Minggu, 27 September 2015

Asal-usul Keragaman Potret Islam di Jawa

Weko Kuncara


 
Yang dimaksudkan “keragaman potret Islam” di sini adalah berbagai ekspresi (pemahaman dan penerapan) ajaran Islam dalam kehidupan kaum Muslimin. Adapun “Islam” sendiri sebagai pandangan hidup yang disampaikan oleh Allah merupakan kebenaran tunggal yang tidak bergantung pada persepsi-persepsi manusia.

Kerangka kerja tulisan ini menggunakan sejumlah asumsi sebagai berikut:
  1. Kebenaran Islam yang disampaikan oleh Allah kepada Nabi Muhammad, ketika diajarkan kepada umat Islam telah dipahami dalam tingkat-tingkat yang berbeda oleh umat Islam sendiri;  misalnya: ada yang memahami tepat/persis kebenaran itu; ada yang memahaminya dengan sedikit kekurangan; dan ada juga yang memahaminya secara cukup berbeda.
  2. Perbedaan tingkat pemahaman ini dapat disebabkan oleh kemampuan para penganut awal Islam sendiri, cara atau metode memahami Islam, ataupun oleh kepentingan-kepentingan yang terdapat di dalam diri mereka sendiri.
  3. Adapun perbedaan praktik Islam dalam kehidupan bisa dipengaruhi oleh faktor-faktor, selain dua yang telah disebutkan sebelumnya, juga dipengaruhi oleh perubahan-perubahan sosial-politik dan ekonomi, pengaruh budaya setempat, maupun dipengaruhi oleh nilai-nilai dan sistem pemikiran yang dianut sebelumnya.
  4. Seiring dengan perjalanan waktu, keragaman pemahaman dan perbedaan praktik Islam ini turut tersebar ke seluruh dunia Islam, mengikuti sukses spektakuler ekspansi wilayah kekuasaan Islam dan Islamisasi yang dilakukan oleh juru-juru dakwah Islam.
  5. Dalam kasus Jawa, proses Islamisasi berlangsung dalam lebih dari satu gelombang Islamisasi di samping subjek penyebarnya berasal dari berbagai latar belakang pemahaman dan kultural. Dua faktor tersebut, ditambah dengan konsep keagamaan Jawa sendiri telah mempengaruhi keragaman potret Islam di Jawa sebagaimana tampak dewasa ini.
  6. Oleh sebab itu, Islam yang datang ke Jawa, adalah Islam yang sudah dipahami dan dipraktikkan dengan aneka ragam cara. Dengan demikian, dapat dikatakan atau diduga kuat, Islam —yang datang ke Jawa dalam lebih dari satu gelombang kedatangan itu— juga terdiri dari “berbagai jenis” Islam menurut latar belakang para pembawa atau penyebarnya.
  7. Agar dapat diikuti secara runtut dan lebih bersifat naratif dalam menjelaskan dinamika keragaman itu, maka pembahasan di sini sejauh mungkin akan diupayakan diuraikan secara historis-kronologis.

PERBEDAAN TINGKAT PEMAHAMAN SAHABAT

Terdapat beberapa riwayat dalam berbagai kitab hadits yang menuturkan bahwa tidak semua Sahabat telah memahami secara tepat apa yang disampaikan oleh Nabi. Di bawah ini akan disajikan beberapa contoh kasus mengenai hal tersebut.
  1. Abdullah ibn Abbas meriwayatkan bahwa meratapi orang yang meninggal akan menyebabkan orang yang meninggal itu disiksa oleh Allah di dalam kubur. Tetapi, riwayat Ibn Abbas ini dibantah oleh Aisyah yang menjelaskan bahwa Ibn Abbas telah keliru memahami maksud Nabi, disebabkan karena Ibn Abbas terlambat mengikuti majelis (forum) di mana Nabi memberikan sabdanya mengenai hal itu. Maksud Nabi secara lengkap dituturkan oleh Aisyah sebagai berikut. Ketika Nabi sedang bercakap-cakap dengan beberapa Sahabat, tiba-tiba serombongan orang Yahudi melintas di jalan sesudah menguburkan jenasah seorang Yahudi yang meninggal. Beberapa dari anggota rombongan itu menangis sambil meratapi kepergian orang yang meninggal itu. Pada saat itulah Nabi mengatakan bahwa orang-orang itu meratapi orang yang meninggal, padahal orang yang diratapi itu sekarang sedang disiksa di kuburnya. Ibn Abbas, menurut Aisyah, datang pada saat kata-kata Nabi sedang mendekati kalimat terakhir. Dari riwayat yang terdapat di dalam kitab (Jami’-us Shahih)-nya Bukhari ini jelas, demikian menurut jumhur (mayoritas) ulama, bahwa Ibn Abbas telah memahami secara tidak lengkap maksud Nabi: bukan karena ratapan seseorang disiksa, melainkan karena ketidakmauannya beriman kepada ajaran yang dibawa Nabi Muhammad.
  2. Pada suatu saat Abu Hurayrah menuturkan bahwa Nabi bersabda, “Barangsiapa mengucapkan la ilaha ilallah, maka jasadnya akan diharamkan oleh Allah untuk disentuh oleh api neraka.” Mendengarkan penuturan ini, Umar menegur Abu Hurayrah dengan mengatakan bahwa tidak mungkin Nabi mengeluarkan kata-kata yang semacam itu. Tetapi, Abu Hurayrah menukas bahwa Nabi masih ada di forum di mana beliau tadi mengeluarkan kata-kata tersebut, dan mempersilakan Umar untuk mengonfirmasi kata-katanya. Umar bergegas menemui Nabi dan menanyakan apakah benar telah mengeluarkan pernyataan sebagaimana dituturkan oleh Abu Hurayrah itu. Nabi membenarkan. Namun, Umar, yang tidak puas, mengusulkan kepada Nabi untuk mencabut kata-katanya itu karena khawatir bahwa umat Islam dari generasi yang mendatang akan memahami pernyataan itu secara harfiah, sehingga menyebabkan mereka lengah (meremehkan) kewajiban-kewajiban Islam. Nabi pun menerima usul Umar. Sebagaimana sering kita dengar dalam khutbah-khutbah Islam di masjid-masjid, kata-kata Nabi dalam riwayat Abu Hurayrah di atas masih dikemukakan, dalam versi yang tidak diubah. Riwayat yang terdapat di dalam kitab (Jami’-us Shahih)-nya Bukhari ini, secara implisit, juga menegaskan bahwa adanya kesalahpahaman atau bahkan ketidakmengertian atas maksud Nabi, pada dasarnya, adalah mungkin/dapat terjadi di kalangan para Sahabat, bahkan ketika sendiri Nabi masih hidup. 
  3. Salah seorang Sahabat Nabi, Utsman ibn Maz’un, adalah termasuk generasi pertama pemeluk Islam (meskipun bukan sabiqunal awwalun), yang telah berhijrah ke Absyinia maupun kemudian ke Madinah. Sahabat ini mengikuti berbagai perang yang digelar Nabi dalam rangka menghadapi kaum musyrik Quraisy. Sebegitu jauh, Utsman ibn Maz’un memahami bahwa ajaran yang dibawa oleh Nabi adalah semata-mata untuk mendekatkan diri pada Allah dengan cara memperbanyak ibadah ritual. Ia dilaporkan banyak menghabiskan waktunya untuk “berpuasa di siang hari dan shalat di malam hari sambil menangis terisak-isak”, padahal ia memiliki keluarga yang harus ia nafkahi. Ia bahkan jarang mempergauli istrinya. Suatu hari, istri Utsman ibn Maz’un melaporkan hal ini kepada Nabi. Kemudian, Nabi menegur kepada Utsman dengan mengatakan kepadanya, kurang lebih, sebagai berikut, “Dalam berislam itu lihatlah aku. Aku adalah seorang Rasul Allah. Aku memenuhi kewajiban kepada Allah, tetapi juga memenuhi kewajiban kepada keluargaku. Janganlah engkau, karena beribadah kepada Allah lalu menyebabkan lalai pada kewajiban kepada keluargamu.” Kasus ini dengan sejelasnya menunjukkan kepada kita bahwa bahkan seorang Sahabat Nabi yang termasuk awal sekalipun, dan sudah cukup lama mendampingi Nabi, masih dapat memiliki pemahaman yang berbeda dari apa yang diajarkan/dimaksudkan oleh Nabi.

PERBEDAAN CARA MEMAHAMI ISLAM
 
Sudah merupakan hal yang masyhur bahwa Abu Bakar dan Umar ibn Khaththab memiliki perbedaan penting di dalam memahami Sunnah Nabi. Dasar perbedaannya adalah cara/metodenya. Abu Bakar, ketika sudah menjadi khalifah (632-634 M), tetap memberangkatkan pasukan yang dipimpin oleh Usamah ibn Zayd ibn Haritsah (yang masih berusia kira-kira 17 tahun) untuk melakukan ekspedisi penyerangan ke kawasan Syiria. Padahal Madinah pada waktu itu sedang dikepung oleh orang-orang Islam yang murtad. Memberangkatkan pasukan akan menyebabkan jauh berkurangnya kekuatan Madinah di dalam menghadapi musuh-musuhnya itu. Bersama-sama dengan banyak Sahabat lain, Umar mempertanyakan keputusan Abu Bakar itu, karena gentingnya bahaya yang akan dihadapi oleh umat Islam dan negara Madinah seandainya pasukan tetap diberangkatkan. Tetapi, Abu Bakar menegaskan bahwa ia tidak akan mencabut keputusan yang telah dibuat oleh Nabi. (Usamah ditunjuk sebagai pasukan oleh Nabi dengan instruksi agar pasukan segera diberangkatkan.) Apa yang telah diperintahkan oleh Nabi, apapun resikonya, akan tetap ia laksanakan.
 
Dalam kasus lain, suatu saat Umar mengusulkan kepada Abu Bakar untuk mengumpulkan tulisan-tulisan mengenai wahyu-wahyu Allah ke dalam satu mushhaf (naskah) tunggal. Tetapi, Abu Bakar menolak karena, katanya, “Bagaimana mungkin aku akan melakukan sesuatu hal yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi sebelumnya?” Sesudah berhasil diyakinkan oleh Umar akan pentingnya sebuah naskah tunggal atas wahyu-wahyu Allah, barulah Abu Bakar bersedia menginstruksikan pengumpulan al-Quran. Dalam kedua peristiwa di atas, Abu Bakar bertahan pada pemahaman bahwa cara memahami Islam yang benar adalah dengan mencontoh sepersisnya (secara harfiah) apa-apa yang telah disabdakan oleh Nabi.
 
Berbeda halnya dengan Umar. Meskipun al-Quran dalam Surat Al-Mâ‘idah ayat 38, telah jelas memberi petunjuk, “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” Tetapi, Umar ketika sudah menjadi khalifah (634-644 M) menolak melaksanakan hukuman pemotongan tangan karena pada waktu pencurian itu terjadi, Madinah dan banyak kawasan Arab lain sedang dilanda musim kekeringan dan paceklik.
 
Umar juga menolak membagikan rampasan perang berupa tanah (fa’y) karena menganggap hal tersebut membahayakan kesejahteraan umat Islam di masa depan, walaupun Nabi sendiri pada waktu menaklukkan kawasan pertanian Khaybar, Fadak dan Wadi al-Qurra, telah membagikan fa’y kepada para peserta perang. Meskipun banyak Sahabat yang menentang keputusan Umar itu, ia tetap bertahan pada keputusannya.
 
Dalam kedua kasus ini —dan, kita masih memiliki contoh-contoh kasus yang lain— menunjukkan bahwa Umar memiliki pandangan bahwa cara memahami Islam dan Sunnah Nabi, tidak kepada pemahaman secara harfiah atas teks-teks Islam, melainkan dengan cara terlebih dahulu mencari ratio-legis (alasan-alasan yang mendasari ditetapkannya suatu hukum), kemudian melihat konteksnya. Apabila situasi berubah, maka ketentuan yang berasal dari Nabi ataupun al-Quran dapat berubah pula.
 
Perbedaan cara memahami Islam antara Abu Bakar dan Umar ini belakangan mengkristal ke dalam apa yang disebut sebagai Ahl al-Sunnah (mengikuti Sunnah) dan Ahl al-Ra’yu (menggunakan akal/pemikiran, metode rasional). Sejumlah Sahabat besar lain juga diriwayatkan memahami Islam secara berbeda, namun seluruhnya dapat dikembalikan kepada dua pokok perbedaan itu: Sunnah dan Ra’yu.
 
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa bahkan para Sahabat besar, dapat saja memahami secara berbeda atas apa yang dimaksudkan sebagai Islam yang benar atau berbeda di dalam memahami maksud Nabi. Mendahului pembahasan, itulah sebabnya yang namanya pintu ijtihad (berpikir secara sungguh-sungguh untuk terus-menerus berusaha menemukan kebenaran) tidak pernah boleh tertutup. Pintu ijtihad harus terus dibuka.
 
Perbedaan cara atau metode memahami Islam sebagaimana dikemukakan di atas, tidak sampai mengakibatkan perpecahan di kalangan umat Islam. Sampai dengan pertengahan pertama pemerintahan Khalifah Utsman ibn Affan, umat Islam masih dapat mempertahankan kesatuannya. Namun, dengan terjadinya pembunuhan terhadap khalifah ketiga (644-656 M) itu, menandai mula terjadinya perpecahan umat Islam. Perpecahan yang bekas-bekasnya masih dapat dilihat dan dirasakan hingga sekarang. Faktor utama perpecahan itu pada mulanya dipicu oleh masalah keabsahan pembunuhan terhadap Utsman ibn Affan dan masalah kepemimpinan yang menggantikan Utsman.

 
KONFLIK POLITIK YANG MELAHIRKAN ALIRAN-ALIRAN TEOLOGI
 
Asal-usul Konflik
Para pembunuh Utsman yang menguasai Madinah meminta Ali untuk menjadi khalifah menggantikan Utsman. Setelah melakukan penolakan, Ali akhirnya bersedia dibai’at. Tetapi, tidak seluruh pemuka masyarakat Islam menyetujui naiknya Ali sebagai khalifah. Aisyah, dengan didukung oleh Thalhah ibn Ubaidillah dan Zubayr ibn Awwam (dua orang sabiqunal awwalun) dengan sokongan kabilah-kabilah mereka, melakukan pemberontakan terhadap Ali. Perang Jamal (Unta) pun terjadilah. Thalhah dan Zubayr terbunuh, sedangkan Aisyah dipersilakan kembali ke Madinah, dengan syarat tidak melakukan aktivitas apapun dalam kaitannya dengan politik. Tantangan yang lebih serius pada kekuasaan Ali, datang dari Gubernur Syiria, yang masih memiliki hubungan famili (ke-kabilah-an) dengan Utsman ibn Affan. Dikatakan lebih serius tidak saja karena kekuatan yang dimilikinya, tetapi juga lamanya peperangan yang ditimbulkannya dalam Perang Shiffin.
 
Sesudah perang menemui jalan buntu —tak ada pemenang mutlak— maka disepakati untuk dilakukan perundingan damai (arbitrase atau tahkim). Dalam proses tahkim, pihak Ali dipecundangi sehingga akhirnya menolak hasil-hasil perundingan. Bahaya perang mengancam lagi.
 
Sementara itu, sebagian pendukung Ali, karena kecewa bahwa pimpinannya bersedia menerima perundingan dari pihak yang salah, akhirnya malah menyalahkan Ali, dengan alasan: tak ada jalan damai dengan pihak yang jelas-jelas bersalah. Mereka keluar dari pihak Ali dan mengumumkan permusuhan mereka terhadap dua pihak yang bersengketa: Mu’awiyah dan Ali. Mereka inilah yang belakangan terkenal dengan sebutan kaum Khawarij. Kaum khawarij membenarkan keberadaan kelompok mereka dengan cara mempersalahkan kelompok-kelompok di luar mereka, kelompok di luar mereka terang-terangan dikafirkan, hanya Khawarij saja kaum Muslim yang sejati.

Dituduh demikian oleh Khawarij, maka baik pihak Ali maupun pihak Mu’awiyah membenarkan kelompok mereka dengan cara mengambil dalil-dalil yang dikatakan sebagai hadits Nabi. Pada periode inilah kita mulai mengenal adanya hadits-hadits maudlu’ (hadits-hadits palsu). Maka, pada tahapan ini untuk membenarkan pandangan dan pendapatnya masing-masing, kelompok-kelompok Islam, yang sebagian di antaranya adalah murid-murid para Sahabat Nabi, tidak segan-segan untuk memalsukan hadits.
 
Sementara itu, selain tiga kelompok di atas, ada suatu kelompok yang menolak untuk mendukung kelompok-kelompok yang ada, mereka adalah kaum “netralis”, yang menolak campur tangan dalam masalah-masalah politik karena hal itu akan dapat merusak persatuan dan ukhuwah di kalangan umat Islam. Orang-orang ini, lebih menekankan untuk mempelajari Islam, al-Quran dan Sunnah-sunnah Nabi untuk dipraktikkan. Oleh karena penekanan mereka untuk senantiasa tunduk pada Sunnah Nabi inilah, maka mereka dikenal sebagai Ahlus Sunnah (Golongan Sunnah).
 
Jadi, pada titik ini, dapat diringkas bahwa pada kira-kira tahun 680 Masehi (yakni hanya 46 tahun sesudah wafat Nabi – pada tahun 632 Masehi), umat Islam terkelompok-kelompok ke dalam empat golongan: golongan Khawarij, golongan Syi‘ah (yaitu pengikut fanatik Ali), golongan Mu’awiyah (yang juga terkenal dengan nama Ahlul Jama’ah – karena menggunakan jargon persatuan umat Islam ke dalam satu entitas kekuasaan), dan golongan Ahlus Sunnah. Dua kelompok yang terakhir ini, kemudian tergabung secara alamiah sehingga membentuk istilah yang terkenal hingga sekarang: Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yang juga terkenal dengan nama lebih singkatnya, golongan Sunni, yang di Jawa kontemporer biasa disingkat golongan Aswaja’ (kependekan dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah).
 
Belakangan, pada masa Dinasti Abbasiyyah menguasai Dunia Islam (750-1258 M), muncul satu kelompok lagi yang merupakan ajaran resmi negara, yakni kaum Mu’tazilah. Kelompok ini muncul karena tidak puas dengan ajaran-ajaran yang dimiliki oleh berbagai kelompok yang ada.
 
Secara singkat akan dikemukakan ajaran-ajaran pokok tiap-tiap kelompok yang disebutkan di atas. Karena pada awalnya kelompok-kelompok itu kelahirannya dipicu oleh persoalan-persoalan politik lalu menggesernya ke dalam soal-soal akidah, maka pembahasan di sini akan meliputi dua hal tersebut.

Sepintas Ajaran Khawarij 
  • Dalam bidang politik : khalifah bisa siapa saja, asalkan dikehendaki oleh kaum Muslimin, tidak peduli orang Quraisy atau bukan, orang Arab atau bukan, bahkan tidak peduli bila ia berasal dari budak yang berkulit hitam; selama ia: tidak melakukan dosa besar, dan hanya menetapkan hukum Allah sebagai hukum dalam negara (inilah doktrin laa hukmu ila lillah, tak ada hukum kecuali hukum Allah).
  • Dalam bidang akidah : pelaku dosa besar adalah kafir, karena semua kelompok di luar Khawarij pernah melakukan dosa besar, maka orang Islam di luar Khawarij adalah orang kafir. Baik pelaku dosa besar maupun Muslim bukan Khawarij adalah halal darahnya, yaitu boleh dibunuh.

Sepintas Ajaran Syi‘ah 
  • Dalam bidang politik : khalifah yang sah hanyalah yang mendapat nash (penunjukan atau wasiat) dari penguasa sebelumnya. Dalam hal ini, Abu Bakar, Umar dan Utsman bukanlah penguasa/khalifah yang sah, karena sebelum wafatnya Nabi telah menunjuk Ali sebagai penggantinya (khalifah-nya). Penguasa-penguasa yang sah sesudah Ali adalah anak keturunannya dari istri Fathimah putri Nabi. Penguasa yang tidak memiliki darah keturunan Ali dan Nabi adalah tidak sah atau tidak sesuai nash.
  • Dalam bidang akidah : Ajaran Islam yang benar adalah yang diajarkan oleh Nabi melalui perantaraan Ali, hadits-hadits yang tidak diriwayatkan oleh Ali merupakan hadits yang tidak dapat dipakai sebagai pedoman. Umat Islam harus senantiasa mengupayakan agar keturunan Ali dan Fathimah menjadi penguasa, apabila gagal dalam upaya itu, mereka harus bersabar hingga datangnya al-Imam al-Muntazar (“Imam yang Dinantikan”), dan harus melapangkan jalan untuk kehadirannya,  inilah akidah raj’ah Syi’ah yang terkenal itu. Untuk menghindari penindasan dari penguasa yang bukan keturunan Ali dan Fathimah, kaum Syi’ah diperkenankan menyembunyikan akidahnya supaya terhindar dari pembunuhan, inilah yang dikenal dengan akidah taqiyah.

Sepintas Ajaran Ahlul Jama’ah
  • Dalam bidang politik : penguasa bisa siapa saja, asal orang Quraisy, dan mampu mempersatukan umat Islam.
  • Dalam bidang akidah : pada dasarnya mengikuti pendapat Ahlus Sunnah.

Sepintas Ajaran Ahlus Sunnah 
  • Dalam bidang politik : penguasa bisa siapa saja, asalkan orang Quraisy; meskipun orang itu tidak melaksanakan Islam dengan baik, orang tetap harus dipatuhi asalkan tidak memerintahkan kepada kemungkaran. Dalam hal penguasa yang tidak melaksanakan Islam dengan baik, dia dinyatakan sebagai penguasa yang tidak sah namun kekuasaannya dapat ditolerir (diterima sebagai kenyataan) untuk menghindari pertumpahan darah di antara sesama umat Islam.
  • Dalam bidang akidah : pelaku dosa besar bukan kafir, tetapi tetap Muslim; nasibnya kelak di akhirat, apakah di dalam surga atau neraka tidak ada seorang manusia pun yang mengetahuinya, hanya Allah yang tahu. Oleh karena itu, penilaian atas nasib akhir mereka harus ditangguhkan, tidak dapat dinyatakan sekarang, inilah doktrian arja‘ah yang terkenal itu. Konsekuensinya, asalkan seseorang masih mengakui kebenaran dua kalimah syahadat, apapun yang dilakukannya, ia harus tetap dinilai sebagai seorang Muslim.

Sepintas Ajaran Mu’tazilah 
  • Dalam bidang politik : Sama dengan yang diajarkan oleh Ahlus Sunnah.
  • Dalam bidang akidah : Pelaku dosa besar dinyatakan sebagai bukan Muslim, tetapi juga bukan kafir, tetapi terletak di tengah-tengah antara dua posisi itu (itu sebabnya ajarannya ini disebut manzilah bainal manzilatayn, posisi di antara dua posisi).

Sebagai penutup atas bagian ini, dapat disimpulkan bahwa dalam bidang teologi-politik umat Islam terkelompok ke dalam empat golongan:
  1. Kaum Syi’ah,
  2. Kaum Khawarij,
  3. Kaum Ahlus Sunnah wal Jama’ah (gabungan dari Ahlus Sunnah dan Ahlul Jama’ah), dan 
  4. Kaum Mu’tazilah.

PERBEDAAN DALAM MASALAH HUKUM
 
Seiring dengan kemajuan negara Islam dalam dunia politik, maka kekayaan, kesejahteraan dan kemakmuran pun menghampiri umat Islam. Pada masa Dinasti Umayyah masih berkuasa (dari tahun 661 hingga 750 Masehi), di masjid-masjid telah banyak dikembangkan kajian-kajian mengenai Islam. Orang-orang yang mengembangkan ini terutama adalah dari golongan Ahlus Sunnah wal Jama’ah – untuk selanjutnya disebut Sunni. 

Dalam kajian-kajian itu, banyak dibicarakan bagaimanakah ajaran kebenaran Islam diterapkan dalam praktik keseharian. Pada umumnya, umat Islam pada saat itu sepakat bahwa penerapan Islam harus berdasarkan kepada al-Quran sebagaimana telah diajarkan oleh Nabi Muhammad. Namun, bagaimana memahami petunjuk-petunjuk dalam al-Quran dan memahami pengajaran Nabi Muhammad adalah persoalan yang lain. Lagipula, masih cukup banyak ajaran Islam yang teknis pelaksanaannya belum diberikan oleh al-Quran maupun Nabi. Misalnya, dalam masalah zakat. Apakah seseorang yang berprofesi tertentu harus dikenai zakat (kalau sekarang kita mengenal adanya “zakat profesi” maka itu adalah hasil dari ijtihad ulama-ulama masa sekarang, dari Yusuf al-Qardhawi misalnya). Apakah shalat boleh menggunakan selain bahasa Arab; dalam situasi yang bagaimanakah perbudakan harus dihapuskan (diketahui bahwa sebagian besar Sahabat Nabi hingga meninggalnya masih memiliki budak-budak). Apabila ada ayat-ayat yang harfiahnya bertentangan (misalnya dalam masalah takdir, ada ayat-ayat yang berpaham jabariyyah ada pula yang berpaham qadariyyah) manakah yang harus diikuti. Apakah seorang penguasa yang zhalim boleh dijatuhkan dari kedudukannya, bagaimana cara menata masyarakat ke dalam sistem yang baik, apakah seluruh fungsi kekuasaan (ekekutif, legislatif, dan yudikatif) harus berada di satu tangan, yakni sang khalifah?

Seluruhnya ini belum ada petunjuknya hingga tingkat yang operatif baik dari al-Quran maupun dari Nabi Muhammad. Umat Islam berupaya memecahkan pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Seperti sudah disebutkan di atas, dalam cara memahami Islam, pada dasarnya umat Islam dapat dibedakan dalam dua cara atau metode. Metode pertama adalah mengikuti petunjuk (baik al-Quran maupun hadits Nabi) secara harfiah (metode Abu Bakar), sedang metode kedua adalah dengan memikirkan makna dan tujuan dari petunjuk untuk kemudian mengejar pencapaian makna itu (metode Umar atau metode rasional, di mana Shahabat seperti Abdullah ibn Mas‘ud tergolong di sini).

Lama-kelamaan, dalam masalah hukum Islam, umat Islam terbagi ke dalam berbagai aliran-hukum, namun yang bertahan hingga saat ini adalah empat aliran-hukum utama: mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syafi’i, dan mazhab Hambali. Tiga yang terakhir dapat dikembalikan pada metode Ahlus Sunnah, sedangkan mazhab Hanafi dapat dikembalikan pada metode Ahlul Ra’yu (rasional).

Seluruh aliran-hukum ini pada dasarnya memiliki tujuan yang sama, yakni: bagaimana memahami, menetapkan dan menerapkan hukum-hukum yang berasal dari Allah dan Nabi Muhammad secara tepat. Namun, cara memahami, menetapkan dan menerapkan telah membedakan mereka. Di bawah ini masing-masing aliran-hukum itu akan dikemukakan sepintas.

 
Sepintas Mazhab Hanafi 
Mazhab ini menekankan pada penggunaan rasio (akal) untuk memahami hukum Islam. Sahabat yang dijadikan sandaran biasanya adalah Umar ibn Khaththab dan Abdullah ibn Mas’ud.

Dirumuskan pertama kali oleh Abu Hanifah (700-767 Masehi), mazhab ini cukup banyak mengakomodasi situasi-situasi tempatnya berdomisili, Kufah. Misalnya,
  1. Abu Hanifah memperbolehkan seorang Muslim berkebangsaan Persia untuk membaca al-Fatihah dalam shalat dengan menggunakan bahasa Persia, karena bila dalam bahasa Arab, bukan saja ia tidak memahami shalatnya, tetapi juga bacaan-bacaannya sering keliru. (Dalam hal ini, Imam al-Syafi’i mengharamkannya).
  2. Abu Hanifah menetapkan bahwa besarnya mahar untuk seorang perempuan (yang belum ditentukan pada waktu akad nikah) adalah sebesar rata-rata yang biasa diterima oleh seorang perempuan. (Dalam hal ini, Imam Malik mengeluarkan fatwa bahwa besarnya mahar bagi perempuan itu disesuaikan dengan status sosial perempuan yang bersangkutan di dalam masyarakatnya, semakin tinggi status sosialnya, semakin tinggi mahar yang harus diberikan kepadanya).

Sepintas Mazhab Maliki
Dirumuskan pertama kali oleh Malik ibn Anas (710-795 Masehi), yang menghabiskan sebagian besar hidupnya di Madinah.

Mazhab ini menekankan praktik penduduk Madinah. Sahabat Nabi yang biasanya dijadikan sandaran adalah Abdullah ibn Abbas, Aisyah dan Abdullah ibn Umar ibn Khaththab. Dasar pokok kenapa mengikuti praktik penduduk Madinah adalah: Nabi membina masyarakat Madinah selama 10 tahun, banyak Sahabat yang tinggal di Madinah. Para Sahabat ini tentu lebih memahami Islam dibandingkan siapapun juga, karena mereka langsung dibimbing oleh Nabi. Oleh karena penerapan (praktik) Islam penduduk Madinah pastilah mencerminkan apa-apa yang dulu pernah diajarkan oleh atau dipelajari dari Nabi. Karena itulah, aliran-hukum Maliki juga dikenal sebagai Ahlus Sunnah dalam corak amal Madinah.

 
Sepintas Mazhab Syafi’i 
Dirumuskan pertama kali oleh Muhammad ibn Idris al-Syafi’i (767-820 Masehi), lahir Ashkalon (sekitar Palestina), menghabiskan masa mudanya di Makkah, pernah berguru kepada Imam Malik dan murid-murid Abu Hanifah, ia akhirnya menetap di Mesir hingga wafatnya.

Imam al-Syafi’i pada dasarnya berupaya untuk mencari jalan tengah pemikiran Imam Hanafi dan Imam Malik. Dalam rangka itu, Imam al-Syafi’i berpendapat bahwa menetapkan hukum Islam harus berdasarkan al-Quran dan Sunnah Nabi, meskipun penggunaan rasio masih diperbolehkan. Namun, karena penggunaan rasio yang berlebihan berpotensi untuk keluar dari petunjuk al-Quran dan Sunnah, maka Imam al-Syafi’i membatasi penggunaan rasio hanya untuk qiyas (penalaran analogis).

Adalah juga Imam al-Syafi’i yang menggariskan untuk pertama kalinya bahwa suatu hukum harus ditetapkan berdasarkan urutan sebagai berikut: al-Quran, Hadits, ijma’ (kesepakatan hukum para Sahabat), dan barulah qiyas. Dengan demikian, qiyas (penalaran) hanya dapat dipergunakan sebagai jalan terakhir.

Imam al-Syafi’i juga tidak sepakat dengan Imam Malik dalam hal amal Madinah: apa jaminan bahwa penerapan hukum penduduk Madinah memang sesuai dengan petunjuk/Sunnah Nabi? (Harus dicatat jarak antara masa hidup Imam Malik-Imam al-Syafi’i dan wafat Nabi Muhammad terentang waktu lebih dari 100 tahun).

Untuk menyelesaikan problem ini, Imam al-Syafi’i berpendapat bahwa suatu penerapan atau praktik hukum Islam baru dapat dinyatakan memang berasal dari Nabi apabila didukung oleh suatu laporan yang kontinyu tidak terputus mulai dari generasinya hingga generasi Nabi (sanad), para penyampai laporan itu harus memahami matan (materi) yang dilaporkannya. Inilah yang secara teknisnya disebut Hadits. Jadi, penolakan terhadap Sunnah amal Madinah, membawa Imam al-Syafi’i kepada digunakannya Hadits. Maka, apabila praktik atau penerapan penduduk Madinah, tidak dapat dibuktikan didukung oleh sesuatu hadits, maka praktik itu tidak dapat dikatakan berasal dari Nabi.

Dengan demikian, walaupun Imam Malik dan Imam al-Syafi’i sama-sama menggunakan Sunnah, tetapi kedua imam itu memahaminya secara berbeda. Selanjutnya, walaupun Imam al-Syafi’i menerima penggunaan rasio, seperti halnya Imam Abu Hanifah, namun Imam al-Syafi’i amat membatasi peran akal.
 

Sepintas Mazhab Hambali 
Dirumuskan pertama kali oleh Ahmad ibn Hanbal (780-855 Masehi) yang dilahirkan dan wafat di Baghdad. Sesudah menyerap pengajaran dalam mazhab Syafi’i,  Imam Ahmad merasa tidak puas dengan masih diperbolehkannya penggunaan rasio atau akal oleh Imam al-Syafi’i. Penggunaan akal dalam penetapan dan penerapan hukum Islam haruslah dilarang karena “hukum Allah dalam cara apapun tidak bergantung pada penalaran manusia.”

Al-Quran dan Hadits Nabi harus dipahami secara “apa adanya” atau harfiah, adapun bila dari keduanya tidak dapat disimpulkan suatu ketetapan hukum, itu disebabkan karena kekurangpahaman manusia dalam “membaca” tanda-tanda kebahasaan yang disampaikan oleh kedua sumber hukum itu.

Demikianlah, keanekaragaman umat Islam dalam masalah hukum. Yang penting dicatat adalah bahwa keempat aliran-hukum itu merupakan aliran-aliran yang diakui oleh golongan Sunni. Sebab, pada kenyataannya kaum Syi’ah, misalnya, memiliki aliran-hukum tersendiri, yang meskipun memang terdapat titik-titik kesamaan, namun secara keseluruhan dapat dikatakan berbeda.

 
PERBEDAAN DALAM MEMANDANG KE-SUFI-AN
 
Kira-kira pada pertengahan awal abad ke-9 Masehi, yakni ketika Dunia Islam masih di bawah kekuasaan Dinasti Abbasiyyah, para khalifah banyak merekrut orang-orang dari bangsa Turki untuk dijadikan tentara negara. Pilihan kepada orang Turki dikarenakan tidak saja mereka secara personal adalah orang-orang yang secara fisik amat kuat, tangguh, serta terampil di medan pertempuran, tetapi juga karena perekrutan orang-orang Turki berbiaya murah. Penting untuk diperhatikan bahwa orang-orang Turki ini adalah juga kaum Muslimin.
 
Pada kira-kira akhir abad ke-9, orang-orang Turki ini, yang berjasa besar bagi kelangsungan hidup dinasti, semakin dipercaya untuk menduduki pos-pos penting negara. Panglima-panglima militer hampir selalu dijabat oleh mereka. Karena mereka menguasai alat-alat, orang-orang, dan sarana-sarana militer yang lain, maka orang-orang Turki semakin menjadi golongan yang makin berkuasa di dalam Dinasti Abbasiyyah. Beberapa khalifah yang mencoba membatasi kekuatan mereka, malah justru dijatuhkan dan kaum Turki menunjuk khalifah lain untuk dijadikan bonekanya. Dengan demikian pengaruh orang Turki menjadi sulit dibendung.
 
Pada tahapan ini dapat dikatakan bahwa orang-orang Turki sudah menguasai jabatan-jabatan pada sektor-sektor penting negara. Orang-orang Arab dan Persia, yang berjasa besar bagi tegaknya kedaulatan Dinasti Abbasiyyah semakin terpinggirkan. Setiap kali mereka melakukan perlawanan atau upaya untuk membatasi pengaruh kekuasaan mereka, yang terjadi justru adalah peperangan yang seringkali dimenangkan oleh pihak Turki. Maka, pada masa akhir kekuasaan Dinasti Abbasiyyah orang Turki demikian dominan dalam kehidupan politik dan militer negara.

Banyak dari orang-orang yang tersingkir dari sektor politik ini malah kemudian justru menarik diri. Dorongan mereka untuk menarik dari dari kehidupan politik dan, secara umum, publik ini pada dasarnya dipicu oleh dua hal: ketidakberdayaan mereka dalam menundukkan pengaruh orang Turki, dan keprihatinan mereka atas pertumpahan darah yang terus-menerus menimpa negara dan masyarakat Islam, oleh karena itu mereka adalah orang-orang yang ingin mendapatkan ketenangan batin.

Para ahli juga berpendapat bahwa hal lain yang mendorong semakin tertariknya orang kepada ajaran Sufi, adalah karena para ulama ahli hukum Islam, semakin menekankan kepada kaifiat (bentuk-bentuk lahir) sesuatu ibadah ritual. Misalnya, dalam hal shalat. Para ulama jarang menekankan pada pengajaran atau pembahasan bagaimana mencapai ke-khusyu’-an dalam shalat agar sesudah melaksanakan ibadah shalat itu seorang Muslim dapat terpuaskan kebutuhan batin dan spiritualnya dalam melakukan “komunikasi” dengan Allah. Yang terjadi justru sebaliknya, para ulama menekankan kepada bentuk-bentuk kaifiat, misalnya, apakah membaca bismillah dalam shalat dikeraskan atau dipelankan, atau malah tidak dibaca sama sekali. Doa iftitah mana yang dipakai, apakah dari riwayat Ali (wajahtu wajahiya… dst; dari riwayat Abu Hurayrah (allahuma bait… dst; atau dari riwayat Umar (Subhana-kallahuma… dst). Bagaimana cara ruku’ yang benar, yakni dilarang punggungnya masih bengkok; dalam bersujud yang boleh menyentuh lantai hanya telapak tangan bukannya telapak tangan hingga siku sebab hal itu akan sama dengan cara duduk anjing, dan seterusnya. Penekanan kepada aspek-aspek lahiriah (kaifiat) berbagai macam ibadah dalam Islam ini sedemikian rupa ditekankan sehingga justru menghilangkan makna ibadah itu sendiri yang semestinya ditujukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Orang-orang yang tidak puas dengan penekanan segi lahiriah peribadahan ini, akhirnya memilih “metode lain” dalam mendekatkan diri kepada Allah: itulah metode yang ditawarkan oleh Sufi.

Hal lain yang juga mendorong daya tarik ke-sufi-an ini adalah semakin suburnya kehidupan intelektual dan praktik pertukaran pemikiran keagamaan. Para intelektual dan sarjana Muslim membahas dan memperdebatkan berbagai pemikiran mengenai keislaman, namun seringkali dengan tidak memberikan perhatian yang cukup dalam hal praktik dan pengalaman mendekatkan diri pada Allah. Penekanan pada aspek intelektual ini bagi sebagian kalangan menjadikan agama menjadi kering secara spiritual, bagaikan “membicarakan madu tanpa pernah merasakan manisnya.”
 
Orang-orang yang menarik diri “dari kehidupan duniawi” lama-kelamaan semakin menekuni aspek-aspek spiritual dari Islam. Begitu ide-ide pencarian ketenangan batin dan pencarian kehidupan spiritual yang lebih dalam dimulai, orang-orang ini —terutama yang berlatar belakangan kebangsaan Persia (kawasan Iran dewasa ini)— menemukan bahwa dalam ajaran lama agama Persia, terutama agama yang didirikan oleh Mani (karena itu disebut Manikeanisme) banyak didalami soal-soal kebatinan dalam kerangka pencarian hakikat realitas.
 
Dalam masalah yang terakhir ini, Manikeanisme mengajarkan bahwa hakikat manusia dan dunia ini adalah maya atau semu belaka, karena hakikat segala sesuatu yang “Yang-Ada Yang Sesungguhnya” dan itu adalah Tuhan. Tuhan telah memancarkan Zat-zat Ketuhanannya di alam semesta ini, sehingga seolah-olah yang semu itu adalah yang sesungguhnya, padahal tidak. Karena itu, apabila ditelusuri lebih jauh, demikian pandangan mereka, akan ditemukan bahwa dalam hakikat diri manusia dan alam akan ditemukan hakikat Tuhan.
 
Maka kehidupan spiritual diteruskan ke dalam penemuan hakikat atau kejatidirian manusia yang sesungguhnya merupakan pancaran dari Zat Ketuhanan itu. Jadi, tujuan terpenting dalam kehidupan ini adalah menemukan cara atau metode untuk “bersatu kembali dengan Tuhan”. Inilah asal-usul ajaran Sufi tajali, wahdatul wujud, atau yang dalam konteks Jawa: Manunggaling Kawula lan Gusti.
 
Berbagai cara dikemukakan, antara lain dengan mencari tempat-tempat yang terpencil atau terpisah dari keramaian (khalwat), guna mendapatkan ketenangan dan konsentrasi sehingga dapat “berkomunikasi” untuk kemudian menyatu dengan Tuhan. Kalau tidak dapat ditemukan tempat yang semacam itu, dipergunakanlah cara-cara wirid, puji-pujian kepada Allah dan Nabi-Nya, serta berbagai cara lain untuk mendapatkan keadaan “kosong” (ekstasis) sebab dalam keadaan inilah dapat dirasakan pengalaman kehadiran atau penyatuan dengan Tuhan. Misalnya, Jalaludin Rumi mengajarkan tarian-tarian darwisy untuk mendapatkan kekosongan yang semacam itu.
 
Perkembangan Sufi pada abad ke-13 sungguh menakjubkan, karena “spiritualisme” jenis ini (penyatuan dengan Tuhan) amat dikenali oleh tradisi-tradisi kuna pra-Islam dari berbagai belahan dunia Islam yang memiliki peradaban kuna dan sudah menjadi bagian dari pandangan hidup mereka mengenai realitas. Terutama Persia dan India adalah “tanah air” bagi jenis spiritualisme yang semacam itu. Apalagi ketika Abu Hamid al-Ghazali (1058-1111 Masehi), dalam kitab al-Munqidz min al-Dhalal (“Pembebas dari Kesesatan”) membela pandangan-pandangan Sufi. Meskipun, al-Ghazali menolak bahwa praktik Sufi dipergunakan untuk menyatukan diri dengan Tuhan, tetapi ia tidak menolak penggunaan berbagai macam wirid dan puji-pujian kepada Allah dan Nabi-Nya untuk “mendekatkan” diri dengan Tuhan.
 
Jadi, pandangan Sufi al-Ghazali memang berbeda dengan pandangan Sufi al-Hallaj (dieksekusi mati tahun 922 Masehi), Rabi’ah al-Adawiyah (wafat 801 Masehi), dan Abu Yazid al-Busthami (wafat 874 Masehi), misalnya. Tetapi, pembelaannya terhadap Sufi, tak pelak lagi, membuat kalangan dan ajaran Sufi dapat diterima di lingkungan Sunni. Sedangkan dalam praktiknya pun tidak terlalu tampak ada perbedaan: terutama sama-sama mempergunakan wirid dan puji-pujian kepada Allah dan Nabi-Nya, baik dalam rangka menyatukan diri dengan Tuhan (yakni, Sufi-heterodoks/bid’ah) maupun dalam rangka mendekatkan diri dengan Tuhan (yakni, jenis Sufi yang diterima kalangan Sunni – yang biasa disebut Sufi-ortodoks).
 
Kalangan Sufi kemudian merumuskan ajaran yang sudah merupakan penyimpangan dari Islam, bahwa untuk mendapatkan kesempurnaan hidup (manusia yang telah berhasil mencapainya disebut insan kamil, atau manusia sempurna), yakni bahwa ia harus melalui empat tahap: melaksanakan syariat, mengikuti tarekat, menelusuri hakikat dan mengalami ma’rifat.
 
Syariat artinya seorang Muslim harus menjalankan seluruh kewajiban Syari’ah (hukum Islam yang hanya dimaknai sebagai ritualistik) semisal shalat, puasa, dan seterusnya. Sesudah itu ia harus mulai menempuh kehidupan di dalam tarekat Sufi tertentu, karena hanya melalui tarekat (jalan) inilah dapat diperoleh petunjuk bagaimana menyatukan diri dengan Allah. Dengan masuk ke dalam anggota tarekat tertentu, maka ia harus berusaha mencapai pemahaman mengenai hakikat dirinya sebagai manusia dan hakikat Tuhan. Kalau sudah mampu memahami tahapan yang ketiga itu, barulah ia akan dapat merasakan pengalaman menyatukan diri dengan Tuhan, karena ia telah mengenali (ma’rifat) bahwa hakikat dirinya adalah sehakikat dengan Tuhan.
 
Dengan demikian, gerakan Sufi telah melenceng jauh dari apa yang semula merupakan dorongan kelahirannya: ketidakmauan terlibat dalam kehidupan politik dan keringnya spiritualitas ibadah ritual menjadi tujuan untuk penyatuan dengan Tuhan. Dapat dicatat di sini, bahwa pengaruh filsafat atau pandangan hidup Persia pra-Islam memang banyak memberikan kontribusi bagi terbentuknya “arah baru” itu.
 
Yang harus dicatat di sini, kalangan Sufi pun tidaklah satu kelompok saja, namun meliputi banyak kelompok, inilah yang kita kenal dengan nama Tarekat-tarekat Sufi (dari thariqah = jalan). Sesuatu tarekat, Naqshabandiyah misalnya, itu berarti aliran Sufi menurut jalan (thariqah) yang diajarkan oleh Naqshaband. Apa yang, pada dasarnya, membedakan tarekat-tarekat itu adalah bacaan-bacaan wirid atau puji-pujian yang harus dilakukan untuk mendapatkan pengalaman ekstasis. Tarekat-tarekat yang banyak dianut di Indonesia adalah dari jalan Kadiriyah (dinisbatkan kepada Abdul Qadir al-Jilani atau lebih akrab al-Jailani yang wafat 1166 Masehi di Baghdad), Rifa’iyah (dinisbatkan kepada Ahmad ibn Ali Rifa’i yang wafat di Irak pada 1182 Masehi), dan Naqshabandiyah (yang dinisbatkan kepada Baha’uddin Naqshaband yang wafat pada 1389 Masehi). Belakangan ini juga terkenal tarekat Mawlawiyah yang dipelopori oleh Jalaluddin al-Rumi (wafat pada 1273 Masehi) yang terkenal dengan tarian-tarian berputar-putar dan lagu-lagunya (Maznawi) dengan topi tarbus dan pakaiannya yang khas – sebab kalau sedang dipergunakan menari-nari tampak seperti rok yang bergelembung-melingkar sempurna, juga dalam rangka mendapatkan ekstasis.
 
Tarekat-tarekat Sufi ini, meskipun terpisah satu sama lain, tetapi pengikut masing-masing tarekat itu seringkali menjadi anggota lebih dari satu tarekat. Hal ini disebabkan baik karena keawaman maupun karena semata-mata pencarian kepuasan batin yang lebih banyak lagi. Alasan yang lebih serius kemungkinan adalah: tarekat hanyalah sebuah jalan (sebagaimana namanya) namun yang dipentingkan adalah penyatuan dengan Tuhan itu. Sejauh menyangkut jalan, tak ada yang dapat dikatakan benar atau salah. Ini adalah sebuah bentuk pluralisme.
 
Kenyataannya, salah satu bahaya intelektual Sufisme adalah pluralisme itu sendiri. Bahkan ketika kaum Sufi mulai bersentuhan dengan banyak agama, mereka pada akhirnya merumuskan suatu konsep bahwa agama sendiri itu pun hanyalah sebuah jalan. Maka, apakah jalan itu adalah Hindu, Buddha, Kristen, Manikeanisme, atau Islam, asalkan sama-sama dalam rangka mencapai Tuhan, maka agama-agama itu adalah jalan-jalan yang absah adanya. Dewasa ini, konsep ini digaungkan kembali oleh filsafat perennialisme (harfiah: filsafat keabadian), yang apabila ditelusuri argumen-argumen intelektualnya akan bermuara, salah satunya, pada pluralisme ini: Tuhan dapat didekati dengan beragam cara atau jalan. Sebegitu jauh, “Islam-fiqh” atau “Islam-syariat” tetap mereka nyatakan kerendahannya: itu adalah sebuah jenis agama bagi orang awam! Maka, melaksanakan ketentuan, hukum atau aturan Tuhan sebagaimana terdapat dalam al-Quran dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad adalah sebuah bentuk keawaman dalam beragama.
 
Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa bahaya utama Sufisme adalah ia merupakan sebuah agama di dalam agama. Tidak terang-terangan menyatakan diri sebagai sebuah agama, melainkan bernaung di dalam agama tertentu (Islam), tetapi secara hakikatnya ia justru menghancurkan Islam dari dalam: ia adalah sebuah musuh dalam selimut!
 
Kembali kepada tarekat. Karena bercampur-baurnya seorang pengikut ke dalam lebih dari satu tarekat, maka tarekat-tarekat Sufi sebenarnya saling “memberi dan menerima” ajaran, amalan, atau wiridan tarekat-tarekat yang ada. Maka, misalnya, tarekat Naqshabandiyah, sampai ke Indonesia sesudah “bergabung” dengan tarekat lain sehingga menjadi, misalnya, Tarekat Qadiriyah wan Naqsyabandiyah, yang dianut oleh banyak kalangan NU.
 
Adapun tokoh-tokoh Sufi, atau guru-guru Sufi, dipercayai oleh banyak kaum Muslim —terutama yang awam dengan agamanya, padahal inilah kebanyakan umat Islam— sebagai para wali Allah yang diyakini memiliki berbagai karamah (keajaiban). Asal-usul kepercayaan ini tidak sulit dicari. Guru-guru Sufi adalah orang-orang yang diyakini telah mencapai sebuah kualitas kesadaran batin yang sangat dekat (malah bahkan menyatu) dengan Allah, sebagaimana dijelaskan dalam konsep Manunggaling Kawula lan Gusti (wahdatul wujud) di atas. Ini menjadikan guru-guru Sufi itu orang yang dimuliakan sebagai “penengah antara alam duniawi dan “alam Ketuhanan”. Para wali, bagi kalangan pengikutnya, diyakini bukan hanya sebagai guru spiritual, tetapi juga pemegang mukjizat (atau karamah), dan pemberi berkah, dan dapat memainkan peran peminta syafa’at (perantara; pertolongan) yang mesti dikabulkan oleh Allah. 

Sebagai akibatnya, muncul pemujaan terhadap pribadi para wali, dan "penerus" barakah (kekuatan memberkahi)-nya yang terdapat pada makam mereka, atau pada murid-murid dan keturunan mereka. Selanjutnya, keyakinan ini melahirkan praktik berupa peribadatan, pengorbanan dan perayaan yang bersifat komunal di sekitar makam para wali. Di Jawa kita kenal adanya praktik ziarah ke makam para wali (terutama wali sanga) yang tidak hanya ditujukan untuk sekadar ziarah, melainkan juga memohon berkah dan syafa’at mereka. Selanjutnya, Sufisme ini kemudian berkembang menjadi agama pencapaian magis atau kekuatan-kekuatan ketuhanan. Orang-orang ini percaya bahwa Kemahakuasaan Tuhan dapat dipindahkan ke dunia ini melalui wali-wali Allah itu dan benda-benda fisik yang dengannya para wali dapat dihubungi. 

Pada titik ini, dapat dikatakan bahwa di jantung puncak peradaban Islam, agama Islam telah dipahami dengan berbagai cara. Berbeda dengan Dinasti Umayyah yang mengonsentrasikan pusat kekuasaannya di Damaskus, Syiria, tanah Arab yang kuat dipengaruhi kebudayaan Bizantium, berbasis pandangan hidup dan kultur Graeco-Romano (Yunani-Romawi); Dinasti Abbasiyyah, sebuah daulat kekhalifahan yang berhasil membawa umat Islam ke puncak peradabannya, telah memilih kawasan Persia, dengan beribukota di Baghdad sebagai pusat kekuasaannya.
 
Sebagaimana diketahui, kawasan tersebut dalam lokasi ibukota kekaisaran Sasanian yang berbasis kebudayaan Persia, di mana spiritualisme semacam Zoroastrianisme dan terutama Manikeanisme tumbuh dan berkembang dengan suburnya. Masyarakat telah menjadikan kebudayaan dan pandangan hidup itu sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari mereka. Pandangan hidup Islam yang dibawa oleh orang-orang Arab meskipun mampu menembus dan membatasi kebudayaan itu, kelihatannya tidak berhasil untuk menghilangkan sisa-sisa spiritualisme itu hingga ke titik penghabisannya. Maka, dua kebudayaan dengan basis pandangan hidup yang berbeda itu (pandangan hidup Islam dan pandangan hidup Persia berbasis spiritualisme) hidup berdampingan bersama-sama. Yang terakhir itulah yang menjadi alasan sosiologis bagi keberhasilan cara hidup Sufisme yang telah diuraikan di atas.
 
Islam yang telah ditempatkan di atas dua pondasi yang berbeda itulah yang kemudian tersebar ke India, sebelah timur Persia. Dan, seperti telah diketahui, spiritualisme di India sudah amat matang dan dewasa berabad-abad sebelum kelahiran Islam. Maka, Islam yang berbasis spiritualisme dan Sufisme semakin menemukan lahannya yang amat subur bagi perkembangannya. Berbagai aliran spiritualisme yang dapat dilacak hingga ke dua gugusan besar spiritualisme,  yakni Hinduisme yang panteistik, dan Buddhisme yang menekankan pada etika-personal (namun Buddhisme-Mahayana juga berbasis panteistik) semakin memperkuat pandangan hidup Sufisme itu.
 
Dari lokasi-lokasi Arab, Persia dan India inilah, melalui perantaraan para pedagang dan Sufi pengembara, Islam disebarkan ke gugusan pulau-pulau yang sekarang disebut Indonesia, termasuk di dalamnya Pulau Jawa. Dengan demikian, Islam yang sudah beraneka ragam dengan berbagai macam perbedaan, paham, dan aliran inilah yang disebarkan ke Jawa oleh kaum pedagang Muslim dan kalangan Sufi yang merupakan pelaku-pelaku utama dalam penyebaran agama Islam.

 
GARIS BESAR PERKEMBANGAN UMUM ISLAM DI JAWA

Jawa, semenjak awal abad Masehi adalah salah satu lokasi persimpangan dagang yang terentang mulai dari Cina ke arah selatan, Vietnam lalu ke Kamboja dewasa ini. Dari Kamboja, melalui Laut Cina Selatan, para pedagang akan menyusuri pantai Timur Sumatera lalu lebih ke selatan lagi menuju Jawa. Lokasi Jawa cukup penting mengingat ia adalah produsen beras yang merupakan makanan pokok banyak bangsa di Asia. Bukti sejarah menunjukkan bahwa sejak abad ke-5 Masehi sudah terdapat kerajaan di Jawa. Patut dicatat bahwa ini adalah sebuah kerajaan Hindu, yakni Tarumanegara yang salah seorang rajanya diketahui bernama Purnawarman. Makna penting dari bukti historis ini adalah bahwa Hinduisme sudah mapan di Jawa pada tahun-tahun itu. Karena, bagaimana mungkin dikatakan tidak mapan bilamana sudah terdapat kerajaan? Bukti-bukti sejarah selanjutnya menunjukkan bahwa agama-agama India cukup mapan di Jawa. Terdapat keluarga Sailendra yang beragama Buddha-Mahayana, terdapat keluarga Sanjaya yang beragama Hinduisme. Dengan demikian, sudah semenjak awal itu pula —diperkirakan sebagai akibat dari kontak-kontak dagang antara Cina-India-Persia hingga ke Laut Merah— Indianisasi berjalan dengan mantap di Jawa.

Sebelum kedatangan agama-agama India, konsep keagamaan orang Jawa —yang oleh antropolog Koentjaraningrat disebut sebagai Agami Jawi— relatif sudah mapan pula. Agami Jawi adalah religiusitas yang berbasis animis-dinamisme, kepercayaan akan roh-roh dan benda-benda keramat yang mempengaruhi kehidupan manusia. Ternyata pemujaan kepada roh-roh dan benda-benda keramat ini tidak sama sekali dikikis oleh Hinduisme dan Buddha, sebaliknya, kedua agama itu justru mengakomodasinya, karena memang terdapat sejumlah kesesuaian. Orang Hindu dan Buddha-Mahayana yang keduanya adalah panteistik, meyakini adanya orang-orang suci, yang karena ketinggian tingkat spiritualitasnya dinyatakan memiliki hubungan yang erat dengan roh-roh, tak pelak lagi Roh Tertinggi itu adalah yang disebut Tuhan (ini adalah istilah yang berasal dari bahasa Sanskerta). Oleh karena kedekatannya dengan roh-roh itu pula maka orang-orang yang dinyatakan suci dianggap mampu memindahkan roh-roh ke dalam benda-benda tertentu sesuai dengan yang dikehendaki oleh orang suci itu. Dengan demikian, Hinduisme-Buddha Mahayana-animis-dinamisme hidup berdampingan dan sama-sama berkembang di Jawa. Maka, di samping orang-orang Jawa meyakini adanya Dewa-dewa Siwa, Wishnu, Buddha Tertinggi (Thatagata, Bhairawa), mereka juga yakin bahwa gunung-gunung berapi di Jawa seperti Merapi dan Semeru dihuni oleh roh-roh penjaga gunung-gunung berapi itu. Mereka yakin bahwa dulunya Jawa dihuni oleh roh-roh jahat dan raksasa-raksasa yang menguasai Jawa, yang semuanya dapat ditundukkan oleh Ajisaka yang dibantu oleh Dewa Siwa. Roh-roh itu akhirnya dapat diusir oleh Ajisaka ke arah selatan yakni Samudera India, yang oleh orang orang Jawa lebih dikenal sebagai Laut Kidul.
 
Uraian ringkas di atas menggambarkan bagaimana Jawa dengan konsep keagamaannya —percampuran atau sinkretisme yang  rumit namun saling mengharmonisasi satu sama lain— yang sudah mapan jauh sebelum kedatangan Islam. Jadi, Islam bukan datang ke Jawa yang tidak beragama, namun Jawa yang sudah mapan konsep keagamaannya.
 
Akibat adanya jaringan dagang pula, sebagaimana sudah disinggung di atas, Islam akhirnya sampai ke Jawa. Teori-teori tentang kedatangan Islam ke Indonesia (Jawa khususnya) cukup beragam. Namun, akhir-akhir ini sudah hampir merupakan kesepakatan umum sejarawan bahwa Islam yang datang ke Jawa berasal dari berbagai lokasi umat Islam di dunia. Semuanya dapat dibenarkan: Islam disebarkan oleh orang Arab, Islam disebarkan oleh orang Persia, Islam disebarkan oleh orang India, dan juga Islam di Jawa disebarkan oleh orang Cina. Untuk yang terakhir ini, dapat dipastikan bahwa Sunan Ampel bukanlah orang pribumi asli Jawa, melainkan warga Kerajaan Campa yang berlatar belakang Cina. Ibu dari Sunan Kalijaga juga adalah seorang Campa. Bahkan juga hampir dapat dipastikan bahwa bapak-ibu Sunan Giri bukanlah pribumi asli Jawa.

Baik Arab, Persia, India, maupun Cina sudah sejak lama menjalin hubungan dagang dengan Jawa. Sementara tempat-tempat itu cukup banyak penduduknya telah menerima Islam jauh sebelum Islam datang ke Jawa. Dengan demikian, adalah masuk akal untuk menduga bahwa di antara pedagang-pedagang itu terdapat kaum Muslim. Laksamana besar dari Kekaisaran Cina yang pernah berkunjung ke Jawa di jaman Majapahit adalah Cheng-Ho yang seorang Muslim. Sekretarisnya, yang bernama Ma-Huan, yang juga seorang Muslim.

Namun, di antara para penyebar agama Islam yang paling gigih pada periode awal itu adalah para Sufi-pengembara. Kaum Sufi ini bukan hanya gemar melakukan pengembaraan dalam rangka memperkaya pengalaman penghayatan spiritualnya, namun juga dalam rangka pencarian tempat-tempat baru untuk perlindungan dalam kaitannya dengan kehancuran Baghdad pada tahun 1258 oleh orang-orang Mongol. Tentara-tentara Mongol yang tidak berbudaya ini seringkali menghancurkan pemukiman-pemukiman, membinasakan penduduknya, dan meluluh-lantakkan warisan kekayaan budaya dan intelektual yang dihasilkan oleh kaum Muslimin pada masa sebelumnya.

Para Sufi-pengembara ini, oleh orang-orang Jawa yang berbasis Agami Jawi dan Hindu-Buddha Mahayana ini dipandang sebagai orang-orang suci. Mereka juga dipuja sebagaimana orang Jawa memuja orang-orang sucinya. Ini menjelaskan mengapa para penyebar utama Islam di Jawa dipanggil dengan gelar Sunan. Sunan adalah penyebutan singkat untuk istilah Susuhunan, yang artinya disembah, dipuja atau di-suhun. Itu pula sebabnya raja-raja Mataram di Jawa banyak yang mengambil gelar Susuhunan, sebab mereka adalah raja-raja yang disembah dan dipuja.
 
Dengan demikian, pada titik ini dapat dicatat bahwa latar belakang keislaman para penyebar Islam ke Jawa berasal dari dua gugusan budaya: gugusan budaya Islam kaum pedagang yang dalam keislamannya menuntut pada ketaatan terhadap Syari‘ah sejauh mungkin; dan gugusan budaya Sufi yang tidak terlalu menekankan pada tuntutan pelaksanaan Syari‘ah asalkan orang bersedia mengucapkan dua kalimat syahadah.
 
Islam jenis yang pertama ini lebih banyak berkembang di kota-kota maritim atau pelabuhan yang terletak di pesisir utara Jawa, sedang jenis yang kedua lebih banyak berkembang di pedalaman Jawa. Hal yang terakhir ini dapat terjadi karena pedalaman Jawa masih sangat kuat dipengaruhi oleh budaya sinkretisme Agami Jawi yang telah mengalami percampuran dengan Hindu-Buddha; bahwa lingkungan keraton atau istana adalah penjaga kelestarian jenis keagamaan itu. Sedangkan kawasan pesisir, karena letaknya yang selalu menjalin kontak-kontak dengan dunia luar, jauh lebih kosmopolit, sehingga relatif lebih terbuka dengan berbagai macam budaya. Islam yang datang kemudian, karena itu hanya merupakan salah seorang “pemain” di antara pemain-pemain lama. Sedangkan di pedalaman keadaannya relatif lebih stabil, konstan, dan malahan stagnan.

Lingkungan istana atau keraton dan masyarakat pedalaman pada akhirnya tertarik dengan Islam, karena jenis Islam yang dibawakan oleh kaum Sufi-pengembara mampu memberikan daya tarik tersendiri. Mereka adalah orang-orang yang dipandang suci dan keramat, sehingga mereka dipercayai mampu melakukan keajaiban-keajaiban tertentu. Dan keajaiban yang dilakukan orang yang dianggap keramat atau suci merupakan konsep yang sama sekali sesuai dengan konsep keagamaan yang sebelumnya sudah mapan di kalangan penduduk Jawa pedalaman. Dengan demikian, tarikan untuk memeluk Islam berasal dari kekeramatan, keajaiaban, daya magis yang diyakini dimiliki oleh orang-orang ini.

Inilah sebabnya, jenis Islam yang dibawakan oleh kaum Sufi-pengembara ini tidak sama sekali mengikis habis konsep keagamaan yang sebelumnya sudah mapan di Jawa. Malahan yang terjadi sekarang, konsep Islam para Sufi-pengembara ini diserap dan diakomodasi dalam konsep keagamaan Jawa. Maka, kalau sekarang kita menyaksikan pemujaan kepada para wali, yang ditunjukkan dengan ziarah ke makam-makam mereka, bukan hanya untuk sekadar melakukan kunjungan, tetapi lebih untuk “ngalap berkat”, mengharapkan barokah atau syafa’at mereka.

Kenyataan yang juga menarik adalah bahwa makam orang-orang yang dianggap orang suci di Jawa terletak di dataran tinggi: Sunan Giri (Giri artinya “bukit”), Sunan Gunung Jati, dan Sunan Muria yang terletak di gunung Muria di utara Semarang. Sebagaimana diketahui, salah satu aspek Agami Jawi adalah adanya ritus-ritus peribadatan di tempat-tempat yang tinggi: itulah budaya “punden berundak” atau perundagian. Semakin tinggi suatu lokasi suci, semakin menunjukkan kekeramatan lokasi itu.

Ketika pusat kerajaan Jawa semakin bergeser ke arah pedalaman, yakni Kerajaan Mataram, maka jenis Islam pedalaman ini coba disebarluaskan ke arah pesisir yang memiliki jenis Islam berbeda. Tentu saja, ini berkaitan dengan upaya-upaya Mataram, terutama di bawah Sultan Agung, untuk meminta ketundukan yang mutlak pada kekuasaannya. Dan ketundukan mutlak itu hanya dapat dimungkinkan apabila seluruh masyarakat Jawa memiliki konsep Islam sebagaimana yang dianutnya. Karena dalam jenis Islam yang dianutnya itu, ketaatan kepada Islam itu secara sempurna diwujudkan melalui ketundukan kepada dirinya, karena ia adalah wakil Allah di dunia, sekaligus pelindung agama-Nya.

Jenis Islam yang diperkenalkan oleh Sultan Agung, tentu saja, ditolak oleh kalangan Islam pesisir yang lebih tunduk pada tuntutan Syari‘ah: seorang raja adalah seorang manusia yang bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyatnya, tidak kurang dan tidak lebih. Oleh karena itu, segala macam aura magis, kesucian, dan pemujaan terhadapnya yang menyerupai pemujaan kepada Allah merupakan suatu kesyirikan yang harus ditolak. Sayangnya, mereka tidak mampu menahan kekuatan militer Mataram. Kawasan Islam pesisir diporak-porandakan, tak ada satu pun yang tidak tunduk kepada Sultan Agung. Keturunan Sunan Giri, yang masih dihormati oleh para pengikutnya pun, diperintahkan untuk menyembah Sultan Agung dengan cara mencium kakinya! Seterusnya, Islam model pedalaman ini terus-menerus diekspor ke kawasan pesisir dijadikan ideologi resmi negara. Pada akhirnya, jenis Islam inilah yang merupakan anutan mayoritas penduduk Jawa.

Ketika Mataram semakin lama semakin melemah, ketundukan kepada sang raja dipindahkan dengan begitu mudahnya ke orang-orang yang dianggap suci atau tinggi tingkat pemahaman keagamaan dan spiritualitas-nya. Logikanya mudah saja: raja dipuja sedemikian rupa, karena ia adalah seorang wakil Allah di muka bumi, dan karena itu, ia adalah seorang yang suci. Orang-orang yang dianggap tinggi tingkat pemahaman keagamaan dan spiritualitasnya pun dianggap sebagai orang yang suci pula. Maka, person atau orangnya bisa berganti, tetapi orang-orang yang suci akan senantiasa ada. Gagasan ini merupakan konsep keagamaan yang sudah lama ada, baik yang disediakan oleh Agami Jawi maupun oleh ajaran Sufi. Inilah jenis Islam yang dianut oleh mayoritas orang Jawa.

Tentu saja, jenis Islam yang lebih menuntut kepada pelaksanaan Syari‘ah tidak lenyap sama sekali, meskipun jumlah mereka sedemikian kecilnya. Orang-orang ini pun tetap mempertahankan dan mewariskan konsep keislamannya kepada generasi-generasi di bawahnya, dan sebagian besar dari mereka itulah yang merupakan leluhur dari orang-orang yang pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 menunaikan ibadah haji ke Makkah.

Makkah, pada tahun-tahun itu adalah sebuah kota Islam yang cukup dinamis. Gerakan Wahhabi yang menekankan pelaksanaan Islam sesuai dengan harfiah al-Quran dan Sunnah, mulai kuat menanamkan pengaruhnya. Sementara itu, orang seperti Jamaluddin al-Afghani sudah memulai pula penyebaran pikiran-pikiran pembaharuan keislaman. Para haji itu kemudian pulang ke Jawa dengan membawa ide-ide pembaharuan dan mulai menyebarkannya, demikian berlangsung hingga beberapa generasi.

Karena gagasan-gagasan modern pula, mereka menyadari bahwa gerakan pembaharuan Islam tidak akan dapat bertahan lama manakala ia tidak diorganisasikan. Maka muncullah sejumlah organisasi pembaharuan Islam. Untuk konteks Jawa, dua yang terkenal di antaranya adalah Muhammadiyah (berdiri 1912) dan Persatuan Islam (Persis, berdiri 1923). Dalam pandangan para pembaharu, Islam yang dianut mayoritas masyarakat Jawa adalah Islam yang menderita TBC (dalam ejaan lama: tachayul, bid’ah, dan churafat), pemujaan kepada kyai, benda-benda (yang memuat tulisan Arab) yang dianggap keramat, amalan-amalan wirid yang banyak menghabiskan waktu, dinyatakan benar-benar sebagai penyakit tuberkolusis (TBC) yang sama berbahayanya dengan jenis “TBC” masyarakat.
 
Para penganut Islam tradisional bagai tersengat lebah ketika mendapat badai serangan ini. Mereka pun menghimpun diri ke dalam organisasi untuk mempertahankan dirinya. Yang terkenal di Jawa adalah Nahdlatul Ulama (“Kebangkitan Ulama”, berdiri 1926).
 
Maka, sejarah Islam di Jawa pada awal abad ke-20 dapat dinyatakan sebagai pertarungan antara Islam modern dengan Islam tradisional. Sesungguhnya, serangan kaum modern lebih luas lagi. Sebab, mereka tidak hanya menyerang orang-orang tradisionalis, tetapi juga kaum abangan, yang memeluk Islam secara nominal, yakni sebatas pengakuan lisan. Tetapi, memang terdapat hubungan kultural yang amat erat antara kalangan abangan dengan tradisional ini. Seluruhnya berpusat pada jenis Islam-Sufi.
 
Sebagaimana dikemukakan di atas, pada hakikatnya, Islam-Sufi dapat menerima berbagai praktik pelaksanaan Islam, karena praktik-praktik itu tidak lebih “hanyalah” sebuah jalan, jalan untuk menuju kepada Allah. Bahkan kaum Sufi yang diyakini memiliki kedekatan hubungan dengan Allah tidak tertuntut untuk melaksanakan ibadah-ibadah ritual sebagaimana digariskan Syari‘ah (semacam shalat, puasa atau haji). Ibadah-ibadah jenis itu adalah “kulit luar” agama Islam. Dalam praktiknya, mereka pun tidak melaksanakan shalat, misalnya. Kalau sudah demikian, apa yang membedakan antara mereka dengan kaum abangan atau Muslim-nominal?
 
Tentu saja, sebagian besar kalangan tradisional masih melaksanakan ibadah-ibadah ritual Islam yang semacam itu. Namun, itu dipandang sebagai kewajiban keagamaan dalam tahapan pertama, yakni orang-orang yang masih menganggap dirinya awam; tahapan yang masih harus mereka lalui adalah kehidupan tarekat dan pencarian hakikat untuk kemudian mendapatkan ma’rifat. Nah, inilah Muslim yang sejati, seorang insan kamil (manusia sempurna). Jadi, walau melaksanakan Syari‘ah adalah penting, tetapi itu adalah pelaksanaan Islam yang paling awal. Pada titik ini, bertemulah pendasaran intelektual bersama antara kaum tradisional dan abangan: panteisme yang bermuara pada manunggaling kawula lan gusti.
 
Jadi, serangan pokok kaum pembaharu baik terhadap kalangan tradisionalis maupun abangan dengan menyatakan keduanya sebagai bentuk-bentuk Islam yang tidak sesuai dengan petunjuk al-Quran dan Sunnah Nabi, secara prinsipnya dapat dibenarkan.
 
Sementara itu, akibat kehadiran orang Eropa ke Jawa, muncul keretakan hubungan —yang memang hanya dipersatukan oleh pandangan metafisis di atas— antara abangan dan kaum tradisional. Selamanya, orang Eropa yang Kristen selalu memiliki kebencian dan kecurigaan yang mendalam terhadap umat Islam. Sedangkan, kalangan abangan pun yang masih kuat konsep keagamaan Agami Jawi-nya, juga memiliki kebencian yang cukup mengakar: kedatangan Islam telah menghancurkan kemurnian konsep spiritualitas mereka. Pada titik ini, bertemu kepentingan antara orang Eropa dan abangan. Orang-orang Islam, terutama yang masih melaksanakan Syari‘ah (jadi termasuk di dalamnya kaum tradisionalis) tidak pernah mereka percayai sebagai orang-orang yang mau tunduk kepada kekuasaan mereka di Jawa. Maka, ketika mereka melancarkan Politik Etis pun, yang antara lain adalah penyebarluasan pendidikan di kalangan pribumi, mereka mengutamakan golongan abangan ini. Mereka percaya bahwa kaum abangan ini, apabila dididik dan dibina dalam tradisi pendidikan Barat secara benar, akan menjadi orang-orang yang tidak hanya bersedia tunduk pada kekuasaan Eropa tetapi juga dapat dimintai kerjasamanya untuk kepentingan Eropa (dalam hal ini adalah kolonialisme Belanda).
 
Dengan pendidikan inilah, kaum abangan kemudian berkenalan dengan ideologi-ideologi baru yang muncul dari Eropa: kapitalisme, sosialisme, komunisme, nasionalisme dan —yang terkait erat dengan kapitalisme— sekularisme. Terutama yang terakhir ini menjadi peluru utama untuk menyerang kaum pembaharu, dan kemudian tradisionalis: kehidupan agama harus dipisahkan dari urusan-urusan politik. Agama adalah urusan pribadi, privat, dan karena itu, tidak boleh memasuki wilayah kehidupan publik, termasuk kehidupan politik. Sebagai ganti dari Islam yang sedemikian jauh telah mempengaruhi warna politik di Jawa sebelum kedatangan Belanda, kaum sekularis ini menawarkan hal baru: nasionalisme.
 
Pada pihak yang lain, kaum pembaharu Islam di Jawa, segera dapat melihat manfaat pendidikan model Barat itu. Bedanya adalah: kuatnya latar belakang keislaman, membuat mereka sama sekali tidak tertarik dan silau akan sekularisme. Konsekuensinya, mereka pun menyelenggarakan pula pengajaran-pengajaran dalam kurikulum Barat modern, namun dengan menghilangkan muatan sekularisme atau pandangan hidup Barat lainnya. Lama-kelamaan, meski dengan agak terlambat, kaum tradisional pun melihat adanya manfaat dalam kurikulum pendidikan Barat itu. Sama halnya, latar belakang tradisionalisme mereka yang kuat, membuat mata-mata ajaran dari Barat itu pun hanya sekadar “tempelan” saja, di mana kehidupan mereka masih amat kuat dipengaruhi tradisionalisme Islam mereka.
 
Maka, memasuki dekade ketiga abad ke-20, yakni sekitar tahun 1930-an, umat Islam di Jawa dapat dibedakan dalam tiga bentuk tampilan luar (wujud): kaum pembaharu, kalangan tradisionalis, dan abangan yang nasionalistik-sekularis.
 
Kiranya, sketsa pada paragraf terakhir di atas dapat dijadikan paradigma bagi kecenderungan umat Islam di Jawa dewasa ini: Orang-orang yang mengaku beragama Islam, pada dasarnya, konsep keislamannya tidaklah tunggal, melainkan beragam. Dalam konteks Jawa, keragaman itu, paling tidak, dapat dikembalikan pada tiga “jenis Islam”:
  • kaum pembaharu (yang Syari‘ah-minded, berkecenderungan menuntut dan melaksanakan Islam dalam segenap aspek kehidupan sebagaimana digariskan oleh Syari‘ah);
  • kaum tradisionalis, yang walaupun melaksanakan Syari‘ah, namun menganggapnya sebagai bentuk pelaksanaan Islam lahiriah dan karena itu belum sempurna; serta
  • kaum Muslim nominal, yang hanya mengaku beragama Islam saja, tetapi tidak menaati dan melaksanakan Syari‘ah dalam kehidupan mereka, sebagai gantinya mereka menawarkan pandangan hidup nasionalisme-sekularistik.
Terakhir, kembali hendak ditegaskan di sini, masing-masing “jenis Islam” di atas pun tidaklah tunggal, namun juga beragam. Keragaman mana harus dijelaskan secara terpisah dalam tulisan tersendiri.

 
CATATAN PENUTUP
  1. Kiranya, itulah sketsa asal-usul keragaman Islam di Jawa yang bekas-bekasnya masih kuat terasa hingga sekarang, sejauh menurut bacaan-bacaan saya selama ini.
  2. Mengingat waktu dan efektifitas, saya tidak menyertakan aparat ilmiah dalam bentuk acuan-acuan atas sketsa yang saya buat di atas, namun beberapa bahan penting dicantumkan di bawah dalam bentuk bibliografis.
  3. Pagi-pagi sekali saya harus mengingatkan bahwa bahan-bahan itu beragam baik menyangkut interpretasi maupun kepentingan yang terselip pada tiap-tiap penulisnya, sementara bukti-bukti historis dan data lapangan kontemporer dapat menyesatkan.
  4. Untuk mengatasi hal tersebut, tidak dapat tidak, titik tolak kita harus kuat dan tegar: Islam-Syari‘ah sebagaimana digariskan dalam al-Quran harus menjadi rujukan pokok kita dalam melakukan penilaian-penilaian atas setiap “jenis Islam” yang sudah dipengaruhi oleh berbagai macam pengaruh kultur dan kepentingan. Islam Syari‘ah yang saya maksudkan di sini adalah Islam yang menuntut kepada penganutnya untuk dilaksanakan dalam segenap aspek kehidupannya: baik ibadah-ritual, ekonomi, sosial, maupun politik. Jenis Islam yang tidak semacam itu harus kita nilai sebagai tidak Islami. Dalam kaitan ini, saya setuju pada Clifford Geertz yang menilai abangan sebagai tidak Islami, meskipun abangan dibela habis-habisan oleh Robert W. Hefner dan Mark R. Woodward sebagai Islami. Saya juga sependapat dengan Simuh yang menyatakan Sufi-panteistik sebagai tidak Islami daripada Ira M. Lapidus dan Marshall G.S. Hodgson yang menganggap jenis itu sebagai varian-Islami dari jenis spiritualisme dalam Islam.
  5. Dengan menyebutkan Islam-Syari‘ah sebagai titik tolak, saya tidak memaksudkannya dengan konstruksi Syari‘ah abad pertengahan Islam yang telah dirumuskan oleh para ulama dan sarjana Islam terdahulu. Cukup jelas bagi saya bahwa konstruksi Syari‘ah abad pertengahan Islam memiliki ruang-ruang yang masih perlu disempurnakan, dan cukup jelas pula bahwa perkembangan situasi dan kondisi dunia kontemporer belum cukup terpahami dalam kerangka intelektual abad pertengahan Islam. Dalam pandangan saya, suatu weltanschauung Islam yang digali dari semangat dasar dan universal al-Quran serta teladan otentik Nabi perlu dirumuskan kembali. Pemisahan aspek-aspek temporal dan situasional dari yang universal atas berbagai rumusan warisan masa lalu Islam harus berani kita lakukan. Dengan melihat perangkat kerja intelektual yang berkembang dewasa ini, meskipun dengan tertatih-tatih dan barangkali pula berdarah-darah, saya yakin kita bisa melakukannya. Syaratnya hanya dua: sebuah epistéme baru yang dioperasikan dengan konsisten dan daya tahan dalam menghadapi konflik.
  6. Last but not least, sejauh menyangkut interpretasi-interpretasi dan opini-opini saya dalam tulisan ini, selamanya dapat didiskusikan atau diperdebatkan; meskipun inilah yang dapat saya sajikan sejauh ini. 
Lâ yukallifullâhu nafsan illa wus‘ahâ

 
BIBLIOGRAFI
Abdullah, Taufik, (ed). 1987. Sejarah dan Masyarakat: Lintasan Historis Islam Di Indonesia. Jakarta: Pustaka Firdaus. Ed-2.
Azra, Azyumardi. 1998. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Bandung: Mizan.
Dhofier, Zamakhsyari. 1985. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES.
Enayat, Hamid. 1988. Reaksi Politik Sunni dan Syiah: Pemikiran Politik Islam Modern Menghadapi Abad Ke-20. Bandung: Pustaka.
Graaf, H.J. de, dan Th. Pigeaud. 2001. Kerajaan Islam Pertama Di Jawa: Tinjauan Sejarah Politik Abad XV & XVI. Jakarta: Grafiti.
Graaf, H.J. de. 2002. Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Cet-3.
Haekal, Muhammad Husain dan Jamaluddîn Surûr. 2002. Usman bin Affan: antara Kekhalifahan dengan Kerajaan. Jakarta: Litera AntarNusa.
Haekal, Muhammad Husain. 1995. Abu Bakr As Siddiq: Sebuah Biografi dan Studi Analisis tentang Permulaan Sejarah Islam Sepeninggal Nabi. Jakarta: Litera AntarNusa.
Haekal, Muhammad Husain. 1998. Sejarah Hidup Muhammad. Jakarta: Litera Antar Nusa.
Haekal, Muhammad Husain. 2000. Umar bin Khattab: Sebuah Telaah Mendalam tentang Pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya Masa Itu. Jakarta: Litera AntarNusa.
Hasan, Ahmad. 1984. Pintu Ijtihad Sebelum Pintu Tertutup. Bandung: Pustaka.
Hurgronje, Snouck. 1989. Islam di Hindia Belanda. Jakarta: Bhratara.
Ibn Hisyam, Abu Muhammad Abdul Malik. 2000-2001. Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam. 2 Jilid. Jakarta: Darul Falah.
Ibn Khaldun. 2000. Muqaddimah. Jakarta: Pustaka Firdaus. Cet-2.
Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Lapidus, Ira M. 1999. Sejarah Sosial Ummat Islam. Bagian Kesatu & Dua. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Lombard, Denys. 2000. Nusa Jawa: Silang Budaya. Kajian Sejarah Terpadu. 3 Jilid. Jakarta: Gramedia.
Madjid, Nurcholish. 2000. Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan.  Jakarta: Paramadina. Cet-4.
Muchtarom, Zaini. 1988. Santri dan Abangan Di Jawa. Jakarta: INIS.
Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI-Press.
Noer, Deliar. 1996. Gerakan Modern Islam Di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES. Cet-8.
Rahman, Fazlur. 1983. Membuka Pintu Ijtihad. Bandung: Pustaka.
Rahman, Fazlur. 2000. Islam. Bandung: Pustaka. Cet-4.
Reid, Anthony. 1992-1999. Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680. 2 Jilid. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Ricklefs, M.C. 1994. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Schuon, Frithjof. 1994. Mencari Titik Temu Agama-agama. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Cet-2.
Steenbrink, Karel A. 1988. Mencari Tuhan dengan Kacamata Barat: Kajian Kritis mengenai Agama di Indonesia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press.
al-Syafi‘i, Imam. 1993. Ar-Risalah. Jakarta: Pustaka Firdaus. Cet-2.
Tjandrasasmita, Uka, (ed). 1992. Sejarah Nasional Indonesia. Jilid III: Jaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Ed-4. Jakarta: Balai Pustaka.
Trimingham, J. Spencer. 1999. Mazhab Sufi. Bandung: Pustaka.
al-Zabidi, al-Imam Zainuddin Ahmad bin Abdul-Lathif. 2000. Ringkasan Shahih al-Bukhari. Bandung: Mizan. Cet-4.

1 komentar: