Minggu, 29 Mei 2011

Jihad dalam al-Qur’an Karya Muhammad Chirzin

Weko Kuncara

 
Di antara beberapa ajaran Islam yang sering memicu perbedaan pendapat dan pertentangan jihad adalah salah satunya. Sebagian umat Islam memahami jihad sebagai perjuangan bersenjata yang menawarkan alternatif hidup mulia atau mati syahid. Beberapa orientalis (istilah yang sekarang diperlunak menjadi Islamisis) mengartikan jihad [fi sabilillah] sebagai perang suci (holy war) untuk menyebarluaskan agama Islam. Bahkan kaum Khawarij dan juga Sayyid Qutb menempatkan jihad sebagai rukun Islam yang keenam, sehingga dengan demikian pelaksanaannya sama pentingnya dengan mengucapkan syahadat, sholat, puasa, zakat dan haji.

Karya Muhammad Chirzin, Jihad dalam al-Qur’an: Telaah Normatif, Historis, dan Prospektif (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1997) berupaya memahami konsepsi jihad baik melalui tinjauan normatif (al-Quran dan Hadits Nabi) maupun telaah historis pada saat diterapkan oleh Rasulullah. Di bagian akhir pengarang memberikan aktualisasi jihad pada masa sekarang dan waktu yang akan datang. Tulisan ini bermaksud melakukan suatu tinjauan umum terhadap karya tersebut.


Normativitas Jihad
Istilah jihad berasal dari akar kata jahada yang berarti mencurahkan kemampuan. Di dalam al-Quran kata jihad, dalam berbagai kata bentukannya, disebut sebanyak 35 kali, baik dalam ayat Makkiyah maupun Madaniyah. Empat ayat yang diturunkan di Makkah (lihat QS. 25:52; 16:110; 29:6; 29:69) tidak ada kaitannya dengan qital (perang) karena perang baru diijinkan setelah turunnya ayat al-Hajj ayat 39-40 pada tahun 2 Hijrah. Jihad di Makkah dikaitkan dengan seruan bersabar terhadap tindakan-tindakan musuh. Hal ini dikarenakan tidak ada pilihan lain selain daripada sikap tersebut, sambil tentu saja terus mendakwahkan Islam. Tiga puluh satu ayat yang diturunkan di Madinah (lihat QS. 2:218; 8:72, 74, 75; 3:142; 60:1; 4:95; 47:31; 22:78; 49:15; 66:9; 61:11; 5:35, 54; 9:16, 19, 20, 24, 41, 44, 73, 81, 86, 88) sebagian besar di antaranya dikaitkan dengan seruan untuk menghadapi musuh secara konfrontatif dan mewajibkan umat Islam untuk memerangi penduduk Makkah. Jelaslah di sini bahwa makna jihad dalam periode Makkah dan periode Madinah adalah berbeda.
 
Dengan pembedaan ini Chirzin hendak menjelaskan bahwa ayat-ayat al-Quran tentang jihad tidak selalu berkaitan dengan perang, tetapi juga dapat dalam arti yang lain asalkan dilakukan dengan pencurahan kemampuan secara maksimal, sebagaimana tersirat dalam pengertian akar katanya. Hal ini kemudian diperkuat dengan tinjauan yang dilakukannya terhadap hadits Nabi. Chirzin mengutip 9 hadits Nabi dan 1 hadits Qudsi yang menurutnya berkaitan dengan konsepsi jihad. Hadits-hadits itu dikelompokkan dalam dua bagian, yaitu yang berkaitan dengan peperangan dan yang berkaitan tidak hanya dalam arti peperangan, tetapi lebih luas daripada itu yakni segala usaha yang memerlukan pencurahan tenaga dalam rangka memperoleh ridha Allah. Pencurahan tenaga yang dimaksud dapat berupa ibadah khusus yang individual (misalnya haji), maupun umum yang kolektif (yakni amar ma’ruf nahi munkar).
 
Berdasarkan al-Quran dan Hadits-hadits di atas, Chirzin merumuskan unsur-unsur yang terdapat dalam jihad, yakni: 
  1. Pelaku jihad, yaitu Rasulullah saw dan orang-orang yang beriman (QS. 4:76).
  2. Sarana jihad, yaitu jiwa, raga serta harta benda, yang berarti seluruh sarana fisik dan non fisik. Lisan maupun tulisan termasuk di antaranya (QS. 9:122; 61:4; 8:60).
  3. Tujuan jihad, yaitu menegakkan kalimat Allah (QS. 9:40).
  4. Objek jihad, yaitu orang-orang kafir dan orang-orang munafik pada jaman Rasulullah saw. Namun, orang-orang kafir dan munafik di sini dimaknai sebagai personifikasi kemungkaran. Oleh karena itu pengertian objek jihad yang terutama adalah segala macam kemungkaran, baik berupa sosok pelaku maupun wujud kemungkaran itu sendiri (QS. 3:104; 3:110).
Ditegaskan oleh Chirzin, secara keseluruhan iman harus disebut jihad (QS. 9:16; 3:142). Dengan demikian, salah satu kesimpulan penting yang ditemukan oleh Chirzin adalah bahwa jihad merupakan tolok ukur keimanan seseorang secara aktual (hlm. 55).

 
Aktualisasi Jihad
Setelah meninjau ayat-ayat Allah, hadits Nabi dan memaparkan dengan panjang lebar perjuangan Nabi hingga meninggalnya, Chirzin sampai pada kesimpulan bahwa jihad di masa sekarang merupakan kelanjutan dari jihad di masa lampau yang telah dimulai oleh Nabi. Dengan sendirinya jihad harus dilaksanakan menurut tuntunan al-Quran dan Sunnah Nabi dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi yang meliputi kaum Muslimin di mana saja berada. Sampai di sini Chirzin menyimpulkan bahwa jihad pada masa kini dan masa depan berbentuk upaya sosialisasi dan internalisasi kebajikan (amar ma’ruf) dan pencegahan serta penghapusan kemunkaran (nahi munkar) dalam segala segi kehidupan manusia dengan memanfaatkan segala sarana yang mendukung (hlm. 131-132, dan 154-155).


Dengan amar ma’ruf, Chirzin menunjuk pada aktivitas pendidikan baik formal maupun non formal; sosial budaya dengan cara mengejawantahkan nilai-nilai moral dan akhlak karimah dalam kehidupan sosial; ekonomi dengan cara menghimbau memeratakan hasil-hasil pembangunan. Dengan nahi munkar, Chirzin menunjuk pada semua bentuk sikap penolakan terhadap segala kondisi dekaden, baik dalam bidang moral, sosial, ekonomi, politik maupun pendidikan.


 
Menimbang Gagasan Chirzin
Menurut kami, terdapat suatu kelemahan metodologis yang penting dalam karya penelitian Muhammad Chirzin ini. Ia memisahkan dalam dua bab yang berbeda pada saat membahas dalil-dalil, baik al-Quran maupun hadits, dan tinjauan historis. Kelemahan ini fatal karena tidak berusaha menempatkan dalil ayat-ayat atau hadits-hadits itu dalam konteks historisnya yang tepat. Suatu penilaian terhadap ayat, apalagi yang jelas kondisional, dengan tepat hanya dimungkinkan dengan cara menempatkannya dalam konteks sejarah turunnya ayat tersebut. Dengan demikian bukan bahasan ayat per ayat dan hadits-hadits nabi secara parsial dan ad hoc, seolah-olah al-Quran tidak berdialektika dengan Nabi dan masyarakat Islam pada saat turunnya ayat yang bersangkutan.
 
Selanjutnya, tinjauan historis yang dilakukannya terhadap perikehidupan Nabi tidak menekankan sama sekali terhadap apa dan mengapa jihad dilakukan oleh Nabi. Yang dilakukan oleh Chirzin hanyalah penuturan mulai dari Nabi menerima ayat, riwayat-riwayat dakwah, dan —yang sangat tidak perlu— pengutipan secara penuh surat-surat yang dikirimkan oleh Nabi kepada beberapa pembesar dunia pada masanya beserta surat balasannya. Akibatnya arah yang hendak dicapai oleh Chirzin, yakni berusaha mendapatkan formulasi jihad secara kontekstual sebagaimana dilaksanakan oleh Nabi, gagal tercapai.
 
Tanpa rujukan atau preseden apapun Chirzin menunjuk amar ma’ruf dan nahi munkar dalam pengertiannya yang paling luas sebagai suatu bentuk jihad saat ini dan masa depan. Chirzin, sebenarnya, sama sekali belum mencapai kriteria-kriteria yang jelas mengenai mengapa jihad di Makkah tidak bersenjata dan mengapa di Madinah dengan konfrontatif-bersenjata. Padahal apabila kriteria-kriteria jihad bersenjata dan tidak bersenjata telah diperoleh, masih ada langkah yang harus ditempuh berikutnya: mengevaluasi perkembangan umat Islam saat ini dalam hubungannya dengan orang-orang kafir, barulah sesudah itu dapat menentukan jihad dalam bentuk apa dan mengapa bentuk itu yang dipilih pada masa sekarang ini. Menentukan bentuk jihad pada masa-masa mendatang jauh lebih problematis. Ini karena kondisi-kondisi situasional untuk masa yang akan datang belum lagi kita peroleh. Paling jauh kita hanya dapat menyatakan sesuatu yang sifatnya prediktif dan harus selalu ditinjau kembali manakala kondisi situasional mengalami perubahan. Suatu tafsir al-Quran yang hidup – kalau kita boleh mengistilahkannya demikian, harus senantiasa mempertimbangkan ruang dan waktu di mana penafsiran itu dilakukan. Kami kira, Chirzin tidak akan berkeberatan dengan preposisi tersebut. Jelaslah bahwa bentuk jihad umat Islam di Indonesia, misalnya, berbeda dengan bentuk jihad yang harus ditempuh oleh umat Islam di Palestina. Bentuk jihad umat Islam Indonesia pada masa kolonialisme Belanda, misalnya lagi, juga akan berbeda dengan bentuk jihad umat Islam Indonesia di masa sekarang.
 
Demikianlah, evaluasi perkembangan umat Islam dewasa ini pun juga tidak dilakukan oleh Chirzin. Jika demikian bagaimana (atau atas dasar apa) dia bisa sampai pada kesimpulan bahwa jihad saat ini dan di saat depan adalah mesti dalam bentuk amar ma’ruf nahi munkar, bila yang terakhir ini diantagoniskan dengan perang konfrontatif-bersenjata?

Yang barangkali juga terlupakan oleh Chirzin adalah tidak dievaluasinya perkembangan-perkembangan pelaksanaan jihad sepeninggal Rasul, terutama pada masa tiga khalifah yang pertama. Sebab pada masa-masa ini ekspedisi-ekspedisi ekspansif wilayah Islam terus dilakukan bahkan ditingkatkan. Bukankah pemerintahan para khalifah ini dalam kadar tertentu merupakan teladan yang perlu dipertimbangkan juga? Baik kitab al-Muwaththa’ karya Imam Malik dan al-Risalah karya Imam al-Syafi’i maupun kitab-kitab kumpulan hadits karya Imam Bukhari dan Imam Muslim (keduanya memuat himpunan hadits yang dianggap paling baik) senantiasa memasukkan tindakan para Sahabat Nabi yang terdekat sebagai teladan yang hendaknya juga diikuti oleh umat Islam di masa kemudian. Inilah yang kita kenal sebagai atsar (berita-berita mengenai tindakan para Sahabat Nabi). Apabila kita menerima gagasan mayoritas ulama Islam bahwa sumber hukum Islam tidak hanya al-Quran dan Hadits Nabi, melainkan juga Ijma’ (konsensus, terutama kesepakatan generasi awal Islam) dan Qiyas, maka atsar para Sahabat utama Nabi secara absah juga harus dimasukkan sebagai bahan pertimbangan normatif. Contoh-contoh dalam kasus terakhir ini sudah amat terkenal. Abu Bakar menunjuk Umar ibn Khaththab untuk menggantikan posisinya sebagai khalifah, Umar sendiri telah menolak pembagian fa’iy (harta benda tak bergerak yang diperoleh sesudah suatu kawasan tertentu ditaklukkan oleh tentara Islam) dan ini terang-terangan melanggar Sunnah Nabi yang memerintahkan untuk membagikannya. Saya kira formulasi jihad di masa-masa awal Islam juga harus mempertimbangkan faktor preseden historis dari para khalifah ini.
 
Yang juga ingin disoroti disini adalah tidak diterapkannya metode kritik terhadap hadits-hadits yang digunakan Chirzin dalam bukunya ini. Dari ke-9 hadits tentang jihad yang dikemukakannya, sebagian besar darinya perlu dicurigai otentitasnya. Hal ini dikarenakan hadits-hadits tersebut bersifat politis dan prediktif. Fazlur Rahman sangat mencurigai hadits-hadits yang matannya berisi salah satu dari kedua hal tersebut, apalagi bila termuat keduanya. Sejak akhir pemerintahan Ali bin Abi Thalib, dunia politik Islam sangat rawan konflik dan mengalami pertentangan internal yang seolah tiada habisnya dengan sesama umat Islam sendiri. Tiap-tiap kelompok atau faksi umat Islam memiliki ambisi politik yang besar. Kita dapat mencatat dua figur menonjol dalam hal ini, yakni Muawiyah bin Abi Sufyan dan Marwan bin Hakam, dari kelompok Bani Umayyah. Sementara itu dari pihak keluarga Nabi terdapat dua golongan, yakni kelompok Syi‘ah dan Bani Abbas. Pada saat ambisi-ambisi politik ini saling berbenturan masing-masing faksi tidak segan-segan mengeluarkan hadits-hadits yang mereka nisbatkan kepada Nabi SAW. Sebagai catatan saja, di antara 600.000 hadits yang berhasil dikumpulkan oleh Imam Bukhari, ternyata hanya sekitar 7000 saja yang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan.
 
Bayangkanlah Imam hadits itu harus menolak sekitar 530.000 hadits, ini artinya hampir 90% hadits yang beredar pada masanya merupakan hadits-hadits yang tidak dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya. Hanya orang-orang yang memiliki kecerdasan, kesabaran dan keuletan tinggi saja yang mampu melaksanakan penelitian hadits semacam itu. Persoalannya adalah sesudah Imam Bukhari, beberapa ulama hadits seperti Ibnu Majah, Abu Dawud, al-Tirmidzi, al-Nasa’i, serta sejumlah ulama/peneliti hadits lainnya, dapat menerima hadits yang telah digugurkan oleh Imam Bukhari. Contoh yang paling terkenal adalah formulasi Imam al-Tirmidzi. Pada masa Imam Bukhari, hadits hanya dibedakan dalam dua kategori: yang kuat (shahih) dan yang lemah (dla‘if). Seluruh yang lemah ditolak oleh Bukhari dan seluruh yang kuat dihimpun dalam satu buku olehnya. Itulah sebabnya Bukhari memberi judul bukunya Jami’ al-Shahih (Kumpulan yang Shahih).

Imam al-Tirmidzi, sembari menerima dua kategorisasi di atas, mengusulkan suatu kategori ketiga untuk mengakomodasi hadits-hadits yang lemah tetapi “sayang” jika ditolak begitu saja. Hal itu bisa disebabkan karena diriwayatkan oleh cukup banyak orang atau secara matan kandungan yang diajarkan oleh hadits itu memang baik dan tidak bersifat menentang ajaran lain yang sudah diterima. Inilah yang dewasa ini kita kenal sebagai Hadits Hasan, hadits yang baik. Dari namanya saja kita sudah dapat menduga bahwa ini adalah suatu bentuk “pengalihan”, bagaimana mungkin “yang kuat”, “yang lemah” dan “yang baik” bisa berada dalam kategori yang sama? Yang baik semestinya satu kategori dengan “yang buruk”. Rupanya, sejarah berpihak pada Imam al-Tirmidzi. Meskipun semula gagasannya itu dianggap tidak masuk akal, namun seiring dengan waktu, gagasannya mulai dapat diterima. Dan inilah salah satu pintu masuknya hadits-hadits yang telah dinyatakan lemah oleh Imam al-Bukhari. Seiring dengan berjalannya waktu pula, jumlah hadits yang dapat diterima oleh umat Islam semakin banyak. Inilah sebabnya mengapa kitab kumpulan hadits Imam al-Tirmidzi menghimpun hadits lebih banyak daripada kitab himpunan hadits Imam Muslim, dan kitab yang terakhir ini menghimpun hadits yang lebih banyak daripada yang dihimpun oleh Imam al-Bukhari.

Kesimpulan yang bisa kita tarik dari kenyataan masa lalu hadits adalah : masih cukup banyak hadits lemah yang sudah ditolak oleh ulama-ulama terdahulu telah diterima oleh ulama-ulama dari masa yang terkemudian. Dalam salah satu karya kompilasi penelitian mengenai mengenai Hadits dan Sunnah Nabi, Fazlur Rahman (Islamic Methodology in History, 1965) menyimpulkan bahwa hadits-hadits yang lemah memiliki dua ciri yang menonjol, yakni berkarakter politis dan prediktif (meramalkan kejadian di masa yang akan datang). Masalah bagi Chirzin adalah penerimaan terhadap hadits-hadits yang justru memiliki dua ciri tersebut.


Menyangkut kesimpulan akhir Chirzin, tampaknya sejak semula dia sudah memiliki pendapat bahwa masa untuk jihad dalam bentuk konfrontatif-bersenjata telah lewat. Sekarang dan yang akan datang hanya bentuk amar ma’ruf nahi munkar yang masih relevan. Kesimpulan ini, sesungguhnya, sama sekali absah bila dikaitkan dengan konteks ruang dan waktu. Barangkali mindset jihad Chirzin adalah di Indonesia. Menurut kami, apabila kita bermaksud melakukan tafsir al-Quran dan Sunnah Nabi secara universal dan berlaku umum, maka hasil tafsir haruslah meliputi konteks ruang dan waktu yang umum dan universal pula. Berlakukah penafsiran Chirzin bila konteks ruang dan waktunya adalah bagi kaum Muslimin Bosnia pada masa pembantaian etnis yang dilakukan oleh etnis Slavia? Relevankah penafsiran Chirzin bila itu hendak ditujukan kepada kaum Muslimin di Palestina yang hampir setiap detik harus merasakan kebiadaban senjata tentara Israel?


Menurut hemat kami, teladan Nabi dan Sahabat-sahabatnya sudah jelas. Bila konteks ruang dan waktu memang mengharuskan umat Islam melaksanakan jihad dalam bentuk konfrontatif-bersenjata dan kaum Muslimin memiliki kemampuan untuk melakukannya, maka jihad harus diwujudkan dalam bentuk konfrontatif-bersenjata. Bila memang situasi dan kondisi tidak mengharuskan demikian, mengapa bentuk itu yang harus dipilih? Jadi jihad secara konfrontatif-bersenjata bukanlah opsi jihad yang telah tertutup, dia tetap merupakan pilihan yang terbuka dengan syarat konteks ruang-waktu dan kemampuan telah mengijinkan. Kesimpulan ini barangkali akan memicu munculnya pertanyaan: kalau demikian, apakah dapat dibenarkan aksi-aksi terorisme dan kekerasan yang dilakukan oleh sebagian (kecil) umat Islam Indonesia dewasa ini? Pertanyaan kami adalah: apakah memang konteks ruang dan waktu di Indonesia telah menjustifikasi bentuk jihad yang semacam itu? Sungguh, yang dilawan para teroris itu tidak jelas! Kalau memang yang dituju dengan aksi terorisme itu adalah Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya, mengapa aksi kekerasannya dilakukan di Indonesia? Jadi, meskipun opsi konfrontatif-bersenjata tetap terbuka, kondisi kongkrit umat Islam Indonesia harus dianalisis dengan tepat. Dan di sinilah persisnya perbedaan pendapat kami dengan para pelaku teroris itu — bila memang justifikasi perbuatan mereka didasarkan atas tafsir al-Quran dan Sunnah Nabi. Pertanyaan yang lebih penting untuk diajukan adalah apakah tindakan para teroris itu memang didasarkan atas dorongan untuk menegakkan Risalah Ilahi dan penafsiran yang benar atasnya serta kejayaan umat Islam atau justru ideologi kekerasanlah yang melatarbelakangi aksi-aksi mereka?

 
Lâ yukallifullâhu nafsan illa wus ‘ahâ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar