Weko Kuncara
Sengaja dalam kesempatan ini saya mengetengahkan tulisan mengenai Khilafah yang beberapa waktu terakhir ini sempat heboh, karena kemunculan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) yang sebelumnya dikenal dengan nama Islamic State of Iraq and the Levant (ISIL) dan akhir-akhir ini menyebut dirinya dengan The Islamic State saja yang dalam bahasa Arab resminya disebut ad-Dawlah al-ʾIslāmiyyah. Sengaja pula saya menunggu untuk tidak segera mempublikasikannya pada waktu sedang ramai-ramainya diperbincangkan semata-mata karena harapan untuk tidak turut memanaskan situasi yang sudah terlalu hangat.
Sengaja dalam kesempatan ini saya mengetengahkan tulisan mengenai Khilafah yang beberapa waktu terakhir ini sempat heboh, karena kemunculan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) yang sebelumnya dikenal dengan nama Islamic State of Iraq and the Levant (ISIL) dan akhir-akhir ini menyebut dirinya dengan The Islamic State saja yang dalam bahasa Arab resminya disebut ad-Dawlah al-ʾIslāmiyyah. Sengaja pula saya menunggu untuk tidak segera mempublikasikannya pada waktu sedang ramai-ramainya diperbincangkan semata-mata karena harapan untuk tidak turut memanaskan situasi yang sudah terlalu hangat.
Tulisan berikut ini tidak mengenai ISIS melainkan mengenai konsep Khilafah. Dan spesifik hanya konsep Khilafah menurut pandangan Hizbut Tahrir (penyebutan selanjutnya saya singkat dengan HT), salah sebuah gerakan Islam yang cukup populer di Indonesia. Karena sejauh yang saya ketahui, tidak hanya HT yang memiliki gagasan mengenai khilafah. Terutama kita harus menyebut nama Abu al-Hasan Ali ibn Muhammad ibn Habib al-Mawardi (972-1058 M), sebagai teoretikus pertama dan terpenting mengenai khilafah ini. Kemudian, barangkali yang juga cukup populer di Indonesia adalah formulasi-formulasi Abul A’la al-Mawdudi (1903-1979 M) yang sistem pemerintahan khilafahnya dia sebut sendiri sebagai “teo-demokrasi”.
Dengan demikian, saya ingin membuat jelas di sini bahwa kalau gagasan khilafah memang didasarkan pada ajaran Islam, maka tidak hanya satu konsep khilafah yang telah muncul. Meskipun akan menarik untuk melakukan tinjauan perbandingan terhadap berbagai konsep khilafah yang ada, namun, pada kesempatan ini saya hanya ingin memaparkan pandangan saya mengenai konsep khilafah HT. Harapannya, mudah-mudahan saya masih memiliki kemampuan untuk melakukan perbandingan tersebut, atau paling tidak, menguraikan pandangan-pandangan al-Mawardi, al-Mawdudi, ataupun ulama-ulama yang lain.
Pada dasarnya tulisan ini saya bagi menjadi tiga bagian, yakni: alasan-alasan mengapa khilafah harus ditegakkan menurut HT; bagaimana konsep khilafah menurut HT; dan beberapa kritik saya terhadap kedua hal tersebut. Akhirnya, saya ingin menegaskan pretensi saya. Sama seperti HT, saya merindukan tegaknya tatanan nilai-nilai Ilahi di bumi Allah ini, namun kita pun harus memastikan bahwa secara teoretis tatanan itu harus ditegakkan di atas landasan atau dasar-dasar berpikir, formulasi-formulasi atau konsep-konsep yang benar sejauh menurut ajaran Islam. Akan menjadi aneh apabila kita hendak menegakkan sesuatu yang benar dengan dasar berpikir yang salah dan memformulasikannya secara tidak benar. Jadi, betapapun tulisan ini pada dasarnya adalah sebuah kritik, namun, demikian saya berharap, merupakan kritik-diri yang konstruktif. Dan dari kesadaran semacam inilah kita bisa mulai melakukan sesuatu demi menegakkan tatanan politis menurut ajaran-ajaran Islam.
1. MENGAPA HARUS KHILAFAH?
Dalam menguraikan keharusan mendirikan khilafah menurut pandangan HT ini, saya membagi penjelasannya menjadi dua, yakni: menurut tinjauan historis dan tinjauan dalil. Hendaknya dicatat bahwa pembagian itu tidak terdapat dalam uraian sumber-sumber yang saya pergunakan, namun saya menggunakannya untuk mempermudah penjelasan. Hal ini dikarenakan —sejauh sumber yang dapat saya peroleh— alasan-alasan menyangkut kedua hal tersebut telah sedemikian rupa tercampur aduk.
Garis bawah pada teks kutipan dalam bagian ini berasal dari saya, untuk memberikan tekanan atas apa yang saya maksudkan, baik mengenai pandangan HT maupun poin pokok yang saya kritik. Penebalan dan kursif berasal dari penulis asli atas teks yang dikutip. Kata-kata yang terletak di antara dua tanda kurung brackets (yakni, [ ]) merupakan tambahan penjelasan dari saya, dan bilamana perlu menarik suatu perbedaan saya akan mencantumkan inisial nama saya (yakni, WK). Akhirnya, akibat gagap teknologi, saya ingin meminta maaf karena ketidakmampuan saya untuk menulis teks-teks kutipan dalam tulisan Arab.
1.1. Tinjauan Historis
Berikut adalah uraian yang dikutip dari salah seorang pelopor gerakan HT di Indonesia, Abdurrahman al Baghdadi (1997:11-12).
Keberhasilan da’wah Rasulullah SAW. merupakan sebuah fakta yang tak mungkin dipungkiri. Beliau berhasil membangkitkan kaumnya dari kebodohan menjadi kaum cendikia yang beriman, dari terhina menjadi jaya dan terhormat. Selama 13 tahun Rasulullah SAW. bekerja keras dan berjuang tanpa mengenal lelah, apalagi menyerah dalam menyampaikan da’wah di Makkah guna mengubah seluruh pandangan dan sikap hidup masyarakat, sebagai titik tolak dan persiapan berdirinya suatu “Masyarakat Baru” dengan segala bentuk tatanan nilainya.
Setelah da’wah di Makkah melalui dua fase yakni, fase pembentukan kelompok da’wah secara sirriyah (rahasia) dan fase tafa’ul (berinteraksi langsung dengan masyarakat secara terbuka) dalam rangka pertarungan pemikiran serta perjuangan politik praktis menghadapi masyarakat dan penguasa, datanglah cercah-cercah keberhasilan di Yatsrib (yang kemudian berganti nama menjadi “Madinah”) ketika kelompok dari suku ‘Aus dan Khazraj berbai’at pada Bai’at Aqabah I yang kemudian disusul dengan Bai’at Aqabah II yang merupakan janji untuk menyerahkan kekuasaan, mentaati dan membela Rasul.
Peristiwa pernyataan ketaatan itu adalah cikal-bakal terbentuknya pasukan Islam. Rasulullah SAW. kemudian menetapkan Yatsrib (Madinah) sebagai titik sentral da’wah Islamiyah dan sebagai titik awal pusat pemerintahan Islam. Dari sinilah Islam menyebar dan menjangkau seluruh pelosok Jazirah Arab semasa Rasulullah SAW. hidup. Da’wah Islam kemudian dilanjutkan pada periode khulafa’ ar-Rasyidin dan seterusnya sehingga merambah ke berbagai pelosok dunia (benua Asia, Afrika, dan Eropa). Islam yang kita pegang teguh-teguh saat ini adalah berasal dari jerih payah generasi para shahabat.
Terbentuknya masyarakat Islam yang berkualitas prima di Madinah dan di daerah penyebarannya, adalah keberhasilan Rasulullah SAW. yang tak tertandingi oleh sistem manapun, baik dari segi kekuatan integralnya maupun keeratan ukhuwahnya. Ketika itu, setiap individu muslim terpatri menjadi satu bangunan yang saling kokoh-mengokohkan dan mengindahkan kepentingan satu sama lain, bersatu dalam sebuah sistem yang kemudian tampil menjadi pusat dan kiblat kegiatan intelektual serta politik dalam taraf mendunia selama lebih dari sepuluh abad.
Kini kebanggaan itu telah sirna dengan runtuhnya Kekhilafahan Utsmaniyah di Turki, tanggal 3 Mei 1924.
Di bagian lain al Baghdadi menjelaskan (1997:51-52),
Kini mereka [umat Islam—WK.] terpecah belah menjadi lebih dari 50 negara. Ada sebagian negeri Islam yang langsung diduduki oleh dunia Barat dan kemudian dipisahkan dari khilafah Islamiyah, seperti India, Kaukasus [negeri-negeri sekitar Asia Tengah, yang pernah menjadi bagian wilayah Uni Soviet—WK.] dan negeri-negeri lain yang terdapat di Asia tengah dengan pulau-pulau di Hindia Timur yang dikenal dengan Indonesia. Ataupun dengan cara membuat penduduknya sendiri yang menuntut memisahkan diri dari khilafah, seperti negara-negara Arab.
Jika dahulu, di seluruh negeri-negeri Islam ummat memutuskan tata hukum dan perundang-undangan berdasarkan hukum Islam semata, maka setelah jatuhnya negeri-negeri kaum muslimin di tangan kaum imperialisme, maka munculah hukum dan perundang-undangan yang beraneka ragam yang berasal dari negeri-negeri Barat.
Penjelasan al Baghdadi (1997:107) di bawah ini selain dapat dinyatakan sebagai tinjauan historis, dapat juga dikatakan sebagai dalil dalam bentuk Hadits atau Sunnah Nabi.
Selain itu, beliau [Nabi Muhammad] juga menjelaskan kepada kaum muslimin bagaimana caranya mengatur jalannya pemerintahan, membentuk strukturnya, politik dalam dan luar negeri negara, serta segala sesuatu yang berhubungan dengan sistem dan mekanisme pemerintahan. Beliau perintahkan kaum muslimin sesudahnya untuk tidak melewatkan satu kurun waktupun tanpa adanya “khalifah” (Kepala Negara) [pada poin ini, al Baghdadi memberi catatan kaki (No. 9) yang merujuk pada Tartib Musnad Imam Ahmad, jilid III, halaman 52—WK.] dan tidak membiarkan sedikitpun waktu terluang tanpa adanya “jihad dan penaklukan” daerah baru [pada poin ini, al Baghdadi memberi catatan kaki (No. 10) yang merujuk pada Sunan Abi Dawud, jilid III, halaman 18; dan Sunan Ad-Dalimy, Firdaus al-Akbar, halaman 228—WK.].
Oleh karena itu, pada saat kevakuman khalifah seperti yang terjadi sekarang ini, maka da’wah Islamiyah haruslah bersifat menyeluruh yang mengajak kepada Islam sekaligus mengajak kaum muslimin untuk melanjutkan kehidupan Islam, dengan cara berusaha mendirikan khilafah yang akan menerapkan Islam dan mengemban risalah Islam ke seluruh dunia. Sehingga da’wah yang tadinya adalah dalam rangka mewujudkan kehidupan/sistem Islam di seluruh negeri-negeri Islam, akhirnya beralih kepada da’wah yang dikembangkan oleh negara ke seluruh penjuru dunia dengan cara jihad (peperangan); serta beralih dari da’wah yang bersifat regional kepada da’wah yang bersifat internasional.
1.2. Tinjauan Dalil
Menekankan penjelasannya, al Baghdadi menulis (1997:119-121),
Da’wah Islamiyah di masa kini diemban sebagaimana dulu da’wah Rasulullah SAW. diemban. Da’wah ini dijalankan dengan mengikuti Rasulullah SAW. tanpa menyimpang sehelai rambutpun dan thariqah (metode) da’wah Rasulullah SAW., secara global maupun rinciannya. Allah Ta’ala berfirman:
“Katakanlah: Inilah jalanku (da’wah) ku, aku dan orang-orang yang mengikuti (hingga hari kiamat) mengajak (kamu) kepada (agama) Allah dengan hujah/bukti yang nyata, Maha Suci Allah dan aku tiada termasuk orang-orang musyrik.” (QS. Yusuf: 108).
Termasuk dalam thariqah Rasulullah SAW. itu adalah:
1. Mengemban da’wah merupakan aktivitas kelompok, bukan aktivitas yang dilakukan individu. Jadi harus dibentuk satu gerakan atau partai politik Islam. Allah SWT. Berfirman:
“Dan hendaklah diantara kamu ada segolongan/sekelompok ummat yang menyeru (orang kafir) kepada Islam, menyuruh (ummat Islam beserta para pemimpinnya) kepada yang ma’ruf dan mencegah mereka dari yang munkar; Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104).
2. Mengemban da’wah adalah aktivitas yang bercita-cita mewujudkan tujuan tertentu yaitu mewujudkan Islam dalam realitas kehidupan. Ini dapat direalisasikan dalam sebuah daulah Islam (khilafah) yang menerapkan Islam di dalam negeri dan mengemban risalah Islam ke seluruh dunia melalui jihad dan futuh (penaklukkan negara-negara yang ada di dunia). Allah telah berfirman:
“Maka putuskanlah perkara menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu” (QS. Al-Maidah: 48)
“Hai Nabi, berjihadlah melawan orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu dan bersikap keraslah terhadap mereka” (QS. Al-Taubah: 48)
3. Sesungguhnya sistem pemerintahan dalam Islam adalah Khilafah. Rasulullah SAW. bersabda [pada poin ini, al Baghdadi memberi catatan kaki (No. 1) yang merujuk pada hadits yang diriwayatkan Thabrani dalam Majma’ Az-Zawaaid, V/189-190, dengan menambahkan kata-kata, “para perawinya terpercaya”—WK.]:
“Kekuasaan yang pertama-tama pada ummat ini adalah kekuasaan yang berdasarkan nubuat/ kenabian dan rahmat (bagi seluruh ummat manusia), kemudian akan diganti khilafah dan rahmat, lalu mulkan (kekuasaan yang mirip dengan kerajaan) [pada poin ini, al Baghdadi memberi catatan kaki (No. 2): “Yakni dalam hal-hal tertentu seperti adanya pewarisan tahta, sistem putera mahkota dan lain sebagainya”—WK.] pada dan (tetap bersifat) rahmat bagi segenap manusia, setelah itu (kembali sebagai) imarah (kesultanan) dan (pemberi) rahmat, dan pada akhirnya (kaum muslimin) akan saling berperang (merebut kekuasaan) seperti keledai-keledai berkelahi.”
4. Harus dilakukan usaha menghilangkan kekaburan pada sebagian hal yang berkaitan dengan aqidah Islamiyah dan harus membersihkan aqidah Islamiyah dari sangkaan-sangkaan dan khurafat serta mengikatkan aqidah dengan dalil qath’iy saja, sebab aqidah tidak boleh diambil kecuali dari dalil menyakinkan. …
Selanjutnya, dalam Bab X pada bukunya ini al Baghdadi memberi judul “Tanggung Jawab Bersama Kaum Muslimin dalam Menegakkan Khilafah”. Bab ini dipecah ke dalam tiga sub bab, masing-masing secara berturut-turut berjudul: ‘Hukum Menegakkan Khilafah’, ‘Mengapa Muslimin Memerlukan Negara’, dan ‘Berdosakah Umat Bila Tidak Berjuang?’. Dua sub bab pertama, karena letak pentingnya, saya kutip di bawah secara penuh, sedangkan sub bab ketiga akan disajikan inti pikirannya saja.
Hukum Menegakkan Khilafah
Sesungguhnya sunnatullah (ketentuan yang telah ditetapkan Allah SWT.) dalam kehidupan manusia yang berlaku pada setiap ruang dan waktu, antara lain adalah mewajibkan manusia agar mereka mempunyai satu kepemimpinan yang mewakili mereka, untuk menjalankan tugasnya dalam menyelesaikan semua urusan mereka dan berusaha untuk memenuhi kepentingannya sesuai apa-apa yang mereka ketahui, yakni ide, tolak ukur, dan sikap tunduknya. Dalam hal ini, contoh parameter tersebut antara lain adalah sikap mereka terhadap hukum riba, khamr, daging babi, zina, yang mereka yakini bahwa semua itu haram. Atau juga keyakinan mereka bahwa agama Islam adalah agama yang benar dan mulia dan menjamin kemuliaan bagi pemeluknya.
Pemahaman terhadap apa yang kami uraikan di atas, mengharuskan ummat mendukung dan melindungi posisi kepala negara (khalifah) dengan semua daya kekuatan. Materi (misalnya persenjataan) yang mampu menunjang khalifah dalam melaksanakan hukum-hukum Islam serta menyelesaikan semua perselisihan di antara rakyat. Sebab, khalifah adalah suatu kekuatan yang menguasai pemerintah dan memimpin badan eksekutif dan yudikatif. Dalam rangka memelihara urusan ummat, baik di dalam maupun di luar negeri, ia senantiasa berusaha memikul beban yang dibebankan syara’ [hukum Islam] terhadap rakyatnya.
Beban tanggung jawab yang dipikul oleh ummat Islam pada setiap ruang dan waktu adalah “menerapkan Islam” dan mengemban da’wah Islamiyah ke seluruh bangsa dan negara di dunia.
Semuanya itu memerlukan adanya persiapan militer untuk melakukan jihad agar mampu mengusir musuh dan melindungi tapal batas, serta melenyapkan segala kekuatan (persenjataan) yang dimiliki oleh negara-negara kafir yang selalu menghadang dan menghalangi tersebarnya da’wah Islamiyah. Tanpa adanya negara, mustahil semua yang dicita-citakan itu dapat terwujud. Oleh karena itu, mendirikan daulah [negara] Islamiyah adalah langkah awal dalam perjalanan Islam. Sebab, tanpa daulah, maka ummat Islam tidak mungkin menghasilkan sesuatu apapun. Dalam hal ini, ada kaedah syar’i yang mengatakan:
“Sesuatu yang menyebabkan tidak sempurnanya suatu kewajiban, kecuali hanya dengan adanya sesuatu itu, maka ia (sesuatu itu) menjadi wajib”.
Berangkat dari kaidah tersebut, maka mendirikan suatu daulah adalah wajib bagi seluruh kaum muslimin, dan tidaklah gugur dosa mereka sehingga kewajiban itu terwujud secara nyata.
Mengapa Kaum Muslimin Memerlukan Negara?
Orang yang mau memperhatikan kondisi ummat Islam di masa kini, akan melihat betapa banyaknya pemimpin dan negara yang semuanya itu mencerminkan kehancuran dan keterpecahbelahan ummat. Lagi pula, semua negara tersebut “dibuat” dan diabadikan oleh musuh-musuh Islam, di atas puing-puing daulah khilafah. Tujuan mereka tidak lain adalah agar dapat diterapkan hukum-hukum kufur atas kaum muslimin, menghancurkan persatuan mereka dan melestarikan perpecahan itu, sehingga ummat ini tetap berada dalam kondisi lemah dan tertindas.
Dalam waktu yang sama negeri-negeri Islam itu tetap menjadi ladang bagi musuh-musuh Islam untuk menanamkan dan menyebarkan berbagai kerusakan dan kebejatan. Oleh karena itu, menegakkan kembali daulah Islamiyah, merupakan kewajiban yang paling penting. Sebab, banyak kewajiban syar’i yang bertumpu kepada adanya daulah seperti, melaksanakan syari’at Islam (hukum-hukum ekonomi, politik, pendidikan, sosial, pidana dan lain sebagainya), menjaga perbatasan wilayah-wilayah Islam; mengerahkan tentara untuk membebaskan negeri-negeri Islam yang sudah dicaplok dari tangan kaum muslimin seperti Spanyol, Syprus, Malta, India, Pilipina, dll; menyatukan negeri-negeri Islam dan menyelesaikan sengketa yang terjadi di antara mereka; menjaga keamanan, menjamin pendidikan, kesehatan, dan keterbelakangan dan buta huruf, serta usaha mencapai kemajuan di bidang sains dan teknologi, ekonomi, politik internasional dan sebagainya.
Atas dasar tersebut, maka daulah yang wajib didirikan oleh kaum muslimin adalah khilafah, karena dialah satu-satunya sistem pemerintahan dalam Islam yakni sebagai pimpinan umum bagi kaum muslimin di seluruh dunia. Tidak ada lagi kepemimpinan bagi mereka selain khilafah.
Kewajiban mendirikan khilafah ini telah ditetapkan berdasar Al Qur’an, Sunnah Rasul dan Ijma’ shahabat. Adapun ketentuan al Qur’an mengenai hal paling penting ini, antara lain apa yang disebutkan dalam firman Allah SWT.:
…[teks Arab—WK.]
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu” (QS. An-Nisaa’: 59)
Yang dimaksud dengan ulil amri dalam ayat ini adalah orang-orang yang telah dipilih oleh Rasulullah SAW. mereka terdiri dari para wali, kepala daerah, pejabat, dan komandan perang. Dengan demikian, termasuklah ke dalam kategori ayat ini adalah mereka yang memegang urusan kaum muslimin sesudah Rasulullah SAW. yaitu para khalifah. Sebab, merekalah yang berwenang mengangkat para ulil amri (pejabat), dan menentukan kedudukan banyak aparat dari berbagai lembaga pemerintah lainnya.
Adanya para khilafah tersebut pada setiap masa hukumnya wajib, dan taat kepada mereka wajib pula hukumnya. Ini menunjukkan bahwa mewujudkan mendirikan negara Khilafah adalah wajib. Sebab, ketika Allah SWT. memerintahkan untuk taat kepada waliyul amri (pemimpin/khalifah), maka sesungguhnya Dia telah memerintahkan pula untuk mewujudkan Khalifah yang wajib ditaati. Dalam hal ini, Allah SWT. tidak pernah memerintahkan untuk taat kepada seseorang yang wujudnya tidak ada.
Berdasarkan dari penunjukan (dilalah) yang terkandung dalam ayat tersebut di atas, maka wajiblah bagi kaum muslimin untuk mendirikan khilafah. Sebab, khilafah adalah kekuasaan yang terdiri dari orang yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan Islam, sedangkan yang lain adalah sebagai wakil atau penasehat khalifah. Dengan kata lain, daulah khilafah adalah khalifah yang menerapkan hukum Islam.
Adapun dalil dalam Sunnah Rasulullah SAW. antara lain seperti yang tertera di dalam sebuah riwayat hadits, yaitu [pada poin ini, al Baghdadi memberi catatan kaki (No. 1) yang merujuk pada Tartib Musnad Imam Ahmad, jilid XX, halaman 52; hadits no. 119; juga kitab Mu’jam al-Ausath dan al-kalir jilid 19 hal. 334 dan Musnad Abi Ya’la hadits no. 7375—WK.]:
…[teks Arab—WK.]
“Siapa saja yang mati tanpa mempunyai imam (khalifah), maka matinya seperti mati jahiliyah.” (HR. Imam Ahmad dan Thbarani).
Dari dua baris keterangan Hadits di atas, maka dapat dipahami bahwa Rasulullah SAW. mencela orang-orang muslim yang mati dalam keadaan tidak mempunyai pemimpin/khalifah. Ini berarti, ia meninggalkan kewajiban, dan dengan demikian, haram hukumnya menurut syara’, yakni haram melalaikan.
Kewajiban mengangkat seorang Khalifah hadits tersebut merupakan keterangan tentang status matinya seorang muslim pada saat tidak adanya khilafah adalah sama dengan matinya seorang kafir pada masa jahiliyah yang sama sekali tidak pernah mengenal kebaikan dan tidak pernah mengikuti jalan lurus dalam hidupnya. Penyerupaan yang diutarakan di dalam hadits tersebut adalah pemberian predikat buruk dan tercela yang ditujukan kepada kaum muslimin yang mati dalam keadaan tidak ada khilafah. Oleh karena itu, seorang muslim berdosa besar apabila dia tidak berusaha bersama kaum muslimin lainnya untuk mengangkat seorang khalifah, sesuai dengan thariqah/cara yang telah ditentukan oleh syara’.
Dosa yang dimaksud itu tidak akan gugur hingga ia mengerahkan segala daya upaya dan kesungguhannya untuk mengangkat seorang khalifah. Demikian pula dosa itu tidak akan gugur bagi semua ummat Islam, sampai mereka berusaha mengembalikan daulah khilafah. Usaha ini harus dilakukan secara terus-menerus, siang dan malam tanpa berhenti, sampai sistem khilafah itu benar-benar terwujud.
Karenanya ancaman yang disebutkan di atas, sesungguhnya logis dan mudah dimengerti. Sebab, banyak hukum-hukum syara’ (hampir 90%) yang tidak dapat dilaksanakan tanpa adanya khilafah. Bahkan, keadaan ini tidak boleh dibiarkan barang sekejap waktu sekalipun. Oleh karena itu, mengembalikan pelaksanaan hukum-hukum syara’ adalah wajib. Dengan demikian, tidak ada pilihan lain selain dituntut adanya khilafah. Karena itu, dengan sendirinya, hukum mendirikan khilafah adalah wajib, sebagaimana wajibnya menegakkan hukum-hukum syara’ di muka bumi ini.
Adapun dalil dari ijma’ shahabat, para shahabat Nabi telah menjadikan urusan yang paling penting itu setelah wafatnya Rasulullah SAW., adalah mengangkat khalifah (kepala negara), sebagai pengganti beliau dalam urusan pemerintahan, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim tentang peristiwa Tsaqifah Bani Sa’idah. Begitu pula setelah meninggalnya keempat khalifah sesudah Rasulullah SAW. Dengan demikian, telah menjadi khabar mutawatir (yang pasti kebenarannya) terhadap adanya ijma’ shahabat tentang wajibnya mengangkat khalifah. Hal ini mereka jadikan perkara yang paling penting dari semua kewajiban syara’. Ijma’ tersebut dapat dianggap dalil yang qath’i [pasti]. Begitu pula dengan ijma’ shahabat melalui riwayat mutawatir yang tidak membolehkan terjadinya kevakuman dalam kehidupan ummat terhadap adanya khalifah pada setiap waktu. Dalam hal ini, Ibn Khaldun mengatakan [pada poin ini, al Baghdadi memberi catatan kaki (No. 2) yang merujuk pada Ibn Khaldun, Muqaddimah, juz I, halaman 688—WK.]:
“Sesungguhnya pengangkatan imam (khalifah) adalah wajib. Kewajiban ini telah ditetapkan oleh syara’, berdasarkan ijma’ shahabat dan tabi’in. Sebab, ketika Nabi wafat, mereka (para shahabat) segera membai’at Abu Bakar Shiddiq dan menyerahkan urusan mereka kepadanya. Begitu pula yang terjadi pada setiap masa. Karenanya, ketetapan Ijma’ ini menunjukkan wajibnya pengangkatan imam”.
Oleh karena itu adalah wajib bagi ummat Islam untuk mengangkat imam (khalifah), yakni dengan mendirikan khalifah serta menetapkan seruan (kewajiban) ini ditujukan kepada seluruh kaum muslimin, semenjak permulaan wafatnya Rasulullah SAW. sampai hari kiamat.
Lebih jelas lagi sejauh mana kewajiban mengangkat khalifah, dan sejauh mana pemahaman mereka ihwal kewajiban ini, adalah diperlihatkan melalui tindakan para shahabat untuk menunda pemakanan jenazah Rasulullah SAW., karena kesibukannya dalam mengangkat seorang khalifah sebagai pengganti beliau. Padahal, hukum memakamkan jenazah setelah seseorang meninggal dunia adalah “wajib”. Diharamkan bagi mereka yang berkewajiban untuk mengurus jenazah beliau seperti memandikan, mengkafani, menshalatkan dan menguburkan, untuk mendahulukan mengurus sesuatu yang lain, sampai jenazah tersebut dikuburkan. Sebaliknya, para shahabat yang seharusnya mendahulukan mengurus dan memakamkan jenazah Rasulullah SAW., ketika itu justru sebagian dari mereka sedang sibuk mengangkat khalifah sebagai pengganti Rasulullah SAW. Sebagian yang lain termasuk kalangan dan kerabat Nabi berdiam diri. Mereka ini membenarkan tindakan para shahabat tersebut dan menangguhkan pemakaman Rasulullah SAW. selama dua malam. Padahal mereka mampu memprotes atau menolak perbuatan para shahabat tersebut dan juga mampu mengubur jenazah Rasulullah SAW. lebih cepat dari itu.
Demikianlah kesepakatan para shahabat dalam masalah pengangkatan khalifah. Hal ini menunjukkan bahwa para shahabat sepakat untuk mendahulukan pengangkatan khalifah daripada penguburan jenazah Rasulullah SAW. Tindakan mereka itu menunjukkan bahwa pengangkatan khalifah hukumnya “lebih wajib” untuk didahulukan daripada penguburan mayat.
Begitu pula dapat dibuktikan kewajiban yang pasti untuk mengangkat seorang khalifah dan sejauh mana pemahaman para shahabat terhadap kewajiban yang mendesak itu, yaitu dengan merujuk kepada perbuatan Umar bin Khaththab RA. ketika dia ditikam. Dalam keadaan yang parah menjelang meninggal dunia, kaum muslimin pada waktu itu meminta beliau untuk menentukan penggantinya. Tetapi Umar menolak. Namun para shahabat terus mendesak, sehingga beliau menetapkan dan membatasi enam orang calon, supaya dipilih salah satu dari mereka sebagai khalifah. Tidak cukup sampai disitu, bahkan beliau menetapkan waktunya secara pasti, yaitu maksimal tiga hari. Kemudian beliau mewasiatkan bahwa jika tidak ada kesepakatan dalam tempo tiga hari tersebut, maka hendaklah dibunuh orang yang tidak setuju terhadap hasil pemilihan itu.
Begitulah faktanya, lebih-lebih lagi beliau menyerahkan kepada Bilal ra. yang didampingi 50 tentara untuk membunuh orang-orang yang tidak setuju, padahal mereka adalah termasuk ahlu syura (perwakilan kaum muslimin), serta termasuk tokoh dari kalangan shahabat. Mereka terdiri dari Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah dan Sa’ad bin Abi Waqqas [pada poin ini, al Baghdadi memberi catatan kaki (No. 3) yang merujuk pada Ibn Qutaibah Al-Imamah was Siyaasah, juz II, halaman 24—WK.].
Karena dalil-dalil tersebut di atas sangat jelas, maka semua fuqaha tidak ada yang berbeda pendapat tentang wajinya mengangkat khalifah, serta tidak boleh ada kevakuman khalifah dalam satu masapun. Dalam hal ini Imam Ibnu Hazm azh-Zhahiri berkata [pada poin ini, al Baghdadi memberi catatan kaki (No. 4) yang merujuk pada Hazm azh-Zhahiri, Al-Fishal fil Milal wan Nihal, Juz III, halaman 87—WK.]:
“Ahli Sunnah dan seluruh golongan Islam, seperti Murji’ah, Syi’ah dan Khawarij, telah sepakat tentang wajib adanya khilafah, dan bahwa ummat Islam wajib tunduk kepada seorang imam yang adil, yang menegakkan hukum-hukum Allah SWT. di antara mereka, dan yang mengatur urusan mereka dengan hukum-hukum syara’ yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Kecuali golongan Najdaat dari kelompok Khawarij; mereka mengatakan bahwa tidak wajib bagi kaum muslimin untuk mengangkat seorang imam (pemimpin), tetapi masing-masing menjaga (batas-batas) kebenaran di antara mereka.” Tetapi (Ibnu Hazm) kemudian berkata: “Kelompok ini sudah lenyap (tidak ada lagi). Mereka adalah pengikut Najdaat bin Umair al-Hanafi. Namun, pendapat golongan ini tidak bisa diterima. Untuk menolak pendapat mereka, cukuplah dengan adanya ijma’ dari seluruh ummat Islam yang telah kita sebutkan di atas. Demikian pula al-Qur’an dan As-Sunnah telah menjelaskan tentang wajibnya mengangkat imam/khalifah”.
Dengan kedua tinjauan di atas, al Baghdadi menyimpulkan bahwa menegakkan khilafah hukumnya wajib. Tampaknya, al Baghdadi terlalu bersemangat dalam menetapkan wajibnya hukum menegakkan khalifah sehingga —paling tidak— di dua tempat ia menyatakan bahwa kewajiban itu berjenis fardlu ’ain, namun di halaman lain menyebutnya, sebagai fardlu kifayah. Di sini akan dikutipkan,
“Mewujudkan pemerintahan Islam (khilafah) hukumnya wajib atas setiap muslim (fardlu ’ain) dan ia merupakan kewajiban yang terpenting dalam Islam” (hlm. 24).
“Tragisnya, hal ini bukan dianggap sesuatu yang penting oleh mereka. Bahkan mereka anggap usaha mendirikan khilafah itu sebagai hal sepele, bukan sesuatu yang penting dan wajib hukumnya bagi kaum muslimin. Mereka telah meninggalkan sesuatu yang hukumnya fardhu ’ain atas setiap muslim” (hlm. 54).
“Hukum memilih seorang khalifah dan pembentukkan kembali sistem khilafah sekalipun hukumnya fardlu kifayah, namun … fardlu tersebut adalah tanggung jawab bagi setiap muslim, selama kaum muslimin belum mempunyai seorang khalifah” (hlm. 131).
Namun, dari sumber lain (yang merupakan sumber resmi keluaran HT Inggris) saya menjumpai bahwa bagi HT, hukum menegakkan khilafah adalah fardlu kifayah. Seperti diketahui makna fardlu kifayah adalah kewajiban yang bila telah dipenuhi atau dilaksanakan oleh sebagian Muslim, maka Muslim yang lain tidak berkewajiban menunaikannya. Contoh lain tentang kewajiban fardlu kifayah adalah memakamkan jenazah; bilamana sudah ada tetangga-tetangga terdekat yang memakamkan sebuah jenazah, maka Muslim yang lain sudah terbebas dari kewajiban itu, walaupun jaraknya dekat apalagi bilamana jaraknya jauh. Oleh karena itu, bagi HT, mendirikan khilafah memang adalah sebuah fardlu kifayah. Barangkali, al Baghdadi memang sebegitu rupa ingin menekankan atas pentingnya penegakan kembali khilafah.
2. BAGAIMANA KONSEP KHILAFAH?
Tulisan utama HT mengenai konsep khilafah dapat ditemukan dalam karya Taqiyudin an-Nabhani yang merupakan pendiri gerakan HT. Dengan menyesal harus saya katakan, untuk mempersiapkan karangan ini saya tidak menggunakan karya an-Nabhani tersebut. Namun, karena sebelumnya saya pernah mempelajarinya, saya yakin tidak ada pokok gagasan HT yang terlewatkan di sini.
Sayangnya, karya al Baghdadi tidak banyak menjelaskan mengenai persoalan ini. Memang, tampaknya, “tugas pokok” karya ini adalah meyakinkan para pembacanya bahwa dakwah Islam merupakan tanggung jawab individual seorang Muslim, dan dakwah itu harus diorientasikan untuk mencetak orang-orang yang memiliki kesadaran atas kewajiban untuk menegakkan khilafah, dan selanjutnya, bersedia memperjuangkan hal tersebut. Namun, terdapat kepingan-kepingan pernyataan al Baghdadi yang dapat dikatakan sebagai informasi atas konsep khilafah yang dikehendaki oleh Hizbut Tahrir.
Misalnya, al Baghdadi menegaskan bahwa khilafah yang dimaksudkan penegakannya adalah sebuah “daulah Islamiyah yang super” yakni “harus meliputi semua bagian bumi yang berserakan dalam dunia Islam” serta “harus menerapkan Islam sebagai suatu sistem yang bersumber dan terpancar dari aqidah Islamiyah” (1997:59). Ditandaskannya,
“Oleh karena itu daulah Islamiyah yang dimaksudkan tidak lain adalah pemerintahan yang berhasrat melestarikan kehidupan Islam secara sempurna bagi seluruh kawasan Islam dan senantiasa berusaha memperluas kawasan khilafah, dengan cara membuka daerah baru. Sebab, dialah yang bertanggung jawab ‘mengemban da’wah Islam’ kepada seluruh manusia/bangsa di luar daulah khilafah.” (1997:60).
Bahwa Hizbut Tahrir hendak mendirikan suatu negara mondial (mendunia, yakni satu dunia ke dalam satu negara) juga tampak dalam kutipan al Baghdadi (1997:148-149) berikut ini.
Semua fenomena yang saat ini terpampang di depan mata kita, seharusnya telah mampu menggerakkan ummat Islam untuk bersatu. Sebab, persatuan ummat Islam dan wilayahnya adalah wajib. Mereka tidak boleh dipisah-pisah oleh batas daerah. Tidak ada satupun penghalang (pagar duri) yang membatasi pandangan mereka. Mereka tidak dibenarkan tunduk kepada lebih dari satu orang pemimpin yang bertanggung jawab mengatur urusan ummat sedunia. Sebab, kepada pemimpin tunggal seperti itulah diserahkan seluruh urusan ummat, supaya dia dapat membangun semua perangkat infra dan supra struktural yang diperlukan untuk membentuk suatu kekuatan internasional yang mampu tegak berdiri di antara bangsa-bangsa lain di dunia.
Di antara perkara-perkara yang menunjukkan wajibnya persatuan kaum muslimin di seluruh dunia dan tidak diperbolehkan berpecah-pecah menjadi banyak negara, dasarnya adalah keterangan dari nash-nash syar’i yang isinya menunjukkan wajib adanya kesatuan daulah dan wilayah kekuasaan Islam, serta larangan bagi ummat Islam untuk memiliki lebih dari satu negara. Diantara nas-nash tersebut adalah apa yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Amru bin al-Ash, bahwa ia mendengar dari Rasulullah SAW. bersabda [pada poin ini, al Baghdadi memberi catatan kaki (No. 1) yang merujuk pada Shahih Muslim Jilid III hal. 1473 No. 1844—WK.]:
…[teks Arab, dalam kalimat pertama terbaca: man bâya‘a ’imâmâ fâ’thâhu shafqata yadihi—WK.]
“Siapa saja yang membai’at imam/khilafah kemudian ia mengulurkan tangan dengan sepenuh hati, maka hendaklah dia berusaha untuk taat sekuat tenaganya. Apabila datang orang lain yang ingin merebut kekuasaannya, maka pancunglah lehernya.” (HR. Muslim dan Imam Ahmad).
Hadits ini memerintahkan kepada setiap kaum muslimin untuk membunuh orang yang merebut kekuasaan khalifah yang telah diangkat oleh kaum muslimin sebagai pemimpin yang memberlakukan hukum Islam terhadap mereka berdasarkan apa-apa yang telah diturunkan oleh Allah SWT. Dalam riwayat lain yang serupa dengan hadits tersebut di atas, Imam Muslim meriwayatkan pula sebuah hadits dengan sanadnya berasal dari Abu Sa’id al-Khudri dari Rasulullah SAW. [pada poin ini, al Baghdadi memberi catatan kaki (No. 2) yang merujuk pada Sahih Muslim, Jilid III hal. 1480 No. 1853 dan al-Bazzar hadits No. 1595]:
…[teks Arab—WK.]
“Apabila ada dua orang khalifah dibai’at, maka bunuhlah yang terakhir (di antara keduanya).” (HR. Muslim, al Bazzar dan At Thobroni).
Tindakan yang disebutkan pada Hadits di atas perlu dilakukan agar urusan ummat Islam tidak terbagi-bagi, disebabkan adanya dua orang pemimpin/khalifah dalam waktu yang sama, saling merebut kekuasaan, berselisih tentang urusan ummat dan masing-masing berkuasa atas salah satu wilayah tertentu. Kalau hal tersebut terjadi, maka apa jadinya seandainya urusan ummat ini diserahkan kepada lebih dari 50 orang yang saling berebut pengaruh dalam urusan ummat. Mereka bukan mempersatukan ummat, melainkan memecah belah ummat menjadi berbagai bangsa dan negara kecil yang sangat lemah.
Keadaan tersebut menyebabkan masing-masing negara tidaklah mampu menghadapi musuh-musuhnya. Oleh karena itu, usaha menyatukan negeri-negeri Islam dan kaum muslimin dalam satu wadah kekuasaan daulah, yaitu Khilafah Islamiyah, dan mengangkat seorang khalifah yang bertanggung jawab terhadap seluruh kaum muslimin, usaha tersebut merupakan suatu kewajiban atas setiap muslim yang mampu, baik perseorangan (misalnya seorang pemimpin/kepala negara) maupun bersama-sama dalam satu kelompok da’wah, untuk merealisasikan tujuan mulia dan agung ini.
Abdul Qadim Zallum, penerus Taqiyudin an-Nabhani, dalam Pemikiran Politik Islam, mengemukakan beberapa hal berkaitan dengan konsep khilafah ini, antara lain:
1. Negara atau daulah Islamiyah berbentuk negara kesatuan, bukan negara federal. Ini didasarkan kepada dua hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang telah dikutipkan pada tulisan al Baghdadi di atas.
2. Meskipun Islam mengenal syura, yakni musyawarah, namun Islam, menurut HT, memvonis bahwa demokrasi adalah sistem kufur. Hal ini didasarkan atas tiga alasan berikut.
a. Demokrasi adalah suatu bentuk agresi budaya yang dilancarkan Barat untuk memperlemah umat dan daulah Islam.
b. Demokrasi adalah sebuah sistem yang utopis, baik karena tidak sesuai dengan kenyataan maupun karena sesungguhnya tidak dapat dipraktikkan.
Misalnya, dikatakan dalam demokrasi bahwa pemerintahan adalah dari, untuk dan oleh rakyat. Namun, menurut Zallum, dalam kenyataannya, yang menjalankan pemerintahan hanya sekelompok orang (yakni, pemerintah) bukannya seluruh rakyat. Tak pernah dalam kenyataannya, dan memang tak dapat direalisasikan, bahwa pemerintahan dijalankan oleh seluruh rakyat.
c. Demokrasi adalah sistem buatan manusia. Sedangkan manusia tidak lepas dari kesalahan dan kebatilan. Sementara itu, Allah sendiri sudah melarang umat Islam untuk menggunakan sistem selain Islam sebagaimana dapat dibaca dalam ayat-ayat 44, 45, dan 47 pada Surah al-Mâ’idah. Barangsiapa masih menggunakan selain sistem Allah maka dia adalah orang kafir dan fasik.
3. Tentang jabatan khalifah
a. Meskipun, penguasa atau khalifah dipilih oleh rakyat, namun rakyat tidak dapat menjatuhkannya. Secara harfiah ini berbeda dengan yang dikemukakan oleh Ismail Yusanto, yang menulis,
Apakah rakyat boleh turun tangan secara langsung? Jawabnya, boleh karena rakyat adalah pemilik kekuasaan. Rakyat boleh menjatuhkan khalifah setelah terbukti bahwa khalifah menyimpang dari syariat Islam. Bahkan kalau penyimpangan yang dilakukan oleh khalifah sampai pada batas yang menunjukkan kekufuran yang nyata, rakyat boleh angkat senjata (menggunakan kekerasan).Perbedaan ini barangkali karena masalah penekanan semata-mata. Mungkin, yang dimaksudkan Zallum adalah menjatuhkan atau mengkudeta secara langsung. Sebab Hizbut Tahrir mengenal Mahkamah atau Qadhi Mazhalim (Hakim yang menangani peradilan atas praktik kezhaliman atau kesewenang-wenangan pejabat negara, termasuk khalifah). Yusanto mengemukakan prosedur normal: kezhaliman khalifah dilaporkan kepada Mahkamah Mazhalim, kemudian yang terakhir ini akan memprosesnya dan menentukan apakah memang terjadi penyimpangan terhadap syari‘ah Islam atau tidak, bila memang demikian halnya, maka mahkamah inilah yang memberhentikan khalifah dari jabatannya. Apa yang dikemukakan Yusanto ini, sejalan dengan apa yang terdapat dalam karya editorial Jalal al-Ansari (selanjutnya disebut al-Ansari) bahwa Qadhi (Hakim) Mazhalim dapat memberhentikan khalifah.
Namun, memang agak membingungkan karena Yusanto menandaskan “kalau penyimpangan yang dilakukan oleh khalifah sampai pada batas yang menunjukkan kekufuran yang nyata, rakyat boleh angkat senjata (menggunakan kekerasan)”. Meskipun demikian, poin pokok yang dapat ditentukan di sini adalah bahwa pada dasarnya seorang khalifah dapat dijatuhkan terutama karena melakukan pelanggaran atau penyimpangan atas Syari‘ah Islam.
Karya editoral Jalal al-Ansari menambahkan berbagai hal yang dapat menyebabkan seorang khalifah dapat diberhentikan dari jabatannya. Namun, dapat dikemukakan di sini bahwa syarat-syarat pemberhentian itu sama sekali sejalan dengan apa yang pernah digariskan oleh al-Mawardi dalam karya teori politik pertama dalam literatur Islam, al-Ahkam al-Sulthaniyyah. Misalnya, bila ia menjadi tawanan musuh, atau bila ia mengganti jenis kelamin! Menurut karya ini, dapat saja seseorang ketika dibai’at adalah seorang laki-laki, namun seiring dengan waktu ia mengganti jenis kelaminnya menjadi seorang perempuan! Adapun menurut karya al-Ansari ini, seorang perempuan tidak boleh menjadi khalifah.
b. Berkaitan dengan pemberhentian khalifah adalah akhir jabatan khalifah. Zallum —sejauh yang saya pelajari— tidak menyinggung soal ini. Namun al-Ansari secara jelas membahasnya. Dijelaskannya, seorang khalifah tidak memiliki masa jabatan. Begitu ia dibai’at sebagai khalifah maka ia akan terus dalam kedudukannya itu hingga ia: meninggal dunia, mengundurkan diri, atau diberhentikan oleh Qadhi Mazhalim. Sejauh saya simak, al-Ansari tidak mengemukakan alasan yang menjustfikasi (membenarkan) bagi sistem ini. Mungkin saja, hal ini karena pembacaan dia atas sejarah empat khalifah pertama yang utama sesudah wafat Nabi, menunjukkan tak ada satu pun di antara mereka yang memiliki masa jabatan. Jabatan mereka sebagai khalifah berakhir karena meninggal dunia, entah secara wajar (Abu Bakar) atau karena dibunuh (tiga khalifah yang lain). Mungkin juga, karena Hizbut Tahrir tidak menemukan “nash” untuk itu.
4. Empat prinsip daulah khilafah
Al-Ansari menjelaskan bahwa khilafah Islam berdiri atas empat prinsip, yakni:
a. Kedaulatan terletak pada Syari‘ah.
Ini karena Syari‘ah adalah buatan Allah, tak ada satu pun yang dapat menandingi kelebihan hal yang merupakan buatan Allah secara langsung.
b. Kekuasaan terletak di tangan umat Islam.
Ini karena yang berhak atas kekuasaan sesungguhnya adalah umat Islam. Namun, kekuasaan di sini tidaklah semakna dengan kedaulatan. Betapapun kedaulatan tertinggi di tangan Allah, yang sudah dimanifestasikan dalam bentuk Syari‘ah dan untuk melaksanakan Syari‘ah itu memerlukan kekuasaan. Jadi kekuasaan hanyalah melaksanakan atau menerapkan apa-apa yang sudah terdapat dan digariskan dalam Syari‘ah. Tugas dia bukan membuat hukum-hukum karena itu adalah kewenangan Allah. Tugas kekuasaan, yang dipimpin pelaksanaannya oleh khalifah adalah menerapkan hukum-hukum Allah itu.
c. Kewajiban mengangkat khalifah
Seperti telah dikemukakan di atas, Syari‘ah harus dilaksanakan atau diterapkan. Namun, pelaksana-an itu agar terarah dan sesuai dengan tujuan, harus ada yang memimpinnya, dialah khalifah. Hizbut Tahrir juga mengakui bahwa ada kemungkinan terjadi perubahan-perubahan dalam masyarakat dan keadaan yang membutuhkan suatu ketentuan baru yang belum diatur secara tegas dalam Syari‘ah. Maka dalam pelaksanaan Syari‘ah ini terdapat prinsip yang keempat.
d. Hanya khalifah memiliki hak untuk:
(1) melakukan tabbani (mengadopsi) hukum-hukum syara’ guna pelaksanaan Syari‘ah itu sendiri. Mungkin yang dimaksudkan adalah menetapkan hukum-hukum baru yang belum secara tegas ditentukan oleh Syari‘ah. Tentu saja, dalam hal ini khalifah tidak dapat membuat hukum yang melanggar atau bertentangan nash-nash Syari‘ah yang telah jelas. Seluruhnya ditujukan untuk menjamin pelaksanaan secara penuh Syari‘ah Islam itu sendiri, dan oleh sebab itu tidak boleh terjadi penyimpangan atasnya.
(2) membuat, menetapkan serta menegakkan konstitusi dan perundang-undangan. Tentu saja, karakter konstitusi dan undang-undang yang ditetapkan oleh khalifah, seperti halnya dalam melakukan tabbani di atas, tidak boleh menyimpang dari Syari‘ah.
Jelaslah hingga di sini bahwa khalifah selain memegang fungsi eksekutif, juga memiliki kewenangan legislatif (dalam arti operasional, karena pembuat legislasi yang sesungguhnya hanyalah Allah semata). Sementara itu, Yusanto menjelaskan bahwa khalifah juga memiliki fungsi yudikatif, ini sebabnya khalifah dapat memimpin sebuah persidangan atau suatu perkara tertentu. Walaupun juga bukan merupakan masalah apabila ia mengangkat sejumlah qadhi untuk menangani kasus-kasus peradilan.
Sebagaimana ditegaskan oleh Zallum dan Yusanto, Hizbut Tahrir memang tidak mengenal pemisahan kekuasaan. Bila dikaitkan dengan pembahasan sebelumnya, dapat dinyatakan di sini bahwa seluruh jenis kekuasaan (eksekutif, legislatif dan yudikatif) pada dasarnya terletak di tangan khalifah.
Selanjutnya, khalifah, dalam rangka memperlancar tugas-tugasnya, dapat mengangkat sejumlah pejabat negara yang secara keseluruhan kedudukannya terletak di bawahnya. Al-Ansari telah menguraikan jabatan-jabatan pokok yang mestinya dimiliki dalam daulah Islamiyah beserta ringkasan uraian deskripsi kerjanya.
Al-Ansari juga menyebut adanya Qadhi Mazhalim (atau Mahkamah Mazhalim dalam penyebutan Yusanto) dan majlis al-ummah. Mahkamah Mazhalim, yang sudah beberapa kali disinggung di atas, pada dasarnya adalah sebuah lembaga peradilan. Dia menangani kasus-kasus persengketaan antara rakyat dan pejabat negara. Majlis al-ummah, adalah suatu majelis umat Islam (apakah dapat dikatakan semacam perwakilan rakyat?—WK) yang di antara kewenangannya adalah menyampaikan keluhan umat terhadap khalifahnya. Lembaga inilah yang —katakanlah— menampung aspirasi umat. Dalam kalimat Yusanto, “Anggota majelis ummah berhak secara langsung mengkritik khalifah berkaitan dengan keputusan atau kebijakannya yang dinilai tidak tepat dan merugikan rakyat.” Namun, dia bukanlah suatu parlemen yang di antara fungsinya adalah membuat legislasi atau memproduk hukum. Seperti dikemukakan di atas, setiap produk hukum baru (melalui metode tabbani) kewenangannya terletak di tangan khalifah. Dengan demikian —bilamana saya tidak keliru memahami— majelis umat memerankan fungsi semacam lembaga penasihat khalifah, dia akan mengawasi apakah jalannya pemerintahan atau kebijakan khalifah telah sesuai dengan Syari‘ah, dan dapat secara langsung mengkritik khalifah. Namun, lembaga ini tidak berhak memakzulkan (memberhentikan) khalifah dari jabatannya. Kritik majelis umat harus diperhatikan, karena bilamana tidak, khalifah dapat diajukan ke Mahkamah Mazhalim. Lembaga inilah yang dapat memberhentikan khalifah dari jabatannya. Ukuran dasar pemecatan pada dasarnya adalah Syari‘ah, yakni adakah bagian tertentu dari Syari‘ah yang telah dilanggar oleh khalifah.
Sementara itu, tidak jelas apakah Mahkamah Mazhalim dijabat oleh satu atau lebih dari satu orang. Menilik istilah yang dipergunakan, mahkamah ini bisa dianggotai oleh lebih dari satu orang; namun istilah qadhi lebih menunjukkan bahwa jabatan ini dipegang oleh satu orang saja, yakni seorang hakim. Sungguh-sungguh menarik (atau barangkali malah ironis?) bahwa jabatan qadhi diangkat oleh khalifah. Khalifah akan menerima berbagai masukan dari masyarakat atas orang-orang yang memenuhi syarat sebagai seorang qadhi mazhalim, untuk kemudian khalifah akan menimbang-nimbang siapa di antara calon-calon itu yang akan dipilihnya untuk menduduki jabatan tersebut. Secara struktur jabatan, jelaslah bahwa kedudukan qadhi mazhalim terletak di bawah kedudukan khalifah. Karena, bukankah khalifah itu yang mengangkatnya?
Sementara itu, keanggotaan majelis umat tidak dapat saya peroleh keterangannya berdasarkan bahan-bahan yang saya miliki. Jelas bahwa majelis ini (seperti tecermin dalam namanya) beranggotakan lebih dari satu orang. Namun, pertanyaannya, berdasarkan mekanisme atau prosedur apa seseorang dapat menjadi anggota majelis umat. Saya tidak tahu, apakah pemilu memang diperkenankan oleh Hizbut Tahrir, baik dalam konteks belum tegaknya ataupun ketika sudah terbentuknya daulah khilafah. Bila kita memperhatikan bagaimana mekanisme Hizbut Tahrir dalam menata negara dan struktur jabatan di dalamnya, maka mungkin tidak terlalu meleset bila kita menduga bahwa keanggotaan dalam majelis umat pun juga ditentukan oleh khalifah. Karena, bahkan untuk jabatan qadhi —yang nota bene memiliki kewenangan untuk memecat khalifah pun— diangkat oleh khalifah. Apalagi keanggotaan majelis umat yang perannya kurang lebih adalah semacam lembaga penasihat.
Demikianlah ringkasan pokok-pokok gagasan atas apa yang dinamakan sebagai sistem khilafah menurut pandangan Hizbut Tahrir. Kini, tibalah bagi saya untuk melakukan tinjauan kritis terhadap konsep khilafah itu.
3. TINJAUAN KRITIS TERHADAP KONSEP HT TENTANG KHILAFAH
Menyimak uraian di atas, seorang Muslim, siapapun dia tak terkecuali saya, tidak dapat tidak niscaya akan mengagumi semangat Hizbut Tahrir (HT) untuk menegakkan dan menerapkan Syari‘ah Islam dalam segenap aspek kehidupan seorang Muslim. Jelaslah bahwa pada poin ini, HT adalah benar. Namun, semangat memang kadang-kadang dapat membuat orang melupakan kebenaran, jadi sejenis sindrom. Sayangnya, HT pun tampaknya terkena sindrom atau penyakit ini. Semangat HT yang terlalu tinggi untuk menerapkan Syari‘ah Islam telah membuatnya —disadari atau tidak— untuk menutupi kebenaran sejarah masa lalu umat Islam. Seolah-olah HT memang awam dalam masalah sejarah Islam ini.
Sungguh, hampir dalam setiap inti kalimat yang ditampilkan dalam karya-karya aktivis HT, saya terangsang untuk segera memberikan kritik. Sesungguhnya, ini malah membuat saya kesulitan untuk melakukan kritik-kritik utama.
3.1. Tentang Istilah “Khalifah”
Sering saya bertanya-tanya, apakah istilah “khalifah” yang sering didengung-dengungkan oleh HT ini adalah suatu “merk paten” atau sekadar nomenklatur (tata nama, penyebutan biasa) belaka, sehingga dengan demikian dapat diganti dengan istilah yang sepadan (misalnya, kepala negara, presiden, atau gelarnya Umar ibn al-Khaththab, Amirul Mukminin) ataukah memang istilah yang tidak dapat diganti lagi bagi sebuah jabatan. Adapun kalau memang dapat diganti, saya sungguh-sungguh senang karena ini menunjukkan keterbukaan HT terdapat hal-hal yang bersifat “Arabic-minded” (kecenderungan ke-arab-arab-an). Sebab sejauh yang saya ketahui istilah khalifah bagi gelar kepala suatu negara Islam adalah “kebetulan” atau malah “transisional” belaka, paling tidak sejauh menurut riwayat-riwayat yang terdapat di bawah ini.
Di dalam kitab Tarikh al-Khulafa’, Imam Jalaluddin al-Suyuthi mencantumkan sebuah riwayat yang berasal dari Imam Ahmad ibn Hanbal (yang dinisbatkan sebagai pendiri madzhab Hanbali) yang meriwayatkan dari Abu Bakar ibn Abi Mulaikah yang berkata, “Dikatakan kepada Abu Bakar: ‘Wahai Khalifah Allah!’ Abu Bakar menjawab, ‘Saya khalifah Rasulullah, dan saya ridha dengannya’.”
Dalam kitab yang sama, Imam al-Suyuthi juga mencantumkan sejumlah riwayat seputar gelar yang dipilih oleh Umar ibn al-Khaththab. Untuk memperjelas persoalan, di sini akan saya kutip sepenuhnya.
Al-Askari dalam kitabnya al-Awail, juga ath-Thabarani dalam kitabnya al-Kabir dan al-Hakim meriwayatkan dari jalur Ibn Syihab bahwa Umar bin Abdul Aziz bertanya kepada Abu Bakar bin Sulaiman bin Abi Hatsman untuk apa dia menulis surat “Dari khalifah Rasulullah SAW” di zaman Abu Bakar, dan penulisan dari “Khalifah Abu Bakar”. Lalu siapa yang pertama kali menulis “Dari Amirul Mukminin.” Abu Bakar bin Sulaiman berkata: asy-Syifa’ —seorang wanita Muhajirat— berkata bahwa setiap menulis surat, Abu Bakar akan memulainya dengan kalimat: “Dari Khalifah Rasulullah.” Sedangkan Umar memulai dengan kalimat: “Dari khalifah khalifah Rasulullah.” Hingga suatu waktu Umar menulis surat kepada pejabat di Irak untuk mengutus dua orang yang kuat agar dia bisa bertanya tentang Irak dan masyarakatnya. Pejabat itu mengutus Labid bin Rabi’ah dan ‘Adi bin Hatim kepada Umar. Keduanya lalu menuju Madinah dan masuk Masjid Nabawi. Kedua orang tadi bertemu dengan ‘Amr bin al-‘Ash. Mereka berkata, “Bantulah kami untuk meminta izin kepada Umar hingga kami dapat bertemu dengan Amirul Mukminin.”
‘Amr bin al-‘Ash berkata, “Demi Allah, nama yang kalian berdua katakan adalah sangat cocok untuk Umar.”
Kemudian ‘Amr masuk menemui Umar. Dia berkata, “Assalamu’alaika ya Amirul Mukminin.”
Umar berkata, “Apa yang terdetik di benak anda dengan nama ini? Beritahukanlah kepada saya apa yang mendorongmu untuk memanggil saya dengan nama tadi.”
‘Amr bin al-‘Ash memberitahukan apa yang telah terjadi, dan dia berkata, “Engkau adalah Amir (pemimpin, komandan perang), sedangkan kami adalah kaum mukminin.” Dan sejak saat itulah surat-surat yang dikirimkan Umar bin Khaththab menggunakan nama itu.
Imam an-Nawawi berkata: Gelar Amirul Mukminin diberikan oleh Adi bin Hatim dan Labid bin Rabi’ah tatkala mereka berdua datang menemui Umar sebagai utusan dari Irak.
Juga disebutkan bahwa gelar itu diberikan pertama kali oleh al-Mughirah bin Syu’bah. Ada juga yang mengatakan bahwa Umar berkata di hadapan kaum mukminin: Kalian adalah kaum mukminin dan saya adalah amir kalian. Maka setelah itu dia dipanggil dengan sebutan Amirul Mukminin. Sebelumnya dia disebut dengan khalifah khalifah Rasulullah. Mereka kemudian mengganti nama yang panjang ini dengan sebutan Amirul Mukminin.
Ibnu Asakir meriwayatkan dari Mu’awiyah bin Qurrah dia berkata: Tatkala satu surat dikirimkan dari Abu Bakar pada masa pemerintahannya, maka pada surat itu tertulis sebagai berikut: “Dari khalifah Rasulullah.” Tatkala Umar menjadi khalifah orang-orang yang menulis surat dari Umar menuliskannya dengan “Dari khalifah khalifah rasulullah.” Kemudian Umar berkata: Ini terlalu panjang.
Mereka berkata, “Tidak, kita telah menjadikanmu sebagai amir (pemimpin) kami. Maka engkau adalah amir kami.”
Umar berkata, “Ya, kalian adalah kaum mukminin, sedangkan saya adalah amir kalian.” Maka setelah itu ditulislah Amirul Mukminin.
Seluruh riwayat dari ulama-ulama pendahulu (salaf) di atas dengan sejelasnya menunjukkan bahwa istilah gelar khalifah bukanlah sesuatu yang paten, melainkan karena “kebetulan”, “transisional” atau spontanitas nomenklatur belaka. Sebutan atau gelar-jabatan khalifah adalah kependekan dari ‘khalifah Rasulullah’, yang artinya pengganti Rasulullah, dengan demikian tidak semata-mata bergelar khalifah saja. Dan Umar memang adalah seorang pengganti dari pengganti Rasulullah, itu sebabnya gelarnya menjadi lebih panjang: khalifah khalifah Rasulullah. Abu Bakar memang adalah seorang khalifah (pengganti) Rasulullah, sedangkan Umar memang adalah seorang pengganti dari pengganti Rasulullah, khalifah dari khalifah Rasulullah. Sudah tentu gelar yang panjang ini dirasakan kurang nyaman untuk dipertahankan. Maka Umar sepakat untuk menggantinya dengan sebutan lain.
Dengan demikian, para Sahabat besar itu tidaklah menganggap bahwa istilah khalifah adalah gelar resmi kepala negara Islam atau memiliki anggapan bahwa gelar khalifah adalah gelar yang ajarkan oleh Islam yang seharusnya dipakai terus-menerus. Para Sahabat itu tidak tertarik untuk “mensakralkan” sesuatu yang memang tidak sakral. Namun, gelar yang dianggap memang “keterlaluan”, yakni para penguasa itu disebut “Khalifah Allah” (dalam hal ini, makna “Wakil Allah” lebih tepat dipergunakan sebagai terjemahan) sudah tentu akan mereka tolak.
Pada tahapan ini, tampak bahwa gelar khalifah bukanlah suatu gelar-jabatan yang telah baku. Sementara itu, pada masa Utsman dan Ali, keduanya sering dipanggil secara bergantian dalam hal gelar, baik dengan khalifah ataupun Amirul Mukminin. Dapat dikatakan, kira-kira pada tahapan ini, sedang terjadi proses pembakuan untuk menyebut seorang penguasa Islam, namun arahnya belum secara tegas tertentukan apakah akan seterusnya dipanggil khalifah ataukah Amirul Mukminin.
Dari riwayat-riwayat di atas, saya juga tertarik untuk bertanya-tanya kalau istilah tentang khalifah saja pada masa-masa awal itu tidaklah dianggap sebagai sesuatu yang baku, jangan-jangan konsep atau makna atas istilah khalifah itu juga belum lagi terumuskan. Untuk menjawab ini, mau tidak mau kita harus meninjau kemungkinan-kemungkinan pergeseran atas makna istilah khilafah.
3.2. Tinjauan Historis akan Gagasan Khilafah
Hizbut Tahrir, melalui al Baghdadi telah menyebutkan bahwa adanya khilafah membuat umat Islam “tampil menjadi pusat dan kiblat kegiatan intelektual serta politik dalam taraf mendunia selama lebih dari sepuluh abad.” Pertama-tama, kita fokuskan pada kata “sepuluh abad” dalam kalimat itu. Bila itu kita hitung dari hijrah Nabi, maka “taraf mendunia” itu berlangsung antara tahun 622 M dan 1622 M. Pada tahun ini, kekuatan Turki-Utsmani memang masih sulit ditandingi. Tetapi, sungguh, terletak di antara kedua tahun itulah konsep khilafah sama sekali berbeda dari waktu ke waktu. Oleh karena kalangan Hizbut Tahrir menyukai mendasarkan konsepnya pada hadits-hadits Nabi yang dinyatakannya otentik, maka tinjauan historis di sini akan saya mulai dengan mengetengahkan hadits-hadits yang oleh ulama-ulama Islam yang jauh lebih masyhur daripada pemimpin-pemimpin HT sebagai otentik pula. Kemasyhuran ulama-ulama yang saya sebutkan nanti, ataupun yang sudah saya kutipkan riwayatnya di atas, sedemikian menonjolnya sehingga seandainya kepakaran mereka ditolak oleh HT, akan membuat HT merobohkan fundamental khazanah keilmuan Islam yang diakuinya sendiri. Seluruhnya saya kutip dari kitab Imam al-Suyuthi, Tarikh al-Khulafa’, salah seorang dari dua pengarang tafsir terkemuka yang menjadi banyak rujukan, yakni Tafsir al-Jalalayn.
3.2.1. Pandangan Nabi tentang Khalifah dan Khilafah
Tersebut di dalam kitab Tarikh al-Khulafa’,
Imam Ahmad berkata, Bahz berkata kepada kami, Hammad bin Salamah berkata kepada kami, Said bin Jamhan dari Safinah berkata, Saya pernah mendengar Rasulullah berkata,
“Al-khilâfah tsulâtsûn ‘âman tsumma yakûnû ba’da dzalika al-mulk”
artinya, “Masa khilafah itu akan berlangsung selama tiga puluh tahun, setelah itu akan berbentuk kerajaan.”
Imam al-Suyuthi menegaskan, “Hadits ini diriwayatkan oleh para penyusun kitab Sunan, serta dinyatakan shahih oleh Ibn Hibban dan yang lainnya.” Adapun para ulama berkata: “Masa tiga puluh tahun itu adalah masa pemerintahan khalifah yang empat dan masa pemerintahan al-Hasan bin Ali.”
Imam al-Suyuthi juga mencantumkan riwayat lain yang berasal dari Al-Bazzar, dari Muhammad bin Miskin, dari Yahya bin Hassan, dari Yahya bin Hamzah, dari Makhul, dari Abi Tsa’labah, dari Abu Ubaidah bin Jarrah dia berkata, Rasulullah bersabda,
“Awwal dînikum nubuwwat wa rahmah tsumma khilâfah wa rahmah tsummah mulk wa jabarûn.”
Artinya, “Awal agama kalian dimulai dengan masa-masa kenabian dan rahmat, kemudian masuk masa khilafah dan rahmat, lalu masuk masa kerajaan dan diktator.”
Juga dari al-Bazzar, dari Yahya bin Ya’la bin Manshur, dari Abu Bakar bin Syaibah, dari Muhammad bin Ismail bin Abi Fudaik dari Muhammad bin Abdurrahman al-Amiri dari Suhail dari ayahnya, dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasulullah bersabda kepada al-Abbas, “fî kum al-nubuwwah wa al-mamlakat,” yang artinya, “dari kalangan kamu ada kenabian dan kerajaan.” (yang dimaksudkan di sini adalah bahwa di dalam kabilah al-Abbas, yakni Banu Hasyim, terdapat orang yang menjadi nabi, dan orang (-orang) yang akan menjadi raja. Seperti diketahui, al-Abbas adalah paman Nabi Muhammad, yang karena itu mereka berasal dari kabilah yang sama, yakni Banu Hasyim. Sesudah Nabi wafat, Banu Hasyim memiliki dua cabang keluarga atau kabilah yaitu kaum Alawiyyah, yakni keturunan Ali bin Abi Thalib, dan kaum Abbasiyyah, yakni keturunan al-Abbas.)
Meskipun menurut al-Amiri, salah seorang perawi hadits ini, yakni al-Bazzar, dinyatakan sebagai orang yang lemah, namun Abu Nu’aim meriwayatkan hadits yang semakna dalam kitabnya Dalail an-Nubuwah, dan Ibnu Adi dalam kitab al-Kamil. Sedangkan Imam Ibnu Asakir meriwayatkan hadits semakna melalui beberapa jalur periwayatan dari Abi Fudaik.
Imam al-Suyuthi sendiri menegaskan bahwa hadits itu termasuk salah satu di antara dua hadits yang paling baik dalam masalah yang disebutkan dalam matan hadits tersebut. Perlu diperhatikan bahwa al-Bazzar juga dipakai haditsnya oleh HT sebagaimana ternyata ketika mengutip hadits tentang, “Apabila ada dua orang khalifah dibai’at, maka bunuhlah yang terakhir (di antara keduanya).” (HR. Muslim, al-Bazzar dan at Thobroni).
Imam al-Suyuthi juga mencantumkan riwayat sebagai berikut.
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dalam al-Mushannafnya dari Sa’id bin Jamhan dia berkata: Saya berkata kepada Safinah, “Sesungguhnya Bani Umayyah mengatakan bahwa sesungguhnya khilafah akan berada di tangan mereka.”
Safinah berkata, “‘Bani Zarqa’ [julukan bagi Dinasti Umayyah—WK.] itu bohong, mereka adalah para raja dari raja-raja. Sedangkan awal rajanya adalah Mu’awiyah.”
Dicantumkan pula riwayat dari Imam Adz-Dzahabi yang menceritakan bahwa pada suatu waktu, Marwan ibn Hakam (Gubernur Madinah di masa kekuasaan Mu’awiyah) berkata,
“Sesungguhnya Amirul Mukminin, memandang perlu untuk mengangkat anaknya sebagai khalifah atas kalian setelahnya. Dia bermaksud untuk menerapkan sunnah [preseden] Abu Bakar dan Umar.”
Abdur Rahman bin Abu Bakar ash-Shiddiq yang ada di tempat itu bangkit dan berdiri seraya berkata,
“Itu bukan sunnah Abu Bakar dan Umar, ini adalah sunnah kaisar. Karena Abu Bakar dan Umar tidak pernah mewariskan khilafah kepada anak-anaknya, bahkan tidak pula kepada salah seorang keluarganya.”
Dari riwayat-riwayat di atas, kiranya, dapat ditarik beberapa kesimpulan:
1. Khilafah hanya akan berlangsung dalam masa 30 tahun, yang berakhir sejak pengunduran diri Hasan ibn Ali ibn Abi Thalib. Berturut-turut para khalifah dalam khilafah yang dimaksud dalam Hadits Nabi di atas adalah:
- Abu Bakar, 632-634 M = 2 tahun
- Umar, 634-644 M = 10 tahun
- Utsman, 644-656 M = 12 tahun
- Ali, 656-661 M = 5 tahun
- Hasan, 661 M = - (beberapa bulan)
Jumlah = + 30 tahun
2. Sesudah masa khilafah ini akan berlangsung masa kerajaan. Karena sejak Mu’awiyah berkuasa menggantikan Hasan, secara umum kekuasaan berada di tangan keluarga atau dinasti Umayyah, dan negara dikelola dengan mementingkan kepentingan dinasti tersebut, maka benarlah hadits Nabi di atas bahwa sistem yang berlangsung adalah kerajaan (al-mulk), bukannya khilafah lagi.
3. Bahwa sistem khilafah yang usianya hanya 30 tahun itu, juga dibenarkan oleh hadits yang dilaporkan oleh al-Bazzar dari riwayat Sahabat Abu Ubaidah ibn al-Jarrah.
4. Kerajaan (al-mamlakat) yang dimaksud dalam Hadits Nabi itu, kelak akan dipimpin oleh, antara lain, keturunan al-Abbas, paman Nabi.
Berdasarkan ramalan dalam Hadits Nabi ini, bagaimana mungkin Hizbut Tahrir mengklaim bahwa khilafah berlangsung selama sepuluh abad, atau bahkan lebih jauh lagi, tiga belas abad, bila dihitung sejak penghapusan Khilafah Turki Utsmani oleh Musthafa Kemal Attaturk pada tahun 1924?
3.2.2. Tinjauan Historis Konsep “Khilafah” dan “Khalifah”: Ketidakbakuan Makna Istilah Khalifah
Hizbut Tahrir telah menunjuk peristiwa Saqifah Banu Sa’idah sebagai penanda penting akan keharusan menjaga agar umat Islam tidak mengalami masa kevakuman kepemimpinan. Juga ditunjuk lambatnya pemakaman Nabi, karena para Sahabat sedang memusyawarahkan siapa pemimpin yang akan menggantikannya. Saya kira, HT dapat dibenarkan ketika menyatakan bahwa umat Islam tidak boleh dibiarkan tanpa seorang pemimpin. Namun, HT tidak dapat dibenarkan ketika dari kebenaran sebelumnya menetapkan bahwa pemimpin yang dimaksud harus berada dalam sistem khilafah. Tidak ada hubungan logis yang mempertautkan kedua hal tersebut Seperti sudah disinggung di atas, sistem khilafah atau perlunya “khalifah” dalam arti teknisnya adalah sebuah masa transisional. Apalagi bila HT menyatakan: (1) “para shahabat Nabi telah menjadikan urusan yang paling penting itu setelah wafatnya Rasulullah SAW. adalah mengangkat khalifah (kepala negara), sebagai pengganti beliau dalam urusan pemerintahan”, (2) dalam hal keterlambatan pemakaman Nabi, “Hal ini menunjukkan bahwa para shahabt sepakat untuk mendahulukan pengangkatan khalifah daripada penguburan jenazah Rasulullah SAW. Tindakan mereka itu menunjukkan bahwa pengangkatan khalifah hukumnya ‘lebih wajib’ untuk didahulukan daripada penguburan mayat.” Kesimpulan ini adalah berlebih-lebihan, tidak pada tempatnya, keliru konteks, dan sama sekali menunjukkan bahwa HT sebenarnya awam atau bahkan miskin sekali pengetahuan sejarahnya.
Peristiwa Saqifah Banu Sa’idah bagi kalangan Muhajirin, sesungguhnya, benar-benar bersifat spontan dan mendadak. Tidak ada seorang pun dari kalangan Muhajirin yang telah merencanakan musyawarah di balai pertemuan (saqifah) milik kabilah Banu Sa’idah yang merupakan kaum Anshar itu. Berikut ini adalah dalil-dalil yang membuktikan miskinnya pengetahuan sejarah HT menyangkut hal itu.
Di dalam Sirah Ibnu Hisyam dicantumkan riwayat Ibn Ishaq, dari Abdullah ibn Abi Bakr, dari Ibn Syihab al-Zuhri, dari Ubaidillah ibn Abdullah ibn Utbah ibn Mas’ud, dari Abdullah ibn Abbas dari Abdurrahman ibn Auf, dari Umar ibn al-Khaththab, yang berkata,
Sesungguhnya di antara informasi tentang kami ketika Rasulullah SAW. wafat bahwa kaum Anshar keluar dari kami kemudian berkumpul dengan tokoh-tokoh mereka mereka di saqifah Bani Saidah. Ali bin Abi Thalib, Az-Zubair bin al-Awwam, dan orang-orang yang ikut serta dengan keduanya juga tidak sependapat dengan kami, sedang kaum Muhajirin berpihak kepada Abu Bakar. Aku [Umar] berkata kepada Abu Bakar, “Mari kita pergi ke tempat saudara-saudara kita kaum Anshar.” Kami pun pergi ke tempat mereka hingga bertemu dua orang shalih. Kedua orang tersebut menceritakan apa yang telah disepakati kaum Anshar. Kedua orang shalih tersebut bertanya, “Hai orang-orang Muhajirin, kalian hendak pergi ke mana?” Kami menjawab, “Kami hendak pergi ke tempat kaum Anshar.” Kedua orang shalih tersebut berkata, “Hai orang-orang Muhajirin, janganlah kalian mendekati mereka, namun selesaikan urusan kalian.” Aku [Umar] berkata, “Demi Allah, aku akan pergi kepada mereka.”
Ilmuwan Inggris, Martin Lings, yang sesudah memeluk Islam mengubah namanya menjadi Abû Bakr Sirâj al-Dîn, berdasarkan kajiannya atas sumber-sumber awal Islam, meringkaskan episoda di atas sebagai berikut,
‘Alî telah kembali ke rumahnya, disertai Zubayr dan Thalhah. Sejumlah orang Muhajirin berkumpul mengelilingi Abû Bakr. Mereka ditemani oleh Usayd dan beberapa warga sukunya. Namun, mayoritas orang Anshar, baik suku ‘Aws maupun Khazraj, berkumpul di balai pertemuan Banu Sâ‘idah yang diketuai oleh Sa‘d ibn ‘Ubaydah. Menurut berita yang disampaikan kepada ‘Umar dan Abû Bakr, mereka sedang memperdebatkan perlimpahan kekuasaan setelah Rasulullah wafat. Mereka menerima kekuasaan Nabi dengan senang hati; tetapi kini ia telah wafat. Banyak di antara mereka berpendapat bahwa orang-orang Yatsrib tanpa kecuali seharusnya dipimpin oleh keturunan Qaylah. Mereka tampaknya akan memberi dukungan kepada Sa‘d.
‘Umar mengajak Abû Bakr untuk pergi bersamanya ke ruang pertemuan itu, dan Abu ‘Ubaydah mengiringi mereka.
Kutipan-kutipan di atas membuat kita harus menarik kesimpulan bahwa tidak ada seorang pun dari kalangan Muhajirin yang telah merencanakan pertemuan untuk memilih pengganti Nabi. Inisiatif untuk itu dimulai oleh pihak Anshar, dan tampaknya, pihak terakhir ini segera akan mencapai kesepakatan mengenai personal pengganti Nabi. Umar dan Abu Bakar melihat persoalan ini adalah cukup genting bagi perkembangan umat dan negara Islam saat itu. Sebab bila yang terpilih menggantikan Nabi adalah seorang Anshar, baik dari Aws maupun Khazraj, maka bangsa Arab akan sulit dimintai ketundukannya kepada negara Islam. Sebab bagi mereka, orang yang paling mereka hormati dan hargai —dan karena itu lebih mereka akui sebagai pemimpin— adalah warga suku Quraisy. Di sinilah letak gentingnya peristiwa Saqifah Banu Sa’idah itu, bukannya karena ada atau tidak adanya pengganti Nabi. Adanya pengganti Nabi adalah mutlak bagi negara Islam, ini disadari oleh siapapun, tetapi orang yang akan menggantikannya sama sekali bisa ditunda. Namun, bila kepemimpinan akan jatuh pada Aws atau Khazraj, persoalannya menjadi lain: berbahaya bagi kelangsungan Risalah dan Negara Islam. Dan bila bahaya itu menyangkut kelangsungan hidup Risalah dan Negara Islam yang telah ditegakkan oleh Nabi, maka memakamkan jenazah Sang Nabi itu mejadi lebih tidak prioritas!
Dalam hal ini, HT benar-benar telah keliru dan salah arah dalam memahami letak genting peristiwa di Saqifah Banu Sa’idah itu. Juga, HT telah menunjukkan ketidakpahamannya akan jalannya sejarah yang sesungguhnya kalau menganggap bahwa dalam pertemuan di Saqifah Banu Sa’idah itu melibatkan seluruh sahabat terkemuka. Tampak dari penuturan riwayat di atas, paling tidak tiga orang Sabiqunal Awwalun (orang-orang yang pertama kali memeluk Islam) tidak menghadiri pertemuan itu, yakni Ali, Thalhah dan Zubayr. Bahkan hanya tiga orang Muhajirin yang hadir: Abu Bakar, Umar dan Abu Ubaidah! Pertemuan itu, sesungguhnya didominasi oleh orang Anshar. Dan bila HT benar-benar menyimak jalannya pertemuan itu, akan tampak di hadapannya bahwa peristiwa tersebut hampir-hampir membangkitkan pertumpahan darah. Orang Anshar menolak bila Muhajirin menjadi pemimpin, pun pula sebaliknya! Bahwa kemudian mereka bersedia menerima Abu Bakar, hanya karena kemampuan persuasi dan argumentasi Abu Bakar serta kemampuan diplomasi Umar. Itu pun harus dengan catatan bahwa Sa’d ibn Ubadah, pemimpin Khazraj, tetap menolak kepemimpinan Abu Bakar. Tidak lama kemudian, sesudah Ali mendengar hasil pertemuan itu, ia pun menolak kepemimpinan Abu Bakar, karena ia merasa dirinya jauh lebih berhak! Diriwayatkan bahwa baru enam bulan kemudian dia bersedia memberikan bai’atnya kepada Abu Bakar.
Sungguh, perkara pergantian kepemimpinan pasca wafat Rasul bukan hal yang lancar dan mulus sebagaimana dinyatakan oleh HT. Namun, hal yang jauh lebih penting dalam kaitannya dengan pandangan HT adalah bahwa bahkan para sahabat pun belum memiliki sesuatu pandangan —kalaupun pandangan semacam itu memang pernah ada— yang baku mengenai konsep khilafah. Kalau tidak demikian, mengapa Anshar, Abu Bakar dan Umar, serta Ali, bertahan pada pendirian masing-masing. Kenyataan bahwa sebelumnya Muhajirin tidak tahu-menahu atas adanya suatu pertemuan adalah bukti paling tegas mengenai hal ini.
Ketidakjelasan atau ketidakbakuan akan —sekali lagi, bilamana memang benar-benar ada— gagasan konsep khilafah semakin nyata bila kita memperhatikan bagaimana terpilihnya empat khalifah yang pertama.
1. Abu Bakar terpilih melalui musyawarah yang hampir menumpahkan darah kaum Muslimin oleh Muslimin yang lain.
2. Umar menjadi khalifah atas penunjukan Abu Bakar, meskipun sebelumnya melakukan konsultasi dengan sejumlah sahabat.
3. Utsman ibn Affan terpilih melalui Ahl al-Syura, yang beranggotakan enam orang Sahabat yang merupakan pemuka-pemuka Muhajirin, tanpa melibatkan satu orang Anshar pun: Abdurrahman ibn Awf, Ali ibn Abi Thalib, Thalhah ibn Ubaidillah, Zubayr ibn al-Awwam, Sa’d ibn Abi Waqqash. Ada pula riwayat yang menyatakan bahwa Abdullah putra Umar termasuk Ahl al-Syura (sehingga jumlahnya menjadi tujuh orang anggota). Namun, kalaupun riwayat ini otentik, seluruh riwayat sepakat bahwa Abdullah hanya memiliki hak untuk memilih tetapi tidak punya hak untuk dipilih menjadi khalifah.
4. Ali terpilih menjadi khalifah, sesudah terjadi huru-hara di Madinah yang mengakibatkan pembunuhan terhadap Utsman. Para pembuat huru-hara kemudian mendesak Ali untuk bersedia dibai’at sebagai khalifah. Sesudah Ali mendapatkan dukungan dari para peserta Perang Badar (sebagaimana persyaratannya sendiri) barulah ia bersedia menerima pembai’atan itu.
Pertanyaan paling penting dalam hal ini adalah: apabila gagasan mengenai khilafah memang sudah jadi, baku atau ada, mengapa prosedur atau mekanisme naiknya keempat Sahabat itu menjadi khalifah adalah berbeda? Nabi jelas belum memberikan Sunnah-nya dalam persoalan ini, sebab bilamana telah tegas, tentulah mereka terpilih melalui prosedur mekanisme yang sama – sesuai dengan yang digariskan Nabi. Kenyataannya tidak!
Bila analisis historis ini kita lanjutkan, kita akan lebih terkejut lagi. Mengapa istri tersayang Nabi, Aisyah, melancarkan peperangan dalam rangka menolak kekhalifahan Ali. Adapun Mu’awiyah ibn Abi Sufyan juga menolak kekhalifahan Ali karena, menurutnya, sebelum jelas pengusutan terhadap pembunuhan Utsman maka tak seorang pun dapat dibai’at sebagai khalifah.
Kita tidak tertarik untuk mempertanyakan motif-motif di balik perang-perang Jamal dan Shiffin yang kemudian memecah belah umat Islam itu (perhatikan kenyataan ini, sebab menurut HT, umat berada dalam keadaan “kokoh-mengokohkan” selama khilafah masih ada). Apa yang kita pentingkan di sini adalah kenyataan atas terjadinya peperangan dan perpecahan dalam tubuh umat Islam – di kala ratusan, atau mungkin ribuan, Sahabat Nabi masih hidup!
Bilamana konsep khilafah sudah ada, jelas dan baku, maka atas dasar kewenangan dan legitimasi apa Aisyah ataupun Mu’awiyah mempersoalkan kekhalifahan Ali? Apakah dapat dikatakan bahwa dua sahabat Nabi itu bersalah ketika melancarkan pemberontakan terhadap Ali? Kalau begitu, kenapa Zubair ibn al-Awwam dan Thalhah ibn Ubaidillah berada di pihak Aisyah dalam Perang Jamal? Apakah dua orang Sahabat pendahulu Islam (Sabiqunal Awwalun) itu juga termasuk pihak yang bersalah? Menurut saya, siapapun yang bersalah atas peristiwa yang menyebabkan banyaknya korban berjatuhan di kalangan umat Islam – yakni, perang di antara sesama mereka sendiri, Aisyah dan Mu’awiyah tidak akan merasa memiliki legitimasi atau cukup alasan pembenar seandainya konsep mengenai khilafah memang sudah ada!
Dengan demikian, penelusuran historis ini sejalan dengan riwayat-riwayat yang sudah disebutkan ketika membahas tentang dipakainya istilah “khalifah” dan “khilafah” sebagai istilah spontan saja, dan karena itu tidak ada dasar untuk menyatakannya sebagai Islami.
Ketika Mu’awiyah berhasil mempersuasi Hasan putra Ali untuk menyerahkan “hak khilafah” pada dirinya, sekali lagi menunjukkan perbedaan cara naiknya seseorang menjadi khalifah. Justru yang kemudian menjadi baku —sejauh menurut bukti historis— adalah seseorang menjadi khalifah karena penunjukkan khalifah sebelumnya beberapa waktu sebelum ia wafat. Ini berlangsung sejak Mu’awiyah berkuasa, dan terus demikian hingga terjadinya Revolusi Abbasiyyah pada tahun 750 M, yang menyebabkan tumbangnya Dinasti Umayyah untuk digantikan oleh Dinasti Abbasiyyah. Khalifah Abbasiyyah pertama, Abu al-Abbas al-Shaffah, dengan demikian mendapatkan jabatan khalifah melalui revolusi sosial atau pemberontakan politik! Sekali lagi, ini adalah cara yang berbeda.
Dalam riwayat yang sudah dikutipkan di atas, permintaan Mu’awiyah kepada umat Islam untuk membai’at Yazid, putranya, sebagai khalifah yang menggantikan dirinya, telah ditolak oleh sebagian kaum Muslimin yang hidup pada masa itu. Penolakan itu karena alasan bahwa hal tersebut adalah “Sunnah Kaisar”. Mengingat semenjak Mu’awiyah, jabatan khalifah tidak pernah lepas dari tangan keluarga Umayyah, melalui mekanisme penunjukkan, maka dapat dikatakan bahwa semenjak itu yang berlangsung adalah sistem kerajaan atau monarki!
Paling kurang, dapat dikatakan bahwa itu merupakan sistem oligarki, di mana penguasa hanya berputar di sekeliling atau dapat dijabat oleh orang-orang dalam kalangan tertentu saja (yakni keluarga Umayyah) dan tak pernah jatuh ke tangan anggota keluarga lain, kecuali melalui jalan pemberontakan! Dan itulah yang dilakukan keluarga Abbasiyyah.
Poin penting dari kenyataan ini adalah, terjadinya pergeseran dari apa yang disebut Khulafa’ al-Rasyidah ke Khilafah Dinastik. Bila yang disebut pertama, khalifah bisa berasal dari kalangan mana saja, sedangkan yang kedua harus berasal dari keluarga atau dinasti tertentu. Pertanyaan yang hendak kita ajukan pada Hizbut Tahrir adalah sistem khilafah mana yang diikutinya?
Khilafah model yang pertama atau Khilafah model yang kedua. Kalau jawabannya yang pertama, maka HT harus konsekuen untuk menyatakan bahwa sistem khilafah sudah berakhir dengan terbunuhnya Ali, tanpa perlu mengacu pada penghapusan khilafah Turki-Utsmani oleh Kemal Attaturk pada awal abad ke-20 yang lalu. Tetapi, kalau jawabannya yang kedua, maka HT lebih banyak berhadapan dengan persoalan yang jauh lebih serius. Apakah memang model dinastik atau kerajaan yang dikehendakinya? Saya yakin, jawabannya tidak! Lalu mengacu pada sistem mana atau sistem apa konsep khilafah HT, kalau tetap bertahan pada pendapat bahwa semenjak Abu Bakar hingga dihapuskannya khilafah Turki-Utsmani, umat tidak pernah mengalami sama sekali satu hari sekalipun tanpa memiliki seorang khalifah?
Untuk mengakhiri kritik dalam poin ini, saya akan ingin memberikan tinjauan historis atas evolusi makna sistem khilafah pada akhirnya. Saya akan mendasarkan tinjauan ini dengan menggunakan sumber yang sama yakni kitab Tarikh al-Khulafa’-nya Imam al-Suyuthi.
Sudah umum diketahui bahwa memasuki kira-kira dua abad sejak berkuasa, Dinasti Abbasiyyah mulai dipimpin oleh khalifah-khalifah yang lemah. Baik karena kapabilitas khalifah itu sendiri maupun karena terjadinya konflik intern yang melanda dinasti itu. Pihak militer pun pada akhirnya turut terbelah dalam konflik kepentingan yang ada. Sejumlah khalifah lalu mulai merekrut tentara-tentara berkebangsaan Turki untuk memperkuat barisan kekuatan militernya sendiri. Semakin lama, tentara-tentara Turki ini semakin kuat posisinya, sehingga akhirnya malah mengambil alih fungsi eksekutif atau pemerintahan dari khalifah.
Khalifah-khalifah Abbasiyyah sejak tahun 945 berada di bawah kekuasaan jenderal-jenderal Turki. Mereka tidak menggelari dirinya sebagai khalifah, melainkan Sulthan! Demikianlah, dinasti Sulthan pertama yang mengambil alih fungsi eksekutif khalifah Abbasiyyah berasal dari Dinasti Buwaihiyyah, yang diawali oleh Ahmad ibn Buwayh. Kelak pada tahun 1055 dinasti ini akan digulingkan oleh Dinasti Saljuq.
Maka, sejak tahun 945 kita bertemu dengan sistem khilafah yang secara konseptual berbeda dengan Khilafa’ al-Rasyidah maupun dengan Khilafah Dinastik sebelumnya. Dalam dua sistem khilafah sebelumnya, seorang khalifah betul-betul memainkan peran sebagai eksekutif, sedangkan dalam sistem yang terakhir ini, khalifah hanya berperan sebagai simbol atau lambang saja! Akan segera saya katakan di sini, bahwa hal itu tidak berarti khalifah-khalifah Abbasiyyah tidak berusaha mengambil kembali peran yang pernah dimainkan oleh para pendahulu mereka, namun upaya-upaya itu belum menemukan hasilnya hingga ibukota Baghdad dihancurleburkan oleh pasukan-pasukan biadab dari Mongol.
Pertanyaan kita tetap: apakah ini sistem khilafah yang dikehendaki Hizbut Tahrir? Sekali lagi, saya yakin jawabannya adalah tidak. Tetapi, dengan memberikan jawaban negasi, Hizbut Tahrir tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa telah terjadi tiga sistem khilafah yang berbeda di sepanjang perjalanan sejarah umat Islam. Lalu, sejauh kita menyimak konseptualisasi Hizbut Tahrir mengenai gagasan khilafah, sistem yang dikehendakinya adalah yang dipraktikkan pada masa Khulafa’ al-Rasyidah. Maka kritik saya terhadap HT semakin tegas: HT harus konsekuen untuk menyatakan khilafah sudah berakhir sejak terbunuhnya Ali. Sungguh aneh, bahwa HT bertahan pada pendapat bahwa kevakuman khilafah dimulai sejak tahun 1924, yakni dihapuskannya Khilafah Turki-Utsmani. Padahal khilafah Turki-Utsmani ini, kurang lebihnya adalah berbasis pada model kerajaan, monarki atau, paling kurang, oligarki!
3.3. Kritik terhadap Saat Kemunduran Umat Islam
Hizbut Tahrir berkali-kali menekankan bahwa dihapuskannya Khilafah Turki-Utsmani oleh Musthafa Kemal Attaturk menyebabkan rusak persatuan politis dunia Islam, karena tak ada lagi lembaga pemersatu umat Islam. Lebih lanjut, penghapusan itu telah menyebabkan umat Islam mengalami masa kemundurannya. Seluruh literatur HT yang saya pelajari senantiasa menunjuk peristiwa penting pada tahun 1924 itu.
Menurut hemat saya, pandangan Hizbut Tahrir ini merupakan salah satu bentuk pengaburan sejarah. Dan efek paling penting dari suatu pengaburan sejarah —sama halnya dengan pemanipulasian kenyataan— adalah pembodohan umat Islam.
Pertama-tama, hendaknya kita catat bahwa sejak terjadi pembunuhan terhadap Khalifah Utsman ibn Affan (tahun 656 M), umat Islam tidak pernah lagi dapat dipersatukan secara politis. Naiknya Ali ibn Abi Thalib untuk menggantikan Utsman ibn Affan telah diikuti dengan perang, yang untuk pertama kalinya dalam sejarah Islam, melibatkan sesama kaum Muslimin: Perang Jamal dan Perang Shiffin. Hanya berselang 24 tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad. Sesudah dua peperangan itu, umat Islam terpisahkan ke dalam perkubuan-perkubuan politik, tanpa pernah dapat dipersatukan kembali – senantiasa terjadi perang atau pemberontakan. (Dinasti Umayyah harus menghadapi tidak kurang dari 20 kali upaya pemberontakan dari lawan-lawannya yang nota bene beragama Islam. Bahkan Khalifah Umayyah yang paling saleh sekalipun, Umar ibn Abdul Aziz, masih menghadapi pemberontakan.) Perkubuan-perkubuan politik ini lalu dicarikan legitimasinya kepada sumber-sumber Islam sehingga melahirkan berbagai aliran teologi. Dewasa ini kita mengenal dua aliran yang masih hidup di antaranya: kaum Sunni dan kaum Syi‘ah. Dulunya, masih dapat ditambahkan aliran yang amat terkenal karena ekstremitas tindakan dan radikalitas pandangannya: Khawarij.
Begitulah keadaannya, dan nyatanya, terjadinya perpecahan politis —sebagaimana nanti akan dikemukakan lebih lanjut di bawah— dan teologis, tidak mempengaruhi pertumbuhan peradaban Islam sehingga mendapatkan puncak kejayaannya. Oleh karena itu, dalam konteks sejarah umat Islam, terjadinya perpecahan politis tidak korelatif dengan perkembangan dan pertumbuhan peradaban Islam yang pernah jaya itu.
Lalu, kapan tepatnya terjadi kemunduran umat Islam itu? Menurut saya, agak sulit menentukan secara pasti kapan terjadinya. Karena kemunduran itu bukanlah sekali proses, namun berlangsung dalam beberapa tahap dan memakan waktu bergenerasi-generasi. Di samping itu, kita juga harus membuat batasan yang tegas atas makna kemunduran itu, terutama berkaitan dengan bidang-bidang kemunduran.
Misalnya, ketika terjadi kebekuan dalam wilayah hukum, sebagai akibat dibakukannya empat madzhab resmi dalam Sunni, kekuatan militer Turki-Utsmani masih amat ditakuti di seantero Eropa. Tiap-tiap bidang memasuki fase kemundurannya tidak dalam waktu yang bersamaan. Dan tidak jarang, kemunduran politis di suatu wilayah Islam dibarengi (atau diimbangi) dengan naiknya pengaruh politis umat Islam dari wilayah yang lain. Kekalahan armada laut Turki-Utsmani di Samudera Hindia oleh armada Portugis, terjadi hampir bersamaan dengan perluasan wilayah Kerajaan Demak di Jawa dalam menaklukkan sisa-sisa kerajaan Hindu-Buddha. Kekalahan Kesultanan Malaka dari Portugis diikuti dengan sukses luar biasa Kesultanan Aceh. Lemahnya kerajaan-kerajaan kecil di Andalusia berbarengan dengan peningkatan pengaruh umat Islam di Kekaisaran Cina, sehingga salah seorang laksamana terkuat kekaisaran itu adalah Cheng Ho yang Muslim. Demikian seterusnya.
Namun, memang, memasuki awal abad ke-18, umat Islam mulai mengalami ketertinggalan hampir dalam segala bidang dibandingkan dengan kemajuan yang dialami orang-orang Eropa. Ketertinggalan itu semakin jelas pada abad ke-19 ketika banyak wilayah umat Islam, baik yang semula di bawah yurisdiksi Turki-Utsmani maupun yang bukan, semakin banyak yang dijajah oleh imperialis-imperalis dari Barat.
Apa yang ingin saya katakan adalah jauh sebelum tahun 1924, umat Islam bukan saja sudah terpecah secara politis ke dalam banyak negara, di mana sejumlah negara di antaranya dikolonialisasi oleh Eropa, namun kemunduran juga telah dirasakan di mana-mana oleh umat Islam. Justru pada awal abad ke-20 itu, umat Islam di mana-mana sedang memperjuangkan kembali kemerdekaannya, sebagaimana terjadi di Indonesia.
Seandainya benar bahwa kemunduran dan kelemahan umat Islam itu baru terjadi sesudah dihapuskannya Khilafah Turki-Utsmani, bagaimana Hizbut Tahrir harus menjelaskan kenyataan-kenyataan sejarah yang saya contohkan di atas? Kemudian, “pembaharuan” macam apa yang diupayakan oleh orang-orang seperti Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh, yang kesemuanya melakukannya jauh sebelum tahun 1924 itu?
Lagipula, bilamana Hizbut Tahrir benar-benar bersedia belajar sejarah, dengan mudah akan dia temukan bahwa sudah sejak dua tahun sebelumnya, Khalifah Turki-Utsmani tidak lagi memegang fungsi pemerintah atau eksekutif. Sebelum tahun 1922, di dalam jabatan tertinggi Turki-Utsmani, tergabung dua aspek, yakni Kesultanan dan Kekhalifahan. Kesultanan memerankan fungsi eksekutif pemerintahan dan khalifah memerankan fungsi keagamaan. Pada tahun 1922, Abdul Majid Effendi hanya memegang jabatan khalifah, bukan lagi Sultan, yang dipegang oleh Majelis Nasional. Bahkan majelis inilah yang berhak mengangkat atau memberhentikan presiden dan menteri-menterinya atau “commisaar” (vekil). Jadi, khalifah Turki-Utsmani sudah dilucuti kekuasaannya. Analog dengan keadaan ini, sekadar membandingkan saja, adalah kedudukan antara khalifah-khalifah Abbasiyyah dan Dinasti Buwayh atau Saljuq.
Dengan demikian, “khilafah” tidak dihapuskan pada tahun 1924, melainkan pada tahun 1922. Apa yang terjadi pada tahun 1924 itu adalah penggantian atau penegasan keberadaan Republik Turki, tanpa mengembel-embelinya dengan kata Utsmani. Khalifah yang memang sudah tidak memiliki fungsi apa-apa, kecuali seremonial dan keagamaan belaka, sama sekali dihilangkan dari idiom politik Turki. Jadi, yang benar-benar dihilangkan adalah “istilah” khalifah dan Utsmani. Adapun dalam praktik yang sesungguhnya, khilafah sudah lenyap, karena khalifah sudah tidak memiliki kewenangan politiknya.
Pembahasan di atas sekaligus menunjukkan bahwa, Hizbut Tahrir, bahkan dengan peristiwa yang seringkali didengung-dengungkannya pun tidak memiliki gambaran atau pengetahuan yang lengkap mengenai apa yang sesungguhnya terjadi pada Turki-Utsmani. Keawaman serupa dalam banyak masalah sejarah politik umat Islam yang menjangkiti Hizbut Tahrir semakin tampak dalam uraian saya di bawah, yang didasarkan pada sumber-sumber klasik intern umat Islam sendiri. Sungguh ini adalah keadaan yang ironis, mengingat Hizbut Tahrir adalah organisasi yang secara tegas mengaksentuasi gerakannya sebagai gerakan politik. Gerakan politik umat Islam, yang amat awam terhadap sejarah politik Islam sendiri.
3.4. Kritik terhadap Rumusan Sistem Khilafah
3.4.1. Negara Mondial (Mendunia)
Di antara rumusan HT yang mengagetkan salah satunya adalah gagasan negara mondial, maksudnya khilafah yang dikehendaki oleh HT adalah sebuah negara dengan luas seluruh wilayah yang ada di dunia. HT jelas menolak ide negara-bangsa (nation-state). Pertama-tama, HT akan mengupayakan berdirinya suatu negara khilafah di sebuah wilayah tertentu. Kemudian melakukan diplomasi untuk mengajak negara lain bergabung dalam wilayahnya, bila negara itu menolak akan digelar ekspedisi jihad untuk menaklukkan negara yang bersangkutan. Kemudian, jihad akan terus diselenggarakan hingga seluruh wilayah yang ada di dunia ini tunduk dan bersedia hidup di bawah naungan negara khilafah HT.
Saya mengatakan mengejutkan karena HT —melalui Abdul Qadim Zallum— telah mengatakan bahwa sistem pemerintahan demokrasi adalah sebuah sistem yang utopis: angan-angan belaka yang tidak pernah dapat diwujudkan dalam praktik kehidupan nyata. Keterkejutan saya adalah: apakah ini bukan sebuah cita-cita yang jauh lebih utopis? Lebih-lebih lagi, sudah semenjak dini, Hizbut Tahrir telah mencanangkan program ekspansif ke seluruh dunia. Dalam konteks internasional dewasa ini, apakah cita-cita ini memang masuk akal?
Sebenarnya, saya tidak tertarik untuk mendiskusikan lebih lanjut apakah cita-cita itu utopis ataukah irasional atau absurd. Jelaslah bahwa gagasan Abul A’la al-Mawdudi untuk membangun konfederasi di antara negara-negara Islam —terlepas dari berbagai kesulitan teknis yang mungkin ada— jauh lebih masuk akal daripada gagasan negara mondial HT.
Namun, sesungguhnya, sebuah cita-cita —betapapun absurdnya— menurut saya patut dihormati. Cita-cita bersama adalah upaya untuk menggalang konsolidasi, semangat dan motivasi perjuangan. Namun, saya harus merespon cita-cita ini karena HT menyatakan bahwa negara khilafah yang mondial itulah yang Islami, sebagaimana diperintahkan Allah dan diajarkan oleh Nabi serta diteladankan oleh khalifah-khalifah awal. Bagi HT, suatu negara yang tidak dimaksudkan untuk mondial adalah sebuah negara yang tidak Islami.
Sayangnya, klaim HT bahwa negara mondial adalah Islami atau sesuai dengan yang diajarkan Islam tidak mendapatkan justifikasi atau pembenaran bagi berdasarkan sumber-sumber Islam maupun sejarah perjalanan umat Islam sendiri, bahkan tidak didukung oleh satu pun argumen rasional.
Al Baghdadi memberikan hanya satu hadits —inilah yang disebutnya sebagai nash syar’i— yang menunjukkan bahwa negara yang dimaksud Nabi adalah negara mondial, yakni:
“Apabila ada dua orang khalifah dibai’at, maka bunuhlah yang terakhir (di antara keduanya).” (Diriwayatkan oleh Muslim, al Bazzar, dan At Thobroni).Ia lalu menyimpulkan,
“Tindakan yang disebutkan pada Hadits di atas perlu dilakukan agar urusan ummat tidak terbagi-bagi, disebabkan adanya dua orang pemimpin/khalifah dalam waktu yang sama, saling merebut kekuasaan, berselisih tentang urusan ummat dan masing-masing berkuasa atas salah satu wilayah tertentu..”
Pertanyaan kita adalah mana bagian dari matan hadits tersebut yang secara tegas atau jelas memerintahkan bahwa seluruh dunia harus ditata dalam satu negara? Hadits ini, kalau kita terima sebagai sabda Nabi yang otentik, tidak secuil pun me-nash-kan larangan didirikannya lebih dari satu negara bagi umat Islam. Ia hanya melarang adanya dua orang khalifah bagi umat Islam di suatu waktu yang sama. Apakah itu berarti melarang eksistensi lebih dari satu negara?
Sebenarnya, saya lebih tertarik untuk membuktikan bahwa hadits ini merupakan refleksi dari perselisihan umat Islam pasca pembunuhan Khalifah Utsman ibn Affan, dan oleh karena itu tidak otentik. Ali telah dibai’at sebagai khalifah, kemudian Mu’awiyah juga mengumumkan kekhalifahan dirinya. Jelaslah bahwa secara mayoritas umat lebih mendukung klaim Ali daripada Mu’awiyah, persoalan yang mengganjal mereka adalah: bagaimana mungkin dua orang Sahabat Nabi saling memperebutkan hak khalifah? Lebih-lebih lagi, di antara dua Sahabat besar Nabi itu—berdasarkan “hadits” di atas— siapa yang harus dibunuh? Kenyataannya, Mu’awiyah lebih terampil dibandingkan Ali dalam mempertahankan maupun mengelola kekuasaannya.
Tak lama sesudah itu, hal serupa terjadi lagi. Ketika Yazid putera Mu’awiyah wafat, Abdullah ibn al-Zubayr mengumumkan kekhalifahan dirinya. Yang penting diperhatikan, Abdullah ibn al-Zubayr adalah seorang sahabat dan putra (dari Zubayr ibn al-Awwam yang) seorang Sahabat juga. Tetapi dari pihak Umayyah, diumumkan bahwa khalifah adalah Marwan ibn Hakam. Siapa yang patut dibunuh di antara keduanya: siapa yang terlebih dahulu dibai’at dan kemudian memperoleh dukungan mayoritas umat Islam? Bagi Imam al-Suyuthi —dengan mengacu pada otoritas-otoritas klasik—, Marwan adalah seorang pemberontak dan dinasti Umayyyah terus berstatus sebagai pemberontak sesudah Marwan wafat dan digantikan oleh putranya, Abdul Malik, yang lebih kapabel dibandingkan Abdullah ibn al-Zubayr. Kenyataannya, Abdul Malik berhasil mengalahkan dan membunuh Abdullah ibn al-Zubayr. Tak pelak lagi, umat Islam pun mengakui kekhalifahan Abdul Malik, dan menerima rehabilitasi status dirinya: dari pemberontak menjadi seorang khalifah yang secara de facto diterima! Itulah kenyataan-kenyataan sejarah yang dengan terang-terangan ditutup-tutupi oleh Hizbut Tahrir.
Sekali lagi, andaikan saja hadits itu adalah otentik. Tetapi, baik Ali vs Mu’awiyah ataupun Abdullah ibn al-Zubayr vs Abdul Malik, kerangka berpikirnya selalu dalam konteks satu negara. Bukan lebih dari satu negara. Itulah sebabnya, hadits ini dapat dipandang benar dalam hal: tidak boleh ada lebih dari satu pemimpin di dalam satu negara, karena pemimpin yang selainnya berarti pemberontak. Tetapi tetap saja “hadits” tersebut tidak efektif: karena yang semula pemberontak ternyata dapat diterima sebagai penguasa yang resmi. Apakah HT hendak menyatakan bahwa Sahabat-sahabat besar Nabi itu telah secara terang-terangan melanggar “hadits”, yang dengan jelas bersifat instruktif tersebut? Dalam hal ini, adagium revolusi lebih mengena: pemberontakan adalah legal, bilamana ia menang! Sekarang ini, umat Islam secara umum lebih memandang Abdullah ibn al-Zubayr sebagai seorang pemberontak. Padahal di masa lalu ia adalah seorang penguasa yang sah!
Lebih lanjut, saya dengan mudah dapat membuktikan bahwa untuk jangka waktu berabad-abad umat Islam pernah memiliki dua atau malah tiga orang khalifah yang diakui sah oleh umatnya masing-masing. Jadinya, negara umat Islam pun terdiri lebih dari satu negara. Dengan demikian, kondisi umat Islam di bawah khilafah yang “kokoh-mengokohkan” karena hanya memiliki satu pemimpin dan negara adalah pernyataan yang tak memiliki hujjah historis yang kuat.
Ketika revolusi Abbasiyyah sukses, seorang anggota keluarga Umayyah berhasil meloloskan diri dari tindakan pemusnahan. Sesudah berpindah-pindah tanpa kedudukan yang mantap, orang ini, Abdurrahman al-Dakhil, berhasil mengonsolidasi umat Islam di Andalusia (Spanyol) dan menegakkan ke-Amir-an di sana. Al-Dakhil menolak menyandangkan gelar khalifah di depan namanya. Dia menyatakan bahwa dia hanyalah seorang Amir (atau Emir) dan tetap mengakui kekhalifahan Abbasiyyah. Walaupun seluruh fungsi eksekutif di Andalusia adalah dalam genggamannya, sama sekali terpisah atau independen dari Kekhalifahan yang berpusat di Baghdad.
Kalau bukti di atas kurang kuat, maka dengan mudah pula dapat saya tunjukkan bahwa, keturunan Abdurrahman al-Dakhil, yakni Abdurrahman ibn Muhammad, pada tahun 929 Masehi mengumumkan kekhalifahan dirinya dengan mengambil nama-tahta al-Nashir li-Dinillah. Kita tahu bahwa umat Islam di Andalusia telah dipuji sebagai pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan umat Islam. Andalusia-lah yang memainkan peran dalam mentransmisikan kemajuan peradaban Islam itu sehingga diserap oleh Eropa pada Abad Pertengahan.
Apakah dengan demikian, Khilafah-Andalusia adalah tidak sah? Apapun yang mungkin akan dikatakan Hizbut Tahrir, kenyataannya umat Islam pada waktu itu menerima fakta bahwa Dunia Islam telah terbagi ke dalam dua khilafah.
Sesungguhnya, malah terdapat tiga khilafah! Karena pada tahun 909 Masehi (dua puluh tahun sebelum khilafah-Andalusia), Ubaidillah al-Mahdi mengumumkan kekhalifahan dirinya dengan memusatkan pemerintahannya di Mesir. Namun, otoritas-otoritas Sunni di abad pertengahan, menolak khilafah Dinasti Fathimiyyah itu, secara sederhana karena dinasti itu beraliran Syi‘ah. Jadi, khilafahnya ditolak. Menariknya, meskipun aliran resmi negara adalah Syi‘ah, tetapi mayoritas umat Islam Mesir adalah kaum Sunni. Jadi, Fathimiyyah memang “kurang” mengakar dalam masyarakat Mesir.
Di sini, saya tak hendak mendebat pendapat para ulama besar yang saya hormati yang menolak kekhilafahan Dinasti Fathimiyyah itu. Apa yang ingin saya tunjukkan adalah: pada saat terdapat seorang khalifah di suatu wilayah Muslim, sebuah wilayah Islam yang lain menyatakan pemimpinnya juga merupakan khalifah! Dan kekhilafahan itu sama-sama bertahan selama beberapa abad.
Malahan, Imam al-Suyuthi dalam Tarikh al-Khulafa’-nya di bagian “Mukaddimah” menandaskan bahwa umat Islam di Andalusia malah terpecah ke dalam sejumlah negara dan masing-masing mengklaim sebagai khalifah. Berikut ini adalah kutipannya,
Namun, kenyataan pahit menerpa tatkala apa yang disebut khilafah di Andalusia hanya tersisa nama. Karena hampir setiap tempat di mana kaum muslimin berkuasa hampir bisa dipastikan ada orang yang menamakan dirinya khalifah.
Gambaran dari adanya perpecahan itu adalah, bahwa pada tahun lima ratusan [Hijriyyah], di Andalusia saja ada sekitar enam orang yang menamakan dirinya sebagai khalifah. Bersama mereka muncul pula orang-orang Bani Ubaid (Ubaidiyin) di Mesir [maksudnya, Dinasti Fathimiyyah—WK.], dan dan kaum Abbasiyin di Baghdad, di sana banyak orang-orang yang memberontak kepada kelompok-kelompok yang menamakan dirinya sebagai pemangku khilafah seperti orang-orang Alawiyyin dan kaum Khawarij.
…
Sedangkan orang-orang yang menamakan dirinya sebagai khilafah dari Banu Umayyah di Maghrib [maksudnya, Dinasti Umayyah di Andalusia—WK.], mereka sangat jauh lebih baik dari Bani Ubaid dilihat dari sisi keislaman mereka, dari praktek sunnah-sunnah Rasul mereka, dari keadilan, keutamaan, ilmu dan jihad mereka. Jumlah mereka itu sangat banyak, bahkan dalam satu waktu di Andalusia ada enam orang yang menyebut dirinya sebagai khalifah.
Jadi, dapat saya katakan, bahwa memasuki dekade ketiga abad ke-10 Masehi, Dunia Islam terbagi ke dalam tiga wilayah khilafah, ini adalah fakta yang dapat dipungkiri. Fakta ini masih harus ditambah dengan kenyataan bahwa sejak pertengahan abad ke-10 Masehi (945 Masehi), khalifah-khalifah Abbasiyyah adalah khalifah-khalifah nominal belaka, karena efektif pemerintahan dipegang dan dijalankan oleh Dinasti Buwayhiyyah. Jumlah negara Islam terus bertambah seiring dengan berjalannya waktu.
Walhasil, negara mondial Hizbut Tahrir bukan saja tak ada nash-nya dari al-Quran dan tidak ditunjukkan secara jelas dalam Hadits Nabi, tetapi kenyataan masa lalu umat Islam pun tidak berlandaskan kepada apa yang dikonseptualisasikan oleh Hizbut Tahrir itu.
Pada titik ini, saya ingin menyarankan kepada Hizbut Tahrir (sebab bukankah di antara sesama umat Islam harus saling nasihat-menasihati dalam kebenaran?): boleh-boleh saja atau absah saja memiliki gagasan bahwa negara haruslah mondial, seluruh dunia harus ditata ke dalam satu negara, tapi jangan sekalipun menggunakan dalil-dalil dari al-Quran maupun Hadits Nabi – sebab kenyataannya memang tak ada dalil atau nash tentang hal itu. Juga, jangan bawa-bawa umat Islam dari masa lalu untuk menjustifikasi gagasan itu, karena kenyataannya umat Islam di masa lalu pun tidak melaksanakan hal itu. Bahwa di masa-masa awal, umat Islam memang hanya memiliki satu negara di bawah kepemimpinan satu orang yang menyatakan diri sebagai khalifah, semata-mata hanyalah karena luas wilayah. Begitu wilayah semakin luas, justru semakin tidak efektiflah birokrasi sebuah pemerintahan bila harus dipaksakan berada dalam satu negara. Simaklah kembali mengapa seorang khalifah yang amat kuat seperti al-Ma’mun, memperkenankan status otonom kepada Jenderal Ibn al-Aghlab pada tahun 800, dengan kewenangan penuh untuk mewariskan kekuasaannya pada putranya. Kebijakan serupa diberikan kepada Jenderal Thahir yang berpusat di Khurasan. Konteks transportasi dan komunikasi saat itu, untuk ukuran wilayah seluas masa kejayaan Dinasti Abbasiyyah, adalah justru tidak efektif bila segala sesuatu harus terpusatkan. Dalam praktiknya, sejak awal abad ke-9, Khilafah-Dinastik Abbasiyyah menerapkan sistem negara yang kurang lebihnya dapat disebut sebagai federasi.
Bahkan efektifitas jangkauan Dinasti Abbasiyyah pun kalah luas dibandingkan Imperium Romawi yang berjaya pada abad-abad sebelumnya. Segera disadari oleh pemerintah Romawi bahwa kekuasaan justru tidak efektif bila negara harus tetap dalam satu administrasi pemerintahan. Maka, menjelang perempat terakhir abad ke-3 Masehi, Romawi mengumumkan pemisahan wilayah administrasi pemerintahan menjadi: Imperium Romawi Barat yang berpusat di Roma, dan Imperium Romawi Timur yang berpusat di Byzantium. Imperium terakhir inilah yang kemudian pada pertengahan abad ke-15 diruntuhkan oleh Dinasti Utsmani dari Turki.
Sekali lagi, boleh-boleh saja punya cita-cita utopia dan absurd tentang khilafah-mondial, tapi jangan mendasarkan hal itu pada al-Quran dan Hadits. Sia-sia saja, bahkan al-Quran pun sama sekali tidak diacu oleh otoritas-otoritas Hizbut Tahrir untuk melegitimasi konsep “dunia-satu-negara” itu.
Sementara itu, paling tidak saya bisa menemukan dua otoritas besar umat Islam yang berpendapat bahwa Negara Islam pada dasarnya dapat terdiri dari lebih satu negara pada saat yang bersamaan. Yang pertama, adalah Ibn Taymiyyah (1263-1328 M). Dalam salah satu karya teoretis politiknya yang terkenal, al-Siyasah wa al-Syari’iyyah fi Ishlah al-Ra’i wa al-Ra’iyyah, Ibn Taimiyyah mengemukakan keabsahan adanya dua khalifah bagi umat Islam dalam waktu yang bersamaan. Tentu saja, yang dimaksudkannya adalah dari dua negara yang berbeda. Ulama yang dijuluki Syaikh al-Islam ini berpendapat demikian mengingat ketidakmampuan khalifah yang ada untuk menggerakkan perlawanan kepada pasukan-pasukan Mongol yang sedang menjarah rayah Dunia Islam saat itu.
Jauh sebelumnya, teolog Sunni kenamaan, Abu Mansur Abdul Qahir ibn Tahir, lebih terkenal dengan nama al-Baghdadi yang meninggal pada tahun 1037 Masehi (jadi bukan al Baghdadi dari HT yang saya kutip di atas) dalam karyanya yang terkenal mengenai aliran-aliran teologi dalam umat Islam, al-Farq bain al-Firaq, berpendapat bahwa Dunia Islam bisa saja memiliki lebih dari satu khalifah apabila wilayahnya dipisahkan oleh lautan.
Dari apa yang dikatakan oleh Ibn Taymiyyah maupun al-Baghdadi, kita dapat menyimpulkan bahwa pada dasarnya umat Islam bilamana harus terpisah ke dalam sejumlah negara adalah sesuatu yang bukan persoalan dan dengan demikian, tak ada satu cuil pun nash syar’i yang dilanggar. Satu-satunya ukuran yang absah untuk menentukan apakah harus terdiri dari satu negara atau lebih hanyalah situasi dan keadaan. Apakah situasi dan keadaan memungkinkan Dunia Islam terdiri lebih dari satu negara, apakah situasi dan keadaan memungkinkan umat Islam dipersatukan ke dalam satu negara. Kita lihat di sana, dua orang besar dalam tradisi keilmuan Islam itu sama sekali tidak mengacu kepada al-Quran atau Hadits Nabi dalam mengemukakan pertimbangannya bahwa pada suatu masa yang bersamaan bisa terdapat lebih dari satu khalifah atau lebih dari satu negara. Namun, keduanya demikian mempertimbangkan situasi dan keadaan. Satunya adalah situasi yang dipisahkan oleh lautan, satunya adalah keadaan yang menyebabkan umat Islam tidak dapat dikonsolidasi untuk menyelenggarakan perlawanan terhadap musuh. Tak ada dalil dari al-Quran dan Hadits Nabi yang dikutip; kenyataannya, memang tak ada sebuah dalil pun yang mengharuskan adanya satu negara maupun yang melarang adanya lebih dari satu negara di kawasan Dunia Islam.
Terakhir kalinya saya menegaskan: absah saja seseorang atau sekelompok orang berpendapat bahwa dunia harus berada dalam naungan satu negara, tetapi sama sekali tak ada sumber Islam atas gagasan itu. Gagasan itu semata-mata adalah berdasarkan nalar atau pendapat – katakanlah ijtihad dari seorang Muslim yang risau akan lemahnya persatuan dan ukhuwah di kalangan umat Islam sedunia. Tambahan lagi, menurut kenyataan masa lalunya, umat Islam dipisahkan dalam sejumlah negara. Salah satu di antaranya adalah Turki-Utsmani. Dan, seperti halnya banyak penguasa dari negara-negara Islam pada waktu itu, pada akhirnya penguasa Turki-Utsmani juga mengumumkan kekhilafahan kekuasaannya. Pada tahun 923 H/1527, Sultan Salim I dari Turki-Utsmani menganeksasi (mencaplok) Mesir yang berada di bawah kekuasaan Dinasti Mamluk. Sultan Salim membawa ke Istambul orang yang dinyatakan sebagai khalifah terakhir dari Dinasti Abbasiyyah, yakni al-Mutawakkil III. Yang terakhir ini kemudian, demikian dikatakan sejarawan-sejarawan Turki Utsmani, menyerahkan secara sukarela "hak kekhilafahan"-nya kepada Sultan Salim! Sesudah itu, sultan-sultan Turki-Utsmani mulai mengumumkan kekhalifahan dirinya.
Demikian pula dengan Dinasti Mamluk di Mesir. Sesudah Baghdad diporak-porandakan oleh Hulagu Khan dari Mongol, penguasa Mesir dari Dinasti Mamluk mengundang salah seorang anggota keluarga Abbasiyyah dan mengangkatnya sebagai seorang Khalifah. Tetapi, khalifah ini pun hanya memainkan peran nominal. Mamluk tidak berminat untuk membagi kekuasaannya. Jadi, kekhalifahan itu, yakni al-Mustanshir (1261 M), hanyalah dipergunakan sebagai legitimasi bagi kekuasaan Dinasti Mamluk atas Dunia Islam.
Sejarah menunjukkan bahwa yang pada akhirnya bertahan menjadi negara besar adalah Turki-Utsmani ini. Yang patut diingat, Turki Utsmani bukanlah satu-satunya negara bagi umat yang menyatakan dirinya menganut Islam. Terdapat negara Shafawi yang berpusat di Isfahan-Persia, lalu negara Dinasti Mughal yang berlokasi di India. Masing-masing independen satu sama lain, tak ada kaitan struktural hirarkis. Sementara itu, di kawasan Malaya-Indonesia malah banyak negara Islam, mulai dari Malaka (yang pada tahun 1511 ditundukkan oleh Portugis), Aceh di Sumatera, Demak di Jawa Tengah, hingga Kerajaan Gowa-Tallo (juga terkenal dengan nama Makassar) atau Kesultanan Ternate dan Tidore di kawasan Maluku. Masing-masing negara atau kerajaan yang saya sebutkan tadi saling merdeka dan independen satu sama lain, bahkan tidak jarang di antara mereka saling terjadi peperangan. Negara-negara ini tidak tunduk baik kepada Turki-Utsmani, Mughal maupun, lebih-lebih lagi, Shafawi. Seluruhnya adalah negara-negara atau kerajaan-kerajaan Islam yang independen atau merdeka.
Ironi dari banyaknya jumlah negara Islam tersebut —bagi konseptualisasi pandangan Hizbut Tahrir— adalah: justru pada masa-masa itulah umat Islam, yang terpisah ke dalam banyak negara itu, berada pada puncak kejayaan dan kegemilangannya! Kenyataan sejarah ini, bilamana HT benar-benar menyadari absurditas dan utopianistik konsepnya: di bawah sistem kerajaan atau monarki, dengan jumlah lebih dari satu atau banyak negara, umat Islam justru mencapai kecemerlangan sejarahnya.
Jadi, benar bahwa pada suatu masa tertentu, umat Islam hanya memiliki satu negara, hanya hidup dan bernaung dalam satu negara; namun, itu terjadi ketika wilayah yang dikuasai umat Islam belum seluas sebagaimana pada waktu-waktu berikutnya. Ketika wilayah semakin luas, sudah merupakan hal yang alamiah bahwa wilayah-wilayah itu pada akhirnya terpisah ke dalam sejumlah negara.
Persatuan Islam adalah penting, ukhuwah di antara seluruh kalangan kaum Muslimin adalah penting, namun itu tak harus diwujudkan dalam bentuk negara tunggal. Menyatakan negara Islam adalah tunggal semenjak dibentuk pertama kali oleh Nabi Muhammad, dan karena itu mencapai kejayaannya, adalah pernyataan yang berdasarkan keawaman dan kemiskinan pengetahuan dan wawasan sejarah belaka!
3.4.2. Potensi Otoritarianisme Khalifah HT
Secara konseptual, menurut HT, khalifah memegang fungsi-fungsi eksekutif, yudikatif dan legislatif. Fungsi terakhir ini disimpulkan dari pandangan HT sendiri yang menyatakan bahwa khalifah berhak melakukan tabbani dalam rangka pelaksanaan Syari‘ah. Secara tegas dikonseptualisasikan: khalifah berhak menyusun dan menetapkan konstitusi dan perundang-undangan yang lainnya.
Dengan kata lain, demikian kita dapat menarik kesimpulan, kekuasaan khalifah benar-benar amat kuat dan bahkan absolut. Hanya dia yang akan menetapkan konsititusi dan undang-undang, hanya dia yang berhak melaksanakannya. Lalu, selain para qadhi (hakim) yang dia angkat, khalifah juga memiliki kewenangan untuk memimpin proses sebuah peradilan, perkara pidana atau perdata.
Pada dasarnya khalifah adalah salah seorang mujtahid menurut HT. Bedanya adalah, ia adalah seorang mujtahid yang sekaligus eksekutor (memegang fungsi eksekutif). Dan karena ia adalah seorang mujtahid, maka ia pun berhak ‘menafsirkan” Syari‘ah, apapun makna ‘menafsirkan’ di sini. Istilah yang dipergunakan HT adalah tabbani. Mengingat tabbani adalah metode yang dipergunakan untuk melaksanakan dan menentukan hukum-hukum Islam yang diderivasikan dari Syari‘ah, maka tidak bisa tidak, itu adalah sebuah penafsiran.
Karena khalifah adalah mufasir, legislatif, yudikatif dan eksekutif tertinggi dalam negara khilafah, ditambah dengan tidak adanya pembatasan masa jabatan, maka khalifah yang dikehendaki Hizbut Tahrir adalah khalifah yang kekuasaannya benar-benar absolut, sama sekali tak ada yang membatasi.
Menariknya, HT menolak mengatakan bahwa kekuasaan khalifah adalah absolut. Ada, paling tidak, tiga argumen yang dibangun oleh HT untuk menunjukkan bahwa khalifah tidaklah berkuasa mutlak. Pertama, dikatakan oleh HT bahwa kekuasaan khalifah bukannya tidak tak terbatas, karena dalam menjalankan fungsi kekhalifahannya ia dibatasi oleh Syari‘ah. Persoalannya adalah penafsiran siapa terhadap Syari‘ah yang dipandang paling otoritatif, khalifah atau pihak yang lain? Sementara khalifah juga memegang fungsi legislatif, maka ia akan dapat mengundangkan atau memberlakukan setiap penafsirannya atas Syari‘ah tanpa ada satu pihak pun yang dapat membatalkan undang-undang yang ditetapkan oleh khalifah itu. Saya akan memberikan dua contoh di sini, satu dalam hal ibadah, satu dalam hal mu’amalah.
Mayoritas ulama atau umat Islam suatu negara khilafah, dapat mengemukakan pendapat bahwa membaca al-Fatihah dalam shalat harus menggunakan bahasa Arab dengan merujuk kepada pendapat Imam al-Syafi‘i. Tetapi, khalifah, dapat saja menetapkan dalam ketentuan hukum negara bahwa membaca al-Fatihah dalam shalat, dapat mempergunakan selain bahasa Arab dengan merujuk kepada pendapat Imam Abu Hanifah. Karena satu-satunya yang berhak menetapkan hukum adalah khalifah, maka pendapat hukumnya itulah yang diberlakukan sebagai ketentuan resmi negara, sedangkan pendapat mayoritas ulama dapat diabaikan. Apa yang dapat dilakukan masyarakat dalam hal ini? Melakukan kritik (secara langsung maupun melalui majlis al-ummah) dan mengadukannya kepada Qadhi atau Mahkamah Mazhalim. Soal konsep ini akan kita bahas di bawah.
Contoh kedua. Mayoritas ulama dan rakyat dapat saja berpendapat bahwa orang-orang non Muslim harus dikenai pajak jizyah (pajak perlindungan kepada warga non Muslim yang tinggal di negara Islam). Tetapi, khalifah, karena berbagai macam pertimbangan, dapat saja menolak pengenaan jizyah tersebut. Itulah kebijakan yang ditempuh oleh Khalifah Umar ibn Abdul Aziz (Umar II). Karena, yang berhak menetapkan dan melaksanakan Syari‘ah adalah khalifah, maka ia dapat menetapkan hal itu sebagai kebijakan negara. Apakah keputusan khalifah itu melanggar Syari‘ah atau tidak, bukanlah persoalan pokok di sini. Namun yang fundamental adalah ijtihad siapakah yang akan ditetapkan sebagai aturan negara. Secara konseptual HT, tentulah ijtihad khalifah. Sama halnya, khalifah dapat dikritik atau diadukan kepada Qadhi Mazhalim.
Dalam dua contoh yang saya sebutkan di atas, otoritas khalifah adalah mutlak. Tak ada pihak yang dapat membatalkan keputusan khalifah. Lalu, apa sesungguhnya peran majlis al-ummah dan Qadhi Mazhalim? Dengan pertanyaan ini kita akan mengawalinya dengan masuk kepada dua argumen berikutnya dalam pandangan HT bahwa khalifah bukanlah seorang otoriter.
Dalam artikel yang ditulis oleh Ismail Yusanto untuk KompasCyber Media, dijelaskan bahwa khalifah tidak mungkin menjadi otoriter atau tiranik, karena terdapat majlis al-ummah yang dapat mengkritik secara terbuka kepada khalifah. Khalifah tidaklah bebas kritik, begitu kira-kira. Bahkan, Yusanto mengutip hadits Nabi bahwa jihad yang paling utama adalah mengkoreksi penguasa yang menyeleweng. Dengan demikian, kritik bukannya dilarang, termasuk kepada khalifah.
Yusanto mencontohkan bahwa Nabi Muhammad pun pernah dikritik; yakni ketika Nabi memutuskan untuk menerima Perjanjian Hudaibiyah padahal dinilai terlalu menguntungkan pihak Quraisy. Abu Bakar, semasa menjabat khalifah, juga pernah dikritik berkaitan dengan kebijakannya untuk memerangi orang yang tidak mau membayar zakat. Dan, pada waktu menjabat sebagai khalifah, Umar juga dikritik oleh sekelompok wanita dalam masalah jumlah mahar yang hendak dibatasi oleh Umar. Dikutip perkataan Umar, “Wanita itu benar, Umar salah.”
Saya kira, Hizbut Tahrir dan Ismail Yusanto (yang pernah merupakan juru bicara HT Indonesia itu) benar ketika menyatakan seorang khalifah yang sedang berkuasa dapat dikritik. Tetapi ada satu hal —memang cuma satu, namun itulah yang paling fundamental— apakah kritik itu hanya sekadar kritik ataukah kritik itu dapat mengubah atau membatalkan kebijakan yang telah diambil oleh penguasa Islam. Sayangnya, contoh-contoh yang disebutkan Yusanto justru memperkuat analisis saya bahwa penguasa Islam —sebagaimana dikonseptualisasikan oleh HT— memang amat berpotensi menjadi seorang otoriter atau tiranik.
Perlu saya ingatkan di sini, saya tidak sedang berbicara siapa benar siapa salah dalam kaitannya dengan hubungan antara penguasa dan rakyat. Karena kita sedang berbicara sebuah sistem, maka yang harus menjadi pusat perhatian kita adalah siapa yang paling berwenang tanpa dipersoalkan dalam menetapkan sebuah keputusan menyangkut kepentingan umum
Contoh-contoh yang dikemukakan Yusanto adalah peristiwa-peristiwa yang terkenal dalam sejarah Islam. Dan karena itu, mudah diidentifikasi kesalahan fatal Yusanto karena mengambil contoh tersebut. Pertama, adalah benar bahwa Nabi Muhammad telah dikritik oleh sejumlah sahabat berkenaan dengan Perjanjian Hudaibiyah. Namun, di atas kritik-kritik itu, pada akhirnya, keputusan atau kebijakan siapakah yang dilaksanakan? Menolak Perjanjian Hudaibiyah sebagaimana yang diusulkan oleh Umar ataukah menerimanya sebagaimana dinyatakan oleh Nabi? Kita semua tahu, perjanjian itu akhirnya disepakati oleh kedua belah pihak. Akibatnya, Umar pun diriwayatkan sempat meragukan kerasulan Nabi Muhammad. Tetapi seluruh keraguan dan kritik Umar, tidak membuat Nabi mengubah keputusan atau kebijakan yang telah diambilnya. Sebagai pemimpin yang diakui oleh seluruh kaum Muslimin, Nabi berhak dan berwenang mengambil kebijakan itu, meski banyak sahabat mengkritik Nabi.
Keteguhan Abu Bakar untuk tetap memerangi para pembangkang pembayar zakat tidak hanya mendapat kritik dari Umar, namun banyak sahabat turut mengkritiknya, mengingat kekuatan pasukan Madinah sedang berkurang menyusul dikirimnya pasukan Usamah ibn Zayd untuk mengamankan perbatasan Syiria di utara Madinah. Sekali lagi, di tengah-tengah gelombang kritik yang muncul, Abu Bakar bertahan pada keputusannya. Dan keputusannya itulah yang diberlakukan sebagai kebijakan negara. Di sini terlihat, kewenangan yang dimiliki khalifah tak dapat digoyahkan oleh siapapun dan pihak manapun. Kaum Muslimin pun melaksanakan keputusan Abu Bakar.
Dalam masalah kritik dari sekelompok wanita kepada kebijakan Umar, coba kita perhatikan sekali lagi. Keputusan membatasi jumlah mahar akhirnya dibatalkan, bukan karena adanya kritik dari sekelompok wanita itu, melainkan karena kritik itu diterima oleh Umar. Bayangkanlah seandainya kritik kaum wanita itu ditolak Umar, apakah mahar tetap dibatasi ataukah tidak?
Dalam ketiga contoh yang disebutkan oleh Yusanto di atas, ia malah memperkuat analisis yang menyatakan bahwa kebijakan penguasa Islam atau khalifah pada dasarnya adalah mutlak. Dia berhak menetapkan, hanya dia pula yang berhak membatalkannya.
Lalu, apakah kritik sekadar melakukan kritik? Yang dipersoalkan dalam masalah otoritarianisme atau tiranisme penguasa bukanlah boleh mengkritik atau dilarang mengkritik. Namun, apakah kebijakan penguasa dapat dibatalkan atau diamandemen?
HT dan Yusanto mengajukan argumen ketiga. Keberadaan Qadhi atau Mahkamah Mazhalim. Lembaga inilah yang diharapkan mampu mengatasi dan menghentikan penyelewengan kekuasaan khalifah. Apapun lembaganya, bagi saya tidak menjadi soal. Asalkan secara konseptual, keberadaannya memang secara efektif dapat membatasi absoluditas kekuasaan dan kewenangan khalifah.
Masalah yang harus dipecahkan oleh HT adalah kerumitan teoretis-konseptual dalam gagasannya ini. Sebab, menurut HT, seluruh pejabat tinggi negara diangkat dan berkedudukan di bawah khalifah. Jadi, sama seperti pejabat-pejabat negara yang lain, pejabat Qadhi atau Mahkamah Mazhalim pun dipilih, ditunjuk, diangkat dan dilantik oleh khalifah. Secara hirarkis, kedudukan jabatan qadhi mazhalim adalah di bawah kedudukan jabatan khalifah. Pertanyaannya: bagaimana mungkin seseorang dengan jabatan yang lebih rendah dapat memberhentikan atau memecat seseorang dengan jabatan yang terdapat di atasnya?
HT, seolah-olah, ingin mengatakan seorang bawahan dapat saja memberhentikan atasannya. Kalau HT memang berpendapat demikian, bagi saya pun tidak masalah. Yang paling bermasalah adalah: dengan kedudukannya sebagai pejabat tertinggi negara, dengan kewenangan untuk mengangkat siapapun di bawah strukturnya, bukankah khalifah, selain berhak mengangkat juga memiliki kewenangan untuk memberhentikan pejabat qadhi mazhalim? Apakah HT akan mengatakan bahwa jabatan qadhi ditetapkan untuk kemudian tidak dapat diberhentikan? Secara teoretis-konseptual, karena khalifah-lah yang telah mengangkat pejabat qadhi mazhalim, maka semestinya ia pun berhak memberhentikannya.
Persoalannya kemudian, apakah yang kira-kira akan terjadi bila satu-satunya pihak/pejabat yang memiliki kewenangan untuk memberhentikan seseorang dari jabatannya, ternyata dapat diberhentikan oleh orang atau pejabat yang akan dipecatnya itu? Maksudnya, sebelum Qadhi Mazhalim menyelesaikan tinjauannya tentang apakah seorang khalifah memang telah menyimpang dari Syari‘ah ataukah tidak, ia, tentu saja, setiap saat bisa saja diberhentikan oleh sang khalifah. Dalam hal ini —untuk menjawab pertanyaan saya sendiri— paling kurang, akan terjadi krisis kepemimpinan. Lebih buruk daripada itu adalah anarkisme atas dasar jabatan: saling pecat-memecat! Seolah-olah membenarkan apa yang saya katakan, melalui Ismail Yusanto, HT berpendapat bahwa rakyat dapat secara paksa memberhentikan seorang khalifah dengan jalan kekerasan. Bagi saya, tak soal. Namun, persoalannya tetap: siapa yang berhak menyatakan apakah memang khalifah yang telah menyimpang dari Syari‘ah, ataukah justru rakyat yang keliru memahami Syari‘ah? Kemudian, tidak mungkinkan dirumuskan suatu konsep yang jauh lebih beradab daripada menuntaskan segala kekisruhan konseptual itu dengan jalan kekerasan? Oleh karena, bukankah kita baru berbicara dalam tataran konseptual di atas kertas belaka? Mestinya, “krisis” atau “anarkisme” konseptual itu tidak muncul atau kalaupun muncul mestinya dapat diselesaikan secara konpsetual pula dengan sejauh mungkin menghindarkan jalan kekerasan, meskipun jalan itu tak dapat dinafikkan sebagai solusi terakhir dalam praktiknya, bukannya dalam tataran konseptual.
Menurut pendapat saya, Hizbut Tahrir terlalu percaya, dan karena itu, menumpukan konseptualisasi khilafahnya pada “niat baik” seseorang. Seorang Muslim yang baik dan taat, tidak akan mungkin menyimpang dari Syari‘ah. Seorang khalifah yang taat tidak akan mungkin memecat qadhi mazhalim yang akan bertugas menilai kebijakan-kebijakannya sebagai sesuai dengan Syari‘ah atau tidak. Seseorang yang terpilih sebagai khalifah, di antara sekian ratus juta umat, mestilah atau tidak akan mungkin lebih mengutamakan kepentingan pribadinya. Kenyataannya, sejarah Islam memang menghasilkan beberapa khalifah yang semacam itu. Namun, sejarah yang sama menunjukkan bahwa lebih banyak khalifah yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompoknya. Utsman ibn Affan yang saleh dan santun itu pun, pada paro akhir kekhalifahannya dinilai banyak kalangan sebagai mempraktikkan nepotisme.
Oleh sebab itu, daripada menumpukan pada niat baik seseorang, menurut hemat saya, jauh lebih memadai apabila tumpuan itu dipindahkan ke dalam sistem. Konsep khilafah HT mendasarkan kepada asas prasangka baik bahwa seorang yang beriman dan bertakwa tidak mungkin menyimpang dari Syari‘ah. Namun, sebuah jabatan dengan segala fasilitas dan privelese yang mungkin melekat padanya, kekuasaan yang tak ada batas masa jabatannya, dapat saja menggoda seseorang untuk menyimpang.
Dengan demikian, bila memang menghendaki agar seorang khalifah tidak dimaksudkan untuk otoriter, maka konseptualisasikanlah sebuah sistem yang dirancang untuk mencegah otoritarianisme itu! Kunci pokok pembatasan kekuasaan adalah dengan mendistribusikannya. Masing-masing pemegang kekuasaan/kewenangan yang terdistribusi harus saling independen dan keberadaannya tidak tergantung satu sama lain, dengan asumsi saling melakukan pengawasan; menolak keputusan sebuah pemegang kekuasaan bilamana diperlukan. Dalam kerangka itu, sejumlah usulan dapat saya sarankan di sini:
- khalifah harus memiliki masa jabatan,
- legitimasi qadhi mazhalim harus sekuat dan tidak bergantung pada khalifah. Dalam hal ini, qadhi mazhalim juga harus mendapat mandat dari rakyat, sehingga dia tidak dapat diberhentikan sewaktu-waktu oleh khalifah.
- khalifah harus terus-menerus diawasi oleh lembaga yang juga mendapat mandat dari rakyat. Dalam hal ini, majlis al-ummah, institusi yang dibenarkan HT, dapat diberdayakan sehingga memiliki kewenangan lebih daripada sekadar “lembaga penasihat” khalifah. Oleh karena itu, anggota-anggotanya pun tidak diangkat oleh khalifah, melainkan juga oleh rakyat.
- Khalifah memang harus merupakan lembaga eksekutif yang kuat, namun tidak lantas hal itu membuatnya dapat diberi kewenangan dalam menetapkan konstitusi dan undang-undang. Meskipun, dapat saja ditetapkan bahwa khalifah —sama seperti siapapun yang merupakan warga negara— diperbolehkan mengajukan usulan rancangan konstitusi atau undang-undang.
Demikianlah, usulan-usulan dari seorang sesama Muslim yang juga merindukan tegaknya aturan-aturan Allah di muka bumi ini. Kemudian, seluruh kritik saya pada konsep khilafah HT pada dasarnya bermuara pada satu hal: tak ada secuil pun dalam pandangan HT mengenai khilafah itu yang benar-benar secara absah mendapatkan justifikasi dari tinjauan sumber-sumber suci Islam.
Seluruhnya semata-mata merupakan konseptualisasi dari para konseptor HT, seperti misalnya, Taqiyuddin an-Nabhani. Maka, statusnya, sama seperti konsep-konsep pemikiran yang lain, dapat dinilai sebagai suatu ijtihad. Apakah sebuah ijtihad memang benar atau memang sesuai dengan ajaran Islam adalah masalah yang lain. Dalam Hadits Nabi terkenal dijelaskan: ijtihad yang salah memperoleh satu pahala, ijtihad yang benar memperoleh dua pahala. Kesalahan pokok HT dalam hal ini sudah jelas: rumusannya yang diklaim berdasarkan al-Quran dan Hadits, ternyata tak dapat dibuktikan.
Al-Quran tak pernah mengajarkan sistem khilafah, al-Quran melarang penguasa memiliki kewenangan yang berlebih-lebihan (thaghut), sebaliknya, al-Quran mengajarkan umat Islam agar menegakkan tatanan sosial politis yang berkeadilan dan mengutamakan kesejahteraan warga. Penguasa Islam haruslah seorang penguasa yang kuat, tidak mudah dijatuhkan atau tunduk kepada orang-orang di sekelilingnya, tetapi Al-Quran pun menghendaki agar kekuasaan dan kewenangan penguasa itu dibatasi oleh rakyat Islam, pemegang sesungguhnya amanat “pemelihara” bumi, dan karena itu merupakan pemegang kekuasaan yang sebenarnya. Tetapi, rakyat pun tidak diperbolehkan anarkis. Tidak setiap gagasan atau pendapat yang bersifat menentang penguasa dapat diatasnamakan sebagai suara rakyat. Harus ada ukuran yang jelas mengenai siapa yang dimaksudkan rakyat itu. Al-Quran juga mengajarkan bahwa keputusan-keputusan penting yang menyangkut hajat hidup negara dan masyarakat Islam harus dibicarakan secara baik-baik, jujur, dan terbuka dalam forum musyawarah. Ini adalah secuplik mengenai ilustrasi berkeadilannya tatanan politis yang saya sebut di atas.
Hizbut Tahrir dengan gagasan khilafahnya telah melakukan kesalahan besar, baik dalam menangkap maksud sesungguhnya al-Quran, Sunnah Nabi, maupun sejarah panjang umat Islam. Sistem untuk menciptakan tatanan politis yang berkeadilan, itulah fundamental yang telah diabaikan olehnya. Hizbut Tahrir menyatakan bahwa seorang khalifah dapat saja menyimpang, namun konsep khilafah HT, yang sesungguhnya, malah memberi peluang besar dan melegalisasi potensi-potensi penyimpangan itu.
Last but not least, apabila dalam pandangan Abdul Qadim Zallum, demokrasi adalah sistem kafir yang utopis, maka Hizbut Tahrir dengan khilafahnya adalah sistem non-Islami yang absurd.
La yukallifullahu nafsan ila wus‘aha.
Referensi
a. Pandangan Hizbut Tahrir
al-Anshari, Jalal, (editor). 2002. Mengenal Sistem Islam dari A sampai Z. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah.
Al Baghdadi, Abdurrahman. 1997. Da’wah Islam dan Masa Depan Ummat. Mengimplementasikan Metode Da’wah Rasulullah SAW di Era Globalisasi. Bangil (Pasuruan): al-Izzah.
Yusanto, Ismail. 2005. “Khilafah Islam, Sistem Tiranik?” KompasCyber Media, 8/3.
Zallum, Abdul Qadim. 2004. Pemikiran Politik Islam. Bangil (Pasuruan): al-Izzah.
b. Umum
Bosworth, C.E. 1993. Dinasti-dinasti Islam. Terj. Ilyas Hasan. Bandung: Mizan.
Hekal, Muhammad Husain dan Jamaluddîn Surûr. 2002. Usman bin Affan: antara Kekhalifahan dengan Kerajaan. Terj. Ali Audah. Jakarta: Litera AntarNusa.
Fanani, Ahmad Fuad. 2005. ”Islam dan Tantangan Demokratisasi.” KompasCyber Media, 26/2.
Ibn Hisyam. 2001. Sirah Nabawiyah Ibn Hisyam. Jilid II. Terj. Fadhli Bahri. Jakarta: Darul Falah.
Lings, Martin (Abû Bakr Sirâj al-Dîn). 2003. Muhammad: Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik. Ed-2. Terj. Qamaruddin S.F. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta.
Suyuthi, Imam al-. 2001. Tarikh Khulafa’: Sejarah Para Penguasa Islam. Terj. Samson Rahman. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Thohir, Ajid. 2004. Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam. Melacak Akar-akar Sejarah, Sosial, Politik, dan Budaya Umat Islam. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
al-Anshari, Jalal, (editor). 2002. Mengenal Sistem Islam dari A sampai Z. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah.
Al Baghdadi, Abdurrahman. 1997. Da’wah Islam dan Masa Depan Ummat. Mengimplementasikan Metode Da’wah Rasulullah SAW di Era Globalisasi. Bangil (Pasuruan): al-Izzah.
Yusanto, Ismail. 2005. “Khilafah Islam, Sistem Tiranik?” KompasCyber Media, 8/3.
Zallum, Abdul Qadim. 2004. Pemikiran Politik Islam. Bangil (Pasuruan): al-Izzah.
b. Umum
Bosworth, C.E. 1993. Dinasti-dinasti Islam. Terj. Ilyas Hasan. Bandung: Mizan.
Hekal, Muhammad Husain dan Jamaluddîn Surûr. 2002. Usman bin Affan: antara Kekhalifahan dengan Kerajaan. Terj. Ali Audah. Jakarta: Litera AntarNusa.
Fanani, Ahmad Fuad. 2005. ”Islam dan Tantangan Demokratisasi.” KompasCyber Media, 26/2.
Ibn Hisyam. 2001. Sirah Nabawiyah Ibn Hisyam. Jilid II. Terj. Fadhli Bahri. Jakarta: Darul Falah.
Lings, Martin (Abû Bakr Sirâj al-Dîn). 2003. Muhammad: Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik. Ed-2. Terj. Qamaruddin S.F. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta.
Suyuthi, Imam al-. 2001. Tarikh Khulafa’: Sejarah Para Penguasa Islam. Terj. Samson Rahman. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Thohir, Ajid. 2004. Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam. Melacak Akar-akar Sejarah, Sosial, Politik, dan Budaya Umat Islam. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar