Indonesia. Soeharto menjadi figur sentral dan kata putus atas setiap masalah. Sampai pada titik dapat dikatakan bahwa upaya subtansiasi Islam bagi identitas Indonesia benar-benar tidak menampakkan hasil. Soeharto, seorang abangan yang kuat, benar-benar menyapu bersih keterlibatan umat Islam dalam kegiatan sosial-politiknya. Walaupun keberadaannya diakui sebagai “aset nasional”, tetapi hampir tidak memiliki peranan sama sekali. Dalam waktu yang hampir bersamaan, pada awal tahun 1970-an sekelompok kaum muda Islam yang kelak terkenal dengan sebutan kaum pembaharu, mulai menampilkan dirinya. Nurcholish Madjid, tanpa mengecilkan arti pembaharu lainnya, merupakan pusat pesona kaum pembaharu ini. Menurutnya, ide-ide Masyumi yang telah memperjuangkan Islam dan berusaha mensubstansiasi identitas Indonesia dengan Islam merupakan ide-ide yang telah memfosil (1970). Baginya, “Islam yes, partai Islam no”, suatu jargon yang sangat terkenal.
Sulit sekali menentukan hubungan antara usaha depolitisasi umat Islam oleh Soeharto dan pembaharuan Nurcholish Madjid yang cenderung menghindari benturan langsung dengan penguasa. Bahwa gagasan pembaharuan Nurcholish Madjid dimanfaatkan oleh Soeharto untuk kepentingan politiknya sendiri adalah jelas, tetapi mengatakan Nurcholish sengaja mengorbankan umat Islam untuk dikuasai Soeharto melalui ide-idenya adalah preposisi yang sulit diterima. Ide-ide disebarkannya melalui organisasi kemahasiswaan bagi Muslim terbesar, HMI. Melalui HMI-lah lahir banyak lulusan-lulusan universitas yang telah mendapatkan inti pembaharuan Nurcholish Madjid. Dan, seperti di masa-masa lalu, banyak sekali alumni HMI yang kemudian menduduki pos-pos penting di pemerintahan. Pada saatnya, ide pembaharuan ini menuai hasilnya. Ini terjadi pada awal 1990-an ketika ICMI terbentuk. Maka di segenap segi kekuasaan umat Islam menempatkan tokohnya: kabinet, MPR/DPR sampai dengan kampus-kampus. Bagi Nurcholish Madjid sendiri hal ini bukanlah tak terkirakan sebelumnya. Dengan percaya dari dia menjelaskan bahwa Indonesia senantiasa mengalami siklus perubahan dua puluh tahunan. Bila siklus itu telah terjadi pada 1908, 1928, 1945, 1967, maka 1985 adalah titik perubahan yang paling mutakhir. Dalam tahun terakhir itu, dijelaskannya, secara tak disadari terjadi kebangkitan intelektual Islam Indonesia.10 Maka saat kemunculan Islam ke pentas nasional Indonesia tinggal menanti momentum saja. Apapun teoretisasi Nurcholish Madjid, peranan umat Islam semakin lama memang semakin membesar. Soeharto sendiri, sejak awal 1990-an menunjukkan sikap yang semakin positif terhadap Islam.
Membandingkan strategi subtansiasi Muslim Indonesia di masa ini dan di masa-masa sebelumnya, timbul pertanyaan, apakah memang subtansiasi itu telah menyentuh hal yang subtansial? Berbeda dengan pandangan kebanyakan intelektual ahli Islam Indonesia, tulisan ini cenderung untuk menyatakan bahwa substansiasi itu belumlah menyentuh segi yang subtansial, dengan kata lain masih artifisial. Umat Islam hanyalah dijadikan tiang penyeimbang kekuasaan Soeharto yang semakin lama makin menunjukkan kerapuhannya. Persis seperti yang dilakukan oleh Soeharto terhadap potensi-potensi kekuatan Indonesia sebelumnya, apakah itu pemuda, pegawai negeri, militer ataukah para teknokrat, Islam pun —yang tak pelak lagi merupakan variabel penting bagi kekuasaan Indonesia— sedang dijadikan kendaraan olehnya untuk memperpanjang dan menyelamatkan kekuasaannya. Pancasila, yang sekuleristik, masih menjadi asas tunggal yang tak dapat ditafsirkan oleh siapapun kecuali menurut cara Soeharto menafsirkannya. Dengan begitu organisasi —apalagi partai politik— yang terang-terangan membela kepentingan Islam Indonesia tidak diperbolehkan keberadaannya. Pendeknya, Soeharto masih memegang empat pilar demokrasi: eksekutif (yang merupakan kedudukan resminya), legislatif, yudikatif, dan sekaligus pers nasional yang sulit sekali diharapkan keberaniannya untuk mengatakan sesuatu yang berbeda dengan yang diinginkannya.
Menyusul kemerosotan ekonomi yang tak kunjung membaik akibat parahnya fundamental ekonomi Indonesia dan karakter korup para birokratnya, serta tindakan-tindakan kekerasannya melalui tangan militer yang semakin tak tertahankan, Soeharto terjatuh. Suatu rejim yang disangka tak akan pernah dapat dijatuhkan. Penilaian akhir dapat diberikan di sini, sama halnya dengan keadaan sewaktu Soekarno berada di puncak kekuasaannya, maka pada masa Soeharto pun subtansiasi Islam bagi identitas nasional Indonesia tidak tampak signifikan.
Sedikit memprediksi keadaan substansiasi pasca kejatuhan Soeharto dapat dikatakan di sini, menurut sejarah yang telah ditinjau di atas, bahwa bila situasi-situasi tanpa tekanan terus bertahan dan semangat keterbukaan yang dikedepankan, maka Muslim Indonesia harus bersiap-siap sekali lagi menghadapi golongan sekular dalam suatu pertarungan yang fair, berat, namun sekaligus menjanjikan hasil yang maksimal. Babak awal yang telah dilalui, pemilu 1999, memberikan isyarat yang kurang menguntungkan bagi Muslim Indonesia, tetapi seperti halnya pemilu di tahun 1955, tak ada yang mengaku —karena nyatanya memang begitu— telah memenangkan suara mayoritas dalam pemilu tempo hari itu. Dan ini cukup membesarkan hati serta mempertebal semangat perjuangan.
Hikmah
Pelajaran yang dapat ditarik dari pembahasan ini mencakup sejumlah hal. Pertama, walaupun umat Islam meyakini, yang sesungguhnya dapat dibenarkan, bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan komprehensif, harus diakui bahwa umat Islam Indonesia belum memiliki formulasi yang tegas tentang bagaimana kesempurnaan Islam itu harus diwujudkan dalam substansiasi identitas nasional Indonesia. Secara internal ini akan menimbulkan kesulitan bagi umat Islam Indonesia karena ketiadaan formulasi ini. Misalnya, perbedaan klasik antara Muslim tradisional dan modernis. Meskipun hal ini terkesan klise, namun pernyataan ini dapat dibenarkan secara kultural. Menurut perhitungan di atas kertas, dapat dikatakan perbedaan antara tradisional dan modernis ini akan menimbulkan perselisihan yang lebih besar. Sejarah menunjukkan, betapa Partai Masyumi dan NU yang cukup mesra di dalam Konsituante, segera berada dalam ketegangan terus-menerus ketika Demokrasi Terpimpin dijalankan di Indonesia. Oleh karenanya kekhawatiran perselisihan internal ini bukannya tidak beralasan. Dengan demikian, adanya suatu formulasi tentang bagaimana subtansiasi itu harus dilakukan dan dalam batas-batas yang mana saja, tampaknya merupakan agenda bersama yang tak dapat ditolak.
Sangat menarik bahwa gagasan pembaharuan Nurcholish Madjid, yang berusaha menampilkan Islam dalam term-term universal dan inklusivistik, ditanggapi secara positif tidak saja oleh kalangan intelektual Islam Indonesia, tetapi juga intelektual non Muslim. Tentu saja hal ini tak perlu mengingkari kenyataan banyaknya umat Islam yang memandang negatif gagasan Nurcholish Madjid tersebut. Namun, marilah menarik hikmah fundamental dari pelajaran sejarah yang sering diteriakkan oleh al-Qur’an ini, bahwa apabila ajaran Allah yang tinggi mutunya ini memang dapat dilaksanakan dengan menggunakan term-term universal dan inklusivistik, sedangkan dalam term-term yang lokal dan eksklusif (Islamic minded) hampir secara pasti tidak dapat dilaksanakan, mengapa hal yang pertama itu tidak kita tempuh. Tulisan ini berpendapat, inilah makna substansiasi yang sesungguhnya. Misalnya, tidak menjadi masalah bila dasar negara adalah Pancasila, asalkan Pancasila itu telah mendapatkan substansi Islamis seperti yang ditampakkan dalam Piagam Jakarta dan konstitusi yang diderivasikan darinya. Sekadar tambahan argumentasi, dapat dituturkan di sini persoalan semantik kata “Allah”. Sebelum kedatangan Islam, kaum jahiliyah Quraisy memaknakan kata “Allah” sebagai Tuhan tertinggi yang memiliki anak-anak perempuan, Lata, Hubal dan Mana. “Ketiga anak perempuan” Allah ini benar-benar dianggap tuhan oleh kaum jahiliyah, tetapi derajatnya di bawah Allah. Begitu Islam datang kata “Allah” tetap dipertahankan tetapi mendapatkan substansiasi yang benar-benar monoteistik. Nabi Muhammad saw sendiri tidak menolak ketika dalam perjanjian Hudaibiyah, setelah namanya tidak dicantumkan kata Rasulullah tetapi cukup Muhammad bin Abdullah. Tetapi substansinya tetap, yakni pengakuan eksistensi Madinah sebagai wilayah kekuasaan Muhammad saw sekaligus memantapkan kepemimpinan beliau. Persoalannya kini “tinggal” bagaimana merumuskan term-term universal itu agar dapat tetap dalam kerangka Islam. Jika Islam diakui sebagai agama yang universal dan rahmatan lil alamin, pengakuan mana sebenarnya dapat dipertanggungjawabkan validitasnya, maka sebenarnya tak perlu ada kekhawatiran akan hilangnya agama Islam.
La yukalifullahu nafsan ila wus‘aha
Catatan Akhir
1. Adalah menarik bahwa sejak dini Agus Salim telah melihat bahaya nasionalisme sebagai “agama” baru, apapun yang dimaksudkannya dengan agama sebagaimana terlihat pada tanda kutip yang digunakannya. Untuk rujukan yang lebih luas tentang masalah ini, Deliar Noer menunjuk pada karya Carlton JH. Hayes, Nationalism: A Religion (New York: The Macmillan Company, 1960).
2. Kursif dari saya, perhatikan betapa Soekarno sudah mulai menunjukkan apa yang sebenarnya justru dikhawatirkan oleh Salim, nasionalisme adalah “wahyu dan dijalankan penuh pengabdian (bakti)”.
3. Para pendekar yang dimaksud oleh Soekarno adalah pejuang nasionalisme di India (CR. Das Mahatma Ghandhi, Arabindo Ghose), di Mesir (Mustafa Kamil, Arabi Pasha), di Cina (Sun Yet Sen), dan di Afghanistan (Amanullah Khan).
4. Buku Ali Abdul Raziq yang dikuti Soekarno berjudul Al-Islam wa Usul al-Hukm, terbit 1925. buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia denagn judul Khilafah dan Pemerintahan dalam Islam (Bandung, Pustaka, 1985).
5. Tetapi, demikian agaknya, Soekarno lupa menambahkan bahwa sesudah buku Ali Abdur Raziq tersebut terbit, dengan segera menimbulkan kehebohan di Mesir, yang berakibat pada pemberhentian Ali Abdur Raziq dalam semua tugas-tugas kepengajaran di al-Azhar. Gelar al-Syaikh-nya juga dicabut. Dan menariknya, konon, Ali Abdur Raziq, mencabut semua pendapatnya menjelang kematiannya. Lihat kontroversi dan pembahasan buku Ali Abdur Raziq oleh pengarang Mesir lain, yamg juga telah diindonesiakan, Dhiya al-Din al-Rais, Islam dan Khilafah: Kritik terhadap Buku “Khilafah dan Pemerintahan dalam Islam” Ali Abdur Raziq (Bandung, Pustaka, 1985).
6. Pokok-pokok pembicaraan dalam sidang BPUPKI adalah: bentuk negara, batas negara, dasar filsafat negara dan konstitusi. Selain dasar filsafat negara, semua pokok pembicaraan tersebut dapat diselesaikan dengan lancar.
7. Hal ini, misalnya, tercermin dalam keseluruhan karya Endang Saifuddin Anshari (1983) yang banyak diacu dalam tulisan ini.
8. Anshari (1983) menyediakan 12 halaman dari bukunya sebagai lampiran untuk memuat hasil-hasil karya Konsituante, sedangkan dalam buku yang sama dia hanya menyediakan 10 halaman untuk batang tubuh UUD 1945. Lihat hlm. 181-190 dan 210-223.
9. Lihat tulisan saya, “Citra Jawa Kekuasaan Soekarno” beserta rujukan yang saya gunakan dalam tulisan tersebut.
10. Hal ini disampaikan Nurcholish Madjid dalam acara talk show “Hikmah Puasa” di RCTI, bulan Ramadlan pada tahun 1990.
Referensi
Abdullah, Taufik, Aswab Mahasin dan Daniel Dhakidae, (ed). 1994. Manusia dalam Kemelut Sejarah. Jakarta: LP3ES.
Anshari, Endang Saifuddin. 1986. Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional antara Nasionalis Islami dan Nasionalis “Sekuler” tentang Dasar Negara RI: 1945-1959. Jakarta: Rajawali.
Dahm, Bernard. 1987. Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan. terj. Hasan Basari. Jakarta: LP3ES.
Feith, Herbert. 1995. Soekarno-Militer dalam Demokrasi Terpimpin. terjemahan. Jakarta: Sinar Harapan.
Hefner, Robert W. 1995. ICMI dan Perjuangan menuju Kelas Menengah Indonesia. terj. Endi Haryono. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Maarif, Ahmad Syafii. 1985. Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante. Jakarta: LP3ES.
Maarif, Ahmad Syafii. 1988. Islam dan Politik Indonesia Pada Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga.
Noer, Deliar. 1996. Gerakan Modern Islam Di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES. Cet-8.
Sundhaussen, Ulf. 1988. Politik Militer Indonesia: Menuju Dwifungsi ABRI 1945-1967. terjemahan. Jakarta: LP3ES.
© Weko Kuncara, 2010
Agaknya sejak awal telah diyakini oleh para Islamis Indonesia bahwa Islam adalah agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia, betapapun kualitas keislamannya. Angka yang selalu ditunjuk adalah bahwa 90% penduduk Indonesia beragama Islam. Keyakinan ini, dan adanya fakta bahwa sejak Kerajaan Demak, raja-raja Jawa merupakan raja-raja Islam, membawa para politikus Islam Indonesia untuk berpendapat bahwa satu-satunya dasar yang absah bagi identitas nasional Indonesia adalah Islam. Untuk lebh meyakinkan pihak-pihak di luar Islam, beberapa politikus Muslim dengan bersemangat menunjukkan bahwa kebangkitan nasional Indonesia tidak dimulai oleh Budi Utomo yang didirikan pada tahun 1908, melainkan oleh Sarekat Dagang Islam yang berdiri pada tahun 1905 dan satu tahun berikutnya bertransformasi menjadi Sarekat Islam. Ditambahkan sebagai argumentasi bahwa bila Budi Utomo memperjuangkan kesadaran di kalangan elit priyayi Jawa —dan kenyataannya memang hanya menarik bagi kalangan tersebut— maka Sarekat Islam ditujukan kepada semua lapisan dan golongan dalam masyarakat yang ada di seluruh Indonesia.
Sementara itu, para pembela nasionalisme Indonesia berpendapat bahwa untuk mengatur negara sebaiknya agama tidak dijadikan sebagai dasar pertimbangan. Pendapat ini terutama didasarkan pada anggapan bahwa justru karena agama (Islam)-lah kondisi Indonesia terpuruk, dengan menunjuk pada paham fatalisme, ketidakmauan untuk berubah dari tradisi, dan ketidakmampuan Islam dalam berdialog dengan kemodernan. Hal ini akan kita bicarakan lebih lanjut di bawah. Maka, bagi pembela nasionalisme, dasar yang absah bagi identitas nasional Indonesia adalah nasionalisme Indonesia sendiri yang —dalam istilah Soekarno— bukan nasionalisme Barat dan bukan nasionalisme Timur, namun yang berakar pada kultur Indonesia sendiri. Paham tersebut kemudian mengkristal menjadi apa yang disebut Pancasila, yang dengan tegas meminggirkan peranan agama dalam masalah-masalah kenegaraan.
Tulisan ini bermaksud memaparkan upaya-upaya substansiasi identitas nasional Indonesia itu mulai dari periode pergerakan sampai dengan periode paling akhir dari sejarah modern Indonesia. Untuk sekadar memudahkan penyebutan, istilah yang digunakan di sini adalah Muslim bagi golongan yang membela Islam sebagai dasar identitas nasional Indonesia dan sekular bagi golongan yang membela paham pemisahan urusan agama dan negara. Disadari bahwa pemakaian kedua tersebut dapat mengundang perdebatan teoretik. Deliar Noer (1996) untuk kedua kata tersebut mengistilahkannya dengan kaum Nasionalis-Muslim dan kaum Nasionalis yang netral agama, sedangkan Endang Saifuddin Anshari (1986) menyebutnya Nasionalis Islami dan Nasionalis “Sekuler”, dan Bernard Dahm (1987), seorang sejarawan Jerman yang ahli Indonesia, mengidentifikasi sebagai Muslim dan Nasionalis “Sekuler”. Tulisan ini berpendapat bahwa kategorisasi yang dibuat oleh Dahm lebih meyakinkan. Tanpa mengingkari kemungkinan adanya simplifikasi yang berlebihan dan kenyataan bahwa banyak di antara para pembela pemisahan urusan negara dan agama yang memang, tetapi justru di sinilah letak titik persoalannya.
Merujuk pada bibit-bibit munculnya konsepsi sekularisme di Eropa abad ke-16 dan ke-17, yang dimaksudkan sekular adalah orang yang berpendapat diharuskannya pemisahan antara urusan agama dan negara. Konsepsi mana diidentifikasi lebih lanjut oleh Profesor M. Rasjidi (1988) sebagai suatu semangat anti agama. Dengan demikian, walaupun seseorang beragama Islam tetapi bila berpandangan bahwa urusan agama dan negara harus dipisahkan, by the definition, dia adalah seorang sekular. Selanjutnya, dalam upaya mengabsahkan pemisahan urusan negara dan agama, golongan sekular menawarkan gagasannya dalam konsep yang disebut nasionalisme.
Di lain pihak, tulisan ini mengidentifikasi Muslim sebagai seorang penganut Islam yang berpendapat bahwa Islam harus diterapkan dalam semua segi kehidupan manusia. Islam harus dilaksanakan secara menyeluruh (QS. 2:208) dan merupakan larangan untuk menerapkan hukum yang tidak didasarkan kepada apa yang diturunkan oleh Allah (QS. 5:44, 45, 47), oleh karena itu, urusan bernegara pun tidak dapat dipisahkan dari agama (Islam).
Substansiasi dalam Masa Pergerakan
Sudah sejak tahun 1925, Agus Salim, seorang tokoh pergerakan Sarekat Islam dengan reputasi Internasional, mempersoalkan dasar nasionalisme untuk dijadikan identitas nasional Indonesia. Baginya “memulihkan tanah air diatas segalanya dapat mencairkan keyakinan tauhid seseorang dan mengurangi bakti pada Tuhan” (dalam Noer 1996, 274). Namun demikian, cinta tanah air dan persatuan adalah suatu yang penting dan oleh karena itu hendaknya diarahkan sebagai suatu
Cinta Kebangsaan, karena nama kebangsaan dan riwayat kebangsaan, nyata hanyalah buah bibir, yang tak berfaedah bagi rakyat kebanyakan, hanya menjadi dasar bagi “Komidi Bourgeois”. Cinta bangsa, yang mementingkan nasib rakyat sebangsa, sebanyak yang terlebih melarat… yang menghendaki persamaan dalam sebangsa antara antara segala golongan… yang dengan persamaan hak menuju maslahat umum,… yang mengutamakan orang sebangsa dari pada kebangsaan, cinta bangsa inilah yang sesungguhnya menghendaki kemerdekaan bangsa segenapnya, bagi keselamatan dan kesejahteraan rakyat sebangsa sekalian, karena kewajiban kepada sesama manusia yang sama bertanah air ke negeri yang satu… Cinta Bangsa yang hendak menjunjung tinggi umat sebangsa, tetapi tidak mengangkat kebangsaan menjadi berhala tempat menyembah dan memuja. Dan Cinta Bangsa ini jugalah menjadi asas dalam tiap-tiap kaum politik, sekalipun asas politiknya terambil dari pada kebangsaan (Salim 1925 dalam Noer 1996, 274-275).Salim selanjutnya mengomentari pandangan nasionalisme Soekarno yang dianggapnya sebagai…”agama” yang menghambakan manusia kepada berhala “tanah air” mendekatkan persaingan berebut-rebut kekayaan, kemegahan dan kebesaran; kepada membusukkan, memperhinakan dan merusakkan tanah air orang lain, dengan tidak mengingati hak dan keadilan. Inilah bahayanya apabila kita “menghamba” dan “membudak” kepada “Ibu Dewi” yang menjadi tanah air kita itu karenanya sendiri saja; karena eloknya dan kecantikannya; karena kekayaannya dan baiknya, karena “airnya kita minum”, karena “nasinya kita makan”. Atas dasar perhubungan yang karena benda dunia dan rupa dunia belaka tidaklah akan dapat ditumbuhkan sifat-sifat keutamaan yang perlu untuk mencapai kesempurnaan (Salim 1928 dalam Noer 1996, 275).
Jawaban yang diberikan Soekarno terhadap argumentasi Salim tersebut malah mempertegas wujud nasionalisme yang hendak dibangun oleh golongan sekuler. Pertama-tama Soekarno menandaskan
Ia adalah nasionalisme yang lebar, nasionalisme yang timbul dari pada pengetahuan atas susunan dunia dan riwayat; ia bukan jingo nationalism atau chauvinisme, dan bukanlah suatu copy atau tiruan dari nasionalisme Barat. Nasionalisme kita adalah suatu nasionalisme yang menerima rasa hidupnya sebagai suatu wahyu, dan menjalankan rasa hidupnya sebagai rasa bakti.2 Nasionalisme kita adalah nasionalisme, yang di dalam kelebaran dan keluasannya mengasih tempat cinta pada lain-lain bangsa, sebagai lebar dan luasnya udara, yang mengasih tempat pada sesuatu yang perlu untuk hidupnya segala hal yang hidup. Nasionalisme kita adalah nasionalisme ke Timur-an, dan sekali-kali bukanlan nasionalisme ke Baratan yang menurut perkataan C.R. Das adalah “suatu nasionalisme yang menyerang-nyerang, suatu nasionalisme yang mengejar keperluannya sendiri, suatu nasionalisme perdagangan yang untung atau rugi.” (Seokarno 1928 dalam Noer 1996, 276).Selanjutnya, apabila nasionalisme itu memang berhala atau perbudakan kepada benda, Soekarno dengan nada menentang, berargumen,
… jikalau memang harus disebutkan begitu, jikalau itulah yang disebutkan menyembah berhala, jikalau itu yang disebutkan membudak kepada benda, jikalau itulah yang disebutkan mendasarkan diri atas keduniaan, maka kita, kaum nasionalis Indonesia, dengan segala kesenangan hati bernama penyembah berhala, dengan kesenangan hati bernama mendasarkan diri atas keduniaan itu! Sebab kita yakin, bahwa nasionalisme pendekar itu3, yang pada hakekatnya tidak beda asal dan tidak beda sifat dengan nasionalisme kita, adalah nasionalisme yang luhur (Soekarno 1928 dalam Noer 1996, 277).Pertarungan intelektual antara golongan sekuler dan Muslim terus berlanjut pada sekitar tahun 1940-an, dengan tetap menampilkan Soekarno sebagai pembela terbesar golongan yang pertama, kali ini menghadapi Mohammad Natsir, seorang pembela Islam yang juga sangat gigih. Berusaha menunjukkan posisi nasionalisme dalam perspektif Islam, Natsir menulis,
Bagi orang Islam tidak ada salahnya bila dipakai [ikatan perasaan pada golongan atau sebangsa] untuk mengumpulkan dan menyusun tenaga yang perlu untuk golongan itu [tetapi] dengan menghormati kepentingan dan hak-hak golongan lain, dengan menyingkirkan perasaan ta’assub [fanatisme] kebangsaan yang menutup hak keadilan dan perikemanusiaan, dan dengan tidak mengurang-ngurangi akan ikatan cita-cita, sepemandangan hidup dan seagama, yakni ikatan “persaudaraan Islam”…Sebaliknya tidak direda [tidak ditolelir] oleh agama Islam, apabila semangat kesyu’uban itu dijadikan dasar dan ideal, dan memutuskan tali ukhuwwah, yang mengikuti seluruh kaum Muslimin, dari pelbagai bangsa, apabila kejayaan kebangsaan itu dijadikan kendali (eriterium, kriterium), penentuan hak dan batil; apabila barang yang hak dianggap batil, bilamana disangka melambatkan kejayaan kebangsaan itu; sedangkan yang batil dianggap baik jika dapat menguntungkan dan kemenangan bangsa sendiri. Apabila semua yang terbit dari golongan itu dibela, dan dipertahankan, walau batil sekalipun: [Islam menolak] Right or wrong my country (Natsir 1939 dalam Noer 1996, 297).
Oleh karenanya orang-orang sekuler,
tidak akan mengambil pusing apakah penduduk Muslim Indonesia yang banyaknya kurang lebih 85% dan penduduk yang ada, menjadi murtad, bertukar agama. Kristen boleh, teosofi bagus, Budha masa bodoh! (Natsir 1939 dalam Noer 1996, 297).Dalam rangka memperkuat argumentasinya tentang ketidaksetujuan terhadap pemisahan agama dan negara, Natsir mengutip Muhammad Ali dan India,
Adalah salah konsepsi tentang agama, bila tuan pisahkan politik dari padanya; agama bukan dogma; agama bukan ritual (upacara). Agama, menurut fikiran saya, ialah interpretasi kehidupan. Saya mempunyai kebudayaan, mempunya politik (kebijaksanaan), pandangan hidup, suatu sintesis yang sempurna yaitu Islam.
Bila Allah berkata, saya pertama kali adalah Muslim, kedua Muslim, akhirnya Muslim (Natsir 1939 dalam Noer 299).
Dalam suatu artikel untuk menjawab argumen-argumen Natsir, Soekarno menjelaskan konsepnya dengan menunjukkan perkembangan hubungan antara Islam dan negara di Turki. Menurutnya, Turki melalui Kemal Atattruk berhasil memperkuat dan menjadikan Islam modern dengan memisahkan agama (Islam) dari negara. Bagi Soekarno, yang kurang terlatih dalam khazanah keilmuan Islam, tidak ada ijma’ ulama mengenai persatuan agama dan negara, karena itu ada pula di kalangan Islam yang berpendapat bahwa agama dan negara dapat terpisah. Dengan tepat, Soekarno mengambil pendapat Ali Abdur Raziq4, yang berusaha membuktikan bahwa tugas Nabi ialah menegakkan agama tanpa bermaksud membentuk negara.5 Baginya, mempersatukan Islam dan negara sama saja dengan membentuk pemerintahan diktator. Katanya,
…bagaimana Tuan mengerjakan tuan punya ideal itu di negeri yang Tuan mau adakan demokrasi di situ dan dimana penduduk sebagian tidak beragama Islam, sepertinya Turki, India, Indonesia, dimana milyunan orang beragama Kristen atau agama lain, dan dimana kaum intelektuil umumnya tidak berfikir Islamistis?…Adalah tepat jika Dahm menyimpulkan bahwa dalam suatu periode di mana banyak disebut periode Islamis Soekarno, yang dengan tekun sekali mendalami Islam, “ia tidak cenderung ke arah suatu agama Islam” (Dahm 1987, 251).
Andainya, andainya Tuan menjadi pemerintah negeri yang banyak orang bukan Islam, apakah tuan mau tetapkan saja bahwa staat [negara] harus staat Islam, grondwet [=konstitusi] harus grondwet Islam, semua hukum-hukum harus hukum syariat Islam? Kalau kaum-kaum yang beragama Kristen atau agama lain tidak mau terima, bagaimanakah? Kalau kaum-kaum intelektuil tidak mau terima, bagaimanakah? Tuan apakah mau paksa saja kepada mereka, dengan menghantam Tuan punya tinju di atas meja, bahwa mereka mesti ditundukkan kepada kemauan tuan itu? Ai, Tuan mau main diktator, mau paksa mereka dengan senjata bedil atau meriam? Kalau mereka tidak mau tunduk pula, bagaimana? Tuan tokh tidak mau basmi mati mereka itu habis-habisan secendil abangannya, karena zaman sekarang adalah zaman modern, dan bukan zaman basmi-basmian secara dulu! (Soekarno 1940 dalam Noer 1996, 3006-307).
Pertarungan antara golongan Muslim dan sekuler, dengan juru bicaranya masing-masing ini, sepenuhnya berada dalam tataran intelektual, polemik dan debat terbuka secara tertulis di berbagai media massa yang terdapat pada waktu itu. Kedua golongan belum lagi memikirkan konsepsi masing-masing dalam kapasitas sebagai para negarawan Indonesia merdeka. Dapat dipahami karena sampai saat itu Belanda masih menancapkan kuku jajahnya. Tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa dalam benak masing-masing telah ada gambaran bagaimana negara mereka kelak hendak diwujudkan. Oleh karenanya perang wacana antara kedua golongan tersebut, yang tanpa disadari terjadi di ujung kekuasaan Belanda, boleh dikatakan hanya merupakan “pemanasan” saja. Perang wacana yang sesungguhnya, di mana mereka berhadap-hadapan dan karena itu terjadi dialog secara langsung, baru akan terjadi di akhir-akhir kekuasaan Jepang di Indonesia dalam sidang-sidang BPUPKI. Sebuah badan bentukan Jepang yang memiliki tugas mempersiapkan segala perangkat yang perlu bagi kemerdekaan Indonesia, memiliki anggota 62 orang, dengan komposisi hanya 15 di antaranya yang Muslim dan sisanya (47 orang) dapat dikatakan merupakan golongan sekuler. Tambahan lagi, badan ini diketuai oleh seorang dokter yang menganut kuat paham Kejawen, Radjiman Wediodiningrat.
BPUPKI dan PPKI: antara Kesepakatan dan Pengingkaran
BPUPKI didirikan 29 April 1945 sebagai realisasi janji Jepang untuk memerdekakan Indonesia. Dilantik pada 28 April 1945 dan segera mengadakan serangkaian sidang pada 29 April sampai 1 Juni 1945. Segera tampak dalam sidang bahwa yang menjadi pokok masalah adalah filsafat yang mendasari negara Indonesia kelak. Usulan-usulan yang dikemukakan adalah: dasar negara Islam, nasionalisme dan sosial-ekonomi. Usulan terakhir ini hanya didukung oleh tidak lebih dari 6 anggota. Maka seperti yang dikatakan Soepomo,
Memang di sini terlihat ada dua faham, ialah: faham dari anggota-anggota ahli agama, yang menganjurkan supaya Indonesia didirikan sebagai negara Islam, dan anjuran lain, sebagai telah dianjurkan oleh tuan Mohammad Hatta, ialah negara persatuan nasional yang memisahkan urusan negara dan urusan Islam, dengan lain perkataan: bukan negara Islam (dalam Anshari 1983, 29).Bagi Soekarno, pada dasarnya, Indonesia kelak harus dilandaskan pada pemisahan urusan negara dan agama, seperti yang terlihat dalam polemiknya dengan Natsir di atas, belum ada yang berubah. Gagasan itu disebutnya Panca Sila, yang terdiri dari: Kebangsaan [baca: nasionalisme] Indonesia, Internasionalisme atau peri-kemanusiaan, Mufakat atau demokrasi, Kesejahteraan sosial dan Ketuhanan (perhatikan: sesungguhnya di sinilah, posisi terakhir, letak Tuhan dalam Pancasila Soekarno!). Kelima sila-nya itu kemudian disarikannya dalam Tri Sila, yang meliputi: Sosio-nasionalisme, Sosio-demokrasi, dan Ketuhanan. Selanjutnya,
Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan “Gotong Royong”. Negara yang kita dirikan haruslah negara gotong-royong! Alangkah hebatnya! Negara Gotong Royong! (Soekarno 1961 dalam Anshari 1983, 17).Dalam Eka Sila inilah orang dapat melihat bahwa konsepsi Ketuhanan dalam Panca Sila Soekarno hanyalah sekadar bagian dari upaya untuk meyakinkan golongan Muslim bahwa tidak ada problem keagamaan dalam gagasannya. Eliminasi ide Ketuhanan jelas mengundang reaksi yang keras dari golongan Muslim.
Dalam rangka menyokong gagasan golongan sekuler Soepomo mengajukan kritiknya yang sangat mendasar. Dia mengakui bahwa Islam memang sistem kehidupan yang komprehensif, tetapi yang berbeda dengan Irak, Iran, Mesir, atau Suriah yang bercorak Islam (corpus Islamicum) maka negara Islam harus ditolak. Tambahan lagi, seandainya memang Islam hendak dijadikan dasar apakah Syariah yang hendak diterapkan itu sekarang ini (yakni saat itu, tahun 1945) mampu memenuhi kebutuhan manusia modern (dalam Maarif 1985, 107).
Sementara itu, melalui Ki Bagus Hadikusumo (Ketua Muhammadiyah saat itu), golongan Muslim mengajukan argumentasinya, bahwa al-Qur’an berkepentingan dengan masalah politik dan duniawi. Dengan mendukung pendapat KH. Ahmad Sanusi (tokoh PUI, Parsatuan Umat Islam) bahwa di antara lebih dari 6000 ayat al-Qur’an hanya sekitar 600 ayat saja yang membicarakan masalah-masalah keagamaan dan urusan akhirat, selainnya membicarakan kehidupan duniawi, yang di dalamnya termasuk persoalan politik (dalam Maarif 1985, 106).
Karena belum ada titik temu di antara kedua golongan tersebut maka sidang menyetujui untuk membentuk Panitia 9 guna membicarakan dasar negara yang akan dituangkan dalam Preambule konstitusi. Panitia 9 ini mampu menyusun suatu bentuk kompromi antara golongan Muslim dan sekuler ke dalam sebuah dokumen yang kemudian dikenal sebagai Piagam Jakarta, suatu sebutan yang diberikan oleh Muhammad Yamin. Yang membedakan antara Piagam Jakarta dengan UUD 1945 adalah anak kalimat pada alinea keempat, “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya,…”. Walaupun hasil ini adalah kompromi namun sesungguhnya memenangkan golongan Islam. Karena, sebagaimana ditegaskan berulang-ulang oleh Anshari (1983), negaralah yang mewajibkan umat Islam untuk menjalankan syariat. Negara berkepentingan secara langsung dengan urusan agama Islam, karena itu, by the definition, Indonesia menurut Piagam Jakarta bukanlah negara sekuler. Oleh karena itu, tidak heran bila kompromi ini tidak segera disetujui di dalam sidang paripurna BPUPKI, seperti dicerminkan dalam kekhawatiran Wongsonegoro dan Hussein Djajadiningrat, seorang cendekiawan yang telah mencapai gelar doktor pada 1916. Tetapi tampaknya Soekarno mampu meyakinkan para anggota sidang untuk menyetujui hasil kerja Panitia 9.
Pokok pembicaraan berikutnya adalah konstitusi.6 Untuk kepentingan tulisan ini, hanya akan difokuskan pada debat antara Muslim dan sekuler dalam hal presiden Indonesia. A. Wachid Hasjim mengusulkan, agar presiden dan wakil presiden adalah orang Indonesia asli yang beragama Islam. Menurutnya, sesuai dengan kesepakatan dalam Piagam Jakarta, negara turut menyelenggarakan urusan umat Islam, maka agar instruksi-instruksi presiden dan wakil presiden mendapatkan warna Islam dan memiliki pengaruh yang besar bagi umat Islam, presiden dan wakilnya haruslah beragama Islam (Anshari 1983, 36). Memang sulit dibayangkan seorang yang tidak beragama Islam turut menyelenggarakan urusan Islam. Usulan ini mendapat dukungan dari Pratalykrama, KH. Masjkur, Kahar Muzakkir, dan Hadikusumo, serta penulis kira semua pendukung substansi Islam bagi identitas negara Indonesia. Selanjutnya mengenai agama negara, Hasjim mengusulkan hendaknya agama negara adalah agama Islam, dengan menjamin kemerdekaan orang-orang yang beragama lain.
Memberikan tanggapan terhadap usul tersebut, Otto Iskandar Dinata berpendapat bahwa pasal tentang kriteria presiden hendaknya dihapus. Sementara Sukardjo Wirjopranoto menganggap bahwa usulan tersebut sama dengan mengingkari kesamaan kedudukan semua warga negara di mata hukum, suatu pasal yang telah disetujui sebelumnya. Sedangkan Soepomo, dalam rangka menenangkan golongan Muslim, berpendapat bahwa apabila benar klaim golongan Muslim bahwa 95% penduduk Indonesia beragama Islam, maka tak perlu ada kekhawatiran presiden selain beragama Islam. Sebab dengan sendirinya penduduk Islam tersebut tidak akan mau memilih pemimpin yang tidak beragama Islam (Anshari 1983, 45-46). Masalahnya adalah, persis seperti keadaan di BPUPKI, seseorang yang beragama Islam belum tentu memperjuangkan Islam, dengan kata lain, tetap sekuler.
Di tengah-tengah suasana yang memanas karena deadlock di depan mata, Soekarno meminta ijin berpidato,
Saya minta dengan rasa menangis, rasa menangis, supaya sukalah saudara-saudara menjalankan offer ini kepada tanah air dan bangsa kita.Sidang, pada 16 Juli 1945, segera sepakat menerima usulan Soekarno. Penting untuk dicatat bahwa kesediaan golongan sekuler untuk menerima substansi Islam dalam konstitusi negara bukanlah karena kaum Muslim yang mampu meyakinkan mereka, tetapi justru karena pengaruh Soekarno, yang adalah pembela terbesar kaum sekuler. Bisa jadi kesediaan kaum sekuler ini, selain disebabkan karena pengaruh Soekarno, juga karena janji Soekarno sendiri bahwa konstitusi yang mereka susun itu bersifat sementara dan segera dilakukan penyusunan kembali oleh badan yang khusus dibentuk untuk itu yang anggotanya dipilih oleh rakyat sendiri melalui pemilihan umum. Suatu janji yang kelak justru dituntut oleh kaum Muslim.
… saya harap, Paduka Tuan yang mulia suka mengusahakan supaya sedapat mungkin dengan lekas, mendapat kebulatan dan persetujuan yang sebulat-bulatnya dari segenap sidang untuk apa yang saya usulkan tadi itu [yang di dalamnya terakomodasi pendapat Muslim, WK] (dalam Anshari 1983, 46).
Sampai di sini dapat dicatat beberapa hal, yang pertama, debat yang dijalankan oleh para pemimpin bangsa yang terkemuka itu tidak mendapat tekanan dari pihak manapun, kehadiran orang-orang Jepang lebih merupakan peninjau (yang tak memiliki hak suara) dan yang karenanya berlangsung secara terbuka, tak ada intimidasi atau bentuk-bentuk tekanan politis lain, kecuali waktu yang sudah amat mendesak. Kedua, dalam situasi keterbukaan tersebut yang dicari dan diputuskan bukanlah “kalah-menang” tetapi lebih kepada “win-win sulotions”. Seperti dikatakan Dahm (1987, 362-264) pada prinsipnya golongan Muslim siap berkompromi demi tercapainya kemerdekaan, demikianlah pula dengan pihak sekuler yang sesungguhnya dengan mudah dapat mencapai kemenangan karena posisinya mayoritas (47 orang). Kesediaan kompromi ini dicerminkan dalam kekerasan sikap Soekarno yang bahkan dengan “rasa menangis” menginginkan supaya kompromi dapat tercapai. Ketiga, secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa upaya subtansiasi golongan Muslim bagi identitas Indonesia merdeka berhasil tercapai dengan gemilang. Walaupun pada dasarnya konsepsi Pancasila diterima, namun konsepsi tersebut telah termodifikasi sedemikian rupa sehingga tidak dapat tidak bersubstansi Islam. Inilah sebabnya umat Islam di kemudian hari menuntut pemberlakuan Piagam Jakarta (dan konstitusi yang didasarkan kepadanya) manakala upaya menjadikan Islam sebagai dasar negara tidak dapat diterima oleh pihak selain Islam.7
Tetapi kemenangan umat Islam dalam BPUPKI ini tidak bertahan lama karena hanya satu hari sesudah proklamasi kemerdekaan, ide-ide Islam dalam konstitusi yang hendak diberlakukan dianulir, berdasarkan usulan Hatta. Dalam sidang PPKI (yang dibentuk 9 Agustus 1945 untuk menggantikan BPUPKI) tersebut Hatta mengusulkan agar: (1) kata “mukaddimah” diganti dengan “pembukaan”, (2) anak kalimat “dengan menjalankan kewajiban Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diganti dengan “Yang Maha Esa”, (3) syarat agama Islam bagi presiden dihapus, dan (4) pasal 29 ayat 1 yang juga mencantumkan “dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diganti sehingga menjadi “Negara berdasarkan atas Ke-Tuhanan Yang Maha Esa”.
Sungguh aneh, bahwa berbagai pasal yang telah diperdebatkan tanpa ujung pangkal dan sekali-sekali diselingi dengan nada emosi tinggi itu, tanpa banyak menimbulkan perdebatan langsung disetujui untuk dianulir. Penting diketahui komposisi keanggotaan PPKI ini adalah 24 anggota sekuler dan 3 untuk anggota Muslim. Agaknya perdebatan lebih lanjut, apalagi bila keputusan diambil melalui suara terbanyak, golongan Muslim sama sekali tidak memiliki kans untuk menang atau mempertahankan Piagam Jakarta. Tidakkah ini merupakan suatu pengkhianatan terhadap konsensus awal? Banyak Muslim berpendapat demikian.
Suatu hal dapat dicatat bahwa keberadaan sebuah kementerian yang khusus menangani agama, yang pada sidang BPUPKI ditolak, kini disetujui pembentukannya. Tetapi perlu diketahui bahwa keberadaan kementerian ini pun berdasarkan usulan Sutan Sjahrir, yang terang sekali dari golongan sekuler, yang memandang bahwa terlalu berat bagi kementerian pendidikan untuk juga menangani urusan agama, sebagaimana disetujui pada sidang BPUPKI. Dalam pada itu keberadaan departemen agama harus tetap dibaca dalam konteks hasil kompromi. RM. Kafrawi menjelaskan,
“Dalam hubungan ini harus diingat, pertama, bahwa pembentukan sebuah Kementrian Agama di Indonesia dihasilkan dari satu kompromi antara teori sekuler dan Kristen tentang pemisahan gereja dengan negara, dan teori Muslim tentang penyatuan keduanya… Jadi, Kementrian Agama itu timbul dari formula Indonesia asli yang mengandung kompromi antara dua konsep yang berhadapan muka: sistem Islami dan sistem sekuler (dalam Anshari 1983, 65-66).Apapun alasan yang diajukan Hatta untuk menganulir konsensus dalam BPUPKI tersebut, satu hal telah jelas: substansi Islam bagi identitas nasional Indonesia lenyap. Atas hal itu dengan tepat Syafii Maarif mengomentari: (1) “setiap usaha untuk mengubah Indonesia menjadi sebuah negara Islam pada waktu itu menjadi tidak mungkin, karena hal itu berlawanan dengan konstitusi yang baru diterima itu” (Maarif 1985, 109), dan (2) “tidak berarti bahwa pemeluk agama lain tidak punya kebebasan dalam menafsirkan sila pertama itu menurut agama mereka masing-masing” (Maarif 1988, 30).
Babak Konstituante: Kerja Keras yang Tak Diakui
Sebagaimana dalam BPUPKI, dalam sidang-sidang Konstituante, sebuah badan pilihan rakyat yang sengaja dibentuk untuk menyusun konstitusi yang baru yang lebih komprehensif, pun semua masalah dapat diselesaikan dengan lancar kecuali persoalan dasar negara.
Bagi Muhammad Natsir, seorang pemimpin Persis dan pemuka Masyumi, Indonesia hanya memiliki dua pilihan bagi dasar negara, yakni sekularisme (la diniyah) dan paham agama (dini). Pancasila yang dibela golongan sekuler adalah bentuk sekularisme karena tidak mau mengakui wahyu sebagai sumbernya, ia adalah hasil penggalian terhadap kultur yang berkembang di Indonesia. Mengikuti Ibnu Khaldun, pioner sejarah dan sosiologi dalam Islam, ia berpendapat bahwa hubungan antara masyarakat dan negara adalah seperti hubungan antara benda dan bentuk, tergantung satu sama lain. Katanya, “negara itu harus mempunyai akar yang langsung tertanam dalam masyarakat”. Nah, Islam sebagai agama mayoritas rakyat Indonesia memiliki akar dalam masyarakat, yang karena itu merupakan alasan kuat untuk dijadikan dasar negara. Tambahan lagi, menurutnya, Islam adalah agama dengan sifat-sifat sempurna bagi kehidupan negara dan masyarakat, serta dapat menjamin keragaman hidup antara berbagai golongan dalam negara dengan penuh toleransi (dalam Maarif 1985, 127-128). Berdasarkan surat al-Dzariyaat ayat 56, Natsir menjelaskan,
“…Seorang Islam hidup di atas dunia ini dengan cita-cita kehidupan supaya menjadi seorang hamba Allah dengan arti yang sepenuhnya, yakni hamba Allah yang mencapai kejayaan dunia dan kemenangan akhirat. Dunia dan akhirat ini sama sekali bagi kaum muslimin tidak mungkin dipisahkan dari ideologi mereka” (Natsir 1951 dalam Maarif 1985, 128).Karena itu,
Adapun state philosophy, atau dasar negara yang akan dirumuskan, apabila tidak berusut dan mendapat nucleus di dalam Kedaulatan Tuhan yang Mutlak, perumusan itu akan merupakan rangkaian butir-butir pasir yang kering, yang tidak ada mengandung kekuatan apa pun juga” (Natsir 1957, dalam Maarif 1985, 130).Zainal Abidin Ahmad, yang kelak merupakan profesor dalam bidang keislaman, mengajukan teori bahwa Islam menjadi dasar negara karena dua hal. Pertama, kelompok penguasa dari suatu negara harus mendapat persetujuan dari golongan rakyat yang mayoritas. Dalam hal ini telah jelas, karena mayoritas rakyat Indonesia beragama Islam. Kedua, golongan minoritas harus terjamin hak-hanya. Bagi Ahmad, perlindungan minoritas dalam Islam merupakan hal yang sangat diperhatikan. Menunjukkan kepada praktik yang dijalankan Nabi Muhammad di negara Madinah pada abad ke-7 pada masa lalu, tampak bahwa perlindungan dijalankan dengan baik, mengingat bahwa Madinah berpenduduk: Islam, Yahudi, Nasrani dan paganis. Baginya non Muslim adalah “warga negara yang baik, yang tidak ada lebih kurangnya dari pada warga yang beragama Islam” (Ahmad 1958 dalam Maarif 1985, 138).
Sementara itu golongan sekuler mengulang-ulang argumentasi yang dikemukakan Soekarno pada sidang-sidang BPUPKI. Soekarno sendiri tidak dapat mengemukakan gagasan barunya untuk meyakinkan salah satu dari dua pihak, karena dia tidak termasuk dalam anggota Konstituante, dia adalah presiden. Dalam pada itu menarik untuk diperhatikan bahwa seorang Kristen, Arnold Mononutu, berusaha menafsirkan Pancasila dari sudut pandang Kristen. Betapapun dapat diperdebatkan, misalnya bagaimana mungkin Ketuhanan Yang Maha Esa dapat disandingkan dengan Teologi Kristen, tafsiran ini hanya membuat golongan Muslim yakin bahwa Pancasila yang diajukan orang-orang sekuler dapat ditafsirkan menurut pribadi penafsir masing-masing. Adalah tepat jika Sutan Takdir Alisjahbana, filsuf dan cendekiawan terpandang Indonesia, dalam sidang tersebut mengemukakan bahwa Pancasila adalah gagasan yang tercerai berai tanpa ada kepaduan yang kohesif dalam dirinya sendiri. Tetapi Alisjahbana tetap membela Pancasila, dalam arti sebagai bentuk kompromi politik yang paling memungkinkan, dibandingkan semata-mata sekulerisme atau Islam. Terhadap yang terakhir ini Alisjahbana mengingatkan bahwa bila memang Islam di Indonesia sekarang ini mendapatkan tugas memikul Dasar Negara, besar kemungkinannya hanya akan melemahkan kedudukan Islam” (dalam Maarif 1985, 161). Dikatakannya, dengan ucapan itu ia tidak hendak bersiasat-politik, “tetapi lahir sesungguhnya dari perasaan simpati dan harapan yang sebaik-baiknya akan agama Islam yang melahirkan saya sendiri yang tak dapat disangkal mempengaruhi jalan pikiran saya dengan bermacam-macam cara” (dalam Maarif 1985, 161).
Tantangan positif Alisjahbana ini tidak mendapatkan jawaban yang memuasakan dari golongan Muslim. Apa yang dipersoalkan Alisjahbana, bagi penulis, benar-benar telak dan mengenai sasaran. Satu kenyataan kecil tetapi penting dan seharusnya membuat pemikir Muslim di Konstituante mengubah asumsi utamanya adalah bahwa mereka tidak mamapu memenangkan suara mayoritas baik di Parlemen dan Konstituante dalam Pemilu 1955. Mereka mengajukan klaim bahwa umat Islam Indonesia berjumlah 90%, tetapi suara yang mereka menangkan tak lebih dari 48%, jauh yang diharapkan oleh konstitusi yang berlaku pada waktu itu, yakni UUDS 1950 (yakni ± 67% atau 2/3 suara) untuk memenangkan suatu gagasan. Sebaliknya golongan sekuler pun untuk memenangkan Pancasila (yang sekuler) juga tidak mampu, karena suaranya hanya ± 52%. Maka tidak ada lagi jalan lain kecuali mengadakan, sekali lagi, upaya kompromi. Suatu hal yang sebenarnya telah disepakati seperti terlihat berikut ini.
Dalam Rapat Pleno 11 Juli 1957 dibentuk Panitia Perumus Dasar Negara yang pada 6 Desember 1957 menghasilkan 13 titik pokok kesimpulan, di mana salah satu di antaranya menyatakan:
“Negara Republik Indonesia berdasarkan atas kehendak menyusun masyarakat yang sosialistis yang ber-Tuhan Yang Maha Esa dengan pengertian, bahwa akan terjaminlah keadilan sosial yang wajar dan kemakmuran yang merata dengan dirahmati oleh Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang menurut Islam, Kristen, Katolik dan lain agama yang berada di tanah air kita. Dasar-dasar negara selanjutnya ialah persatuan bangsa yang diwujudkan dengan sifat-sifat gotong-royong, perikemanusiaan, kebangsaan dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan” (dalam Anshari 1983, 97).Dengan demikian, titik kompromi sebenarnya telah tercapai. Deliar Noer (1984) juga menjelaskan bahwa antara Natsir dan Wilopo, salah seorang pemimpin PNI, telah mencapai kesepakatan untuk menerima Pancasila sebagai salah satu solusi atas persoalan tersebut, apapun Pancasila yang dimaksudkan oleh keduanya. Oleh karena itu, apabila ditanyakan: apakah Konstituante memang gagal dalam menjalankan tugas yang diamanahkan kepadanya, tulisan ini menjawab tidak. Bahkan, berdasar kompromi Natsir-Wilopo tersebut, Konstituante sebenarnya telah menyelesaikan 90% tugasnya, 10% sisanya berkaitan dengan filsafat dasar negara. Maka bila filsafat dasar negara telah diselesaikan, dengan cara kompromis, apakah patut dikatakan Konsistuante gagal dalam menjalankan tugasnya?8 Inilah salah satu pendistorsian sejarah yang dengan berhasil telah diinjeksikan ke dalam kognisi generasi sekarang baik oleh rejim Demokrasi Terpimpin Soekarno maupun rejim Demokrasi Orde Baru Soeharto.
Selanjutnya, akibat provokasi Suwirjo (Ketua Umum PNI) dan PKI, anggota-anggota Konstituante, kecuali golongan Muslim, tidak mau lagi menghadiri sidang-sidangnya. Di pihak lain, ambisi kekuasaan Soekarno untuk lebih memainkan peran yang aktif dalam panggung politik Indonesia turut melemahkan posisi Konstituante. Atas desakan Angkatan Darat, melalui Nasution, dan PKI, Soekarno akhirnya mengeluarkan dekritnya yang terkenal itu. Konstituante bubar dan UUD 1945 berlaku kembali. Sekali lagi, dengan cara yang tidak demokratis, umat Islam harus menelan pil pahit kekalahan. Kerja dua tahun Konsituante tak diakui bahkan dicampakkan sama sekali. Dekrit yang menunjuk UUD 1945 itu dengan sendirinya akan mengembalikan posisi Soekarno sebagai kepala eksekutif, yang sebenarnya sejak September 1945 telah ditanggalkan darinya. Inilah saat-saat di mana Soekarno, dengan Angkatan Darat dan PKI sebagai tiang sangga utama, memulai periode Demokrasi Terpimpin dengan cara yang, sulit dipungkiri, mirip dengan raja-raja Jawa di masa lampau.
Dalam periode ini upaya substansisi Islam terhadap identitas Indonesia hampir-hampir mandeg. Masyumi, tempat para pembela Islam bernaung, diperintahkan untuk membubarkan diri oleh Soekarno. Indonesia tidak saja menunjukkan citra sekular, tetapi bahkan kekiri-kirian yang umum dikaitkan dengan ateisme, akibat banyaknya kesamaan antara gagasan revolusi Indonesia Soekarno dan PKI. Partai politik terbesar kedua, Nahdlatul Ulama (NU), lebih memilih untuk menyesuaikan diri dengan pola kekuasaan Soekarno. Penyesuaian diri itu dilakukan dengan mendasarkan pada kaidah usul fiqh: maa laa yudraku kulluhu laa yutraku ba’duhu, yang berarti: apa yang tidak tercapai 100% janganlah ditinggalkan (dibuang) hasil yang cuma sebagian (yang kurang dari 100%) (Saifuddin Zuhri dalam Maarif 1988, 85). Tetapi, sebagaimana dapat diduga, lebih banyak yang harus dibuang daripada yang dapat diambil. NU hampir-hampir selalu mengikuti keputusan-keputusan Soekarno. Malahan, dalam suatu kontroversi menyangkut keabsahan pernikahan menurut Islam di Indonesia yang dipimpin oleh Soekarno, NU mengeluarkan fatwa bahwa Soekarno adalah seorang waliul amri bidldlaruri yang wajib dipatuhi. NU juga mendukung Soekarno untuk menjadi presiden seumur hidup. Yang cukup memprihatinkan adalah keseluruhan bentuk dukungan kepada Soekarno itu didasarkan kepada berbagai macam dalil keagamaan, baik al-Qur’an maupun Hadits Nabi. Soekarno pun tidak berdiam diri, ia menyambut dukungan NU yang hampir-hampir tanpa syarat itu, dalam Ulang Tahun NU ke-40 ia bepidato: “Saya cinta NU, cintailah saya. Saya rangkul NU maka rangkullah saya” (dalam Maarif 1988, 109).
Tentu saja apa “yang dapat diambil” itu tetap ada. Setidaknya di sini dapat dikatakan dua hal. Pertama, HMI tidak dibubarkan oleh Soekarno. Telah sejak lama PKI tidak menyukai HMI karena dianggap underbouw Masyumi. Walau berbagai provokasi telah dilakukan, pembubaran tidak dilakukan. Tentu saja bukan karena jasa NU semata, peranan Angkatan Darat, dalam hal ini Nasution, juga besar. Kedua, dan ini yang penting, NU mampu mendirikan IAIN di hampir seluruh kota besar di Indonesia, dengan berpusat di Yogyakarta. IAIN merupakan gabungan dari dua jenis pendidikan tinggi Islam yang sebelumnya telah ada, yakni Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) dan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA).
Menyusul kudeta G30S/PKI yang gagal, kejatuhan Soekarno hanya menunggu waktu. Dalam pada itu secara bertahap namun meyakinkan, Angkatan Darat mulai mengambil posisi-posisi strategis. Dan pada saatnya MPRS, yang telah dikuasai oleh Soeharto, menjatuhkan vonisnya bahwa Soekarno dinyatakan tak mampu lagi mengemban amanat rakyat. Kekuasaan dialihkan kepada Soeharto, dan selama 31 tahun kemudian di Indonesia berlangsung rejim Orde Baru, yang tak kurang tak lebih, sama otoriternya dengan Demokrasi Terpimpin.
Orde Baru: Saat Memberi – Saat Menerima
Perbedaan mendasar antara Soekarno dan Soeharto adalah bila yang pertama masih membutuhkan militer sebagai salah satu penopang kekuasaannya, maka yang terakhir ini tidak membutuhkannya karena dia adalah bagian dari militer itu sendiri. Sebagaimana jamak terjadi pada negara-negara yang baru lahir pasca Perang Dunia II, militer senantiasa memainkan peranan yang dominan.
Dengan sistematik Soeharto membangun jaringan politiknya mulai dari pusat sampai ke pelosok-pelosok Indonesia. Soeharto menjadi figur sentral dan kata putus atas setiap masalah. Sampai pada titik dapat dikatakan bahwa upaya subtansiasi Islam bagi identitas Indonesia benar-benar tidak menampakkan hasil. Soeharto, seorang abangan yang kuat, benar-benar menyapu bersih keterlibatan umat Islam dalam kegiatan sosial-politiknya. Walaupun keberadaannya diakui sebagai “aset nasional”, tetapi hampir tidak memiliki peranan sama sekali. Dalam waktu yang hampir bersamaan, pada awal tahun 1970-an sekelompok kaum muda Islam yang kelak terkenal dengan sebutan kaum pembaharu, mulai menampilkan dirinya. Nurcholish Madjid, tanpa mengecilkan arti pembaharu lainnya, merupakan pusat pesona kaum pembaharu ini. Menurutnya, ide-ide Masyumi yang telah memperjuangkan Islam dan berusaha mensubstansiasi identitas Indonesia dengan Islam merupakan ide-ide yang telah memfosil (1970). Baginya, “Islam yes, partai Islam no”, suatu jargon yang sangat terkenal.
Sulit sekali menentukan hubungan antara usaha depolitisasi umat Islam oleh Soeharto dan pembaharuan Nurcholish Madjid yang cenderung menghindari benturan langsung dengan penguasa. Bahwa gagasan pembaharuan Nurcholish Madjid dimanfaatkan oleh Soeharto untuk kepentingan politiknya sendiri adalah jelas, tetapi mengatakan Nurcholish sengaja mengorbankan umat Islam untuk dikuasai Soeharto melalui ide-idenya adalah preposisi yang sulit diterima. Ide-ide disebarkannya melalui organisasi kemahasiswaan bagi Muslim terbesar, HMI. Melalui HMI-lah lahir banyak lulusan-lulusan universitas yang telah mendapatkan inti pembaharuan Nurcholish Madjid. Dan, seperti di masa-masa lalu, banyak sekali alumni HMI yang kemudian menduduki pos-pos penting di pemerintahan. Pada saatnya, ide pembaharuan ini menuai hasilnya. Ini terjadi pada awal 1990-an ketika ICMI terbentuk. Maka di segenap segi kekuasaan umat Islam menempatkan tokohnya: kabinet, MPR/DPR sampai dengan kampus-kampus. Bagi Nurcholish Madjid sendiri hal ini bukanlah tak terkirakan sebelumnya. Dengan percaya dari dia menjelaskan bahwa Indonesia senantiasa mengalami siklus perubahan dua puluh tahunan. Bila siklus itu telah terjadi pada 1908, 1928, 1945, 1967, maka 1985 adalah titik perubahan yang paling mutakhir. Dalam tahun terakhir itu, dijelaskannya, secara tak disadari terjadi kebangkitan intelektual Islam Indonesia.10 Maka saat kemunculan Islam ke pentas nasional Indonesia tinggal menanti momentum saja. Apapun teoretisasi Nurcholish Madjid, peranan umat Islam semakin lama memang semakin membesar. Soeharto sendiri, sejak awal 1990-an menunjukkan sikap yang semakin positif terhadap Islam.
Membandingkan strategi subtansiasi Muslim Indonesia di masa ini dan di masa-masa sebelumnya, timbul pertanyaan, apakah memang subtansiasi itu telah menyentuh hal yang subtansial? Berbeda dengan pandangan kebanyakan intelektual ahli Islam Indonesia, tulisan ini cenderung untuk menyatakan bahwa substansiasi itu belumlah menyentuh segi yang subtansial, dengan kata lain masih artifisial. Umat Islam hanyalah dijadikan tiang penyeimbang kekuasaan Soeharto yang semakin lama makin menunjukkan kerapuhannya. Persis seperti yang dilakukan oleh Soeharto terhadap potensi-potensi kekuatan Indonesia sebelumnya, apakah itu pemuda, pegawai negeri, militer ataukah para teknokrat, Islam pun —yang tak pelak lagi merupakan variabel penting bagi kekuasaan Indonesia— sedang dijadikan kendaraan olehnya untuk memperpanjang dan menyelamatkan kekuasaannya. Pancasila, yang sekuleristik, masih menjadi asas tunggal yang tak dapat ditafsirkan oleh siapapun kecuali menurut cara Soeharto menafsirkannya. Dengan begitu organisasi —apalagi partai politik— yang terang-terangan membela kepentingan Islam Indonesia tidak diperbolehkan keberadaannya. Pendeknya, Soeharto masih memegang empat pilar demokrasi: eksekutif (yang merupakan kedudukan resminya), legislatif, yudikatif, dan sekaligus pers nasional yang sulit sekali diharapkan keberaniannya untuk mengatakan sesuatu yang berbeda dengan yang diinginkannya.
Menyusul kemerosotan ekonomi yang tak kunjung membaik akibat parahnya fundamental ekonomi Indonesia dan karakter korup para birokratnya, serta tindakan-tindakan kekerasannya melalui tangan militer yang semakin tak tertahankan, Soeharto terjatuh. Suatu rejim yang disangka tak akan pernah dapat dijatuhkan. Penilaian akhir dapat diberikan di sini, sama halnya dengan keadaan sewaktu Soekarno berada di puncak kekuasaannya, maka pada masa Soeharto pun subtansiasi Islam bagi identitas nasional Indonesia tidak tampak signifikan.
Sedikit memprediksi keadaan substansiasi pasca kejatuhan Soeharto dapat dikatakan di sini, menurut sejarah yang telah ditinjau di atas, bahwa bila situasi-situasi tanpa tekanan terus bertahan dan semangat keterbukaan yang dikedepankan, maka Muslim Indonesia harus bersiap-siap sekali lagi menghadapi golongan sekular dalam suatu pertarungan yang fair, berat, namun sekaligus menjanjikan hasil yang maksimal. Babak awal yang telah dilalui, pemilu 1999, memberikan isyarat yang kurang menguntungkan bagi Muslim Indonesia, tetapi seperti halnya pemilu di tahun 1955, tak ada yang mengaku —karena nyatanya memang begitu— telah memenangkan suara mayoritas dalam pemilu tempo hari itu. Dan ini cukup membesarkan hati serta mempertebal semangat perjuangan.
Hikmah
Pelajaran yang dapat ditarik dari pembahasan ini mencakup sejumlah hal. Pertama, walaupun umat Islam meyakini, yang sesungguhnya dapat dibenarkan, bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan komprehensif, harus diakui bahwa umat Islam Indonesia belum memiliki formulasi yang tegas tentang bagaimana kesempurnaan Islam itu harus diwujudkan dalam substansiasi identitas nasional Indonesia. Secara internal ini akan menimbulkan kesulitan bagi umat Islam Indonesia karena ketiadaan formulasi ini. Misalnya, perbedaan klasik antara Muslim tradisional dan modernis. Meskipun hal ini terkesan klise, namun pernyataan ini dapat dibenarkan secara kultural. Menurut perhitungan di atas kertas, dapat dikatakan perbedaan antara tradisional dan modernis ini akan menimbulkan perselisihan yang lebih besar. Sejarah menunjukkan, betapa Partai Masyumi dan NU yang cukup mesra di dalam Konsituante, segera berada dalam ketegangan terus-menerus ketika Demokrasi Terpimpin dijalankan di Indonesia. Oleh karenanya kekhawatiran perselisihan internal ini bukannya tidak beralasan. Dengan demikian, adanya suatu formulasi tentang bagaimana subtansiasi itu harus dilakukan dan dalam batas-batas yang mana saja, tampaknya merupakan agenda bersama yang tak dapat ditolak.
Sangat menarik bahwa gagasan pembaharuan Nurcholish Madjid, yang berusaha menampilkan Islam dalam term-term universal dan inklusivistik, ditanggapi secara positif tidak saja oleh kalangan intelektual Islam Indonesia, tetapi juga intelektual non Muslim. Tentu saja hal ini tak perlu mengingkari kenyataan banyaknya umat Islam yang memandang negatif gagasan Nurcholish Madjid tersebut. Namun, marilah menarik hikmah fundamental dari pelajaran sejarah yang sering diteriakkan oleh al-Qur’an ini, bahwa apabila ajaran Allah yang tinggi mutunya ini memang dapat dilaksanakan dengan menggunakan term-term universal dan inklusivistik, sedangkan dalam term-term yang lokal dan eksklusif (Islamic minded) hampir secara pasti tidak dapat dilaksanakan, mengapa hal yang pertama itu tidak kita tempuh. Tulisan ini berpendapat, inilah makna substansiasi yang sesungguhnya. Misalnya, tidak menjadi masalah bila dasar negara adalah Pancasila, asalkan Pancasila itu telah mendapatkan substansi Islamis seperti yang ditampakkan dalam Piagam Jakarta dan konstitusi yang diderivasikan darinya. Sekadar tambahan argumentasi, dapat dituturkan di sini persoalan semantik kata “Allah”. Sebelum kedatangan Islam, kaum jahiliyah Quraisy memaknakan kata “Allah” sebagai Tuhan tertinggi yang memiliki anak-anak perempuan, Lata, Hubal dan Mana. “Ketiga anak perempuan” Allah ini benar-benar dianggap tuhan oleh kaum jahiliyah, tetapi derajatnya di bawah Allah. Begitu Islam datang kata “Allah” tetap dipertahankan tetapi mendapatkan substansiasi yang benar-benar monoteistik. Nabi Muhammad saw sendiri tidak menolak ketika dalam perjanjian Hudaibiyah, setelah namanya tidak dicantumkan kata Rasulullah tetapi cukup Muhammad bin Abdullah. Tetapi substansinya tetap, yakni pengakuan eksistensi Madinah sebagai wilayah kekuasaan Muhammad saw sekaligus memantapkan kepemimpinan beliau. Persoalannya kini “tinggal” bagaimana merumuskan term-term universal itu agar dapat tetap dalam kerangka Islam. Jika Islam diakui sebagai agama yang universal dan rahmatan lil alamin, pengakuan mana sebenarnya dapat dipertanggungjawabkan validitasnya, maka sebenarnya tak perlu ada kekhawatiran akan hilangnya agama Islam.
La yukalifullahu nafsan ila wus‘aha
Catatan Akhir
1. Adalah menarik bahwa sejak dini Agus Salim telah melihat bahaya nasionalisme sebagai “agama” baru, apapun yang dimaksudkannya dengan agama sebagaimana terlihat pada tanda kutip yang digunakannya. Untuk rujukan yang lebih luas tentang masalah ini, Deliar Noer menunjuk pada karya Carlton JH. Hayes, Nationalism: A Religion (New York: The Macmillan Company, 1960).
2. Kursif dari saya, perhatikan betapa Soekarno sudah mulai menunjukkan apa yang sebenarnya justru dikhawatirkan oleh Salim, nasionalisme adalah “wahyu dan dijalankan penuh pengabdian (bakti)”.
3. Para pendekar yang dimaksud oleh Soekarno adalah pejuang nasionalisme di India (CR. Das Mahatma Ghandhi, Arabindo Ghose), di Mesir (Mustafa Kamil, Arabi Pasha), di Cina (Sun Yet Sen), dan di Afghanistan (Amanullah Khan).
4. Buku Ali Abdul Raziq yang dikuti Soekarno berjudul Al-Islam wa Usul al-Hukm, terbit 1925. buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia denagn judul Khilafah dan Pemerintahan dalam Islam (Bandung, Pustaka, 1985).
5. Tetapi, demikian agaknya, Soekarno lupa menambahkan bahwa sesudah buku Ali Abdur Raziq tersebut terbit, dengan segera menimbulkan kehebohan di Mesir, yang berakibat pada pemberhentian Ali Abdur Raziq dalam semua tugas-tugas kepengajaran di al-Azhar. Gelar al-Syaikh-nya juga dicabut. Dan menariknya, konon, Ali Abdur Raziq, mencabut semua pendapatnya menjelang kematiannya. Lihat kontroversi dan pembahasan buku Ali Abdur Raziq oleh pengarang Mesir lain, yamg juga telah diindonesiakan, Dhiya al-Din al-Rais, Islam dan Khilafah: Kritik terhadap Buku “Khilafah dan Pemerintahan dalam Islam” Ali Abdur Raziq (Bandung, Pustaka, 1985).
6. Pokok-pokok pembicaraan dalam sidang BPUPKI adalah: bentuk negara, batas negara, dasar filsafat negara dan konstitusi. Selain dasar filsafat negara, semua pokok pembicaraan tersebut dapat diselesaikan dengan lancar.
7. Hal ini, misalnya, tercermin dalam keseluruhan karya Endang Saifuddin Anshari (1983) yang banyak diacu dalam tulisan ini.
8. Anshari (1983) menyediakan 12 halaman dari bukunya sebagai lampiran untuk memuat hasil-hasil karya Konsituante, sedangkan dalam buku yang sama dia hanya menyediakan 10 halaman untuk batang tubuh UUD 1945. Lihat hlm. 181-190 dan 210-223.
9. Lihat tulisan saya, “Citra Jawa Kekuasaan Soekarno” beserta rujukan yang saya gunakan dalam tulisan tersebut.
10. Hal ini disampaikan Nurcholish Madjid dalam acara talk show “Hikmah Puasa” di RCTI, bulan Ramadlan pada tahun 1990.
Referensi
Abdullah, Taufik, Aswab Mahasin dan Daniel Dhakidae, (ed). 1994. Manusia dalam Kemelut Sejarah. Jakarta: LP3ES.
Anshari, Endang Saifuddin. 1986. Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional antara Nasionalis Islami dan Nasionalis “Sekuler” tentang Dasar Negara RI: 1945-1959. Jakarta: Rajawali.
Dahm, Bernard. 1987. Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan. terj. Hasan Basari. Jakarta: LP3ES.
Feith, Herbert. 1995. Soekarno-Militer dalam Demokrasi Terpimpin. terjemahan. Jakarta: Sinar Harapan.
Hefner, Robert W. 1995. ICMI dan Perjuangan menuju Kelas Menengah Indonesia. terj. Endi Haryono. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Maarif, Ahmad Syafii. 1985. Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante. Jakarta: LP3ES.
Maarif, Ahmad Syafii. 1988. Islam dan Politik Indonesia Pada Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga.
Noer, Deliar. 1996. Gerakan Modern Islam Di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES. Cet-8.
Sundhaussen, Ulf. 1988. Politik Militer Indonesia: Menuju Dwifungsi ABRI 1945-1967. terjemahan. Jakarta: LP3ES.
© Weko Kuncara, 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar