Sabtu, 28 Mei 2011

Sayyid Jamaluddin al-Afghani (1838-1897) dan Pembaharuan Islam

Weko Kuncara


Hampir semua gerakan pembaharuan Islam abad ke-20 memperoleh inspirasinya dari Jamaluddin al-Afghani (1838 - 9 Maret 1897). Tidak hanya dalam bidang keagamaan Islam, tetapi bahkan yang menjadi ciri khas pemikiran al-Afghani adalah keterikatannya yang kuat dengan politik praktis. Hal ini berbeda, misalnya, dengan pembaharuan Muhammad bin Abdul Wahhab yang menekankan pemberantasan praktik-praktik bid’ah dan khurafat yang dilakukan oleh umat Islam; atau bahkan bertentangan dengan pembaharuan yang dilansir oleh Sir Sayyid Ahmad Khan, yang menyetujui pemerintahan kolonial Inggris di India. Boleh dikatakan bahwa hampir setiap aspek dalam kehidupan umat Islam disentuh oleh pembaharuan al-Afghani, walaupun sektor politik adalah yang sangat ditekankannya. Sebab baginya persoalan politik adalah kunci untuk melaksanakan pembaharuan secara menyeluruh. Dengan gamblang al-Afghani mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran umat Islam, untuk kemudian memberikan tawaran solusi guna mengatasi kemunduran tersebut. Dua hal inilah yang menjadi perhatian tulisan ini. Sebagai penutup akan didiskusikan relevansi pemikiran al-Afghani bagi Islam dewasa ini.


Riwayat Singkat al-Afghani

Al-Afghani lahir pada 1838 di desa Asadabad. Nama desa ini terdapat baik di Afghanistan maupun Iran. Walaupun menurut pengakuannya sendiri ia dilahirkan Afghanistan, namun berdasarkan bukti-bukti primer yang ada serta riwayat pendidikannya, terdapat indikasi bahwa ia dilahirkan di Iran (Keddie, 1987, 19-20). Menurut Syekh Abu al-Huda, salah seorang penentang gagasan-gagasannya, al-Afghani sengaja menyembunyikan asal-usulnya yang sebenarnya semata-mata dalam rangka menyelamatkan dirinya dari kesewenangan pemerintahan Syah Iran yang tidak menyukainya (EI 2, 1994, 299). Semenjak usia muda al-Afghani telah dididik dalam berbagai cabang ilmu keislaman, selain filsafat dan ilmu eksakta. Filsafat al-Afghani, seperti dibuktikan kemudian, ternyata banyak diperolehnya dari sumber-sumber filsafat yang dikembangkan dalam tradisi Syi‘ah (Keddie, 1987, 20).

Dalam masa hidupnya al-Afghani menetap di berbagai negara. Aktivitas politiknya yang sangat padat dan —meminjam istilah Bung Karno— “menyerempet-nyerempet bahaya” menyebabkan ia harus mengalami berbagai kepahitan hidup, baik diusir dari negerinya sendiri, dibuang, serta tidak jarang dalam rangka kunjungan diplomatik, seperti yang dilakukannya di London dan Rusia. Al-Afghani telah mengunjungi pusat-pusat dunia Islam yang penting pada masa hidupnya. Iran —yang kemungkinan besar adalah negerinya sendiri— sebagai pewaris kejayaan Dinasti Shafawi (1501-1732), Turki yang pada waktu itu masih merupakan pusat Kekhalifahan Utsmani (1282-1924), dan India, yang adalah reruntuhan Dinasti Mughal (1526-1858) sebelum kedatangan Inggris.

Al-Afghani juga telah mengajarkan beberapa pokok pikirannya di Mesir — di mana Muhammad Abduh adalah salah seorang muridnya; dan sesudah terusir dari Negeri Para Fir‘aun itu, ia menetap di Paris, Perancis, tempat ia menerbitkan majalah yang membuatnya terkenal di seluruh dunia, al-‘Urwah al-Wutsqa (Mata Rantai Terkuat). Tempat tinggalnya yang terakhir adalah Istanbul, Turki, di mana dia dipenjararumahkan oleh Sultan Abdul Hamid, hingga menemui ajalnya.


Sebab-sebab Kemunduran dan Gagasan Pembaharuan Islam

Menurut al-Afghani terdapat beberapa faktor yang menyebabkan kemunduran umat Islam, yakni:
  • Ditinggalkannya akhlak yang tinggi oleh umat Islam sendiri;
  • Dilupakannya ilmu pengetahuan, sehingga menyebabkan umat Islam berpikir secara taklid. Faktor terakhir ini ditambah dengan adanya paham Jabariyyah dan salah mengerti akan qada’ (ketentuan) Allah. Menurutnya qada’ Allah harus dipahami secara kausalitas. Sedangkan dalam hal berpikir, umat Islam harus melakukannya menurut kaidah-kaidah yang rasional. Bagi al-Afhani, kemajuan dan kejayaan suatu bangsa hanya dapat dicapai dengan mendasarkannya pada pemikiran rasional, dan inilah yang telah dilakukan umat Islam terdahulu sehingga bisa mendapatkan kejayaannya. 
  • Adanya perpecahan di kalangan umat Islam sendiri. Perpecahan ini menyebabkan lemahnya rasa ukhuwah Islamiyah di antara mereka. Ditambah lagi dengan kurangnya pertahanan militer, menyebabkan umat Islam tidak berdaya menghadapi invasi asing (Barat) yang kemudian hanya memperdalam kemunduran. (EI 2, 1994, 300).
Hampir keseluruhan energi hidup al-Afghani dipergunakan untuk mengampanyekan dan menemukan solusi atas faktor-faktor yang dianggapnya menyebabkan kemunduran umat ini. Berbeda dengan pemikir pembaharuan lain, yang ditekankan oleh al-Afghani adalah perjuangan mengusir pemerintah kolonial terlebih dahulu. Sungguh merupakan kebetulan yang tidak mengenakkan baginya, karena di mana pun di negeri Muslim dia berpijak —Afghanistan, India, Mesir, dan Iran— kolonialisme Inggris seolah-olah selalu ada di sana. Oleh karenanya, anti Baratnya terlebih-lebih ditujukan kepada Inggris. Pusat perhatiannya untuk mengusir Inggris inilah yang menyebabkannya kadang-kadang melakukan kompromi dengan beberapa pemerintahan yang despotik, asalkan bersedia bekerja sama mengusir Inggris. Persoalannya adalah seringkali para penguasa despotik itu mendapatkan dukungan terkuatnya dari Inggris, maka tak heran di mana pun dia berada, al-Afghani selalu dimusuhi, baik oleh pemerintahnya sendiri maupun oleh pemerintah kolonial.

Menurut al-Afghani solusi yang tepat untuk mengatasi kemunduran yang sedang melanda umat Islam pada masanya,

“hanyalah dengan kembali ke dasar-dasar agamanya, dan mengikuti ajaran-ajarannya, menurut apa yang ada permulaan agama itu, serta dengan memberi penerangan kepada umum dengan ajaran-ajaran agama yang sempurna, sambil membersihkan hati dan mendidik akhlak; serta menyalakan kembali api semangat, menyatukan tekad, dan mengorbankan jiwa, demi kemuliaan ummat” (al-Afghani, 1994, 359).
Kemudian, di samping penekanan yang kuat pada aspek politik, perhatian utama al-Afghani adalah masalah ilmu pengetahuan. Berbeda dengan banyak pembaharu dari India, al-Afghani menolak penerimaan ide-ide Barat tanpa ada upaya kritik dan mengadaptasikannya demi kebutuhan umat Islam. Gagasan itu baginya seperti orang yang menyuapkan makanan lezat kepada bayi
“padahal ia masih menyusu yang tidak menginginkan kelezatan (makanan) karena masih pada usia susu dan tidak menerima makanan selain susu, sehingga bayi itupun segera terserang penyakit, dan berakhir dengan kebinasaan” (al-Afghani 1994, 353).
Ilmu pengetahuan diakuinya sebagai sumber kekuatan dan kekuasaan suatu bangsa. Menurutnya,
“seluruh dunia kemanusiaan itu adalah suatu dunia industri, dalam arti bahwa dunia itu merupakan dunia ilmu. Jika ilmu terlepas dari jangkauan manusia, tak seorang pun mampu berada di dunia ini…” (al-Afghani, 1993a, 18).
Untuk mengejar ketertinggalan dalam bidang pengetahuan ini umat Islam harus mengutamakan filsafat. Hal ini karena di samping studi filsafat bersifat universal, juga karena filsafat memiliki jiwa yang utuh dan menempati jenjang teratas dalam menciptakan kekuatan. Filsafat mampu menunjukkan kebutuhan mendasar dan ilmu-ilmu apa yang diperlukan manusia, serta menempatkan ilmu pada tempatnya yang tepat (al-Afghani, 1993a, 18). Selanjutnya,
“Jika suatu masyarakat tidak menguasai filsafat, dan setiap individu yang ada dalam lingkungan masyarakat itu hanya dibekali dengan ilmu-ilmu tentang bidang-bidang tertentu, ilmu-ilmu itu tidak akan mampu bertahan di dalam masyarakat itu selama satu abad, atau seratus tahun saja. Masyarakat itu dengan tidak adanya bimbingan filsafat tidak akan mampu menarik kesimpulan dari ilmu-ilmu ini…
Saya berani mengatakan bahwa jika semangat filsafat itu terdapat di dalam masyarakat, walaupun masyarakat itu tidak menguasai salah satu ilmu yang membicarakan permasalahan tertentu itu, tidak dapat diragukan bahwa semangat filsafat mereka akan mengundang minat mereka untuk mengenali semua ilmu itu” (al-Afghani, 1993a, 18-19).
Kemerosotan politik dan perpecahan yang melanda negara-negara Islam menurut al-Afghani disebabkan karena para penguasanya menyimpang dari prinsip-prinsip kokoh yang melandasi Islam dan ketidakmauan mereka meneladani jalan para penguasa untuk tetap berada di jalan yang lurus. Untuk mengatasi hal ini, al-Afghani menawarkan solusinya dengan pertama-tama menekankan ikatan keagamaan (al-Afghani, 1993b, 24). Ikatan selain keagamaan ditolaknya, karena hanya dengan ikatan keagamaan itulah maka ikatan yang sempit ditinggalkan dan mengikatkan diri pada yang universal. Sebagai pendasaran dikutipnya hadits Nabi SAW:
“Solidaritas kesukuan tidak boleh ada di antara kita; dan tidak boleh ada di antara orang-orang (penganut-penganut) kita yang terikat karena agama; dan tidak boleh ada di antara mereka yang meninggal dalam keadaan bukan mu’min” (al-Afghani 1993b, 25).
Al-Afghani juga mengutip ayat,
“Orang yang paling mulia di antaramu di sisi Allah adalah yang paling taat (bertaqwa) kepadanya-Nya” (QS. 46:13) (al-Afghani 1993b, 25-26).
Diuraikan olehnya,
“…prinsip-prinsip ajaran Islam menyangkut masalah hubungan sesama muslim, menjelaskan hukum secara umum dan juga secara terperinci, merumuskan makna penguasa eksekutif yang melaksanakan hukum, menentukan sanksi-sanksi hukum berikut persyaratan-persyaratan yang membatasi pelaksanaannya; juga mengemukakan tujuan yang unik bahwa pemegang kekuasaan itu harus orang-orang yang paling taat kepada aturan-aturan tentang kekuasaan yang diperolehnya tidak lantaran pewarisan ataupun karena kehebatan ras, suku, kekuatan material dan kekayaannya. Ia memperoleh kekuasaan itu hanya jika dia menaati ketentuan-ketentuan hukum suci itu, mempunyai kekuatan untuk melaksanakannya, dan jika ia disepakati oleh masyarakatnya. Jadi sebenarnya, penguasa kaum Muslimin adalah hukum agama mereka yang suci dari Tuhan yang tidak membeda-bedakan rakyat…
Penguasa Muslim tidak memiliki kelebihan apapun selain daripada kenyataan bahwa dialah orang yang paling bersemangat di antara yang lain dalam mengamankan dan mempertahankan hukum Tuhan itu” (al-Afghani. 1993b, 24-25).

Menimbang Pembaharuan al-Afghani

Sejauh yang dapat penulis pahami, sebenarnya faktor-faktor penyebab kemunduran umat Islam yang dilontarkan oleh al-Afghani hampir secara keseluruhannya masih dialami oleh umat sampai hari ini. Bedanya adalah bahwa negeri-negeri Muslim telah mengalami kemerdekaan dalam arti politisnya. Persoalannya adalah apakah memang benar bahwa negeri-negeri Muslim itu kini telah berdaulat? Sesungguhnya inilah pokok yang ditekankan oleh al-Afghani. Kemerdekaan dan kekayaan negeri-negeri Muslim di kawasan Timur Tengah tidak membuat mereka independen dari Barat, kenyataan malah menunjukkan mereka semakin tergantung.

Akhlak umat Islam saat ini mungkin malah lebih merosot lagi dibandingkan dengan kenyataan yang berlangsung pada masa al-Afghani. Pada masanya dahulu (awal abad ke-20) permasalahan pembaratan (westernisasi) mungkin sekadar ketakutan dan dalam lingkup yang terbatas, tetapi kini dengan semakin tak dapat dibatasinya media komunikasi, pembaratan akhlak umat Islam benar-benar merupakan mimpi buruk yang menjadi nyata. Hendaknya dicatat, bahwa Barat tidak hanya menawarkan budaya kemajuan berpikir, melainkan sikap-sikap hidup yang hedonis, free-value, dan cara bertindak utilitarian, seluruhnya merupakan penawaran dalam satu paket. Dan inilah persisnya yang telah melanda dan menjadi persoalan utama di hampir seluruh kawasan dunia Islam. Satu-satunya yang telah berubah barangkali adalah adanya keterbukaan umat Islam untuk mendapatkan dan menerima pengetahuan yang lebih luas dari berbagai sumber, dengan suatu catatan kaki bahwa pada sejumlah kalangan umat Islam persoalan tersebut pun belumlah tuntas.

Aspek gagasan pembaharuan perjuangan politik yang juga ditekankan oleh al-Afghani menjalani beberapa varians sepeninggalnya. Sebagian umat Islam tetap konsisten pada jalur ideologi Islam, sebagian yang lain berupaya moderat (sebenarnya varians inilah yang dipilih oleh al-Afghani, lihat Keddie 1987), tetapi ada juga yang memilih jalur sekular seperti yang dianjurkan oleh Kemal Attaturk, di Turki dan Ali Abdur Raziq, di Mesir. Sungguh merupakan suatu kenyataan yang menarik bahwa Ali Abdur Raziq adalah salah seorang murid al-Afghani sendiri!

Sebagai penilaian akhir, dapat dikemukakan di sini bahwa secara keseluruhan, semangat dan upaya-upaya pembaharuan al-Afghani masih relevan hingga dewasa ini. Beberapa pemecahan yang ditawarkannya memang sebaiknya didefinisi ulang, tetapi anti-imperialisnya yang kuat dan pendasaran pokok-pokok pikirannya yang kokoh pada dasar-dasar Islam awal (merujuk pada periode Nabi SAW dan al-Khulafa’ al-Rasyidah) merupakan temuannya yang penting dan tetap relevan sampai saat ini. Dapat dikatakan bahwa sesungguhnya di sinilah esensi pembaharuan Islam sebagaimana dijargonkan dalam anak kalimat “kembali kepada al-Quran dan Sunnah Rasul”.

Lâ yukallifullâhu nafsan illa wus ‘ahâ


Daftar Acuan
al-Afghani, Jamaluddin. 1993a.“Tanggapan Islam terhadap Imperialisme”, dalam John J. Donohue dan John L. Esposito, eds. Islam dan Pembaharuan: Ensiklopedi Masalah-masalah. Terjemahan. Jakarta: Rajawali.
al-Afghani, Jamaluddin. 1993b.“Solidaritas Islam”, dalam John J. Donohue dan John L. Esposito, eds. Islam dan Pembaharuan: Ensiklopedi Masalah-masalah. Terjemahan. Jakarta: Rajawali.
al-Afghani, Jamaluddin. 1994. “Masa Lalu Ummat dan Masa Kininya, Serta Pengobatan bagi Penyakit-penyakitnya”, dalam Nurcholish Madjid, ed. Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Ensiklopedi Islam. Jilid 2. 1994. lema “Jamaluddin al-Afghani”. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve. Disingkat EI 2.
Keddie, Nikki R. 1987. “Sayyid Jamaluddin al-Afghani”, dalam Ali Rahnema, ed. Para Perintis Zaman Baru Islam. Terjemahan. Bandung: Mizan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar