Weko Kuncara
Prolog: Selintas tentang Buku
Sebagai sebuah buku yang mempersoalkan legitimasi kekuasaan Soeharto —dan terbit sebelum kelengserannya— adalah wajar jika buku ini diterbitkan di Perancis (dengan penerbit Edition Montblanc, Lile). Namun alasan sebenarnya adalah karena penulisnya memang sedang berada —menurut penulisnya sendiri dalam pembuangan— di Perancis. Ditulis antara tahun 1975 (hlm.250) sampai Agustus 1998, disertai lampiran pernyataan protes Kolonel A. Latief (salah seorang eksponen Gerakan 30 September [G30S]) dan surat pribadi Soekarno kepada Fidel Castro, buku ini dicetak setebal 308 halaman.
Seperti disebutkan dalam anak judulnya, buku ini merupakan memoar penulisnya sendiri. Sebagai memoar, sandaran utama penulisannya adalah perjalanan sejarah yang dilaluinya sendiri, terutama mengandalkan daya ingatnya. Tentu saja memoar merupakan referensi sejarah yang penting, tetapi juga sekaligus lemah, karena analisisnya yang one-sided view. Oleh karenanya sebuah buku memoar haruslah di-cross check-kan dengan sumber sejarah yang lain. Memoar saja tidak akan mampu merekonstruksikan suatu peristiwa bersejarah —apalagi peristiwa kudeta G30S— yang kompleks. Keuntungan utama tetap dapat diraih. Misalnya, buku ini menggambarkan detil-detil suasana istana, ibukota, pergaulan Soekarno dengan bawahan-bawahannya, yang tentu saja sulit didapatkan dari buku dalam bentuk akademis.
Mengingat penulisnya, AM Hanafi, adalah termasuk politikus yang terjungkal menyusul tergulingnya Soekarno, merupakan hal yang wajar jika dia menganggap Soeharto adalah lawan politiknya. Dengan ini kita bisa memahami penyebab sesaknya buku ini dengan caci-makian, penghujatan, serta penuturan dengan bahasa emosional menyangkut setiap hal yang berhubungan dengan Soeharto. Secara keseluruhan hal tersebut menurunkan kualitas buku ini menjadi semacam olok-olokan anak kecil kepada lawan bermain yang berhasil mengalahkannya. Kelemahan ini masih ditambahkan dengan kenyataan bahwa sejak halaman awal hingga terakhir, buku ini senantiasa menonjolkan ketokohan Soekarno dan dirinya sendiri, serta keculasan dan keburukan politik yang dikembangkan oleh Soeharto sejak sebelum yang terakhir ini berkuasa.
Adanya suatu kerangka kesimpulan yang telah dipersiapkan sebelumnya oleh penulis, menyebabkan pula buku ini secara umum tidak didasarkan pada argumentasi yang kuat, serta penyimpulan setiap fakta dengan cara yang sangat gegabah. Contohnya dapat kita lihat pada halaman 188. Setelah mengutip buku berjudul Jejak Langkah Pak Harto, yang menyebutkan bahwa seluruh panglima ABRI menolak membentuk Barisan Soekarno dalam arti fisik, namun setuju dalam arti mental-ideologis saja, Hanafi, menyimpulkan bahwa para panglima itu
“hanya dimanipulasi, disalahgunakan oleh Letjen Soeharto, dipaksa menuruti pikirannya Soeharto yang sejak dari pecah pemberontakan GESTAPU yang mengkili-kili mereka itu untuk turut konfrontasi dibawah pimpinannya melawan Presiden Sukarno di dalam skenario perebutan kekuasaan.”Kesimpulan semacam ini tidak mungkin terjadi, jika tidak karena telah ada suatu kerangka kesimpulan sebelumnya bahwa Soeharto-lah dalang G30S yang sebenarnya. Tanpa argumentasi apapun Hanafi telah menyimpulkan bahwa karena para panglima menolak untuk membentuk Barisan Soekarno, maka pasti para panglima telah dipaksa oleh Soeharto. Di halaman lain, misalnya lagi, disebutkan bahwa oleh karena telah menjadi fakta bahwa Soeharto sesungguhnya mengenal Untung, Latief, Syam Kamaruzaman dan Soepardjo (keempat yang terakhir adalah gembong G30S), maka cukup bukti untuk menunjuk bahwa kelimanya telah bersekongkol di bawah pimpinan Soeharto untuk merencanakan kudeta. Sesungguhnya cara penyimpulan semacam ini tersebar di hampir setiap halaman buku. Sekali lagi, kami tegaskan, hal ini mudah dipahami karena sifat buku ini yang memoar dan one-sided view.
Agaknya kerangka kesimpulan kedua yang telah diambil oleh Hanafi adalah bahwa PKI (sebagai lembaga, jadi dibedakan dengan oknum-oknum perorangan seperti Aidit, Sudisman dan Nyoto, untuk sekadar menyebut beberapa nama pimpinan teras PKI) dan Soekarno tidak tahu apa-apa sepanjang menyangkut peristiwa G30S itu dan dalam posisi yang defensif. Sementara Soeharto adalah seorang jenderal yang sangat berambisi menduduki puncak kekuasaan dengan cara yang ofensif dan brutal. Menunjuk pada brutalitas ini Hanafi menyebutkan bahwa Soeharto harus bertanggung jawab atas pembunuhan sekitar 1 juta orang yang dibunuh atas perintahnya atau sekurang-kurangnya atas sepengetahuannya.
Itulah hasil tinjauan penulis mengenai buku ini. Selanjutnya tulisan ini memaparkan dan membahas pendapat Hanafi menyangkut dua presiden pertama Indonesia, rekonstruksi jalannya kudeta Soeharto menurut Hanafi, serta penilaian penulis terhadap rekonstruksi tersebut.
Yang Sempurna dan Yang Culas
Yang dimaksud yang sempurna di sini adalah Soekarno dan yang culas adalah Soeharto. Demikianlah kesan yang didapatkan setiap orang manakala menekuni halaman-halaman buku ini. Di setiap tempat Soekarno selalu dipuji setinggi langit sebagai penggali dan penemu Pancasila, kepribadian asli bangsa Indonesia. Dikatakannya, seandainya Karl Marx lahir di Indonesia, maka pastilah dia mengikuti Pancasila Soekarno dan tidak melahirkan gagasan Marxismenya. Tidak hanya itu, Soekarno pulalah yang dengan berani dan konsekuen mengembalikan UUD 1945 sebagai konstitusi Indonesia, setelah sebelumnya menganut konstitusi sementara yang liberal, dan dengan demikian tidak sesuai dengan watak kepribadian bangsa. Dalam kekuasaannya tidak ada penyalahgunaan wewenang, bahkan saat meninggal pun tidak mewariskan sesuatu yang berharga bagi keluarganya. Menurutnya,
Segala predikat revolusioner di zaman modern tepat dilekatkan kepada dirinya: Pemimpin Besar, de Massa Leider, sang Libertador, seperti Simon Bolivar, Pejuang Kemerdekaan Amerika Latin yang sampai sekarang patung-patungnya tegak megah di setiap negeri Amerika Latin. Sebagai putra Indonesia, saya menjunjung predikat Bapak nasion Indonesia setinggi-tingginya. Dulu kita tidak kenal bangsa, kecuali bangsa Belanda, bahasa Inggris dan lain-lain. Dulu kita cuma tahu orang Jawa yang suka makan tempe, orang seberang yang suka makan terasi dan tempuyak, orang Bali yang suka makan babi guling, sekarang kita punya bangsa dan negara sendiri. Hebat! (hlm.4)Soekarno pula, lewat gagasan Nasakom, yang telah berhasil menyatukan bangsa dan seluruh kekuatan revolusioner, guna menuntaskan revolusi (diawali dari revolusi Agustus 1945) yang belum usai. Satu-satunya kekeliruan Soekarno adalah koppig (bhs. Belanda, keras kepala) karena tidak mau membubarkan PKI, sebagaimana yang telah diusulkan Hanafi sendiri.
Penggambaran di atas jelas kontras dengan yang diberikannya terhadap Soeharto. Yang terakhir ini adalah orang yang serakah kekayaan dan ambisius kekuasaan demi kekuasaan serta malu mengakui perbuatannya yang telah mengkudeta presidennya sendiri (hlm.4). Sesungguhnya, akan terlalu banyak kecaman dan makian yang diberikan oleh Hanafi kepada Soeharto untuk dituliskan di sini. Cukuplah untuk dikatakan bahwa sejak membuka halaman depan buku ini, nampak jelas bahwa penulisnya tengah melampiaskan rasa emosional dan kebenciannya dengan nada yang provokatif.
Sesungguhnya pula akan terlalu banyak menyita tempat untuk menunjukkan bahwa secara karakter kepemimpinan baik Soekarno maupun Soeharto adalah sama saja. Dalam hal MPR, misalnya, anggota-anggotanya merupakan orang-orang yang ditunjuk oleh Presiden. Setiap orang yang menentang presiden, cepat atau lambat, pasti akan menerima balasannya. Keduanya bertanggung jawab atas ditelantarkannya pembangunan ekonomi yang berbasiskan kerakyatan. Untuk Soekarno, pembangunan ekonomi malah sama sekali diabaikan. Masa pemerintahannya habis untuk apa yang disebutnya politik mercu suar. Memetakan dunia secara kaku dan rigid pada dua kutub, Oldefo (Old Established Forces, yang bercirikan imperialis dan kolonialis, untuk menunjuk pada negara-negara maju semacam Amerika Serikat dan Inggris) dan Nefo (New Emerging Forces, yang bercirikan revolusioner dan anti kemapanan terhadap sistem yang dibangun oleh Barat, untuk menunjuk pada negara-negara di Asia-Afrika, terutama yang berhaluan Marxisme atau Komunisme). Bahwa Demokrasi Terpimpin yang dikembangkannya adalah demokrasi yang mengikuti kehendak pemimpin. Dan pemimpin yang dimaksud itu adalah dirinya sendiri, sang Pemimpin Besar Revolusi. Menarik untuk dicatat bahwa akronim ABS (asal bapak senang) adalah berasal dari periode ini, dan bapak di situ mengacu pada diri Soekarno.
Sebaliknya, Soeharto, walaupun relatif berhasil (untuk segi-segi tertentu) dalam pembangunan ekonomi, namun tetap tidak mewujudkan suasana kehidupan politik yang demokratis. Dalam hal terakhir ini baik Soekarno maupun Soeharto sama-sama memiliki “dosa”. Persamaan “dosa politik” inilah yang, anehnya, sulit ditangkap oleh Hanafi. Bahwa Soekarno tidak pernah ada salahnya. Hal ini tampaknya tidak hanya dapat dijelaskan dari kenyataan bahwa Hanafi adalah pejabat tinggi di masa Soekarno, namun juga memiliki hubungan yang erat dengan Soekarno. Nama depannya, Anak Marhaen biasa disingkat AM, katanya sendiri, diberikan oleh Soekarno. Kakaknya, Asmara Hadi (pemimpin Partindo) adalah suami anak angkat Soekarno, yakni Ratna Djuami. Bahkan diakuinya sendiri, Soekarno adalah tutor politiknya yang pertama dan utama, yang pertama kali dikenalnya di Bengkulu, tempat Soekarno dibuang terakhir kalinya sebelum kedatangan bala tentara Jepang.
Rekonstruksi Kudeta Soeharto
Menurut Hanafi para eksponen utama Gerakan September Tiga Puluh (Gestapu) atau yang dengan tepat diistilah Soekarno Gerakan Satu Oktober (Gestok), seperti Kolonel Untung, Kolonel A Latief, dan Syam Kamaruzaman adalah orang-orang Soeharto yang melakukan kudeta pendahuluan dengan cara penculikan para jenderal. Rupanya kudeta ini gagal untuk secara langsung menguasai pemerintahan, sehingga dilanjutkanlah kudeta tahap kedua yang dipimpin oleh Soeharto sendiri melalui tiga jenderal. Kudeta terakhir inilah, yang kemudian terkenal dengan peristiwa keluarnya Supersemar, yang berhasil mengantarkan Soeharto pada tampuk kekuasaan. Yang menarik untuk dikemukakan di sini, menurut Hanafi, ternyata pemberontakan PKI di Madiun pada tahun 1948, juga diotaki oleh Soeharto yang kala itu masih berpangkat Letnan Kolonel (dengan begitu, menurut Hanafi, usaha perebutan kekuasaan oleh Soeharto telah dilakukan sejak usianya 27 tahun, Soeharto lahir pada 8 Juni 1921; dan sedini tahun 1948 ketika hampir seluruh founding fathers of Indonesia masih hadir dalam kekuasaan, sehingga ada atau tidaknya seorang Soeharto menjadi amat tidak berarti! Keadaan ini berbeda dengan, misalnya, Amir Sjarifuddin, Tan Malaka, atau Semaun, yang harus diakui turut berjasa bagi perjuangan Indonesia merdeka dan memiliki akar yang cukup kuat pada rakyat).
Baik Untung maupun A Latief adalah bekas anak buah Soeharto, ketika yang terakhir ini menjadi Panglima Divisi Diponegoro. Sementara Syam adalah informan, sekaligus spionase, yang setia kepada Soewarto (Komandan Seskoad) yang bersama-sama dengan Soeharto telah merancang skenario untuk melancarkan kudeta. Perkenalan Soeharto dengan Soewarto secara resmi pertama kali, ketika Soeharto dipindahkan dari jabatannya sebagai panglima untuk “sekolah lagi” di Seskoad karena terlibat upaya korupsi dalam wilayah kekuasaannya. Ini menurut Hanafi, menjadi salah satu penyebab kebencian Soeharto baik kepada Achmad Yani maupun AH Nasution yang telah “menyekolahkannya” itu.
Langkah pertama kudeta adalah dengan menyebarkan isu adanya Dewan Jenderal yang hendak mengkudeta Soekarno pada 5 Oktober 1965. Tidak hanya isu kudeta, tetapi juga bahwa dewan tersebut telah mempersiapkan kabinet yang terdiri dari para jenderal untuk menjalankan roda pemerintahan. Menariknya, menurut Hanafi mengutip MR Siregar, dalam susunan itu nama Soeharto tidak tercantum. Menurutnya ini merupakan siasat “udang di balik batu”. Barangkali maksudnya adalah sejak semula dikesankan —dalam isu itu— Soeharto tidak tahu apa-apa. Mengikuti alur ini, menurut saya, tidak dicantumkannya Soeharto adalah wajar saja, mengingat dalam isu itu dijelaskan anggota Dewan Jenderal adalah 40 orang, sementara kabinet itu beranggotakan 11 orang (lihat hlm.212).
Langkah berikutnya adalah berusaha meyakinkan para tokoh bahwa kudeta para jenderal itu benar-benar akan terjadi, dan oleh karena itu perlu dilakukan langkah-langkah untuk mencegahnya, yaitu dengan jalan menculik para jenderal. Dan DN Aidit, karena pendekatan yang dilakukan oleh Syam, termakan oleh isu tersebut. Dikatakannya, antara Aidit dan Syam telah terjalin persahabatan sejak sekitar awal tahun 1950-an. Malahan ide Syam untuk membentuk Biro Khusus, yang bertugas menginfiltrasi tokoh-tokoh militer agar menjadi anggota atau setidaknya bersimpati pada PKI, disetujui oleh Aidit. Dengan begitu, sering ditandaskan Hanafi, PKI sama sekali tidak terlibat dalam kudeta Untung, hanya Aidit dan beberapa tokohnya sajalah, yang akibat “Provokasi Dewan Jenderal”, terlibat secara pribadi. Bahkan Hanafi yakin, jika Aidit membawa ide kudeta itu ke anggota pimpinan (Central Comite) PKI yang lain pastilah mereka akan menolaknya.
Maka, dimulailah persiapan-persiapan untuk menculik para jenderal itu yang berakhir dengan pembantaian para jenderal di Lubang Buaya. Hanafi sangat yakin dengan skenario ini, karena curiga, mengapa seorang jenderal dengan kedudukan strategis (Panglima Kostrad) seperti Mayjen Soeharto tidak turut diculik, jika memang tujuan penculikan itu adalah menggagalkan aksi Dewan Jenderal? Apalagi bahwa pada 30 September 1965 malam, Latief mengunjungi Soeharto di sebuah rumah sakit untuk menjenguk Tommy yang sedang sakit. Kunjungan ini diperkirakan oleh Hanafi sebagai laporan terakhir Latief kepada pimpinan kudetanya bahwa segala sesuatu telah siap dan tinggal menunggu komando untuk bergerak saja. Kunjungan mana menurut Soeharto adalah untuk mengecek keberadaan Soeharto atau untuk membunuhnya yang dibatalkan karena sedang berada di tempat umum (Soeharto memberikan dua jawaban tersebut atas pertanyaan yang sama kepada dua wartawan asing dalam dua kesempatan wawancara yang berbeda).
Tahap pertama kudeta telah berhasil. Pemimpin teras AD telah tiada. Soeharto dengan sendirinya berada di puncak hirarki AD, karena kedudukan panglima Kostrad memungkinkannya menggantikan kedudukan Menteri Panglima AD/KSAD (dijabat oleh Achmad Yani) jika yang belakangan ini berhalangan. Nasution sendiri, walaupun merupakan perwira tinggi yang paling senior, kedudukannya tidak memungkinkannya untuk langsung memberikan komando. Jabatan resminya adalah Kepala Staf Angkatan Bersenjata (jadi keseluruhan angkatan, tidak hanya AD) yang hanya berwenang menangani urusan administrasi dan logistik tentara, dengan demikian tidak punya pasukan. Dalam posisinya inilah Soeharto mulai menggerogoti kekuasaan Soekarno. Aksi-aksi yang dipelopori oleh mahasiswa dalam KAMI dan KAPPI, dikatakan Hanafi sebagai digerakkan oleh Soeharto dan para anak buahnya terutama Kemal Idris dan Sarwo Edhie Wibowo. Aksi mahasiswa ini dimanfaatkan oleh Soeharto guna menekan Soekarno. Untuk menunjukkan keterlibatan Soeharto dalam aksi-aksi mahasiswa itu, melalui Mayjen Sjarief Thayeb, Menteri PTIP, dibentuklah KAMI di rumah menteri ini. Tidak hanya itu, bahkan jaket kuning para mahasiswa UI pun merupakan pemberian Soeharto, yang secara khusus didatangkan dari Hawaii, oleh salah seorang kepercayaan Soeharto yang berada di sana.
Tentu saja, Hanafi juga harus memperkuat argumentasinya dengan menunjukkan dari mana Soeharto memiliki dana untuk membiayai semua itu (padahal rumah Soeharto sendiri, yang waktu itu masih berada di jalan Haji Agus Salim, terlalu sederhana dan kecil untuk ukuran seorang jenderal). Dengan sendirinya yang ditunjuk oleh Hanafi untuk membiayai itu semua adalah kekuatan-kekuatan Nekolim (Neokolonialisme dan imperialisme) yang tidak suka melihat Soekarno lama-lama berkuasa karena kecenderungannya yang anti Barat. Dijelaskannya pula bahwa sejak lama Soeharto telah menjalin hubungan dengan CIA, badan intelijen kenamaan AS. Kompensasi yang diberikan Soeharto atas pendanaan ini adalah diberlakukannya pemerintahan yang pro Barat (Nekolim) dan meninggalkan semua warisan pemikiran dan ideologi Soekarno, jika kudetanya berhasil.
Puncak dari semua aktivitas itu adalah keluarnya Supersemar yang diartikan sebagai penyerahan kekuasaan oleh Soeharto, padahal tidaklah demikian maksud Soekarno. Jalannya Supersemar, menurut Hanafi, adalah sebagai berikut. Pada pagi 11 Maret 1966 itu, kabinet mengadakan sidangnya untuk membicarakan perkembangan situasi negara. Namun ketika baru dibuka selama 10 menit oleh Soekarno, sidang dihentikan karena Soekarno segera terbang ke Istana Bogor. Kepergian ini disebabkan adanya laporan bahwa istana telah dikepung oleh pasukan tak dikenal (tanpa memakai tanda asal kesatuan) yang datang dari luar kota. Kepergian yang tergesa ini diikuti oleh Chaerul Saleh dan Soebandrio, yang sepatunya tertinggal sebelah karena demikian tergesanya. Soeharto sendiri, selaku Menpangad/KSAD tidak hadir pada sidang itu karena gangguan kesehatan. Hanafi masih bercakap-cakap dengan beberapa menteri lainnya ketika tiga orang jenderal mendatangi istana negara untuk meminta bertemu dengan presiden. Setelah dikatakan bahwa presiden tidak ada, maka ketiga jenderal itu pergi, setelah sebelumnya Brigjen Amir Machmud menelpon ke Istana Bogor guna meminta bertemu dengan presiden untuk membahas persoalan yang gawat.
Sementara itu iring-iringan demonstrasi mahasiswa yang sedianya diarahkan ke Istana Merdeka, sekarang dibelokkan ke arah Istana Bogor, tentu saja dengan pengawalan pasukan Soeharto. Hanafi sendiri sampai di Istana Bogor pada tanggal 13 Maret 1965. Jadi Supersemar itu telah keluar. Namun dengan lancar, Hanafi menuturkan bahwa ketiga jenderal yang sebelumnya mendatangi Istana Negara telah datang ke Istana Bogor dan memaksa Soekarno untuk menandatangani konsep surat yang telah dipersiapkan sebelumnya oleh Soeharto, tentunya.
Sejak memegang Supersemar di tangan itulah Soeharto telah memainkan peranan seolah dialah pemegang pemerintahan. Ini yang kemudian dilanjutkannya dalam sidang MPRS 1967 yang menetapkannya sebagai Pejabat Presiden, dan sidang yang sama telah memberhentikan Soekarno sebagai presiden. Maka kudeta telah berjalan dengan sukses!
Penilaian Personal
Kesimpulan bahwa Supersemar merupakan kudeta Soeharto kepada Soekarno, sejauh kami ketahui, telah menjadi kesepakatan banyak orang. Jadi pada titik ini, kami tidak berbeda pandangan dengan Hanafi. Namun untuk mengatakan bahwa Soeharto juga terlibat dalam G30S, apalagi merupakan dalangnya, adalah persoalan yang masih memerlukan banyak bukti.
Selama ini setidaknya terdapat 4 versi tentang peristiwa tersebut, yaitu:
- Pertentangan internal AD, antara perwira tinggi dengan para perwira menengahnya. Pendapat ini didukung oleh para sarjana dari Cornell University, New York, terutama Benedict Anderson dan Ruth McVey.
- Didalangi oleh PKI, karena keinginannya untuk berkuasa. Pendapat ini merupakan pendapat resmi AD dan pemerintah Orde Baru, serta pendapat mayoritas sarjana Barat.
- Merupakan upaya Soekarno untuk melindungi dirinya dari apa yang diisukan sebagai Dewan Jenderal.
- Didalangi oleh Soeharto. Pendapat ini merupakan versi yang paling tidak populer dan sering ditinggalkan para pengamat karena minimnya bukti yang mengarah ke versi ini.
Mengharapkan Soekarno untuk membatasi gerakan AD, juga sedikit saja memberikan hasil. Dalam pandangan Feith, Soekarno sengaja memperkokoh kedudukannya dengan dukungan dua pihak yang sama-sama membutuhkannya, AD dan PKI. Maka beberapa kekuasaan AD dihilangkan, terutama dengan penggeseran Nasution yang memiliki berbagai jabatan penting, serta tidak memberikan PKI pada kekuatan yang nyata, seperti kekuasaan ekonomi dan politik (kabinet porto folio).
Tak terkecuali yang mempercayai adanya Dewan Jenderal itu adalah Soekarno sendiri. Maka dia segera memerintahkan Brigjen Sabur, Komandan Resimen Cakrabirawa, untuk “mengambil tindakan terhadap para jenderal yang tak loyal itu.” Sabur sendiri lantas meneruskan perintah itu pada salah satu Komandan Batalyonnya, Letkol Untung, yang telah menyatakan siap menerima setiap perintah Soekarno (baik bukti maupun argumentasi pernyataan-pernyataan ini lihat, Sundhaussen, 1988, hlm.346-365). Perintah “mengambil tindakan” inilah yang diterjemahkan oleh Untung sebagai menghilangkan nyawa para jenderal itu. Masih menjadi perdebatan apakah perintah tanggal 4 Agustus 1965 dari Soekarno pada Untung itu termasuk perintah pembunuhan atau tidak. Namun, dalam sepanjang sejarah kekuasaannya, Soekarno tidak pernah dikisahkan membunuh atau memerintahkan untuk membunuh lawan-lawan politiknya. Pola kepemimpinan yang ditunjukkan juga tidaklah mencerminkan dirinya yang haus darah.
Jika Untung dikendalikan oleh PKI, tentulah setelah pengumuman Dewan Revolusi-nya, dewan itu, sebagaimana terlihat, tidak lantas macet, pasif dan akhirnya hilang sama sekali. Hal yang sama sekali lain dengan ciri khas Aidit atau PKI yang sangat agresif dan taktis dalam memainkan politik tingkat tingginya. Namun, tetap saja dalam kadar tertentu PKI telah memainkan peranannya. Baik dalam pemotivasian kepada Untung melalui Syam maupun penciptaan atmosfir yang anti AD, ataupun juga dalam bentuk yang lain. Dengan begitu, memang masih tidak jelas bagaimana bentuk hubungan antara Soekarno, Untung dan Aidit cs. Harus kami tegaskan di sini, jika tidak ada bukti-bukti lain, maka itulah kesimpulan paling baik yang dapat diperoleh mengenai peristiwa G30S itu.
Di sini masih akan dibicarakan dua hal penting yang sebenarnya saling tidak berhubungan. Yaitu spontanitas rakyat, dalam hal ini mahasiswa, dan keterlibatan pihak asing.
Sejauh menurut pendapat kami, spontanitas mahasiswa dalam hal ini tidak perlu diragukan lagi. Pemerintahan Soekarno yang otoriter, kecenderungannya yang lebih ke kiri, kemuakan terhadap kehidupan mewah para pejabat, dan yang paling kuat daya dorongnya adalah terlantarnya kehidupan rakyat, semuanya merupakan api dalam sekam yang sewaktu-waktu berkobar tinggal menanti percikan minyak saja. Dan itu terjadi dalam peristiwa G30S. Rakyat, yang dicerminkan oleh mahasiswa, memainkan peranannya seperti peranan yang telah pernah dimainkan oleh golongan-golongan muda pada masanya masing-masing. Adalah tidak bijaksana menuduh mereka telah digerakkan oleh pihak lain. Namun adalah benar apabila dikatakan bahwa AD sengaja memanfaatkan kemarahan rakyat itu untuk kepentingannya sendiri dalam rangka lebih mendiktekan kehendaknya kepada Soekarno. Kami kira, ini mulai terjadi setelah AD di bawah Soeharto meyakini bahwa Soekarno tidak bisa diajak untuk bersama melalui krisis nasional itu. Apalagi dalam penyelidikan AD, ternyata ada bukti kuat bahwa Soekarno memang terlibat —dalam bentuk seperti yang diutarakan di atas— dalam G30S itu. Apabila orang yang paling dihormati dan memegang kekuasaan tertinggi telah tidak bisa lagi diajak bekerja sama memperbaiki keadaan negara, maka cara yang tertinggal hanyalah menyingkirkannya. Pada titik inilah dimulai persiapan-persiapan menuju Supersemar.
Kesan kudeta harus sama sekali dihilangkan. Langkah yang dipilih adalah —istilah ini kemudian menjadi salah satu jargon politik Orde Baru yang sangat terkenal dan ampuh— “jalan konstitusional”. Sedang Presiden harus dikesankan menolak kehendak rakyat. Pada titik inilah Soeharto memerlukan rakyat, yang dalam hal ini adalah mahasiswa. Yang terakhir ini pun tidak mempermasalahkan bahu-membahunya karena tujuan Soeharto telah identik dengan mereka sendiri, yaitu menjatuhkan Soekarno. Bahwa mahasiswa relatif mandiri dari Soeharto dan AD, dibuktikan dari kenyataan bahwa tidak sampai dua tahun setelah Soeharto naik ke tampuk kekuasaan, mahasiswa yang sama kembali melakukan demonstrasi dan berunjuk rasa karena terjadinya banyak korupsi di tubuh pemerintahan Soeharto.
Lalu masalah kedua. Dalam kadar tertentu keterlibatan asing kemungkinan ada. Kadar-kadar yang dimaksud adalah pemberian bantuan finansial, dukungan moral, dan yang tak kalah penting adalah jaminan tempat pelarian yang aman (suaka politik) apabila kudeta gagal. Namun, mengatakan pihak asing, dalam hal ini CIA, bertindak sebagai penggerak kudeta adalah sama dengan meniadakan aspek dinamika dalam kehidupan negeri kita sendiri. Keadaan Indonesia saat itu telah sedemikian buramnya, sehingga setiap orang memiliki hak untuk menuntut adanya perubahan ke arah yang lebih baik. Soekarno tidak perlu dijatuhkan oleh pihak asing, atau Nekolim mengikuti kata-katanya sendiri. Konsepsinya tentang Nasakom sedemikian lemah dan absurdnya sehingga sebenarnya merupakan sebuah konsep untuk menggali liang kubur bagi pemerintahannya sendiri.
La yukalifullahu nafsan ila wus’aha
Daftar Pustaka
- Feith, Herbert. 1995. Soekarno-Militer dalam Demokrasi Terpimpin. Terjemahan. Jakarta: Sinar Harapan.
- Hanafi, Anak Marhaen. 1998. Menggugat Kudeta Jend. Soeharto dari Gestapu ke Supersemar: Catatan Pengalaman Pribadi Seorang Eksponen Angkatan ’45. Lile: Edition Montblanc.
- Sundhaussen, Ulf. 1988. Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwi Fungsi ABRI. Terjemahan. Jakarta: LP3ES, cet-2.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar