Sabtu, 01 Maret 2014

Sejarah Aliran-aliran Pemikiran Muslim tentang Takdir : Analisis Relasi Kuasa-dan-Pengetahuan

Weko Kuncara



Prawacana
Wacana tentang takdir merupakan salah satu masalah teologi tertua yang muncul dalam sejarah Islam. Meskipun demikian, sejauh yang kami ketahui, pada masa Nabi Muhammad masih hidup, masalah ini belum lagi muncul ke permukaan. Sama seperti seluruh persoalan lain semasa Nabi masih hidup, setiap masalah yang muncul selalu langsung diperhadapkan atau ditanyakan kepada Nabi. Karena kemunculan persoalan-persoalan itu seringkali bersifat spontan, maka jawaban Nabi pun bersifat solusi seketika. Nabi dan juga al-Quran tidak terlalu berkepentingan dengan perumusan teologi yang sistematik. Dalam hal ini, Nabi Muhammad bukanlah seorang teolog (dalam arti ketat: pemikir teologi-sistematik) dan al-Quran bukan merupakan kitab atau risalah teologi, walaupun seluruh persoalan teologis dapat mereka pecahkan, sendirian atau bersama-sama.

Seluruh persoalan takdir (apakah yang bersifat fatalistik ataupun free-will) yang terdapat dalam Hadits-hadits Nabi merupakan —demikian kami berkeyakinan— anekdot-anekdot yang ditambahkan belakangan oleh sejumlah orang dalam rangka menjustifikasi pandangan-pandangan mereka. Hadits tentang, misalnya, “Orang-orang Qadariyyah merupakan kaum Majusi dalam umatku,” jelas-jelas merupakan refleksi atas perselisihan yang muncul kemudian. Istilah teknis qadariyyah belum dikenal pada saat Nabi masih hidup, bahkan kata itu sendiri semula (diketahui muncul pertama kali pada masa awal Dinasti Umayyah, 661-750) merupakan istilah yang dilekatkan kepada orang-orang yang berpikiran fatalistik.[1] Kemudian, orang Majusi masih belum bukan merupakan masalah sampai Kekaisaran Persia ditaklukkan (pada tahun 637) semasa Kekhalifahan Umar ibn al-Khaththab (634-644).

Apabila suatu laporan mengenai salah satu episode pemerintahan khalifah kedua di bawah ini otentik, maka barangkali itulah sebuah indikasi awal tentang adanya perbedaan pandangan dalam masalah takdir di kalangan umat Islam. Dikisahkan bahwa sesudah penaklukkan Syiria (pada tahun 635), Umar akan melakukan inspeksi ke kawasan itu untuk memberikan instruksi-instruksi berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan di bekas salah satu propinsi Kekaisaran Romawi Timur (Bizantium) itu. Ternyata kawasan itu tengah dilanda wabah penyakit menular yang mematikan. Sesudah berunding dengan sejumlah penasihatnya, Umar memutuskan untuk membatalkan kunjungannya ke Syiria. Tak lama setelah itu, Abu Ubaidah al-Jarrah, seorang Sahabat Nabi yang bersama-sama dengan Khalid ibn al-Walid memimpin penaklukan Syiria, mempertanyakan keputusan itu, “Umar, kita akan lari dari takdir Allah?” Diriwayatkan agak lama Umar tertegun dengan pertanyaan itu, lalu menjawab,
Ya, lari dari takdir Allah menuju takdir Allah juga. Bagaimana pendapat Anda kalau ada orang turun ke sebuah wadi [oase] yang terdiri dari dua lereng, yang satu subur dan yang satu lagi tandus, bukankah yang menggembalakan di tempat tandus itu dengan takdir Allah, dan yang menggembalakan di daerah subur juga dengan takdir Allah? [2]
Tak diriwayatkan bagaimana reaksi Abu Ubaidah atas jawaban itu. Perhatikan bagaimana istilah takdir sebagaimana dipergunakan Umar memiliki makna yang cukup “luwes”, bukannya fatalistik, tetapi juga bukan persis free-will. Pastilah bahwa Sang Khalifah bukan penganut paham fatalisme dan pasti juga bahwa dia memiliki pendapat bahwa manusia cukup memiliki kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri.

Kami tak memiliki episode lain yang berkaitan dengan perbincangan mengenai takdir pada masa Khalifah Umar, tetapi laporan-laporan tentang wacana itu sesudah pembunuhan Khalifah ketiga, Utsman ibn ‘Affan (644-656), benar-benar amat melimpah. Dan pembunuhan itu, yang dijuluki sebagai Fitnah al-Kubra (“Cobaan Besar”) Pertama, merupakan akar terpenting dari seluruh perselisihan yang terjadi di kalangan umat Islam kemudian.[3] Persis bertitik tolak dari peristiwa inilah kita dapat mulai membicarakan perdebatan teologis dalam Islam secara lebih substansial.[4]


Tahkim dan Munculnya Khawarij
Utsman ibn ‘Affan, menurut kami, memang adalah figur seorang khalifah yang banyak mengundang kontroversi. Terlalu banyak laporan tentang hal ini, sehingga tidak mungkin sifat kontroversi pada dua belas tahun pemerintahannya diperbantahkan lagi. Pada umumnya disepakati bahwa enam tahun pertama pemerintahannya berjalan dengan baik dan sesuai dengan kebijakan yang telah digariskan oleh dua khalifah sebelumnya. Sementara enam tahun terakhir pemerintahannya dinilai lemah. Mungkin ini berkaitan dengan usianya yang sudah semakin menua (dia terpilih menjadi khalifah ketika berumur 70 tahun), mungkin juga dia masih belum terlalu berhasil melepaskan ikatan-ikatan lama kesukuannya, karena dia adalah anggota salah satu kabilah terkemuka (Banu Umayyah) di lingkungan Quraisy, suku yang paling dihormati di kalangan orang Arab.

Dilaporkan dia banyak mengangkat pejabat-pejabat propinsi dari kalangan Banu Umayyah. Kalau dia sudah tidak dapat lagi menemukan seorang yang paling dekat hubungannya dengan dirinya, maka dia mengangkat saudara sepersusuannya. Misalnya adalah Abdullah ibn Sa‘d ibn Abi Sarh, Gubernur Mesir. Banyak masalah semasa enam tahun terakhir pemerintahannya, dan penunjukan gubernur Mesir itu hanyalah salah satunya saja. Pada umumnya, inti masalahnya adalah ketidakpuasan masyarakat Islam atas kebijakannya yang terlalu berpihak. Mungkin, karena usianya yang sudah tua, dia banyak tunduk pada kepentingan orang-orang Banu Umayyah, yang memang dikenal terampil dalam penyelenggaraan organisasi negara, paling tidak bila dibandingkan dengan orang-orang Islam yang lain. Masalahnya, justru kebanyakan orang Banu Umayyah itulah yang memeluk Islam pada menit-menit terakhir menjelang wafatnya Nabi. Sebelumnya, mereka selalu memusuhi Islam dan Nabi Muhammad. Kini para “musuh” itu, justru menjadi pemuka-pemuka dari suatu negara dan agama yang pernah mereka tentang itu. Jadi, memang terdapat nada konflik kepentingan dan “senioritas” di sini.

Sebagian para pemrotes kebijakan yang terlalu bersemangat kemudian mengeksekusi mati khalifah yang sudah sepuh itu di rumahnya sendiri. Para pemrotes kemudian mengangkat Ali ibn Abi Thalib untuk menggantikan Utsman. Enam tahun pemerintahan Ali (656-661) tak pernah sepi dari konflik berdarah yang melibatkan sesama umat Islam. Belum sempat mengonsolidasi kedudukannya, Ali harus segera menghadapi perlawanan di bawah pimpinan janda Nabi yang tersayang, ’A‘isyah binti Abu Bakar, yang didukung oleh dua atau tiga kabilah yang kurang berpengaruh di Makkah. Di dalam barisan ’A‘isyah, paling tidak, terdapat dua dari tujuh al-Sabiq al-Awwalun (pemeluk awal Islam), Thalhah ibn Ubaidillah dan al-Zubayr ibn al-Awwam, sepupu Khadijah.

Alasan perlawanan ’A‘isyah benar-benar aneh: menuntut darah atas terbunuhnya Utsman! Aneh, karena ’A‘isyah adalah salah seorang pemrotes terkeras kebijakan-berpihak Utsman, dan, yang paling penting, yang paling berhak (jadi, dalam struktur-nalar kesukuan menuntut balas darah adalah hak bukan kewajiban) bukanlah dia yang sama sekali tak memiliki hubungan darah dengan Utsman, melainkan harusnya adalah anggota-anggota kabilah Banu Umayyah. Dari pihak terakhir ini, muncullah Mu’awiyah ibn Abu Sufyan, Gubernur Syiria. Segera sesudah “Perang Unta” berakhir, pasukan-pasukan Syiria mulai bergerak untuk melancarkan apa yang dikenal sebagai Perang Shiffin. Itu adalah dua perang saudara (civil war) pertama dalam sejarah umat Islam.

Meskipun Mu’awiyah kalah dalam segi jumlah, tetapi pasukannya unggul dalam hal ketrampilan, organisasional, dan kedisiplinan. Sebab itu, apabila perang berlangsung dalam jangka panjang, Ali niscaya akan menemui kekalahan. Tetapi dalam beberapa pertempuran awal, pasukan Ali berhasil unggul. Dalam suasana terdesak itulah Mu’awiyah mengusulkan diselenggarakannya tahkim (arbitrase, perundingan damai). Dalam kaitannya dengan ini, penting dicatat bahwa arbitrase adalah salah satu metode Arab pra-Islam untuk mencari solusi bagi pihak-pihak yang bertikai, oleh karena itu, tahkim bukan sesuatu yang asing bagi kedua pihak (Ali dan Mu’awiyah) dan umat Islam saat itu umumnya. Ali, yang bukannya tak memahami keunggulan organisasional pasukan Mu’awiyah dan mungkin juga karena dorongan kesalehan, menerima usulan tahkim.

Laporan-laporan historis mengenai proses tahkim, menurut kami membingungkan, karena ‘Amr ibn ‘Ash (arbitrer dari pihak Mu’awiyah) mengumumkan bahwa karena Ali sepakat untuk mundur dari jabatan khalifah, maka Mu’awiyah berhak atas jabatan khalifah sebab dialah pewaris dan penuntut balas yang sah atas terbunuhnya Utsman. Seluruh pihak Ali terkejut atas hasil tahkim itu. Tampak bagi kami, mereka telah dipecundangi atau diperlakukan secara licik oleh pihak Mu’awiyah. Serombongan pasukan dari pihak Ali, terutama sekali karena kecewa atas hasil tahkim, menarik diri dari induk pasukan dan bergerak menuju Harurah. Mereka inilah kelompok Khawarij yang pertama. Pada waktu ini mereka belum sebagai Khawarij, melainkan kaum Haruriyyun, yakni orang-orang yang memisahkan diri dari kubu Ali ke Harurah.

Tindakan ini didasarkan atas pertimbangan yang sama sekali bersahaja namun militan: Mu’awiyah jelas-jelas orang yang bersalah dan karena itu harus diperangi sampai dia tunduk, bertaubat atau berhasil dibunuh. Ini adalah hukum Allah yang jelas, dan tak ada kompromi mengenai hal ini. Kenyataannya, Ali sendiri bersedia menerima tahkim yang berarti bersedia melakukan kompromi dengan seorang pendosa besar. Maka, Ali adalah seorang pendosa besar juga! Karena tiap-tiap pendosa besar adalah kafir - dan dengan demikian darahnya halal, maka baik Mu’awiyah maupun Ali harus dibunuh, pun pula dengan dua orang arbitrer dari pihak yang bertikai: Abu Musa al-Asy‘ari (dari pihak Ali) dan ‘Amr ibn ‘Ash. Khawarij menentang dua pihak yang sedang bertikai, akibatnya kini, konflik dalam tubuh umat Islam membentuk suatu “perang segitiga” antara: kubu Mu’awiyah, kubu Ali dan kaum Khawarij, di mana satu sama lain saling membinasakan.

Kaum Haruriyyun, karena formulasi-formulasi pandangan mereka belum tegas, dan memang masih dalam tahap pembentukan doktrin, segera terfriksi ke dalam berbagai kelompok, yang semakin lama semakin mengecil.[5] Pada titik ini, sebenarnya, posisi Khawarij telah jelas, mereka adalah pihak yang kecewa terhadap hasil tahkim, dan, seterusnya, kecewa terhadap penerima-penerima dilaksanakannya tahkim. Siapa yang benar (pihak Ali) dan yang siapa yang salah (pihak Mu’awiyah) telah jelas, dan, karena itu, menerima gagasan tahkim berarti berkompromi dengan kesesatan. Tetapi, sekali suatu kelompok memutuskan untuk memisahkan diri dari kelompok induknya, mereka harus menemukan alasan-alasan pembenar bagi perlu hadirnya kelompok yang baru. Inilah alasan, mengapa kemudian Khawarij mudah sekali menjatuhkan vonis kekafiran kepada kelompok manapun yang tidak berada di pihaknya. Mereka butuh alasan eksistensial: justifikasi untuk mewujud. Ketika pembenaran bagi eksistensi Khawarij telah ditemukan, maka pembenaran bagi penentangan atau perlawanan terhadap pihak lawan pun harus ditemukan. Hal terakhir ini ditambah lagi dengan kepentingan untuk menjaga kohesivitas anggota-anggotanya, kelompok yang lain harus “dipernyatakan” kesesatannya!

Pada titik ini, menurut kami, Khawarij bergerak dari persoalan politis kepada persoalan teologis (keimanan): siapakah yang dimaksud sebagai orang beriman? Apabila Mu’awiyah telah jelas posisi kesesatannya, maka Ali mereka nyatakan menyeleweng dari Islam sesudah bersedia menerima kompromi dari pihak yang sesat, padahal tak ada kompromi dengan kesesatan. Oleh karena sebagian besar eksponen kaum Haruriyyun juga terlibat dalam protes yang mengakibatkan terbunuhnya Utsman, maka mereka juga perlu “menegaskan” kesesatan khalifah ketiga itu: enam tahun pemerintahannya berdasarkan agama, enam tahun sisanya adalah masa penyelewengan. Khawarij mengumumkan diri sebagai pihak penjaga kebenaran risalah yang dibawa Nabi, pengoreksi kesesatan dan bertindak untuk meluruskan kesesatan itu, sambil meneriakkan slogan: la hukmu ila lillah, Tak ada Hukum kecuali Hukum Allah. Dengan begitu mereka memiliki alasan untuk mewujud, dan dengan itu pula mereka memiliki alasan untuk menentang seluruh “kelompok lain” yang ada!


Proto-Syi‘ah
Pendukung-pendukung setia Ali menolak hasil tahkim dan bermarkas di Kufah, kota di mana para pendukung fanatik Ali berkumpul, dan ke kota itulah Ali memindahkan ibukota kekhalifahannya. Para pendukung ini, walau dapat kita sebut sebagai kaum Alawiyyah (para pendukung Ali), namun mereka bukanlah (tepatnya: belumlah) merupakan kaum Syi‘ah yang baru muncul belakangan. Fanatisme kepada Ali didasarkan pada suatu pandangan religio-politik yang berasal dari Yaman, Arab Selatan: seseorang hanya dapat menjadi pemimpin yang sah karena, terutama ia memiliki suatu kharisma dalam dirinya serta memiliki kedekatan hubungan dengan pemimpin yang absah sebelumnya, dalam hal ini (bila dibandingkan dengan Mu’awiyah atau Sahabat manapun yang masih hidup saat itu) jelaslah Ali adalah orang yang paling layak untuk menjadi pemimpin. Dia bukan saja keponakan, tetapi merupakan suami dari putri dan ayah dari cucu-cucu Sang Nabi.[6] Betapapun, ini adalah bibit-bibit pemikiran dari para penganut Syi‘ahisme. Pada tahapan ini, untuk amannya, kita sebut saja mereka itu adalah kaum proto-Syi‘ah. Sesudah Ali dapat dibunuh oleh Ibn Muljam, seorang eksekutor Khawarij, mayoritas anggota kelompok ini sepakat untuk memilih Hasan, putra sulung Ali, untuk menjadi khalifah. Tetapi Hasan adalah seorang figur yang lemah dan mudah diiming-imingi dengan kehidupan duniawi, maka “hak kekhalifahan” Hasan diserahkan pada Mu’awiyah sesudah mendapat kompensasi yang melimpah darinya.

Di dalam pihak penyokong Ali ini, sebenarnya, tidak hanya berkumpul pendukung-pendukung Ali, tetapi juga orang-orang yang tak dapat menerima Mu’awiyah sebagai pemimpin mereka, namun juga tak mungkin bagi mereka untuk mengelompok ke dalam kubu Khawarij. Sesudah terbunuhnya Hasan (kira-kira enam bulan setelah penyerahan “hak khilafah”-nya), kelompok ini pun terfriksi ke dalam berbagai kelompok baru. Jadi, keadaan umat Islam saat ini benar-benar terpecah belah ke dalam berbagai kelompok, baik karena, terutama, alasan-alasan politis ataupun alasan-alasan yang lain: hanya perlu seorang demagog yang fasih berorasi bagi pemunculan kelompok baru.


Ahl al-Jama‘ah dan Gagasan Jabariyyah
Sementara itu, pihak Mu’awiyah setelah “kesuksesan” tahkim dan penyerahan diri Hasan, semakin berhasil mengonsolidasi kelompoknya. Kekuasaan secara de facto telah digenggamnya terutama sejak kematian Ali. Mu’awiyah bukan saja seorang politikus yang piawai dan tenang, tetapi dia juga dikelilingi oleh orang-orang terbaik pada masanya dalam masalah-masalah keorganisasian dan birokrasi penyelenggaraan negara. Umat Islam yang pernah berada di bawah kepemimpinan provinsial Syiria Mu’awiyah (dia ditunjuk oleh Khalifah Umar), merasakan benar bagaimana kemampuannya dalam menyejahterakan mereka. Tentu saja, hal ini bukannya tidak diperhatikan oleh rakyat di luar kawasan Syiria. Maka kemampuan dan kepemimpinan Mu’awiyah ini benar-benar menarik perhatian mereka, terutama sejak kematian Ali. Sementara pada saat yang sama, sejak akhir kekuasaan Utsman mereka telah merasakan bagaimana keadaan negara berada dalam kekisruhan dan, tentu saja, hal itu mempengaruhi tingkat kesejahteraan mereka. Kepemimpinan Mu’awiyah lambat laun namun secara mantap diakui oleh pihak-pihak yang semacam ini.

Mu’awiyah bukannya tidak memahami kondisi tersebut. Dia juga menyadari bahwa sebagian besar umat Islam telah terfriksi ke dalam berbagai kelompok kecil yang militan dan karenanya sulit ditundukkan. Terhadap kelompok-kelompok ini Mu’awiyah tidak segan-segan melakukan tindakan keras yang berdarah. Namun, baginya itu adalah pilihan terakhir, sesudah mereka tidak bersedia dipersuasi atau disuap baik dengan jabatan maupun imbalan material. Dan secara khusus terhadap mereka inilah, namun secara umum ditujukan kepada seluruh umat Islam, baik dalam rangka mendapatkan legitimasi kekuasaannya maupun keinginannya untuk mempersatukan umat Islam, Mu’awiyah meluncurkan slogan “persatuan umat Islam”. “Persatuan” yang dalam bahasa Arab saat itu adalah “al-Jama’ah”, membuat kubu Mu’awiyah disebut sebagai Ahl al-Jama’ah (Golongan [yang menghendaki] Persatuan). Orang-orang yang menginginkan kesejahteraan, penghentian segala kekisruhan dan ketidakjelasan politis, dan semata-mata prihatin atas terjadinya keretakan persatuan umat Islam yang telah dirintis dan dibina oleh Nabi, Abu Bakar dan Umar, tertarik dengan program ini. Dan meskipun mereka tidak dapat menerima kepemimpinan Mu’awiyah menurut dasar-dasar Islam, mereka tidak menolak atau melakukan gerakan yang menentang kepemimpinan Mu’awiyah, lalu oleh karenanya, menerima secara de facto kepemimpinannya. Inilah saat dimulainya era Khilafah-Dinastik pertama di bawah Dinasti Umayyah.

Para khalifah Dinasti Umayyah menyadari bahwa mereka tidak dianggap sebagai pemimpin-pemimpin yang ideal di mata umat Islam yang saleh dan prihatin dengan diabaikannya aspek-aspek religius dalam pemerintahan mereka. Dalam rangka mengatasi persoalan inilah, mereka mengemukakan gagasan bahwa kekhalifahan atau kepemimpinan mereka atas umat Islam merupakan Ketetapan dan Kehendak Allah yang bahkan mereka sendiri tak kuasa untuk menghindarkannya, apalagi umat Islam lain yang tak mendapat “amanah” itu. Terdapat laporan yang menunjukkan bahwa gagasan ini sudah dimunculkan sejak masa Mu’awiyah (berkuasa 661-680). Salah seorang gubernurnya, Ziyad ibn Abihi, ketika pertama kali berpidato di hadapan rakyat di bawah tanggung jawabnya (Bashrah dan kawasan selatan Persia), mengemukakan,
Banyak yang berduka karena kedatanganku akan bergembira, dan mereka yang bergembira akan berduka. Saya datang padamu dengan kehendak Allah untuk memerintahmu dan mengawasi kesejahteraanmu. Maka menjadi kewajibanmulah untuk mendengar dan mematuhiku dalam hal apa yang kupandang terbaik, dan hak kamulah menuntut supaya aku adil dalam tanggung jawabku.[7]
Agak sulit untuk menyatakan bahwa Mu’awiyah tidak tahu-menahu atas apa yang dikemukakan Ziyad, sebab seluruh pengelolaan negara berada dalam kontrolnya secara langsung. Legitimasi berbasis jabariyyah itu nampak jelas ketika al-Farazdaq (w. 728), salah seorang penyair-istana Hisyam ibn Abdul Malik (berkuasa 724-743), melantunkan panegyric-nya,
Bumi milik Allah yang dikuasakan pada khalifah-Nyayang berkuasa di dunia tanpa terkalahkan.
Allah telah memberikan karunia padamu khalifah dan kepemimpinannya. 
Kehendak Allah tidak bisa diubah.[8]
Jelaslah kini bahwa gagasan jabariyyah (yakni: segala kejadian dan sesuatu telah ditentukan oleh Allah) mula sekali diinjeksikan ke dalam tubuh umat Islam oleh Dinasti Umayyah dalam rangka memberikan justifikasi atas kekuasaan mereka yang sulit dicarikan legitimasinya dalam ajaran Islam. Sesudah itu, mudah sekali bagi mereka untuk mencari ayat-ayat al-Quran dalam rangka formulasi teologis atas posisi itu. Apa yang menjadi pertanyaan kini, bagaimana mungkin Nabi dan dua khalifahnya yang pertama yang merupakan orang-orang yang penuh vitalitas dan dinamika dalam perjuangan menegakkan risalah Allah memiliki sejumlah besar pengikut yang jabariyyah itu? Apakah vitalitas dan dinamika mereka bertiga, yang harus dinyatakan distimuli secara langsung oleh al-Quran, tidak mengajarkan sesuatu hal (yakni, masalah takdir) kepada para pengikutnya? Lebih persis lagi, apakah memang mereka bertiga mengajarkan konsep jabariyyah itu?

Jawabannya akan kita peroleh manakala kita menelisik lebih jauh ke dalam state of mind orang-orang Arab menyangkut kehidupan. Arabia adalah sebuah padang kehidupan yang keras, penuh dengan keganasan serta banyak diliputi ketidakpastian. Bahkan fenomena alam seperti hujan adalah sangat tidak teratur. Jika seseorang berusaha mengantisipasi setiap kejadian itu, maka dia seringkali akan dilanda kecemasan dan bahkan kemalangan, karena faktor ketidakpastian itu. Suatu antisipasi seringkali gagal mengantisipasi justru karena pastinya ketidakpastian itu. Sebaliknya, seseorang yang bersikap menerima apa saja yang terjadi ada kemungkinan harapan untuk mendapatkan keberhasilan. Ketika suatu hal telah terjadi, barulah dia akan bertindak berdasarkan kejadian itu, dan itulah sebabnya ada peluang untuk dapat berhasil. Belum lagi guncangan-guncangan mental yang harus dihadapi apabila sebuah antisipasi benar-benar tak dapat mengantisipasi suatu kejadian. Jadi, fatalisme justru merupakan konsep yang dapat membantu. Fatalisme khas Arabia ini terformulasi sebagai, hasil dari perbuatan manusia sudah tertentukan, dan bukannya karena perbuatan manusia itu. Pada suatu saat seseorang dapat memutuskan untuk ikut atau tidak ikut serta dalam suatu peperangan, namun ia tetap akan mati apabila saat itu ia telah ditentukan hari kematiannya. Jadi, meskipun manusia dapat menentukan berbagai alternatif tindakan yang dipilihnya, namun ia tidak dapat menentukan hasil akhirnya. Hasil akhir mana ditentukan oleh Dahr (Waktu), Zaman (Era), ’Ashr (Masa) atau Ayyâm (Hari), Ajal (Waktu yang Dijanjikan). Sebuah ayat al-Quran menjelaskan kepada kita mengenai pandangan tersebut,
Dan mereka (orang-orang kafir itu) berkata, “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia ini saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain Dahr (Surah al-Jâtsiyah, ayat 24).
Beberapa petikan syair Arab pra-Islam juga menyingkapkan hal ini,
Setelah melihat kematian (kakek saya) raja al-Hârith, dan(ayah saya) Hujr yang tiada bandingnya,yang memiliki banyak rumah besar bagaimana mungkin sayamengharapkan kelembutan giliran Dahr, yang saya tahu,tak pernah membiarkan begitu saja bahkan pegunungan karang yang kokoh? (Syair Imr’ al-Qays)
Anak puteri Dahr telah menembakku dari suatu tempat yang tak dapat kulihat.Apa yang dapat dilakukan seseorang ketika ia ditembak tanpa dapat membalas menembaknya? (Syair Amr ibn Qami’ah)
Apa saja bisa membunuhmu apabila ajal-mu telah tiba. (Syair al-Salakah)
Maka, suatu weltanschauung fatalisme telah tertanam dalam stuktur umum nalar orang Arab, pandangan-dunia mana juga dimiliki oleh orang Persia. Dahr atau “Waktu” yang abstrak ini hanya memerlukan sedikit pemikiran spekulatif saja untuk kemudian dihubungkan dengan Allah, Sang Pencipta dan Pemelihara yang diperkenalkan oleh Nabi dan al-Quran. Kini, Dahr memiliki wujud yang lebih kongkrit. Dalam bahasa yang mirip khas “berita pojok kampung”(-nya JTV) kita bisa menyatakan, “ealah… tiba’e Dahr iku… yo … Allah iku.” Ketika Allah dinyatakan sebagai penentu nasib akhir manusia, maka gagasan itu bukanlah sesuatu yang sama sekali asing.[9]

Patut dicatat di sini bahwa hampir seluruh penentang Dinasti Umayyah adalah orang-orang yang berpaham qadariyyah (yakni: manusia menentukan sendiri nasib kehidupannya). Namun, oleh karena tidak seluruh penentang Dinasti Umayyah berpandangan qadariyyah (misalnya, tapi terutama, Jahm ibn Shafwan – pemikir sistematik pertama konsep jabariyyah), maka paham itu tampaknya hanya dijadikan sebagai wacana-tanding (counter-discourse) saja bagi “ideologi” jabariyyah yang dikembangkan Dinasti Umayyah. Tetapi, seolah memang sudah ditakdirkan untuk berkuasa oleh Allah, posisi teologis Dinasti Umayyah semakin kuat manakala ia didukung oleh suplai energi baru dari kalangan Murji‘ah.


Murji‘ah, Ahl al-Sunnah, dan Ahl Sunnah wa al-Jama’ah
Tidak seluruh umat Islam turut aktif dalam blok-blok kepentingan yang ada saat itu. Fazlur Rahman menduga bahwa bagian terbesar umat Islam justru risau dengan segala kekisruhan dan konflik berdarah yang ada, terutama mereka yang tinggal di kawasan Hijaz (wilayah barat Arabia, dengan daerah utama Makkah dan Madinah). Orang-orang ini menarik diri dari keterlibatan dalam aktivisme politik dan berusaha tetap tinggal netral di antara berbagai kelompok yang ada. Perhatian utama mereka adalah agar umat Islam tidak terpecah belah atau saling membinasakan satu sama lain, dan agar mereka mempertahankan apa-apa yang telah diajarkan, diteladankan atau di-Sunnah-kan oleh Nabi. Inilah sebabnya mereka dikenal sebagai Ahl al-Sunnah (Golongan [yang menghendaki dilaksanakannya] Sunnah [Nabi]). Dua pemuka utama kelompok ini adalah Abdullah ibn Abbas, yang belakangan dianggap sebagai otoritas tertinggi dalam penafsiran al-Quran, dan Abdullah ibn Umar ibn al-Khaththab.

Posisi politis kedua Abdullah itu setelah kematian Ali kira-kira dapat dirumuskan demikian. Mu’awiyah sebenarnya bukanlah seorang penguasa ideal bagi mereka karena dari sudut pandang Islam ia tidak termasuk sebagai seorang Muslim yang baik (Mu’awiyah telah bertindak kejam terhadap anggota keluarga Nabi, membunuh lawan-lawan politiknya meskipun orang-orang itu adalah Muslim juga). Tetapi, oleh karena di bawah Mu’awiyah ada harapan umat Islam dapat dipersatukan dan dengan itu dapat dijadikan bekal untuk membina kembali ukhuwwah Islamiyah, maka Mu’awiyah (dan pada akhirnya seluruh penguasa dari Dinasti Umayyah) adalah seorang penguasa yang dapat ditolerir. Artinya, Mu’awiyah diterima kepemimpinannya secara de facto, tetapi tidak secara de jure. Kaum “netralis politik” ini, pada akhirnya, memang tidak dapat bertahan terus sebagai kelompok netral, karena dalam kenyataannya (meskipun tidak mendukung) mereka tidak dapat tidak menerima kekuasaan Mu’awiyah.[10]

Mereka juga prihatin dengan gagasan gegabah Khawarij yang mudah menjatuhkan vonis kafir kepada lawan-lawan politiknya. Dihadapkan pada persoalan iman yang dilontarkan Khawarij ini, pandangan mereka benar-benar “netralis”. Bagi mereka, seseorang yang telah pernah mengucapkan dua kalimah syahadat atau keimanannya kepada Islam, orang itu tetap adalah seorang Muslim (asalkan tidak murtad). Lalu, bagaimana seandainya orang itu melakukan perbuatan dosa besar? Jawabannya: bagaimana kita bisa tahu dan dapat memastikan nasib akhirnya di akhirat kelak? Manusia tidak mengetahuinya apakah akan dihukum atau diampuni oleh Allah, tetapi pasti bahwa Dia mengetahui bagaimana keadaannya. Oleh karena itu, masalah ini hendaknya ditangguhkan (arja‘ah, kata kerja irjâ’) terlebih dahulu dan kelak ditanyakan langsung kepada Allah. Karena hal inilah mereka disebut juga Ahl al-Murji‘ah (Golongan [yang] Menangguhkan).[11] Tetapi kata irjâ’ dapat juga menjadi kata kerja dari kata lain arjâ, yang artinya “menimbulkan harapan”. Itu berarti orang-orang Murji‘ah dapat dikatakan sebagai kelompok orang yang masih “memberikan harapan” keselamatan bagi para pelaku dosa besar.[12] Harapan mana tergantung kepada Allah sendiri. Pada titik ini, posisi takdir Murji‘ah benar-benar amat dekat dengan “ideologi” jabariyyah Dinasti Umayyah.

Dengan demikian, dalam banyak hal kaum Murji‘ah benar-benar berusaha netral, berusaha tidak memihak kepada golongan manapun, apakah posisi teologis ataukah posisi politis, sambil meneruskan perhatian mereka untuk menggali kandungan apa saja yang terdapat dalam Sunnah Nabi, dan dengan demikian mereka semakin ditarik untuk memasuki wilayah kajian-kajian keagamaan. Dalam perkembangannya kemudian —untuk mendahului kronologi— kaum Murji‘ah inilah yang memainkan peran sesungguhnya dalam merumuskan, membina, menjaga dan mempertahankan ortodoksi (ajaran baku) Islam. Tentu saja, kalimat terakhir ini tidak terjadi dalam waktu satu atau dua generasi, tetapi memerlukan kemunculan seorang Muhammad bin Idris asy-Syafi‘i (767-820), Abu Hasan al-Asy‘ari (873-935) dan Abu Hamid al-Ghazali (1058-1111) untuk dapat menentukan bentuk bakunya, sedangkan posisi-posisi yang kita bicarakan saat ini terjadi dalam kisaran tahun 670-an.

Sementara itu, netralitas berbagai posisi Murji‘ah justru amat bermanfaat bagi justifikasi kekuasaan Mu’awiyah. Penerimaan de facto dan gagasan “penangguhan” segera di-ekspose oleh Mu’awiyah dibarengi dengan niat (atau minat?) untuk mempersatukan dunia Islam. Karena paralelisme inilah maka kedua golongan yang pada awalnya amat berbeda itu seringkali disebut secara bersama-sama, katakanlah sebagai suatu persekutuan, dan dikenal sebagai Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (Golongan [yang menghendaki terlaksanakannya] Sunnah dan [menghendaki] Persatuan [umat Islam]). Pada umumnya, dinyatakan bahwa Umar ibn Abd al-Aziz (Khalifah Umayyah ke-8, 717-720) adalah orang yang berjasa untuk gagasan ini. Seperti diketahui, di antara 14 khalifah Umayyah, satu-satunya yang dianggap sebagai orang saleh hanyalah dirinya. Itu sebabnya dia mendapat kehormatan untuk disebut sebagai Umar II, seakan menghendaki agar orang mengasosiasikan dirinya pada Umar ibn al-Khaththab, yang tidak hanya bijaksana dan cerdas, melainkan juga berjasa besar dalam membangun imperium (kekaisaran) Islam dan membina agama Islam. Sekali lagi, ingin kami tegaskan, walaupun nama untuk kelompok ini telah ada, tetapi formulasi teologisnya masih dalam proses pembentukan, yang sistematisasinya dimulai oleh Muhammad bin Idris al-Syafi‘i, yang lebih dikenal sebagai Imam Syafi‘i.


Mu’tazilah
Dapat dikatakan bahwa Mu’tazilah adalah kelompok teologi penting yang muncul belakangan. Dia mewarisi kecenderungan-kecenderungan egalitarian Khawarij (bahwa seorang pemimpin umat Islam tidak harus merupakan orang Arab, apalagi Quraisy, tidak harus memiliki kedekatan hubungan dengan Nabi; pendeknya, siapa saja dapat menjadi khalifah asalkan memiliki kemampuan); Mu’tazilah, pada awalnya, juga mewarisi kecenderungan “netralisme” Murji‘ah. Mempertimbangkan dua hal tersebut, dapat diduga bahwa orang-orang Mu’tazilah memiliki asal-usul dari kalangan umat Islam yang memiliki kecenderungan keagamaan dan kesalehan. Dan memang tradisi yang paling luas diterima menyatakan bahwa Mu’tazilah berasal dari orang-orang yang mendapat pengajaran Hasan al-Bashri (642-728) dan tidak puas dengan analisis-analisisnya yang lebih mengedepankan pertimbangan moral psikologis dalam masalah takdir.

Hasan al-Bashri dikenal sebagai ulama paling terkemuka pada masa Dinasti Umayyah, baik karena kesalehannya maupun intelektualitasnya. Dia dipandang sebagai otoritas tertinggi dalam masalah-masalah keagamaan. Barangkali, ini sebabnya dia tidak mendapat hukuman ketika terang-terangan menentang “ideologi” jabariyyah negara yang disampaikan langsung kepada Khalifah Abdul Malik ibn Marwan. Popularitas dan pengaruhnya terlalu amat besar pada masyarakat sehingga suatu tindakan pada dirinya mungkin akan menyebabkan reaksi umum. Tetapi, barangkali juga karena Hasan bukanlah seorang penentang Umayyah. Dilaporkan bahwa dia menolak bahkan menentang ajakan sejumlah pemimpin pemberontakan, dan menyarankan agar masyarakat mendukung Dinasti Umayyah.[13]

Posisi takdir Hasan benar-benar kontroversial. Seorang penganut jabariyyah maupun qadariyyah dapat sama-sama menggunakan otoritasnya untuk membenarkan posisi mereka. Hasan menyatakan bahwa setiap perbuatan baik hanya dapat terjadi atas Kehendak Tuhan, sedangkan perbuatan-perbuatan jahat merupakan tanggung jawab manusia sendiri. Kelihatan bahwa dengan mengatributkan perbuatan baik pada Tuhan, maka Hasan menghendaki agar pelaku perbuatan itu tetap menjaga kebaikannya dan tidak “merasa congkak” atas kebaikan yang dilakukan ataupun diperbuatnya. Karena penekanannya lebih kepada pertimbangan moral dan psikologis seorang Muslim, pada tahapan ini Hasan tidak terlalu mementingkan apakah ada pertentangan intern di dalam pernyataan-pernyataannya. Bagi seorang Muslim yang saleh dan menginginkan pendasaran yang lebih masuk akal atas posisi ini, tentu tidak puas dengan pernyataan Hasan. Sesudah tidak puas dengan penjelasan Hasan, salah seorang muridnya, Washil ibn Atha’ meninggalkan halaqah (forum pengajian)-nya. Hasan hanya berkomentar, “lihatlah, Washil telah meninggalkan (i’tizalâ) kita.” Konon, dari kata itulah berasal kata benda Mu’tazilah.

Pada saat yang bersamaan, umat Islam yang menginginkan segala eksplanasi logis atas setiap ajaran Islam telah berkenalan dengan pemikiran-pemikiran filosofis dan spekulatif yang berkembang di Irak. Baik tradisi Hellenistik (filsafat atau pemikiran Yunani) maupun teologi Kristen telah lama memperdebatkan masalah takdir, namun dengan hasil-hasil yang kurang memuaskan. Baik gagasan yang bersifat fatalistik maupun free-will sama-sama mendapatkan pendukungnya.[14] Sedikit-banyak, cepat ataupun lambat, pemikiran-pemikiran itu akan segera dikenali oleh umat Islam. Dan dari bahan-bahan inilah, orang-orang Mu’tazilah kemudian mendapatkan penjelasan yang lebih “logis”. Walhasil, Mu’tazilah lebih menerima posisi qadariyyah.

Pada perkembangan berikutnya, untuk “mengamankan” posisi qadariyyah ini, Mu’tazilah memperkenalkan doktrin kembar Tawhid dan al-‘Adl, Ke-Esa-an dan Ke-Adil-an Tuhan. Dan dari doktrin kembar inilah muncul doktrin al-ushul al-khamsah (Lima Dasar, atau —meminjam istilah Profesor Harun Nasution— Pancasila) Mu’tazilah yang terkenal itu. Secara berturut-turut adalah sebagai berikut. Pertama adalah al-Tawhid (Tuhan adalah Maha Esa, Zat yang unik, karena itu harus nafy al-sifat Tuhan, menolak konsep bahwa Tuhan memiliki sifat). Kedua, al-’Adl (Tuhan tidak mungkin menzhalimi hamba-Nya atau ciptaan-Nya, maka Tuhan harus Adil). Ketiga, al-manzilah bayn al-manzilatayn (posisi tengah di antara dua posisi – dari sini terlihat warisan Murji‘ah), bahwa seorang pelaku dosa besar bukanlah Mukmin bukan pula kafir, melainkan fasiq, ia akan disiksa di neraka “khusus” yang berbeda dengan neraka yang disediakan bagi orang kafir.[15] Keempat, al-wa’d wa al-wa’id (janji baik dan ancaman). Kelima, al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ’an al-munkar (memerintahkan orang untuk berbuat baik dan melarang orang berbuat jahat wajib dijalankan, kalau perlu dengan kekerasan).[16] Marilah kita melihat lebih jauh formulasi, interdependensi dan implikas-implikasi teologis kelima asas Mu’tazilah tersebut.[17]

Doktrin free-will Mu’tazilah segera menjadi konsep teologis mengenai “Keadilan Tuhan” dan mengalahkan segi aslinya, yaitu kemerdekaan dan tanggung jawab manusia. Dari berbagai bagian penting mengenai konsep al-Quran mengenai Tuhan, semacam Kekuasaan, Kasih, Kehendak dan Keadilan, kaum Mu’tazilah telah lebih menekankan konsep Keadilan Tuhan dan dibandingkan dengan konsep-konsep yang lain. Sebagai akibat “logisnya”: Tuhan (alih-alih bisa, tapi tak dilakukan-Nya) tidak bisa melakukan hal-hal yang tak masuk akal dan tak adil. Dalam kaitan dengan inilah dimunculkan doktrin “janji dan ancaman”, menurut mana Tuhan tidak bisa mengampuni pelaku kejahatan (yang akan merupakan pelanggaran terhadap ancaman-Nya sendiri) ataupun menghukum pelaku kebaikan (dan melanggar janji-Nya sendiri). Sederhananya, Tuhan tidak bisa menjebloskan ke dalam neraka seorang Muslim yang taat kepada-Nya dan tidak bisa memasukkan ke dalam surga seorang yang kafir kepada-Nya, karena Tuhan bukanlah “Maha Pelanggar”. Dengan mengasumsikan pernyataan-pernyataan al-Quran tentang janji dan ancaman hukuman sebagai pernyataan-pernyataan yang kategoris (“terpastikan”) mengenai fakta-fakta di masa yang akan datang, Mu’tazilah berkesimpulan bahwa Tuhan bukan saja akan menjadi tidak adil bahkan Ia akan menjadi pembohong. Konsekuensinya, pernyataan al-Quran mengenai Rahmat dan Kemurahan Tuhan mereka tafsirkan dalam batas-batas kemestian dan kewajiban: Tuhan harus (tidak dapat tidak untuk) berbuat sebaik-baiknya bagi manusia. Ia harus mengutus Nabi-nabi dan menurunkan wahyu kepada manusia. Apabila Ia tidak berbuat sebaik-baiknya untuk manusia, maka berarti Ia tidak adil dan bukan Tuhan. Menurut Fazlur Rahman, doktrin-doktrin ini “dikembangkan secara paten dalam pengaruh Hellenisme dan terutama dalam pengaruh Stoikisme, seperti halnya pengaruh Stoa tak syak lagi memang telah merasuk ke dalam doktrin-doktrin ilmu kalam yang terkemudian.”[18] Di mata kalangan piety-minded (gerakan umum keagamaan atau kesalehan agama), kemerdekaan manusia yang semacam itu berarti ketidakmerdekaan Tuhan.

Teologi yang semacam itulah yang menjadi teologi resmi negara pada masa Abbasiyyah. Pretensi-pretensi Abbasiyyah berbeda dengan Umayyah. Yang pertama itu tidak memerlukan lagi “ideologi” jabariyyah untuk melegitimasi kekuasaannya. Abbasiyyah cukup didukung oleh orang-orang yang memiliki perhatian terhadap agama. Sebaliknya, salah satu sasaran tembak pada Umayyah adalah jabariyyah itu. Maka, Abbasiyyah tak dapat lagi menggunakannya, sebab ia telah menggunakan, antara lain, qadariyyah untuk membenarkan pemberontakannya. Dengan banyaknya orang-orang piety-minded di pihaknya, maka Abbasiyyah berketetapan untuk tidak melukai perasaan salah satu kelompok pendukung pentingnya itu. Apalagi, revolusi Abbasiyyah yang bermarkas besar di kawasan Iran-Irak, yang selama berabad-abad merupakan basis kekuasaan dinasti-dinasti Kekaisaran Persia, mendapatkan cukup pengetahuan mengenai bagaimana agama dan negara harus saling diserasikan. Masih cukup banyak pejabat-pejabat di Kekaisaran Abbasiyyah yang merupakan mantan atau putra-putra dari mantan pejabat-pejabat dari masa Kekaisaran Persia. Maka,
“terlepas dari kegemaran mereka yang makin menjadi-jadi terhadap kemegahan dan kebesaran raja-raja Sasania [dinasti terakhir dalam Kekairan Persia—WK.], kata-kata tentang kesalehan merupakan acara sehari-hari. Ideal pemerintahan Persia, yang menyatukan antara agama dan negara, merupakan rencana ‘Abbâsiyah yang jelas. Sekarang agama bukanlah sekadar masalah penting bagi negara, tetapi justru merupakan urusan pertama dan terutama bagi negara.Mudah dipahami apabila para teolog lalu tampil berkerumun di istana dan di dalam pemerintahan. Oleh karena negara, hukum, dan administrasi peradilan harus disusun dan dibangun sesuai dengan perintah-perintah agama, maka preferensi haruslah diberikan kepada orang-orang yang mempraktikkan dan mempelajari sunah, atau orang-orang yang menggunakan metode-metode ilmu untuk mencari hukum-hukum agama.”[19]
Di dalam kerangka kerja semacam ini, wajar apabila banyak orang-orang Mu’tazilah berkumpul di sekeliling istana. Mereka telah membuktikan diri sebagai teolog-teolog sistematik yang unggul, di samping sebagai orang-orang yang taat beragama. Puncak dari perkembangan ini terjadi pada kekuasaan al-Ma’mun (Khalifah ke-7 Abbasiyah, berkuasa 813-833) yang kegemarannya pada ilmu pengetahuan dan filsafat sudah sangat terkenal. Salah satu laporan riwayatnya menuturkan bahwa ketika terjadi pemberontakan yang dilancarkan oleh pamannya, Ibrahim, sedang berlangsung di Baghdad (ibukota), al-Ma’mun tidak segera bergerak ke Baghdad, karena di Khurasan ia sedang melakukan “perang”-nya sendiri: perdebatan teologi! Oleh sebab itu, tidak membutuhkan waktu terlalu lama bagi al-Ma’mun untuk mengerti bahwa kelompok Islam yang paling sesuai bagi dirinya adalah Mu’tazilah. Sistem-sistem Mu’tazilah segera dinyatakan sebagai sistem negara, dan dia (sesuai dengan al-ushul al-khamsah kelima) memerintahkan diluncurkannya kebijakan mihnah (inkuisisi, pemeriksaan akidah). Korban yang paling terkenal dari mihnah ini adalah Ahmad ibn Hanbal (lebih kita kenal sebagai Imam Hambali), yang harus dihukum karena menolak “ideologi” negara bahwa al-Quran adalah makhluk bukannya Kalam Allah dalam kaitannya dengan al-ushul al-khamsah yang pertama dan paling utama.

Hendaknya kita harus kritis bahwa doktrin al-Quran sebagai makhluk bukan memiliki kepentingan akan kebenaran doktrin itu sendiri, melainkan terkait dengan gagasan absolutisme penguasa yang ingin dibangun oleh Abbasiyyah. Dinasti ini ingin menawarkan “model Islami” atas penyatuan agama dan negara sebagaimana dulu pernah dicoba oleh dinasti-dinasti Persia (yang, tentu saja, dibasiskan pada Zoroastrianisme dan/atau Manikeanisme). Apabila al-Quran diterima sebagai makhluk (ciptaan) Allah, maka ukuran-ukuran benar-salah al-Quran dapat disejajari oleh ukuran benar-salah dari manusia yang juga merupakan makhluk (ciptaan) Allah. Dalam hal ini kedudukan manusia adalah sejajar dan sederajat dengan al-Quran. Oleh karena yang merupakan “bayangan Allah di muka bumi” adalah sang khalifah maka dengan sendirinya kedudukannya sekarang lebih tinggi daripada al-Quran (yang hanya merupakan ciptaan dan bukannya Firman) Allah: khalifah tidak dapat dinyatakan salah atas dasar al-Quran. Konsekuensinya, khalifah-khalifah Abbasiyyah harus lebih ditaati daripada al-Quran, dan persis pada titik inilah, kedudukan al-Quran terletak di bawah khalifah! Dalam “ruang” yang berbeda, posisi teologis Mu’tazilah adalah akal harus didudukkan lebih tinggi daripada wahyu (al-Quran). Terutama dalam “ruang” khalifah, konsep al-Quran adalah makhluk benar-benar amat mencemaskan kalangan piety-minded. Dari pihak terakhir ini, sayap paling kanan yang dipimpin oleh Ahmad ibn Hanbal (salah seorang murid Imam al-Syafi‘i) yang, berbeda dengan kebanyakan piety-minded lain bersedia melakukan “taqiyah” (menyembunyikan akidah sesungguhnya karena lawan lebih berkuasa), amat tegar dan terang-terangan menolak doktrin tersebut.

Namun, sejarah masih terus berjalan. Dan dengan semakin berpengaruh dan berkuasanya jenderal-jenderal Turki, kekuasaan efektif khalifah semakin melemah. Kira-kira setengah abad kemudian, al-Mutawakkil (Khalifah ke-10 Abbasiyyah, 847-861) memerlukan dukungan yang lebih luas dari kalangan umat Islam untuk melawan orang-orang Turki tersebut. Tidak dapat tidak, ia akan berpaling kepada kalangan piety-minded yang merupakan mayoritas umat. Dalam rangka ini, al-Mutawakkil mengamandemen pemberlakukan doktrin Mu’tazilah (termasuk konsep al-Quran adalah makhluk) sebagai teologi resmi negara. Ahmad ibn Hanbal (pemuka piety minded) dibebaskan dari segala tuduhan, namanya direhabilitasi, dan ditawari sebagai  Hakim Agung Negara. Sang Imam menolak, dan, meskipun tidak lagi memberikan kuliah-kuliah Islamnya (mungkin karena usia), dapat meninggal dengan tenang sedang popularitasnya sama sekali tak terganggu.

Dalam suasana politik dan keagamaan yang semacam inilah muncul seorang pengritik paling serius terhadap gagasan-gagasan Mu’tazilah. Tak kepalang tanggung, ia justru adalah salah seorang calon guru besar Mu’tazilah yang digadang-gadang untuk menggantikan posisi al-Jubba‘i, salah seorang teolog terkemuka Mu’tazilah. Ia adalah Abu al-Hasan al-Asy‘ari, salah seorang keturunan Sahabat Nabi, Abu Musa al-Asy‘ari.


Asy‘ariyyah
Sudah pasti bahwa al-Asy‘ari menolak pandangan bahwa al-Quran adalah makhluk. Oleh karena pandangan itu ditarik dari doktrin Mu’tazilah yang menolak adanya sifat-sifat bagi Tuhan (nafiy al-shifat), dengan sendirinya al-Asy‘ari menerima pandangan bahwa Allah memiliki sifat-sifat. Dan karena inilah, maka ajarannya oleh al-Syahrastani dan beberapa heresiografer lain disebut sebagai Shifatiyyah. Mungkin, nama Asy‘ariyyah diperoleh sesudah ajaran itu diterima dengan baik dan disebarluaskan oleh Abu Hamid al-Ghazali, nama penting lain yang kelak —bersama-sama dengan al-Syafi‘i, Ibn Hanbal, dan al-Asy‘ari— dinyatakan sebagai para formulator ajaran Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah sebagaimana dikenal dewasa ini dalam doktrin desisifnya. Tetapi di sini hanya akan diuraikan lebih lanjut perihal topik kita.

Upaya al-Asy‘ari pada intinya adalah suatu usaha untuk membuat sintesis antara pandangan ortodoks (yang pada waktu itu belum lagi terumuskan) dengan pandangan Mu’tazilah. Bahwa semangat dasar ortodoksi (sebagaimana diawali oleh Murji‘ah – yang seperti kami nyatakan di atas merupakan penyemai bibit-bibit ortodoksi) adalah sintesis dan/atau domestikasi berbagai pandangan ekstrim yang muncul di kalangan umat Islam. Meskipun demikian, perumusan itu juga bersifat reaksi terhadap doktrin Mu’tazilah (yakni motivasi utama al-Asy‘ari untuk “memerdekakan” Tuhan dari “belenggu” Mu’tazilah atau didorong oleh upaya untuk menegaskan Kemahakuasaan dan Kemutlakan Kehendak Tuhan), yang karena itu membuat rumusannya berkarakter setengah sintesis dan setengah reaksi. Dan, barangkali, karena sifatnya yang setengah-setengah itu pula yang membuat rumusannya demikian sulit dipahami: terlalu banyak yang harus diselesaikan oleh al-Asy‘ari. Ia harus menemukan pemecahan atas dua tuntutan sekaligus: bagaimana menyusun formulasi Kekuasaan Mutlak Tuhan atas seluruh perbuatan manusia (yang adalah ditentukan oleh Tuhan), namun tetap mengharuskan manusia itu bertanggung jawab atas segala yang ditindakkannya itu!

Untuk menyelesaikan persoalan tersebut al-Asy‘ari mengelaborasi istilah yang sebenarnya tidak lagi asing bagi para teolog (karena telah dipergunakan oleh al-Quran dan ahli-ahli teologi Islam sebelumnya) namun dengan pengertian yang berbeda, itulah kasb atau istilah padanannya iktisab. Arti harfiahnya sebenarnya sederhana: “perbuatan manusia”. Masalahnya adalah apakah kasb betul-betul “perbuatan manusia” ataukah “perbuatan Tuhan melalui manusia”.

Dengan mendasarkan kepada Surah al-Shaffât ayat 96, al-Asy‘ari menjelaskan bahwa Allah menciptakan manusia beserta perbuatan-perbuatannya, karena tidak ada pembuat segala sesuatu kecuali Allah. Dengan kata lain, yang mewujudkan kasb atau perbuatan manusia adalah Tuhan itu sendiri. Sebelum melangkah jauh, terlebih dahulu kami ingin berkomentar betapa semena-menanya al-Asy‘ari terhadap wahyu Allah ini. Terjemahan ayat itu adalah, “Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” Tetapi ini bukanlah ucapan Tuhan, melainkan ucapan Ibrahim terhadap para penyembah berhala pada masanya. Kesewenang-wenangan al-Asy‘ari jelas terlihat manakala kita melihat ayat sebelumnya. Bahwa ayat 96 adalah bagian dari kalimat Ibrahim yang terpotong dan merupakan kelanjutan dari kalimat Ibrahim dalam ayat sebelumnya (95). Sehingga seluruh teks itu seharusnya berarti, “Ibrahim berkata: Apakah kamu menyembah patung-patung yang kamu pahat itu? Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu’.” Kelihatanlah di sini bahwa kata ta’malun (dalam ayat 96) tidak tepat diterjemahkan sebagai “apa yang kamu perbuat (lakukan) ” melainkan lebih tepat “apa yang kamu buat (bikin)”. Persoalannya adalah: apabila kalimat wa ma ta’malun dilepaskan keterkaitannya dari kalimat sebelumnya, maka terjemahan al-Asy‘ari, menurut gramatika Arab, sepenuhnya dapat dibenarkan atau absah. Betapapun, kritik telah kami kemukakan.

Apabila Tuhan adalah pencipta perbuatan manusia, maka manusia adalah wahana dari perbuatan yang diciptakan oleh Tuhan itu. Oleh karenanya, manusia hanya dapat berbuat (melakukan) sesuatu setelah ia mendapat “daya” (kemampuan) dari Tuhan. Tanpa daya yang berasal dari Tuhan ini, tak ada sesuatu pun yang dapat diperbuat oleh manusia. Jadi, kasb tergantung pada adanya daya itu. Selanjutnya, manusia tidak dapat menghendaki sesuatu, kecuali apabila Allah menghendaki manusia supaya menghendaki sesuatu itu. Ditegaskan oleh Nasution, “Jadi seseorang tidak bisa menghendaki pergi ke Mekkah, kecuali jika Tuhan menghendaki seseorang itu supaya berkehendak pergi ke Mekkah.” Dengan demikian, baik kasb, kehendak, maupun daya manusia, sepenuhnya diciptakan oleh Tuhan.

Lalu, daya untuk mewujudkan perbuatan adalah berbeda dengan kemampuan yang terdapat pada diri manusia, karena manusia kadang-kadang mampu mewujudkan perbuatan tertentu tetapi kadang-kadang juga tidak. Daya ini tidak terwujud sebelum adanya sesuatu perbuatan; daya ada bersama-sama dengan adanya perbuatan itu dan daya itu hanya ada untuk perbuatan yang bersangkutan itu saja. Orang yang di dalam dirinya tidak diciptakan daya oleh Tuhan, tidak bisa berbuat apa-apa. Namun, tetap saja tidak dapat dikatakan, demikian menurut al-Asy‘ari, bahwa hanya Tuhanlah yang melakukan perbuatan itu, karena manusia juga terlibat dalam perbuatan itu. Jadi, baik manusia maupun Tuhan bersama-sama melakukan sesuatu perbuatan tertentu. Nah! Marilah berhenti sampai di sini dulu untuk memperhatikan betapa berputar-putarnya al-Asy‘ari. Sungguh, benar apa yang dilakukan oleh Abu ‘Uzbah yang apabila menemui perkara-perkara yang rumit dan sulit untuk dicerna melontarkan kata-kata, “lebih sulit dari kasb al-Asy‘ari”.[20]

Untungnya, kita mendapat uraian yang lebih jelas dari al-Baghdadi, seorang heresiografer yang banyak dikutip al-Syahrastani dan pengikut al-Asy‘ari. Al-Baghdadi mengilustrasikan kasb sebagai berikut.[21] Perbuatan mengangkat batu yang berat adalah contoh yang biasa diberikan oleh kalangan Asy‘ariyyah. Ada orang yang sama sekali tak sanggup mengangkat batu itu dan ada pula yang sanggup mengangkatnya. Kalau kedua orang tersebut bersama-sama mengangkat batu yang berat itu, perbuatan mengangkat batu dilakukan oleh orang yang sanggup mengangkatnya, tetapi itu tidak berarti bahwa orang yang tidak sanggup itu tidak turut mengangkat. Demikian pulalah perbuatan manusia. Perbuatan pada hakikatnya terjadi dengan perantaraan daya Tuhan, tetapi manusia dalam pada itu tidak kehilangan sifat sebagai pembuat (fa‘il) suatu perbuatan.

Kalau al-Baghdadi benar, rupanya, inilah “jalan tengah” yang diusulkan oleh al-Asy‘ari. Tidak seperti jabariyyah yang menjelaskan bahwa perbuatan manusia pada dasarnya diperbuat oleh Tuhan, juga (pasti) berbeda dengan qadariyyah yang menjelaskan bahwa perbuatan manusia sama sekali ditentukan atau diatur oleh dirinya sendiri, maka, menurut al-Asy‘ari, perbuatan manusia pada dasarnya adalah “hasil kerjasama” antara manusia dan Tuhan, tanpa kerjasama semacam itu, sesuatu perbuatan manusia tidak akan dapat diwujudkan. Dan karena manusia turut terlibat dalam mewujudkan perbuatan itu, maka manusia dapat dimintai pertanggungjawaban atas seluruh “perbuatannya” manakala itu adalah jenis perbuatan buruk atau jahat. Sedangkan Tuhan tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas “perbuatan-Nya” karena baik dan jahat adalah standar moral manusia yang karena itu tidak berlaku bagi Tuhan. Tuhan berdiri tegak di atas segala ukuran standar moral yang dibuat oleh manusia. Ketika suatu kritik ditujukan kepada teori kasb-nya, bahwa amat sedikit sekali peranan manusia dalam mewujudkan sesuatu perbuatan, al-Asy‘ari membenarkan sambil menegaskan: yang sedikit itu sudah merupakan alasan yang cukup untuk membuatnya dapat dimintai pertanggungjawaban![22] Benar-benar sebuah logika jalan tengah yang “mengagumkan”.

Harus diakui bahwa ajaran al-Asy‘ari bukanlah jabariyyah an sich, tetapi cukup jelas terlihat bahwa teorinya dekat dengan paham fatalisme itu. Ini menjelaskan kenapa kemudian banyak di antara para pengikutnya yang terjerumus ke dalam paham itu. Sesuatu hal yang apabila didasarkan pada tulisan al-Asy‘ari yang paling sistematik dapat dibenarkan. Misalnya di dalam Maqâlat al-Islamiyyîn wa Ikhtilâf al-Mushallîn (Pendapat-pendapat Kaum Islam dan Perselisihan Kaum Bersembahyang), kita jumpai pengakuan,
Mereka (Ahl al-Sunnah) juga berpendapat bahwa tidak seorang pun mampu melakukan sesuatu sebelum Dia (Allah) melakukannya, juga tidak seorang pun mampu keluar dari pengetahuan Allah, atau melakukan sesuatu yang Allah mengetahui bahwa ia tidak melakukannya. Mereka meyakini bahwa tidak ada Pencipta selain Allah, dan bahwa keburukan para hamba (manusia) diciptakan oleh Allah, dan bahwa semua perilaku manusia diciptakan Allah ’azza wa jalla, dan bahwa manusia itu tidak berdaya menceritakan sedikit pun daripadanya.[23]
al-Asy‘ari juga berpendapat,
bahwa seseorang yang berdosa besar tidak mesti dihukumi masuk neraka, sebagaimana seseorang yang bertauhîd tidak mesti dihukumi masuk surga sampai Allah sendiri yang menentukan, dan bahwa Allah memberi pahala kepada siapa yang dikehendaki dan memberi siksaan kepada siapa saja yang dikehendaki, bahwa apa saja sampai ke tangan kita dari Rasulullah SAW melalui riwayat yang handal harus diterima, tanpa boleh bertanya: ‘Bagaimana?’ ataupun ‘Mengapa?’, karena semuanya itu bid‘ah.[24]
Artinya, tidak ada jaminan seratus persen bahwa seorang Muslim yang paling bertakwa sekalipun akan selamat. Bahkan seandainya pun ia selamat, dalam arti masuk surga, hal itu bukanlah karena amal ibadah, perbuatan, dan pengabdiannya kepada Islam dan Allah, melainkan semata-mata karena ia memperoleh Rahmat Allah. Jelaslah sudah, kenapa al-Asy‘ari banyak memperoleh kritik dan kecaman. Janjinya untuk merumuskan konsep manusia harus dimintai pertanggungjawaban atas seluruh perbuatannya dan sekaligus Kemahakuasaan Tuhan tak tergoyahkan menjadi absurd karena peran Tuhan masih demikian dominan. Pada sisi yang lain, ia juga harus menuai kritik dari kalangan yang hendak ia bela, kaum Hanbaliyah, karena al-Asy‘ari di dalam menyusun argumen dan perdebatannya banyak menggunakan logika dan dialektika (khas Yunani) yang ditolak mereka. Kaum Hanbaliyah hanya menghendaki suatu ajaran yang sama sekali didasarkan atas dalil-dalil naqli (nash) yang sedikit atau bahkan tanpa bantuan akal sama sekali. Di dalam berbagai bukunya, al-Asy‘ari, dalam rangka mendebat lawan-lawannya, seringkali justru menggunakan dalil-dalil rasional, malah tidak jarang dalil naqli hanya dikemukakan dalam rangka justifikasi dalil rasional yang dipergunakannya.

Butuh waktu hampir dua abad bagi ajaran al-Asy‘ari untuk dapat diterima kaum keagamaan mayoritas, dan memerlukan kemunculan seorang al-Ghazali yang memperbaiki dan membela teori-teorinya. Sejak itu hingga kini, ajaran al-Asy‘ari mulai diterima dan malah menjadi bagian baku ortodoksi Islam. Dengan ini, proses formulasi doktrin Sunni telah mencapai tahap final formatifnya. Namun, bahwa ikhtiar manusia hampir-hampir sepenuhnya dikalahi oleh Kehendak Tuhan adalah suatu ajaran yang tetap mengundang kritik. Salah seorang di antara para pengritik paling serius terhadap ajaran al-Asy‘ari adalah Ibn Taymiyyah, yang hidup sekitar empat abad sesudah wafat al-Asy‘ari.


Ibn Taymiyyah: Jalan (Tengah) Lain 
Program utama Ibn Taymiyyah, sebenarnya, tidak hanya terbatas pada masalah takdir, melainkan “menemukan dan mengangkat kembali masyarakat Islam normatif awal yang didasarkan pada ajaran al-Quran dan Sunnah, seperti ia melihatnya.”[25] Meskipun demikian, berbeda dengan para pendahulu Sunni-nya, ia dapat melihat secara lebih kritis terhadap generasi awal Islam. Tentang mereka, ia menulis,
Kesalahan kadang-kadang muncul dengan menganggap sesuatu yang tidak sah menjadi sah karena [salah] penafsiran; dan kadang-kadang meninggalkan apa yang wajib karena [salah] penafsiran; dan juga dengan mengalihkan apa yang tidak sah ke dalam bentuk penyembahan – seperti mereka [sahabat dan tabi’in] yang berperang satu sama lain dalam perang sipil [awal], karena mereka [salah] menafsirkan yang wajib dan yang terpuji, atau, seperti kelompok ahli fiqh [awal], ’Abdullah ibn Dawud al-Harbi (w. 213/828), yang mengatakan lebih baik minum nabidz [minuman yang mengandung alkohol dengan ukuran tertentu yang dianggap sama dengan bir] yang kontroversial daripada tidak meminumnya.[26]
Barangkali, jarak waktu yang sudah cukup jauh serta berbedanya situasi-situasi sosial-politik yang dihadapi Ibn Taymiyyah, membuatnya bisa lebih jernih melihat persoalan generasi awal tersebut. Marilah sekarang kita mengikuti pokok-pokok pandangannya tentang takdir.
Harus ditunjukkan, bahwa beberapa kelompok ahli teologi dan tasawuf telah melakukan kesalahan. Mereka sebenarnya telah mengadopsi pendapat yang jauh lebih buruk ketimbang Mu’tazilah dan lainnya yang mendukung kebebasan berkehendak. Karena kelompok yang disebut terakhir ini memberikan nilai yang besar kepada perintah dan larangan [Tuhan]; janji dan ancaman; dan ketaatan kepada Tuhan dan utusan-Nya; dan mereka memerintahkan pelaksanaan perbuatan baik dan melarang perbuatan buruk. Tetapi mereka tersesat dalam masalah kebebasan berkehendak. Mereka secara salah yakin bahwa jika mereka menegaskan Kehendak Kreatif Tuhan yang universal, kekuasaan-Nya yang serba meliputi dan kreativitas-Nya yang komprehensif atas segala sesuatu menimbulkan penolakan terhadap Keadilan dan Kebijakan-Nya. Mereka salah dalam keyakinan ini.
Berbeda dengan kelompok itu adalah segolongan ahli yang, ahli ibadah yang taat, sebagian di antaranya pendukung teologi dan tasawuf, menegaskan Kemahakuasaan Tuhan. Mereka benar-benar percaya bahwa Tuhan adalah penguasa atas segala sesuatu dan pemiliknya, dan bahwa apapun yang Dia Kehendaki pasti terjadi dan apapun yang tidak Dia Kehendaki tidak akan terjadi. Semua ini bagus dan benar. Tetapi mereka menahan [menjelaskan] perintah dan larangan Tuhan; janji dan ancaman. Sebagian di antara mereka menjadi berlebih-lebihan, ekstrim dan ahli bid’ah. Mereka sebenarnya telah menjadi sama dengan kaum musyrikin, yang mengatakan, “Jika Tuhan menghendaki niscaya kami tidak mempersekutukan-Nya, tidak juga bapak-bapak kami, tidak pula kami mengharamkan sesuatu” (QS. 6:148). Nah, para pendukung kebebasan berkehendak (qadariyyah), meskipun mereka menegaskan pelaku [utama adalah manusia], bukan Tuhan sebagai [sebab] kejahatan, kelompok [para penentang Mu’tazilah] ini menyerupai kaum musyrikin …
Gagasan yang esensial di sini adalah [sebagai berikut]. Seseorang yang telah menegaskan Kemahakuasaan Tuhan kemudian menjadikannya sebagai argumen untuk menghilangkan perintah dan larangan Tuhan adalah lebih buruk daripada seseorang yang hanya menegaskan perintah dan larangan Tuhan, tetapi tidak menegaskan Kemahakuasaan Tuhan [tetapi melakukan yang demikain itu untuk menegaskan manusia sebagai pelaku utama dan bebas]. Tidak hanya Muslim, tetapi pengikut agama [wahyu] lain juga sependapat terhadap [pendapat] ini, karena kenyataannya semua manusia berbuat. Karena [ini berarti] bahwa meskipun menegaskan Kehendak Tuhan yang Maha Kuasa dan menyaksikan kekuasaannya yang universal atas segala penciptaan-Nya, seseorang masih belum membedakan antara apa yang diperintah dan yang dilarang; dan [tidak membedakan] antara mereka yang mempunyai keimanan dan mereka yang menolaknya; dan [tidak membedakan] antara hamba Tuhan dan pemberontak-Nya. Orang semacam itu tidak dapat mengklaim beriman kepada Utusan atau Kitab Suci yang diwahyukan. Dalam pandangan orang semacam itu, Adam dan setan adalah sama; Nuh dan kaumnya adalah sama; Musa dan Fir‘aun sama; dan orang-orang yang memeluk Islam pertama [yang memahami kebenarannya tanpa menunda] dan penyembah berhala Makkah adalah sama.
Penyimpangan ini telah merajalela di kalangan para Sufi, asketik dan para penyembah yang taat. Ini benar, ketika mereka menyatukannya dengan monoteisme para teolog (semisal kaum Asy‘ariyyah) yang menegaskan Kemahakuasaan dan Kehendak Tuhan yang memaksa secara universal, tanpa menegaskan Kecintaan dan Rahmat Tuhan dan permusuhan serta ketidaksukaan-Nya. Orang-orang ini mengatakan, “Monoteisme adalah monoteisme kekuasaan” [yakni, hanya sebagai Pencipta-Pemelihara, bukan sebagai Penunjuk yang menjadi sumber petunjuk dan, karenanya, juga pahala dan siksaan]. Tentang “monoteisme ketuhanan”, mereka mereduksinya ke kekuatan untuk mencipta semata. Mereka tidak mengetahui [apa-apa tentang] monoteisme ketuhanan. Mereka tidak memahami bahwa ilah adalah sesuatu yang dituhankan dan disembah (anna al-ilah huwa al-ma’luh al-ma’bud). [Orang-orang semacam itu] tidak menyadari bahwa pengakuan mereka kepada Tuhan sebagai penguasa atas segala sesuatu semata tidak berarti seseorang sudah menyadari monoteisme yang benar, jika ia tidak bersaksi bahwa tidak tuhan kecuali Allah …
Alangkah sulitnya poin ini, sehingga banyak yang tergelincir di dalamnya. Juga banyak yang kehilangan pikiran di dalamnya, di mana agama kaum Muslimin telah didistorsi…
Umum dikaitkan dengan otoritas ’Abdul Rahman ibn Mahdi [w. 814] bahwa Sufyan al-Tsawri menolak istilah “keterpaksaan” (jabara). [Sebagai gantinya] ia mengatakan, “Tuhan “telah mencetak” atau “membentuk” (jabala) orang-orang yang terjamin [Tuhan telah membentuk watak manusia ketimbang menentukan perbuatan mereka].” Tujuan saya [dalam menyatakan semua tradisi ini] adalah bahwa al-Khallal [w. 923] dan lain-lain di kalangan orang terpelajar dimasukkan sebagai pendukung jabariyyah di bawah rubrik “kaum qadariyyah”. [Mereka dikategorisasikan demikian] meskipun mereka tidak menggunakan jabariyyah untuk membenarkan dosa. Lalu [bayangkan keputusan] terhadap mereka yang membenarkan dosa mereka dengan dasar jabariyyah? Jelaslah bahwa kaum Qadariyyah yang mengembangkan determinisme untuk membenarkan penghapusan perintah-perintah dan larangan-larangan Tuhan lebih tercela di hadapan Tuhan ketimbang yang jelas-jelas menolak determinisme Tuhan. [Ini karena] penyimpangan yang pertama lebih serius. Karena alasan ini kaum Qadariyyah disamakan dengan Murji‘ah oleh kalangan kaum salaf yang saleh. Alasannya adalah bahwa pembaharuan-pembaharuan [keterpaksaan Qadariyyah dan Murji‘ah] merusak perintah dan larangan Tuhan, di samping janji dan ancaman hukuman. Irja‘ [“penangguhan”—WK.] memperlemah keyakinan seseorang terhadap hukuman Tuhan dan mereduksi perintah-perintah dan larangan itu menjadi sangat sepele. Tentang seorang Qadari, ia menjadi pendukung Murji‘ah [jika ia membenarkan dosa berdasarkan determinismenya]. Dan jika ia menolak [determinisme], maka ia dan Murji‘ah akan berselisih.[27]
Disimpulkan oleh Rahman, bahwa konsep takdir Ibn Taymiyyah secara sederhana adalah menerima takdir Tuhan merupakan bagian esensial keyakinan Islam, tetapi meletakkan takdir sebagai maaf atas kesalahan seseorang adalah dosa besar. Persoalannya, bagaimana Ibn Taymiyyah dapat mengompromikan dua hal yang bertentangan ini? Secara bertahap ia mengemukakan tiga argumen yang satu sama lain saling menunjang.


Pertama, Kehendak Tuhan terdiri dari dua jenis atau dua tingkat yang berbeda. Yang pertama ia sebut Kehendak Kreatif (iradah kawniyyah), yang kedua adalah Kehendak atau Perintah (moral) keagamaan (iradah diniyyah). Kedua aspek Kehendak Tuhan ini tidak hanya sejajar secara mekanis, tetapi disatukan dan dimasukkan ke dalam aktivitas Tuhan yang bertujuan, yang ditolak oleh al-Asy‘ari (yang memandang, misalnya: seorang Muslim yang taat dapat dimasukkan ke neraka, sebaliknya, seorang kafir dapat masuk surga; ini artinya, perintah Tuhan agar manusia taat dan beribadah kepada-Nya tak ada konsekuensinya bagi nasibnya, kelak orang semacam itu bisa celaka atau mendapatkan keselamatan, seluruhnya adalah Kuasa Mutlak Tuhan). Penjelasannya tentang adanya kejahatan adalah bahwa untuk mencapai kebaikan yang lebih besar hal itu diperlukan. Keburukan hanyalah insidental terhadap kebaikan dan relatif kecil dibanding dengan melimpahnya kebaikan.

Argumen kedua, Ibn Taymiyyah menegaskan bahwa takdir adalah Ketentuan Tuhan yang komprehensif, yang merupakan objek keimanan dan bukan dasar tindakan. Dalam kaitannya dengan keyakinan Muslim bahwa tidak ada sesuatu yang terjadi tanpa Kehendak Tuhan yang besar, adalah tautologi untuk mengatakan, misalnya, bahwa saya menulis baris-baris ini terjadi karena Kehendak Tuhan. Tetapi, hingga tulisan saya benar-benar terjadi, saya tidak tahu apa Kehendak Tuhan tentang tulisan saya. Karena itu, penisbatan saya atas tindakan, atau tindakan tertentu saya, tidak dapat dinisbatkan dengan tepat kepada Tuhan hingga masalah itu telah berlalu. Karena kita tidak pernah dapat mengetahui, setidaknya dengan pasti, apa Kehendak Tuhan yang akan terjadi untuk masa depan. Ditegaskan Rahman, “…jika, seseorang sudah berjuang, atau jika tanpa sadar dan tiba-tiba musibah menimpa dirinya tidak bisa lagi ditolak, ia harus menerimanya dengan sabar dan memuji Tuhan.”

Argumen ketiga, dengan memanfaatkan konsep sebab-sebab efisien dan teleologis Aristoteles, Ibn Taymiyyah menyatakan, “Takdir adalah kehendak Tuhan menjadikan segala sesuatu terjadi dan merupakan sebab efisien bagi semua. Sebaliknya perintah Tuhan, meskipun ia mengandaikan Kehendak tersebut, secara khusus berkaitan dengan masa depan, bukan dengan apa yang telah terjadi, tetapi apa yang harus terjadi.” Karena itu, perintah tersebut diarahkan kepada kehendak manusia dalam hubungannya dengan apa yang diharapkan akan muncul di dunia. Perintah tersebut adalah Syari‘ah. Manusia, sebagai agen yang berpikir dan aktif di dunia, karenanya, dituntut untuk mengimplementasikan Syari‘ah dalam konteks sejarah. Manusia diijinkan untuk menggunakan dan turut campur dengan kerja alam, meskipun beriman kepada Yang Maha Kuasa, bahkan kepada Kehendak Tuhan yang bertujuan harus tetap ada di balik pikiran mereka.[28]


Demikian konsep Ibn Taymiyyah, dan kami kira, dalam merumuskan suatu jalan tengah, ia jauh lebih berhasil daripada al-Asy‘ari.


Penutup 
Dalam tulisan ini kami telah berusaha menunjukan keterkaitan organik antara konsep takdir sesuatu aliran teologi dalam umat Islam dan interdependensinya dengan masalah-masalah politik yang menimpa umat Islam. Jelaslah sudah bahwa perbincangan takdir, yang secara keseluruhan memakan energi umat Islam selama lebih dari tujuh abad, pada awalnya dipicu oleh kebutuhan Dinasti Umayyah untuk melegitimasi kekuasaannya. Tetapi, sekali doktrin ini dimunculkan respon yang muncul tidak hanya berasal dari penentang-penentang politik Umayyah, tetapi juga kalangan kaum agamawan yang saleh. Menurut kami, konsep-konsep takdir yang muncul sesudah itu selalu berkaitan dengan legitimasi keagamaan atas sesuatu kekuasaan politik, kecuali —sejauh menurut yang kami paparkan di atas— konsep-konsep yang dikemukakan oleh al-Asy‘ari dan Ibn Taymiyyah.



 Catatan Akhir

[1] Lihat Ignaz Goldziher, Pengantar Teologi dan Hukum Islam, terj. Hersri Setiawan, Jakarta: INIS, 1991; William Montgomery Watt, Wacana Islam Klasik: Wacana Kritik Sejarah, terj. Sukoyo dkk.,Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1999.  Buku Watt membahas perkembangan seluruh teologi Islam dalam periode sesudah tahkim hingga tahun 750 M, pada dasarnya merupakan karya sekunder yang amat bermanfaat dan dapat dirujuk untuk keseluruhan periode yang dibahas. Buku Goldziher harus dibaca secara hati-hati karena terdapat beberapa pandangannya yang tidak dapat disetujui dari sudut pandang Islam, terutama menyangkut bias-bias Judeo-Kristiani yang merupakan cerminan pandangan orientalis klasik.

[2] Lihat hal ini dalam, misalnya, Muhammad Husain Haekal, Umar bin Khattab, terj. Ali Audah, Jakarta: Litera AntarNusa, 2003, cet-4, hlm. 364-366.

[3] Pandangan klasik pihak ortodoksi Islam mengenai Fitnah al-Kubra Pertama itu disajikan oleh Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan, Jakarta: UI-Press, 1986, cet-5, hlm. 3-5; lihat juga Muhammad Husain Haekal, Usman bin Affan: antara Kekhalifahan dengan Kerajaan, terj. Ali Audah, Jakarta: Litera AntarNusa, 2002, hlm. 137-144. Suatu versi yang berbeda (versi inilah yang lebih saya percayai) dilaporkan oleh Imam Jalaluddin al-Suyuthi, Tarikh Khulafa’: Sejarah Para Penguasa Islam, terj. Samson Rahman, 2001, hlm. 180-190. Tentang bagaimana dampak Fitnah al-Kubra terhadap perkembangan sejarah umat Islam kemudian, lihat analisis, misalnya Marshall G.S. Hodgson, The Venture of Islam: Iman dan Sejarah dalam Peradaban Islam. Buku Pertama, terj. Mulyadhi Kartanegara, 2002, cet-2, hlm. 306-315; William Montgomery Watt, Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, terj. Hartono Hadikusumo, 1990, hlm. 10-12; Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, Bagian Kesatu dan Kedua, terj. Ghufron A. Mas’adi, Jakarta: RajaGrafindo Persada, hlm. 83 dan seterusnya. Kedua orientalis yang disebut pertama tampaknya menerima pandangan al-Suyuthi (salah satu dari dua penulis karya terkenal Tafsir al-Jalalayn).

[4] Dalam bagian berikut ini tidak akan dibicarakan secara panjang lebar peristiwa itu dan kejadian-kejadian penting yang mengikutinya secara detil, kejadian mana melibatkan berbagai versi dari pihak-pihak yang berlawanan. Kami akan memberikan suatu garis besar, berdasarkan versi yang paling memungkinkan terjadi sejauh menurut sumber-sumber yang dapat kami peroleh dan dapat diterima sejauh menurut konsistensinya. Uraian berikut didasarkan pada bahan-bahan yang, antara lain, sudah disebutkan dalam catatan no. 3.

[5] Untuk kelompok-kelompok besar (sub-sub sekte utama) Khawarij lihat Nasution, op.cit. hlm. 13-21. Bandingkan dengan al-Syahrastani, Sekte-sekte Islam, terj. Karsidi Diningrat, Bandung: Pustaka, 1996, hlm. 145-169, yang menyajikan rincian hingga kelompok yang paling kecil. Perbedaan pandangan kelompok-kelompok itu juga disajikan oleh kedua bahan tersebut.

[6] Belakangan konsep kharisma dan kedekatan hubungan ini, dikembangkan oleh Syi‘ah menjadi doktrin: Nabi telah me-nash-kan atau mewasiatkan Ali, untuk menjadi penggantinya! Tentu saja, ide pokoknya adalah: memberikan justifikasi. Lihat, misalnya, Sayyid Husain M. Jafri,  Dari Saqifah sampai Imamah: Awal dan Sejarah Perkembangan Islam Syiah, terj. Meth Kieraha, Bandung: Pustaka Hidayah, 1995, cet-2

[7] Pidato ini dikutip dari Watt, Kejayaan Islam, hlm. 20.

[8] Dikutip dari ibid., hlm. 57.

[9] Untuk pembahasan ini lihat Watt, Studi Islam Klasik, op.cit., hlm. 117-119; Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik terhadap al-Qur’an, terj. Agus Fahri Husein dkk., Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997, hlm. 132-143. Profesor Izutsu telah menyajikan gambaran singkat evolusi dari Dahr (dan berbagai istilah padanannya) menjadi Allah.

[10] Bandingkan dengan Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Mohammad, Bandung: Pustaka, 2002, cet-4, hlm. 117-119. Seluruh uraian Rahman mengenai “Theologi Dialektis dan Perkembangan Dogma” dalam buku ini amat berguna dan dapat dijadikan sebagai rujukan utama dalam perbandingan posisi-posisi aliran-aliran teologi dalam Islam, meskipun disajikan secara, sayangnya, amat ringkas.

[11]Pada umumnya, para ulama menyepakati bahwa sebutan ini berasal dari kalimat, “Dan ada (pula) orang-orang lain yang ditangguhkan sampai ada keputusan Allah; adakalanya Allah akan mengazab mereka dan adakalanya Allah akan menerima taubat mereka…” (Surah al-Tawbah, ayat 106).

[12] Lihat Watt, Kejayaan Islam, op.cit., hlm. 72.

[13] Salah satu penjelasan yang dapat diterima menyangkut tidak ditindaknya Hasan al-Bashri —bahkan diperlakukan dengan amat hormat dan simpatik oleh Yusuf ibn al-Hajjaj (panglima perang Umayyah yang paling dibenci karena kebengisannya itu)— adalah karena pandangan takdirnya bersifat “pasif politik”. Karena itu, suatu preposisi umum barangkali dapat dinyatakan: pokok yang akan ditindas oleh Dinasti Umayyah adalah penentangan terhadap kekuasaannya, tidak peduli apapun posisi teologisnya. Jahm ibn Shafwan adalah seorang penganut jabariyyah, tetapi pada akhirnya ia juga dieksekusi mati oleh Umayyah (yang juga jabariyyah) karena Jahm melakukan pemberontakan terhadap kekuasaannya.

[14] Untuk perkembangan ringkas tentang subjek ini lihat Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, terj. Yudian W. Asmin, Jakarta: Bumi Aksara, 1995, hlm. 135-152.

[15] Ulama Mu’tazilah lain berpendapat bahwa seorang fasiq tidak ditempatkan di neraka, melainkan benar-benar di tengah-tengah antara surga dan neraka. Sesekali dia akan merasakan nikmat surga, pada kali lain akan turut merasakan siksa neraka.

[16] Untuk uraian yang padat namun mencakup, beserta beberapa perbedaan di kalangan Mu’tazilah sendiri menyangkut rincian penjelasan mengenai al-ushul al-khamsah, lihat Nasution, op.cit., hlm. 41-56.

[17] Seorang sarjana Maroko memberikan uraian tentang “teori perasan” terhadap kelima dasar itu yang berpangkal pada “doktrin kembar” Mu’tazilah: “Ketawhidan” dan “Keadilan” Tuhan, lihat Mohammed Abid al-Jabiri, Post Tradisonalisme Islam, Yogyakarta: LKiS, 2000, hlm. 46-57. Buku terakhir ini merupakan kumpulan sejumlah karangan al-Jabiri yang dikompilasi dan diterjemahkan serta diberi pengantar yang amat baik menyangkut proyek “Kritik Nalar Arab” al-Jabiri, oleh Ahmad Baso.

[18] Rahman, op.cit., hlm. 122.

[19] Goldziher, op.cit., hlm. 43-44.

[20] Bahwa teori kasb al-Asy‘ari cukup rumit juga diakui oleh orang sekaliber Nurcholish Madjid, lihat bukunya Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan, Jakarta: Paramadina, 2000, cet-5, hlm. 282.

[21] Uraian mengenai teori kasb al-Asy‘ari di atas dan penjelasan al-Baghdadi berikut ini didasarkan pada Nasution, op.cit., hlm. 106-111. Lihat juga, Fazlur Rahman, op.cit., juga buku Rahman yang lain, Kebangkitan dan Pembaharuan Di Dalam Islam, terj. Munir, Bandung: Pustaka, 2001, hlm. 65-70, dan Ibrahim Madkour, op.cit., hlm. 180-184.

[22] Lihat William Montgomery Watt, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam, terj. Umar Basalim, Jakarta: P3M, hlm. 105.

[23] Dikutip dari Madjid, op.cit., hlm. 275.

[24] Kutipan ini merupakan ringkasan yang diberikan oleh Madjid, ibid., hlm. 276.

[25] Rahman, Kebangkitan, op.cit., hlm. 160. Pembahasan atas sub topik ini, kami dasarkan selain pada buku tersebut juga buku Rahman yang lain, Islam, op.cit.

[26] Tulisan Ibn Taymiyyah dalam karyanya al-Istiqamah ini dikutip dari Rahman, Kebangkitan, op.cit., hlm. 161.

[27] Dikutip, dengan penyuntingan dari Rahman, Kebangkitan, op.cit., hlm. 181-185.

[28] Tiga argumen Ibn Taymiyyah ini kami ringkas dari Rahman, Kebangkitan, op.cit., hlm. 186-189.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar