Minggu, 08 Mei 2011

Menimbang Islam Liberal

Weko Kuncara

 
Formulasi Islam Liberal: Adakah?
Wacana Islam Liberal (selanjutnya disebut IsLib) di Indonesia mengemuka di tengah-tengah kegalauan umat karena seolah tak hentinya tertimpa keterpurukan; entah disebabkan masalah ekonomi, politik ataupun masalah-masalah sosial-kemasyarakatan pada umumnya. Presiden Indonesia saat itu adalah pemuka IsLib yang amat populer. Karenanya, bagi sebagian Muslim, wacana ini dianggap sebagai pil mujarab yang, meskipun pahit bagi sebagian Muslim yang lain, memiliki efek penyembuhan bagi segala penyakit sedang diderita. Umat menjadi tertarik untuk bertanya, “makanan” apa IsLib itu? Di sini, kami tidak hendak membahas lebih lanjut mengenai hal tersebut; sebuah buku yang, disunting oleh Charles Kurzman (2001) dan baru saja diindonesiakan, kami pandang telah cukup menjelaskan. Apa yang kami coba lakukan di sini adalah menimbang dan, tentu saja, menilai sejauh mana IsLib memang “compatible” dengan Islam itu sendiri.
Kesan yang segera muncul ketika membaca potret IsLib sebagaimana dipaparkan oleh Kurzman adalah ketidakjelasan akan kategori IsLib itu sendiri. Apa sih bedanya IsLib dengan gagasan Modernisme (atau Modernisasi?) Islam yang jauh sebelumnya telah muncul itu? Bahwa IsLib telah dikategorisasikan secara longgar, sampai-sampai memasukkan ke dalamnya tidak hanya Mohammad Natsir, tetapi juga, yang paling mengagetkan adalah, Yusuf al-Qardhawi dan Sayyid Qutb. Nama-nama kesohor terakhir ini, bukan hanya telah menunjukkan kecenderungan skripturalis dalam memahami teks-teks Islam untuk berbagai masalah, tetapi juga menjadi rujukan bagi tidak sedikit kalangan Revivalis (Fundamentalis) Islam. Kemudian, seseorang yang dengan gigih memperjuangkan dan bahkan merupakan proklamator Neo-modernisme Islam yang karenanya membabat habis “jenis-jenis” Islam lain, termasuk Modernisme Islam, yakni Fazlur Rahman, juga dimasukkan ke dalam kategori pengusung IsLib. Bukan merupakan maksud kami di sini untuk mempermasalahkan nama Islam Liberal —yang memang pilihan kata “liberal” itu sendiri sudah cukup mengundang masalah— tetapi, hanya hendak mempertanyakan, sebenarnya, IsLib itu hendak memotret realitas yang mana dan atas dasar apa pemotretan yang semacam itu dilakukan. Kurzman sendiri tampaknya menyadari kesulitan yang harus ia hadapi ketika menjelaskan apa yang dimaksudkannya dengan IsLib. Karenanya, ia lalu menulis, antara lain, “para penulis tidak menganggap diri sebagai kaum liberal, mereka juga tidak menganut seluruh ideologi liberal, meskipun dari keenamnya, mereka memang menganut lebih dari satu, dan konsep “Islam Liberal harus dilihat sebagai alat bantu analisis, bukan kategori yang mutlak” (“should be viewed only as a heuristic device”; lebih tepat diterjemahkan sebagai “harus hanya dilihat sebagai sarana untuk terus melakukan pencarian/penelusuran lebih lanjut”). Sulit untuk tidak mengatakan bahwa ini merupakan cara mengelakkan atau menyimplifikasi masalah. Benarlah Qamar-ul Huda (1998) ketika berkomentar bahwa karena kebingungannya ini, Kurzman lalu memasukkan “almost any Muslim thinker or activist who uses nonrevivalist Islamic language [kursif dari saya, WK] could qualify as a ‘Liberal Muslim’.”
Hal ini berbeda dengan Fazlur Rahman, untuk sekadar menyebut salah satu contoh, yang, meskipun mengakui kesamaan-kesamaan penting antara Neo-modernisme-nya dengan Modernisme, tetapi menegaskan bahwa yang terakhir ini miskin secara metodologis dalam upayanya memahami Islam. Dan karena itu ia lalu memformulasikan metodologinya untuk memahami Islam sic al-Quran. Terlepas dari kemungkinan keberatan kita terhadap gagasan Rahman, sekurang-kurangnya, ia memberikan landasan yang tegas ketika membicarakan posisi-posisi berbagai jenis pemikiran Islam.
Pilihan tema-tema yang menjadi khas IsLib dan karena itu menjadi ukuran untuk menentukan sebuah pemikiran sebagai Islam Liberal juga hanya menunjukkan ketidakjelasan posisi IsLib; yaitu: melawan teokrasi, mendukung gagasan demokrasi, membela hak-hak perempuan, membela hak-hak non-Muslim, membela kebebasan berpikir dan membela gagasan kemajuan. Apakah ada pemikiran Islam Modern yang menolak keenam gagasan ini? Dalam kaitannya dengan ini, Asaf A.A. Fyzee, orang yang dianggap memperkenalkan pertama kali istilah Islam Liberal, mengajukan skema pemikiran IsLib: studi sejarah agama-agama, perbandingan agama-agama semitik [Yahudi, Kristen dan Islam], dan studi-studi atas bahasa semitik dan filologi, pemisahan hukum dan agama, menguji kembali Syari’ah dan kalam, serta menafsirkan kembali kosmologi dan sains. Keenam tema yang diajukan Fyzee ini relatif telah disentuh oleh para pengusung Islam Modern, dengan sebuah catatan bahwa studi-studi Semitik harus diakui jauh lebih berkembang di kalangan non-Muslim. Lalu kemudian, lagi, di mana letak kebaruan dan kebedaan IsLib?
Mungkin Fyzee, benar ketika menulis bahwa kalau kita “harus terpaksa” memberikan nama kepada sebuah pemikiran yang dimaksudkan “to understand it [Islam] for today, not as it was in the past, nor as it may be in the future”, sebutlah itu Islam Liberal. Jadinya, istilah IsLib hanya sebuah nomenklatur belaka tanpa sebuah kandungan yang sama sekali baru. Namun, menilik bahwa ternyata nama itu telah diberikan oleh Fyzee pada tahun 1963 dan semenjak itu tak ada lagi yang, kelihatannya, tertarik menggunakan nama itu, kecuali barangkali Leonard Binder (1988), dan sesudahnya berbagai nama muncul untuk menempati posisinya, maka penggunaan istilah Islam Liberal menjadi terkesan set back dan agak artifisial dalam sejarah pemikiran Islam itu sendiri.
 
Cara Islam Liberal Dibaca
Menyimak tema-tema yang menjadi concern-nya, terus terang, kami mengira bahwa wacana IsLib diajukan dan didukung oleh orang-orang Islam Indonesia yang telah muak, jengkel dan lelah dengan segala yang terjadi dan dilakukan oleh Muslim Indonesia, terutama akhir-akhir ini. Wajah Islam Indonesia memang cukup sesak dengan sikap-sikap ortodoks, fundamentalis, eksklusif, intoleran dan ketiadaan kepercayaan kepada yang selainnya, kenyataan mana dapat kita saksikan dalam hampir setiap ranah kehidupan. Dan, justru orang-orang Islam yang bersikap seperti itulah yang menganggap bahwa Islam versi merekalah yang benar dan selainnya adalah sesat, meskipun tidak sedikit pula yang telah berusaha mengingatkan akan kemungkinan kekeliruan cara pandang mereka terhadap Islam. Terhadap semuanya ini para pengusung IsLib ingin membebaskan dirinya, ingin bertindak liberal terhadap kenyataan itu. Maka penggunaan kata “liberal” di sana mendapatkan pendasaran sosiologisnya. Akan tetapi, cukup jelas bahwa tema-tema yang diusung dan bahkan pilihan nomenklatur yang digunakan IsLib adalah tema-tema dan nama yang ditawarkan dan diminta oleh Barat untuk diselesaikan oleh umat Islam (Indonesia). Menyadari hal ini, sedangkan realitas umat Islam (Indonesia) adalah semacam itu, barangkali para pengusung IsLib memahami resiko sosial yang mungkin akan harus mereka terima seandainya gagasan-gagasan Barat itu mereka kemukakan secara an sich begitu saja, selain ada pula kemungkinan bahwa mereka kesulitan atau ketakikhlasan menanggalkan identitas keislaman yang telanjur telah mereka sandang selama ini, maka pelekatan kata “Islam” pun menjadi tak terelakkan, sehingga sekarang IsLib mendapatkan pendasaran psikologisnya.

Dalam kaitannya dengan ini, komentar Saiful Muzani cukup menohok kalangan IsLib, meskipun ia sendiri kelihatannya, dan ini menariknya, sebagai salah seorang pengusungnya. Islam Liberal “dalam pengertian dasar seperti ini [skeptis terhadap dunia di luar dunia material] adalah skeptisisme atau agnotisisme yang hidup dalam masyarakat Islam. Seorang Liberal Islam ini adalah seorang agnostik atau skeptik tetapi ingin tetap diakui sebagai bagian dari komunitas di mana dia hidup, yakni komunis Islam … Islam menjadi penting sebagai label untuk menyiasati social punishment, bahkan untuk menciptakan integrasi sosial karena pada dasarnya siapapun, termasuk yang skeptis bahkan yang ateis sekalipun, enggak sanggup hidup kesepian sendirian …” Walhasil, simpul Zainal Abidin, “fungsi Islam di sini menjadi hanya sebagai lip service … Dan jika keislaman itu lalu digunakan sekadar sebagai sarana social acceptance, tidakkah ini juga jadi manipulatif?”
Kesan yang kami tangkap kemudian adalah bahwa IsLib memang bukanlah agenda intern Islam, atau tegasnya, IsLib sedang tidak berusaha menjawab pertanyaan “bagaimana Islam sebagai sebuah kompleks ajaran agama seharusnya dipahami”, melainkan ia ingin menjawab persoalan “bagaimana umat Islam dapat hidup di tengah-tengah dunia modern dewasa ini”. Kalau memang yang terakhir ini adalah inti masalahnya, kenapa lalu kemudian tidak mencari jawabannya dengan “mengapa sampai umat Islam (yang fundamentalis sekalipun) menunjukkan ekspresi keagamaannya dengan cara yang demikian vulgar, intoleran dan penuh kekerasan itu? Tidakkah lebih tepat untuk menitikberatkan pada masalah ini? Telah merupakan suatu kenyataan bahwa umat Islam (dan Islam sebagai sebuah agama) memang sering kali dijadikan bulan-bulanan dan bahan bualan oleh Barat. Bila demikian halnya, bukannya lebih tepat untuk mempersoalkan agresifitas dan kecongkakan —bukannya hal ini yang akhir-akhir ini dipertontonkan oleh George W. Bush/AS sebagai perwujudan utama sikap— Barat daripada menuntut umat Islam supaya bertindak lebih santun? Barangkali, kritik Haidar Bagir terhadap IsLib sebagai tidak memiliki kejelasan metodologi adalah benar. Bagaimana IsLib dengan ringan bisa beralih, tidak secara sistematik, menjawab masalah cara memahami Islam dengan benar dengan jawaban cara umat Islam seharusnya hidup dewasa ini. Ketidakjelasan posisi IsLib ini akan membuat kita bertanya-tanya: kalau begitu proyek macam apa yang kurang lebihnya memiliki akar yang cukup kokoh dalam Islam?
The Nature of Islam: yang hilang dari Islam Liberal
Sebelum memasuki pembicaraan bagian ini, kami ingin mengingatkan, marilah kita hendaknya tak usah dipusingkan dan membingungkan diri hanya karena penggunaan sebuah istilah. Apa yang lebih substansial untuk dipersoalkan atas setiap gagasan wacana yang baru adalah pertanyaan fundamental “bagaimana Islam itu sebenarnya harus dipahami”. Ini artinya, titik tolak setiap pembicaraan menyangkut Islam adalah struktur-dalam ajaran Islam itu sendiri; bukan pada kegelisahan atas realitas umat yang semakin fundamentalis, eksklusif, intoleran, menindas hak-hak kemanusiaan non-Muslim, ataupun menentang demokrasi. Apabila kita berhasil menemukan apa sebenarnya struktur-dalam ajaran Islam itu, biarlah ia mau disebut apapun: fundamentalis, revivalis, modernis, neo-modernis, Islam-otentik (al-shalah), liberal, pembebasan and whatever. Bukankah, kita hendak menekankan substansi (isi) daripada wadag (kulit). Dalam konteks ini, klise Shakespeare ada benarnya: what is in the name ?
Bagaimana kita dapat menemukan struktur-dalam ajaran Islam itu? Di sini, kami hanya mampu memformulasikan garis besarnya saja. Sudah seharusnya bila di sini kita harus menempatkan al-Quran dan teladan atau sejarah Nabi Muhammad saw sebagai sumber yang paling otentik. Dan dari sinilah kita memulai. Pembacaan yang seksama terhadap kedua sumber otentik Islam tersebut akan mengarahkan pada satu titik yang merupakan concern utama Islam: bagaimana membangun sebuah masyarakat yang baik, masyarakat yang beradab. Inilah yang dilaksanakan oleh Nabi Muhammad saw ketika dilontarkan ke tengah-tengah masyarakat Makkah dan Arab pada umumnya yang secara mayoritas-absolut dihuni oleh para penganut paganisme, yang karenanya disebut masyarakat jahiliyah. Nabi diperintahkan Allah untuk memperbaiki masyarakat jahili tersebut. Kisah-kisah para nabi yang hampir seluruhnya disampaikan secara snapshot oleh al-Quran juga merefleksikan concern ajaran para nabi itu untuk memperbaiki keadaan masyarakat (kaum)-nya. Tak usah dipersoalkan lagi kenyataan bahwa risalah yang diemban oleh Nabi Muhammad saw. merupakan kontinuitas yang tak terputus dari risalah yang diajarkan oleh nabi-nabi sebelumnya. Jelas pula bahwa di antara keseluruhan nabi yang disebut-sebut oleh al-Quran itu sedikit sekali (kecuali Nabi Daud, Sulayman, dan Muhammad saw sendiri) yang telah berhasil memperbaiki, membangun dan menata masyarakatnya ke dalam bentuk ideal yang dicitakan oleh risalah Allah; bahkan seorang di antaranya sempat mengalami keputusasaan yang dalam (Nabi Yunus).
Wajar kalau kemudian kita bertanya, tatanan masyarakat seperti apa yang “diinginkan” Allah untuk dibangun oleh manusia? Sekali lagi, bila bacaan kita terhadap al-Quran dan sejarah Nabi cukup seksama maka akan kita jumpai tema-tema yang seringkali muncul: suatu masyarakat yang memiliki kualitas hidup Ketuhanan (monoteisme), bercita-rasa keadilan sosial-ekonomi, dan berorientasi keakhiratan, dalam arti kesadaran akan adanya pertanggungjawaban ultimat atas setiap perbuatan manusia. Bentuk masyarakat yang memiliki kesadaran akan ketiga hal inilah yang diidealkan oleh Islam, dan oleh karenanya, harus menjadi basis dan orientasi bagi setiap pembukaan ranah baru wacana Islam. And, if this called as Fundamentalist Islam or Liberal Islam, then so be it.

Memetik Manfaat Islam Liberal: kemungkinan-kemungkinan

Namun demikian, dengan beberapa kelemahan fundamental ini, IsLib tetap saja dengan penuh kepercayaan diri mengritik penuh semangat Islam tradisional dan Islam revivalis, terlepas dari keberatan-keberatan kita terhadap bentuknya, yang telah memiliki metodologi yang tegas untuk memahami Islam. Kalau sudah demikian, apa manfaat yang dapat kita petik dari munculnya wacana IsLib ini? Kami kira memang ada baiknya bila para pengusung IsLib ini sendiri yang berusaha memberikan jawaban-jawabannya.
Meskipun begitu, seolah-olah, telah menjadi kewajiban moral bagi kami di sini untuk selalu berusaha mengapresiasi dengan positif setiap kemunculan wacana baru yang berkembang di kalangan umat Islam. Setidak-tidaknya, kami dapat mengemukakan beberapa manfaat IsLib, antara lain:

  1. IsLib dapat dipandang sebagai salah satu bentuk perluasan wacana Islam kontemporer; bukankah berpikir tentang apapun, dalam bentuk dan dengan cara apapun tidak dilarang? Sedangkan yang terlarang adalah bila, secara tergesa-gesa atau tanpa pemikiran yang mendalam, hendak mengamaliahkan karena menganggap benar setiap wacana yang baru muncul. Sebagai salah satu wacana yang dikembangkan oleh umat Islam, IsLib harus, sekurang-kurangnya, diakui sebagai sebuah rantai dalam sejarah intelektual Islam.
  2. Berkaitan dengan manfaat pertama, pemikiran-pemikiran yang muncul dan berkembang di lingkungan IsLib dapat dianggap sebagai suatu intellectual and intellegence exercises. Tidak bisa dipungkiri bahwa wacana yang dilontarkan IsLib (yang Barat) memang menantang dari sudut Islam sebagai sebuah agama. Belum lagi, dengan pelatihan-pelatihan intelektual dan kecerdasan ini akan membimbing kita untuk dapat lebih bersikap toleran dan terbuka terhadap setiap jenis pemikiran apapun, suatu bentuk kemiskinan yang dialami oleh mayoritas umat Islam Indonesia hingga dewasa ini.
  3. Hasil-hasil yang dicapai oleh IsLib, terlepas dari keterkaitan organiknya dengan Islam sebagai sebuah kompleks ajaran agama, sedikit banyak akan menyejukkan suasana dan mengurangi rasa kecurigaan kalangan non-Muslim Indonesia terhadap umat Islam Indonesia sendiri, sehingga dengan itu dimungkinkan akan memupuk semangat hidup berdampingan secara damai. Hal mana juga berlaku bagi Barat, terutama Amerika Serikat, yang akhir-akhir ini justru memperlihatkan sikap semakin garang dan alergi terhadap Islam. Apakah ini memang satu-satunya cara untuk menanggapi kecongkakan negara(-negara) itu? Tentu saja, tidak. Tetapi IsLib memang dapat mengajukan diri sebagai salah satu alternatif.
  4. Setidak-tidaknya, tentulah Islam masih dipandang oleh para pengusung IsLib ini sebagai sebuah agama yang sempurna, utuh dan menyeluruh; sebab kalau tidak, mengapa mereka merepotkan diri dengan melabelkan gagasan-gagasan yang demikian baik pada Islam. Meski harus dinyatakan di sini, kami tidak begitu yakin akan manfaat terakhir ini bagi keseluruhan komunitas IsLib, mengingat “pengakuan” yang diberikan oleh Saiful Muzani sebagaimana dikutip di atas. Namun, kami tetap percaya bahwa tidak seluruh pengusung dan penganut IsLib sepakat dengan Muzani; bukankah di kalangan IsLib ada pendapat bahwa Syari’ah adalah, untuk mengutip Kurzman, silent dan liberal, sehingga dengan demikian memang Islamlah yang terbaik.
La yukalifullahu nafsan ila wus’aha

Bacaan yang Diacu

Assyaukanie, Luthfi. 2001. “Wacana Islam Liberal Di Timur Tengah”. Makalah pada Diskusi Wacana Islam Liberal Di Timur Tengah di Teater Utan Kayu. pp. 1-5.
Bagir, Haidar. 2002. “Islib Butuh Metodologi”. Republika, Rabu, 20/3/2002.
Hodgson, Marshall G.S. 1999. The Venture of Islam: Iman dan Sejarah dalam Peradaban Islam. Masa Klasik Islam. Buku Pertama: Lahirnya Sebuah Tatanan Baru. terj. Mulyadhi Kartanegara. Jakarta: Paramadina.
Huda, Qamar-ul. 1998. “Liberal Islam”. Bookreview mimeograph. pp. 1-2.
Kurzman, Charles (ed). 2001. Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global. terj. Bahrul Ulum dan Heri Junaidi. Jakarta: Paramadina.
Rahman, Fazlur. 1985. “Gerakan Pembaharuan dalam Islam di Tengah Tantangan Dewasa Ini”. terj. Azyumardi Azra. Harun Nasution dan Azyumardi Azra (ed). 1985. Perkembangan Modern dalam Islam. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. pp. 19-44.
Rahman, Fazlur. 1995. Islam dan Modernitas: tentang Transformasi Intelektual. terj. Ahsin Mohammad. Bandung: Pustaka. Cet-2.
Rahman, Fazlur. 2000. Islam. terj. Ahsin Mohammad. Bandung: Pustaka. Cet-4.



Surabaya, 25 Maret 2002 
Tulisan ini merupakan Prasaran untuk Diskusi Bulanan IDE.Com, Yayasan al-Kahfi, Surabaya, Sabtu, 30 Maret 2002, di Ruang Seminar Fakultas Sastra, Univ. Airlangga, Surabaya. Penghargaan saya tujukan kepada Shofyan Affandy yang telah menyediakan bahan-bahan bagi saya untuk mendapatkan pemahaman lebih baik mengenai IsLib, baik dalam bentuk buku, makalah, artikel dari berbagai media termasuk cetakan mailing list; Suwari, yang telah mengingatkan saya untuk melihat mengapa umat Islam bereaksi demikian keras terhadap Barat dalam hubungannya dengan gagasan Islam Liberal; juga Iskandar al-Warisy yang telah meluangkan waktunya yang demikian padat untuk berdiskusi mengenai aspek-aspek metodologi dan etika Islam Liberal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar