Minggu, 29 Mei 2011

Jihad dalam al-Qur’an Karya Muhammad Chirzin

Weko Kuncara

 
Di antara beberapa ajaran Islam yang sering memicu perbedaan pendapat dan pertentangan jihad adalah salah satunya. Sebagian umat Islam memahami jihad sebagai perjuangan bersenjata yang menawarkan alternatif hidup mulia atau mati syahid. Beberapa orientalis (istilah yang sekarang diperlunak menjadi Islamisis) mengartikan jihad [fi sabilillah] sebagai perang suci (holy war) untuk menyebarluaskan agama Islam. Bahkan kaum Khawarij dan juga Sayyid Qutb menempatkan jihad sebagai rukun Islam yang keenam, sehingga dengan demikian pelaksanaannya sama pentingnya dengan mengucapkan syahadat, sholat, puasa, zakat dan haji.

Karya Muhammad Chirzin, Jihad dalam al-Qur’an: Telaah Normatif, Historis, dan Prospektif (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1997) berupaya memahami konsepsi jihad baik melalui tinjauan normatif (al-Quran dan Hadits Nabi) maupun telaah historis pada saat diterapkan oleh Rasulullah. Di bagian akhir pengarang memberikan aktualisasi jihad pada masa sekarang dan waktu yang akan datang. Tulisan ini bermaksud melakukan suatu tinjauan umum terhadap karya tersebut.


Normativitas Jihad
Istilah jihad berasal dari akar kata jahada yang berarti mencurahkan kemampuan. Di dalam al-Quran kata jihad, dalam berbagai kata bentukannya, disebut sebanyak 35 kali, baik dalam ayat Makkiyah maupun Madaniyah. Empat ayat yang diturunkan di Makkah (lihat QS. 25:52; 16:110; 29:6; 29:69) tidak ada kaitannya dengan qital (perang) karena perang baru diijinkan setelah turunnya ayat al-Hajj ayat 39-40 pada tahun 2 Hijrah. Jihad di Makkah dikaitkan dengan seruan bersabar terhadap tindakan-tindakan musuh. Hal ini dikarenakan tidak ada pilihan lain selain daripada sikap tersebut, sambil tentu saja terus mendakwahkan Islam. Tiga puluh satu ayat yang diturunkan di Madinah (lihat QS. 2:218; 8:72, 74, 75; 3:142; 60:1; 4:95; 47:31; 22:78; 49:15; 66:9; 61:11; 5:35, 54; 9:16, 19, 20, 24, 41, 44, 73, 81, 86, 88) sebagian besar di antaranya dikaitkan dengan seruan untuk menghadapi musuh secara konfrontatif dan mewajibkan umat Islam untuk memerangi penduduk Makkah. Jelaslah di sini bahwa makna jihad dalam periode Makkah dan periode Madinah adalah berbeda.
 
Dengan pembedaan ini Chirzin hendak menjelaskan bahwa ayat-ayat al-Quran tentang jihad tidak selalu berkaitan dengan perang, tetapi juga dapat dalam arti yang lain asalkan dilakukan dengan pencurahan kemampuan secara maksimal, sebagaimana tersirat dalam pengertian akar katanya. Hal ini kemudian diperkuat dengan tinjauan yang dilakukannya terhadap hadits Nabi. Chirzin mengutip 9 hadits Nabi dan 1 hadits Qudsi yang menurutnya berkaitan dengan konsepsi jihad. Hadits-hadits itu dikelompokkan dalam dua bagian, yaitu yang berkaitan dengan peperangan dan yang berkaitan tidak hanya dalam arti peperangan, tetapi lebih luas daripada itu yakni segala usaha yang memerlukan pencurahan tenaga dalam rangka memperoleh ridha Allah. Pencurahan tenaga yang dimaksud dapat berupa ibadah khusus yang individual (misalnya haji), maupun umum yang kolektif (yakni amar ma’ruf nahi munkar).
 
Berdasarkan al-Quran dan Hadits-hadits di atas, Chirzin merumuskan unsur-unsur yang terdapat dalam jihad, yakni: 
  1. Pelaku jihad, yaitu Rasulullah saw dan orang-orang yang beriman (QS. 4:76).
  2. Sarana jihad, yaitu jiwa, raga serta harta benda, yang berarti seluruh sarana fisik dan non fisik. Lisan maupun tulisan termasuk di antaranya (QS. 9:122; 61:4; 8:60).
  3. Tujuan jihad, yaitu menegakkan kalimat Allah (QS. 9:40).
  4. Objek jihad, yaitu orang-orang kafir dan orang-orang munafik pada jaman Rasulullah saw. Namun, orang-orang kafir dan munafik di sini dimaknai sebagai personifikasi kemungkaran. Oleh karena itu pengertian objek jihad yang terutama adalah segala macam kemungkaran, baik berupa sosok pelaku maupun wujud kemungkaran itu sendiri (QS. 3:104; 3:110).
Ditegaskan oleh Chirzin, secara keseluruhan iman harus disebut jihad (QS. 9:16; 3:142). Dengan demikian, salah satu kesimpulan penting yang ditemukan oleh Chirzin adalah bahwa jihad merupakan tolok ukur keimanan seseorang secara aktual (hlm. 55).

 
Aktualisasi Jihad
Setelah meninjau ayat-ayat Allah, hadits Nabi dan memaparkan dengan panjang lebar perjuangan Nabi hingga meninggalnya, Chirzin sampai pada kesimpulan bahwa jihad di masa sekarang merupakan kelanjutan dari jihad di masa lampau yang telah dimulai oleh Nabi. Dengan sendirinya jihad harus dilaksanakan menurut tuntunan al-Quran dan Sunnah Nabi dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi yang meliputi kaum Muslimin di mana saja berada. Sampai di sini Chirzin menyimpulkan bahwa jihad pada masa kini dan masa depan berbentuk upaya sosialisasi dan internalisasi kebajikan (amar ma’ruf) dan pencegahan serta penghapusan kemunkaran (nahi munkar) dalam segala segi kehidupan manusia dengan memanfaatkan segala sarana yang mendukung (hlm. 131-132, dan 154-155).


Dengan amar ma’ruf, Chirzin menunjuk pada aktivitas pendidikan baik formal maupun non formal; sosial budaya dengan cara mengejawantahkan nilai-nilai moral dan akhlak karimah dalam kehidupan sosial; ekonomi dengan cara menghimbau memeratakan hasil-hasil pembangunan. Dengan nahi munkar, Chirzin menunjuk pada semua bentuk sikap penolakan terhadap segala kondisi dekaden, baik dalam bidang moral, sosial, ekonomi, politik maupun pendidikan.


 
Menimbang Gagasan Chirzin
Menurut kami, terdapat suatu kelemahan metodologis yang penting dalam karya penelitian Muhammad Chirzin ini. Ia memisahkan dalam dua bab yang berbeda pada saat membahas dalil-dalil, baik al-Quran maupun hadits, dan tinjauan historis. Kelemahan ini fatal karena tidak berusaha menempatkan dalil ayat-ayat atau hadits-hadits itu dalam konteks historisnya yang tepat. Suatu penilaian terhadap ayat, apalagi yang jelas kondisional, dengan tepat hanya dimungkinkan dengan cara menempatkannya dalam konteks sejarah turunnya ayat tersebut. Dengan demikian bukan bahasan ayat per ayat dan hadits-hadits nabi secara parsial dan ad hoc, seolah-olah al-Quran tidak berdialektika dengan Nabi dan masyarakat Islam pada saat turunnya ayat yang bersangkutan.
 
Selanjutnya, tinjauan historis yang dilakukannya terhadap perikehidupan Nabi tidak menekankan sama sekali terhadap apa dan mengapa jihad dilakukan oleh Nabi. Yang dilakukan oleh Chirzin hanyalah penuturan mulai dari Nabi menerima ayat, riwayat-riwayat dakwah, dan —yang sangat tidak perlu— pengutipan secara penuh surat-surat yang dikirimkan oleh Nabi kepada beberapa pembesar dunia pada masanya beserta surat balasannya. Akibatnya arah yang hendak dicapai oleh Chirzin, yakni berusaha mendapatkan formulasi jihad secara kontekstual sebagaimana dilaksanakan oleh Nabi, gagal tercapai.
 
Tanpa rujukan atau preseden apapun Chirzin menunjuk amar ma’ruf dan nahi munkar dalam pengertiannya yang paling luas sebagai suatu bentuk jihad saat ini dan masa depan. Chirzin, sebenarnya, sama sekali belum mencapai kriteria-kriteria yang jelas mengenai mengapa jihad di Makkah tidak bersenjata dan mengapa di Madinah dengan konfrontatif-bersenjata. Padahal apabila kriteria-kriteria jihad bersenjata dan tidak bersenjata telah diperoleh, masih ada langkah yang harus ditempuh berikutnya: mengevaluasi perkembangan umat Islam saat ini dalam hubungannya dengan orang-orang kafir, barulah sesudah itu dapat menentukan jihad dalam bentuk apa dan mengapa bentuk itu yang dipilih pada masa sekarang ini. Menentukan bentuk jihad pada masa-masa mendatang jauh lebih problematis. Ini karena kondisi-kondisi situasional untuk masa yang akan datang belum lagi kita peroleh. Paling jauh kita hanya dapat menyatakan sesuatu yang sifatnya prediktif dan harus selalu ditinjau kembali manakala kondisi situasional mengalami perubahan. Suatu tafsir al-Quran yang hidup – kalau kita boleh mengistilahkannya demikian, harus senantiasa mempertimbangkan ruang dan waktu di mana penafsiran itu dilakukan. Kami kira, Chirzin tidak akan berkeberatan dengan preposisi tersebut. Jelaslah bahwa bentuk jihad umat Islam di Indonesia, misalnya, berbeda dengan bentuk jihad yang harus ditempuh oleh umat Islam di Palestina. Bentuk jihad umat Islam Indonesia pada masa kolonialisme Belanda, misalnya lagi, juga akan berbeda dengan bentuk jihad umat Islam Indonesia di masa sekarang.
 
Demikianlah, evaluasi perkembangan umat Islam dewasa ini pun juga tidak dilakukan oleh Chirzin. Jika demikian bagaimana (atau atas dasar apa) dia bisa sampai pada kesimpulan bahwa jihad saat ini dan di saat depan adalah mesti dalam bentuk amar ma’ruf nahi munkar, bila yang terakhir ini diantagoniskan dengan perang konfrontatif-bersenjata?

Yang barangkali juga terlupakan oleh Chirzin adalah tidak dievaluasinya perkembangan-perkembangan pelaksanaan jihad sepeninggal Rasul, terutama pada masa tiga khalifah yang pertama. Sebab pada masa-masa ini ekspedisi-ekspedisi ekspansif wilayah Islam terus dilakukan bahkan ditingkatkan. Bukankah pemerintahan para khalifah ini dalam kadar tertentu merupakan teladan yang perlu dipertimbangkan juga? Baik kitab al-Muwaththa’ karya Imam Malik dan al-Risalah karya Imam al-Syafi’i maupun kitab-kitab kumpulan hadits karya Imam Bukhari dan Imam Muslim (keduanya memuat himpunan hadits yang dianggap paling baik) senantiasa memasukkan tindakan para Sahabat Nabi yang terdekat sebagai teladan yang hendaknya juga diikuti oleh umat Islam di masa kemudian. Inilah yang kita kenal sebagai atsar (berita-berita mengenai tindakan para Sahabat Nabi). Apabila kita menerima gagasan mayoritas ulama Islam bahwa sumber hukum Islam tidak hanya al-Quran dan Hadits Nabi, melainkan juga Ijma’ (konsensus, terutama kesepakatan generasi awal Islam) dan Qiyas, maka atsar para Sahabat utama Nabi secara absah juga harus dimasukkan sebagai bahan pertimbangan normatif. Contoh-contoh dalam kasus terakhir ini sudah amat terkenal. Abu Bakar menunjuk Umar ibn Khaththab untuk menggantikan posisinya sebagai khalifah, Umar sendiri telah menolak pembagian fa’iy (harta benda tak bergerak yang diperoleh sesudah suatu kawasan tertentu ditaklukkan oleh tentara Islam) dan ini terang-terangan melanggar Sunnah Nabi yang memerintahkan untuk membagikannya. Saya kira formulasi jihad di masa-masa awal Islam juga harus mempertimbangkan faktor preseden historis dari para khalifah ini.
 
Yang juga ingin disoroti disini adalah tidak diterapkannya metode kritik terhadap hadits-hadits yang digunakan Chirzin dalam bukunya ini. Dari ke-9 hadits tentang jihad yang dikemukakannya, sebagian besar darinya perlu dicurigai otentitasnya. Hal ini dikarenakan hadits-hadits tersebut bersifat politis dan prediktif. Fazlur Rahman sangat mencurigai hadits-hadits yang matannya berisi salah satu dari kedua hal tersebut, apalagi bila termuat keduanya. Sejak akhir pemerintahan Ali bin Abi Thalib, dunia politik Islam sangat rawan konflik dan mengalami pertentangan internal yang seolah tiada habisnya dengan sesama umat Islam sendiri. Tiap-tiap kelompok atau faksi umat Islam memiliki ambisi politik yang besar. Kita dapat mencatat dua figur menonjol dalam hal ini, yakni Muawiyah bin Abi Sufyan dan Marwan bin Hakam, dari kelompok Bani Umayyah. Sementara itu dari pihak keluarga Nabi terdapat dua golongan, yakni kelompok Syi‘ah dan Bani Abbas. Pada saat ambisi-ambisi politik ini saling berbenturan masing-masing faksi tidak segan-segan mengeluarkan hadits-hadits yang mereka nisbatkan kepada Nabi SAW. Sebagai catatan saja, di antara 600.000 hadits yang berhasil dikumpulkan oleh Imam Bukhari, ternyata hanya sekitar 7000 saja yang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan.
 
Bayangkanlah Imam hadits itu harus menolak sekitar 530.000 hadits, ini artinya hampir 90% hadits yang beredar pada masanya merupakan hadits-hadits yang tidak dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya. Hanya orang-orang yang memiliki kecerdasan, kesabaran dan keuletan tinggi saja yang mampu melaksanakan penelitian hadits semacam itu. Persoalannya adalah sesudah Imam Bukhari, beberapa ulama hadits seperti Ibnu Majah, Abu Dawud, al-Tirmidzi, al-Nasa’i, serta sejumlah ulama/peneliti hadits lainnya, dapat menerima hadits yang telah digugurkan oleh Imam Bukhari. Contoh yang paling terkenal adalah formulasi Imam al-Tirmidzi. Pada masa Imam Bukhari, hadits hanya dibedakan dalam dua kategori: yang kuat (shahih) dan yang lemah (dla‘if). Seluruh yang lemah ditolak oleh Bukhari dan seluruh yang kuat dihimpun dalam satu buku olehnya. Itulah sebabnya Bukhari memberi judul bukunya Jami’ al-Shahih (Kumpulan yang Shahih).

Imam al-Tirmidzi, sembari menerima dua kategorisasi di atas, mengusulkan suatu kategori ketiga untuk mengakomodasi hadits-hadits yang lemah tetapi “sayang” jika ditolak begitu saja. Hal itu bisa disebabkan karena diriwayatkan oleh cukup banyak orang atau secara matan kandungan yang diajarkan oleh hadits itu memang baik dan tidak bersifat menentang ajaran lain yang sudah diterima. Inilah yang dewasa ini kita kenal sebagai Hadits Hasan, hadits yang baik. Dari namanya saja kita sudah dapat menduga bahwa ini adalah suatu bentuk “pengalihan”, bagaimana mungkin “yang kuat”, “yang lemah” dan “yang baik” bisa berada dalam kategori yang sama? Yang baik semestinya satu kategori dengan “yang buruk”. Rupanya, sejarah berpihak pada Imam al-Tirmidzi. Meskipun semula gagasannya itu dianggap tidak masuk akal, namun seiring dengan waktu, gagasannya mulai dapat diterima. Dan inilah salah satu pintu masuknya hadits-hadits yang telah dinyatakan lemah oleh Imam al-Bukhari. Seiring dengan berjalannya waktu pula, jumlah hadits yang dapat diterima oleh umat Islam semakin banyak. Inilah sebabnya mengapa kitab kumpulan hadits Imam al-Tirmidzi menghimpun hadits lebih banyak daripada kitab himpunan hadits Imam Muslim, dan kitab yang terakhir ini menghimpun hadits yang lebih banyak daripada yang dihimpun oleh Imam al-Bukhari.

Kesimpulan yang bisa kita tarik dari kenyataan masa lalu hadits adalah : masih cukup banyak hadits lemah yang sudah ditolak oleh ulama-ulama terdahulu telah diterima oleh ulama-ulama dari masa yang terkemudian. Dalam salah satu karya kompilasi penelitian mengenai mengenai Hadits dan Sunnah Nabi, Fazlur Rahman (Islamic Methodology in History, 1965) menyimpulkan bahwa hadits-hadits yang lemah memiliki dua ciri yang menonjol, yakni berkarakter politis dan prediktif (meramalkan kejadian di masa yang akan datang). Masalah bagi Chirzin adalah penerimaan terhadap hadits-hadits yang justru memiliki dua ciri tersebut.


Menyangkut kesimpulan akhir Chirzin, tampaknya sejak semula dia sudah memiliki pendapat bahwa masa untuk jihad dalam bentuk konfrontatif-bersenjata telah lewat. Sekarang dan yang akan datang hanya bentuk amar ma’ruf nahi munkar yang masih relevan. Kesimpulan ini, sesungguhnya, sama sekali absah bila dikaitkan dengan konteks ruang dan waktu. Barangkali mindset jihad Chirzin adalah di Indonesia. Menurut kami, apabila kita bermaksud melakukan tafsir al-Quran dan Sunnah Nabi secara universal dan berlaku umum, maka hasil tafsir haruslah meliputi konteks ruang dan waktu yang umum dan universal pula. Berlakukah penafsiran Chirzin bila konteks ruang dan waktunya adalah bagi kaum Muslimin Bosnia pada masa pembantaian etnis yang dilakukan oleh etnis Slavia? Relevankah penafsiran Chirzin bila itu hendak ditujukan kepada kaum Muslimin di Palestina yang hampir setiap detik harus merasakan kebiadaban senjata tentara Israel?


Menurut hemat kami, teladan Nabi dan Sahabat-sahabatnya sudah jelas. Bila konteks ruang dan waktu memang mengharuskan umat Islam melaksanakan jihad dalam bentuk konfrontatif-bersenjata dan kaum Muslimin memiliki kemampuan untuk melakukannya, maka jihad harus diwujudkan dalam bentuk konfrontatif-bersenjata. Bila memang situasi dan kondisi tidak mengharuskan demikian, mengapa bentuk itu yang harus dipilih? Jadi jihad secara konfrontatif-bersenjata bukanlah opsi jihad yang telah tertutup, dia tetap merupakan pilihan yang terbuka dengan syarat konteks ruang-waktu dan kemampuan telah mengijinkan. Kesimpulan ini barangkali akan memicu munculnya pertanyaan: kalau demikian, apakah dapat dibenarkan aksi-aksi terorisme dan kekerasan yang dilakukan oleh sebagian (kecil) umat Islam Indonesia dewasa ini? Pertanyaan kami adalah: apakah memang konteks ruang dan waktu di Indonesia telah menjustifikasi bentuk jihad yang semacam itu? Sungguh, yang dilawan para teroris itu tidak jelas! Kalau memang yang dituju dengan aksi terorisme itu adalah Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya, mengapa aksi kekerasannya dilakukan di Indonesia? Jadi, meskipun opsi konfrontatif-bersenjata tetap terbuka, kondisi kongkrit umat Islam Indonesia harus dianalisis dengan tepat. Dan di sinilah persisnya perbedaan pendapat kami dengan para pelaku teroris itu — bila memang justifikasi perbuatan mereka didasarkan atas tafsir al-Quran dan Sunnah Nabi. Pertanyaan yang lebih penting untuk diajukan adalah apakah tindakan para teroris itu memang didasarkan atas dorongan untuk menegakkan Risalah Ilahi dan penafsiran yang benar atasnya serta kejayaan umat Islam atau justru ideologi kekerasanlah yang melatarbelakangi aksi-aksi mereka?

 
Lâ yukallifullâhu nafsan illa wus ‘ahâ

Sabtu, 28 Mei 2011

Sayyid Jamaluddin al-Afghani (1838-1897) dan Pembaharuan Islam

Weko Kuncara


Hampir semua gerakan pembaharuan Islam abad ke-20 memperoleh inspirasinya dari Jamaluddin al-Afghani (1838 - 9 Maret 1897). Tidak hanya dalam bidang keagamaan Islam, tetapi bahkan yang menjadi ciri khas pemikiran al-Afghani adalah keterikatannya yang kuat dengan politik praktis. Hal ini berbeda, misalnya, dengan pembaharuan Muhammad bin Abdul Wahhab yang menekankan pemberantasan praktik-praktik bid’ah dan khurafat yang dilakukan oleh umat Islam; atau bahkan bertentangan dengan pembaharuan yang dilansir oleh Sir Sayyid Ahmad Khan, yang menyetujui pemerintahan kolonial Inggris di India. Boleh dikatakan bahwa hampir setiap aspek dalam kehidupan umat Islam disentuh oleh pembaharuan al-Afghani, walaupun sektor politik adalah yang sangat ditekankannya. Sebab baginya persoalan politik adalah kunci untuk melaksanakan pembaharuan secara menyeluruh. Dengan gamblang al-Afghani mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran umat Islam, untuk kemudian memberikan tawaran solusi guna mengatasi kemunduran tersebut. Dua hal inilah yang menjadi perhatian tulisan ini. Sebagai penutup akan didiskusikan relevansi pemikiran al-Afghani bagi Islam dewasa ini.


Riwayat Singkat al-Afghani

Al-Afghani lahir pada 1838 di desa Asadabad. Nama desa ini terdapat baik di Afghanistan maupun Iran. Walaupun menurut pengakuannya sendiri ia dilahirkan Afghanistan, namun berdasarkan bukti-bukti primer yang ada serta riwayat pendidikannya, terdapat indikasi bahwa ia dilahirkan di Iran (Keddie, 1987, 19-20). Menurut Syekh Abu al-Huda, salah seorang penentang gagasan-gagasannya, al-Afghani sengaja menyembunyikan asal-usulnya yang sebenarnya semata-mata dalam rangka menyelamatkan dirinya dari kesewenangan pemerintahan Syah Iran yang tidak menyukainya (EI 2, 1994, 299). Semenjak usia muda al-Afghani telah dididik dalam berbagai cabang ilmu keislaman, selain filsafat dan ilmu eksakta. Filsafat al-Afghani, seperti dibuktikan kemudian, ternyata banyak diperolehnya dari sumber-sumber filsafat yang dikembangkan dalam tradisi Syi‘ah (Keddie, 1987, 20).

Dalam masa hidupnya al-Afghani menetap di berbagai negara. Aktivitas politiknya yang sangat padat dan —meminjam istilah Bung Karno— “menyerempet-nyerempet bahaya” menyebabkan ia harus mengalami berbagai kepahitan hidup, baik diusir dari negerinya sendiri, dibuang, serta tidak jarang dalam rangka kunjungan diplomatik, seperti yang dilakukannya di London dan Rusia. Al-Afghani telah mengunjungi pusat-pusat dunia Islam yang penting pada masa hidupnya. Iran —yang kemungkinan besar adalah negerinya sendiri— sebagai pewaris kejayaan Dinasti Shafawi (1501-1732), Turki yang pada waktu itu masih merupakan pusat Kekhalifahan Utsmani (1282-1924), dan India, yang adalah reruntuhan Dinasti Mughal (1526-1858) sebelum kedatangan Inggris.

Al-Afghani juga telah mengajarkan beberapa pokok pikirannya di Mesir — di mana Muhammad Abduh adalah salah seorang muridnya; dan sesudah terusir dari Negeri Para Fir‘aun itu, ia menetap di Paris, Perancis, tempat ia menerbitkan majalah yang membuatnya terkenal di seluruh dunia, al-‘Urwah al-Wutsqa (Mata Rantai Terkuat). Tempat tinggalnya yang terakhir adalah Istanbul, Turki, di mana dia dipenjararumahkan oleh Sultan Abdul Hamid, hingga menemui ajalnya.


Sebab-sebab Kemunduran dan Gagasan Pembaharuan Islam

Menurut al-Afghani terdapat beberapa faktor yang menyebabkan kemunduran umat Islam, yakni:
  • Ditinggalkannya akhlak yang tinggi oleh umat Islam sendiri;
  • Dilupakannya ilmu pengetahuan, sehingga menyebabkan umat Islam berpikir secara taklid. Faktor terakhir ini ditambah dengan adanya paham Jabariyyah dan salah mengerti akan qada’ (ketentuan) Allah. Menurutnya qada’ Allah harus dipahami secara kausalitas. Sedangkan dalam hal berpikir, umat Islam harus melakukannya menurut kaidah-kaidah yang rasional. Bagi al-Afhani, kemajuan dan kejayaan suatu bangsa hanya dapat dicapai dengan mendasarkannya pada pemikiran rasional, dan inilah yang telah dilakukan umat Islam terdahulu sehingga bisa mendapatkan kejayaannya. 
  • Adanya perpecahan di kalangan umat Islam sendiri. Perpecahan ini menyebabkan lemahnya rasa ukhuwah Islamiyah di antara mereka. Ditambah lagi dengan kurangnya pertahanan militer, menyebabkan umat Islam tidak berdaya menghadapi invasi asing (Barat) yang kemudian hanya memperdalam kemunduran. (EI 2, 1994, 300).
Hampir keseluruhan energi hidup al-Afghani dipergunakan untuk mengampanyekan dan menemukan solusi atas faktor-faktor yang dianggapnya menyebabkan kemunduran umat ini. Berbeda dengan pemikir pembaharuan lain, yang ditekankan oleh al-Afghani adalah perjuangan mengusir pemerintah kolonial terlebih dahulu. Sungguh merupakan kebetulan yang tidak mengenakkan baginya, karena di mana pun di negeri Muslim dia berpijak —Afghanistan, India, Mesir, dan Iran— kolonialisme Inggris seolah-olah selalu ada di sana. Oleh karenanya, anti Baratnya terlebih-lebih ditujukan kepada Inggris. Pusat perhatiannya untuk mengusir Inggris inilah yang menyebabkannya kadang-kadang melakukan kompromi dengan beberapa pemerintahan yang despotik, asalkan bersedia bekerja sama mengusir Inggris. Persoalannya adalah seringkali para penguasa despotik itu mendapatkan dukungan terkuatnya dari Inggris, maka tak heran di mana pun dia berada, al-Afghani selalu dimusuhi, baik oleh pemerintahnya sendiri maupun oleh pemerintah kolonial.

Menurut al-Afghani solusi yang tepat untuk mengatasi kemunduran yang sedang melanda umat Islam pada masanya,

“hanyalah dengan kembali ke dasar-dasar agamanya, dan mengikuti ajaran-ajarannya, menurut apa yang ada permulaan agama itu, serta dengan memberi penerangan kepada umum dengan ajaran-ajaran agama yang sempurna, sambil membersihkan hati dan mendidik akhlak; serta menyalakan kembali api semangat, menyatukan tekad, dan mengorbankan jiwa, demi kemuliaan ummat” (al-Afghani, 1994, 359).
Kemudian, di samping penekanan yang kuat pada aspek politik, perhatian utama al-Afghani adalah masalah ilmu pengetahuan. Berbeda dengan banyak pembaharu dari India, al-Afghani menolak penerimaan ide-ide Barat tanpa ada upaya kritik dan mengadaptasikannya demi kebutuhan umat Islam. Gagasan itu baginya seperti orang yang menyuapkan makanan lezat kepada bayi
“padahal ia masih menyusu yang tidak menginginkan kelezatan (makanan) karena masih pada usia susu dan tidak menerima makanan selain susu, sehingga bayi itupun segera terserang penyakit, dan berakhir dengan kebinasaan” (al-Afghani 1994, 353).
Ilmu pengetahuan diakuinya sebagai sumber kekuatan dan kekuasaan suatu bangsa. Menurutnya,
“seluruh dunia kemanusiaan itu adalah suatu dunia industri, dalam arti bahwa dunia itu merupakan dunia ilmu. Jika ilmu terlepas dari jangkauan manusia, tak seorang pun mampu berada di dunia ini…” (al-Afghani, 1993a, 18).
Untuk mengejar ketertinggalan dalam bidang pengetahuan ini umat Islam harus mengutamakan filsafat. Hal ini karena di samping studi filsafat bersifat universal, juga karena filsafat memiliki jiwa yang utuh dan menempati jenjang teratas dalam menciptakan kekuatan. Filsafat mampu menunjukkan kebutuhan mendasar dan ilmu-ilmu apa yang diperlukan manusia, serta menempatkan ilmu pada tempatnya yang tepat (al-Afghani, 1993a, 18). Selanjutnya,
“Jika suatu masyarakat tidak menguasai filsafat, dan setiap individu yang ada dalam lingkungan masyarakat itu hanya dibekali dengan ilmu-ilmu tentang bidang-bidang tertentu, ilmu-ilmu itu tidak akan mampu bertahan di dalam masyarakat itu selama satu abad, atau seratus tahun saja. Masyarakat itu dengan tidak adanya bimbingan filsafat tidak akan mampu menarik kesimpulan dari ilmu-ilmu ini…
Saya berani mengatakan bahwa jika semangat filsafat itu terdapat di dalam masyarakat, walaupun masyarakat itu tidak menguasai salah satu ilmu yang membicarakan permasalahan tertentu itu, tidak dapat diragukan bahwa semangat filsafat mereka akan mengundang minat mereka untuk mengenali semua ilmu itu” (al-Afghani, 1993a, 18-19).
Kemerosotan politik dan perpecahan yang melanda negara-negara Islam menurut al-Afghani disebabkan karena para penguasanya menyimpang dari prinsip-prinsip kokoh yang melandasi Islam dan ketidakmauan mereka meneladani jalan para penguasa untuk tetap berada di jalan yang lurus. Untuk mengatasi hal ini, al-Afghani menawarkan solusinya dengan pertama-tama menekankan ikatan keagamaan (al-Afghani, 1993b, 24). Ikatan selain keagamaan ditolaknya, karena hanya dengan ikatan keagamaan itulah maka ikatan yang sempit ditinggalkan dan mengikatkan diri pada yang universal. Sebagai pendasaran dikutipnya hadits Nabi SAW:
“Solidaritas kesukuan tidak boleh ada di antara kita; dan tidak boleh ada di antara orang-orang (penganut-penganut) kita yang terikat karena agama; dan tidak boleh ada di antara mereka yang meninggal dalam keadaan bukan mu’min” (al-Afghani 1993b, 25).
Al-Afghani juga mengutip ayat,
“Orang yang paling mulia di antaramu di sisi Allah adalah yang paling taat (bertaqwa) kepadanya-Nya” (QS. 46:13) (al-Afghani 1993b, 25-26).
Diuraikan olehnya,
“…prinsip-prinsip ajaran Islam menyangkut masalah hubungan sesama muslim, menjelaskan hukum secara umum dan juga secara terperinci, merumuskan makna penguasa eksekutif yang melaksanakan hukum, menentukan sanksi-sanksi hukum berikut persyaratan-persyaratan yang membatasi pelaksanaannya; juga mengemukakan tujuan yang unik bahwa pemegang kekuasaan itu harus orang-orang yang paling taat kepada aturan-aturan tentang kekuasaan yang diperolehnya tidak lantaran pewarisan ataupun karena kehebatan ras, suku, kekuatan material dan kekayaannya. Ia memperoleh kekuasaan itu hanya jika dia menaati ketentuan-ketentuan hukum suci itu, mempunyai kekuatan untuk melaksanakannya, dan jika ia disepakati oleh masyarakatnya. Jadi sebenarnya, penguasa kaum Muslimin adalah hukum agama mereka yang suci dari Tuhan yang tidak membeda-bedakan rakyat…
Penguasa Muslim tidak memiliki kelebihan apapun selain daripada kenyataan bahwa dialah orang yang paling bersemangat di antara yang lain dalam mengamankan dan mempertahankan hukum Tuhan itu” (al-Afghani. 1993b, 24-25).

Menimbang Pembaharuan al-Afghani

Sejauh yang dapat penulis pahami, sebenarnya faktor-faktor penyebab kemunduran umat Islam yang dilontarkan oleh al-Afghani hampir secara keseluruhannya masih dialami oleh umat sampai hari ini. Bedanya adalah bahwa negeri-negeri Muslim telah mengalami kemerdekaan dalam arti politisnya. Persoalannya adalah apakah memang benar bahwa negeri-negeri Muslim itu kini telah berdaulat? Sesungguhnya inilah pokok yang ditekankan oleh al-Afghani. Kemerdekaan dan kekayaan negeri-negeri Muslim di kawasan Timur Tengah tidak membuat mereka independen dari Barat, kenyataan malah menunjukkan mereka semakin tergantung.

Akhlak umat Islam saat ini mungkin malah lebih merosot lagi dibandingkan dengan kenyataan yang berlangsung pada masa al-Afghani. Pada masanya dahulu (awal abad ke-20) permasalahan pembaratan (westernisasi) mungkin sekadar ketakutan dan dalam lingkup yang terbatas, tetapi kini dengan semakin tak dapat dibatasinya media komunikasi, pembaratan akhlak umat Islam benar-benar merupakan mimpi buruk yang menjadi nyata. Hendaknya dicatat, bahwa Barat tidak hanya menawarkan budaya kemajuan berpikir, melainkan sikap-sikap hidup yang hedonis, free-value, dan cara bertindak utilitarian, seluruhnya merupakan penawaran dalam satu paket. Dan inilah persisnya yang telah melanda dan menjadi persoalan utama di hampir seluruh kawasan dunia Islam. Satu-satunya yang telah berubah barangkali adalah adanya keterbukaan umat Islam untuk mendapatkan dan menerima pengetahuan yang lebih luas dari berbagai sumber, dengan suatu catatan kaki bahwa pada sejumlah kalangan umat Islam persoalan tersebut pun belumlah tuntas.

Aspek gagasan pembaharuan perjuangan politik yang juga ditekankan oleh al-Afghani menjalani beberapa varians sepeninggalnya. Sebagian umat Islam tetap konsisten pada jalur ideologi Islam, sebagian yang lain berupaya moderat (sebenarnya varians inilah yang dipilih oleh al-Afghani, lihat Keddie 1987), tetapi ada juga yang memilih jalur sekular seperti yang dianjurkan oleh Kemal Attaturk, di Turki dan Ali Abdur Raziq, di Mesir. Sungguh merupakan suatu kenyataan yang menarik bahwa Ali Abdur Raziq adalah salah seorang murid al-Afghani sendiri!

Sebagai penilaian akhir, dapat dikemukakan di sini bahwa secara keseluruhan, semangat dan upaya-upaya pembaharuan al-Afghani masih relevan hingga dewasa ini. Beberapa pemecahan yang ditawarkannya memang sebaiknya didefinisi ulang, tetapi anti-imperialisnya yang kuat dan pendasaran pokok-pokok pikirannya yang kokoh pada dasar-dasar Islam awal (merujuk pada periode Nabi SAW dan al-Khulafa’ al-Rasyidah) merupakan temuannya yang penting dan tetap relevan sampai saat ini. Dapat dikatakan bahwa sesungguhnya di sinilah esensi pembaharuan Islam sebagaimana dijargonkan dalam anak kalimat “kembali kepada al-Quran dan Sunnah Rasul”.

Lâ yukallifullâhu nafsan illa wus ‘ahâ


Daftar Acuan
al-Afghani, Jamaluddin. 1993a.“Tanggapan Islam terhadap Imperialisme”, dalam John J. Donohue dan John L. Esposito, eds. Islam dan Pembaharuan: Ensiklopedi Masalah-masalah. Terjemahan. Jakarta: Rajawali.
al-Afghani, Jamaluddin. 1993b.“Solidaritas Islam”, dalam John J. Donohue dan John L. Esposito, eds. Islam dan Pembaharuan: Ensiklopedi Masalah-masalah. Terjemahan. Jakarta: Rajawali.
al-Afghani, Jamaluddin. 1994. “Masa Lalu Ummat dan Masa Kininya, Serta Pengobatan bagi Penyakit-penyakitnya”, dalam Nurcholish Madjid, ed. Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Ensiklopedi Islam. Jilid 2. 1994. lema “Jamaluddin al-Afghani”. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve. Disingkat EI 2.
Keddie, Nikki R. 1987. “Sayyid Jamaluddin al-Afghani”, dalam Ali Rahnema, ed. Para Perintis Zaman Baru Islam. Terjemahan. Bandung: Mizan.

Jumat, 27 Mei 2011

Ternyata Akhirat Tidak Kekal Karya Agus Mustofa

Weko Kuncara

 
Pertama-tama ijinkan kami mengutip dengan bebas sebuah pernyataan klise yang kurang lebih berarti: “Betapapun maju rasionalitas manusia, ia tetap tak ada apa-apanya di hadapan Allah”. Preposisi tersebut sekaligus akan kami pergunakan sebagai titik tolak untuk mendiskusikan buku ini, karena Agus Mustofa, dengan segenap rasionalitasnya, berusaha memperluas batas-batas horison kemampuan rasio manusia. Apakah manusia memang mampu mengetahui “realitas” akhirat?

Buku ini, menurut hemat kami, merupakan sebuah buku yang unik. Ia berisi ulasan yang menggabungkan antara: tafsir al-Quran, pemaparan beberapa teori ilmu pengetahuan alam, serta disusun dalam kerangka dakwah Islam. Penggunaan ilmu pengetahuan —dalam disiplin apapun— amat krusial dalam menafsirkan al-Quran. Sejumlah besar ayat, apakah yang berbicara tentang penciptaan alam dan manusia ataupun yang membicarakan tentang karakter dan kepribadian individu-individu manusia yang menganut sistem nilai tertentu, jelas sekali memerlukan pengetahuan astronomi, biologi dan psikologi atau psikoanalisis.

Ternyata Akhirat Tidak Kekal merupakan sebuah buku yang ingin menafsirkan wahyu Allah dari disiplin, terutama, astronomi. Latar belakang pengarangnya yang seorang sarjana teknik nuklir barangkali memang menunjang upaya itu. Namun demikian, kita jangan terkecoh. Buku ini tidak sedang berbicara semata-semata tentang tidak kekalnya akhirat, yang hanya disinggungnya dalam 14 halaman di bagian akhir bukunya. Alih-alih, buku ini mendiskusikan hampir seluruh aspek yang berkaitan dengan kehidupan akhirat. Sementara topik-topik yang didiskusikan dalam buku ini amat banyak, di sini kami hanya akan memfokuskan pada topik tidak kekalnya akhirat. Untuk menunjukkan betapa luas cakupan yang hendak diliput oleh buku kecil Agus Mustofa, tulisan ini pertama-tama akan mendeskripsikan secara umum konten buku tersebut.


Anatomi Ternyata Akhirat Tidak Kekal

Agus Mustofa memulai bukunya dengan mengajukan pertanyaan fundamental, “bagaimana mendiskusikan akhirat?” Ia mengajukan metodologi: berdasarkan informasi al-Quran dan Hadits. Ini dikarenakan tak ada satu pun data empiris yang bisa dijadikan titik tolak untuk melakukan analisis terhadap kehidupan akhirat (hlm. 4). Prosedur pertama ini disebutnya “sisi keimanan sebagai entry point”. Kemudian, menurutnya, juga diperlukan “data-data empiris, serta teori-teori ilmu pengetahuan modern, sebagai alat analisa dengan menggunakan mekanisme akal.” Ditegaskannya, itu dilakukan agar analisis tidak menyimpang jauh dari kenyataan yang ada (hlm. 4).

Meskipun, menurut kami, kedua prosedur di atas telah memadai, namun dalam mendiskusikan akhirat, data empiris macam apakah yang dapat kita peroleh? Apakah itu bukannya teori tentang eksplanasi fakta yang dinyatakan sebagai data empiris?

Untuk dapat merekonstruksi akhirat, Agus Mustofa mengembangkan seperangkat instrumen pertanyaan sebagai berikut:
  • Di mana alam akhirat itu?
  • Bagaimana bentuk kehidupan akhirat itu, apakah ruhani semata atau juga jasadi?
  • Kapan dimulainya alam akhirat, dan ditandai dengan kejadian apa?
  • Benarkah kita dibangkitkan kembali; lalu, bagaimana mekanisme kebangkitan?
  • Apa benar kita akan dimintai pertanggungjawaban, lalu bagaimana caranya?
  • Apa yang bakal terjadi di alam kehidupan akhirat, apa manusia akan hidup selama-lamanya?Apa dan bagaimana surga dan neraka itu? (hlm. 9-10)
Seperti terlihat dalam instrumen pertanyaan di atas, Agus Mustofa tak hendak hanya bermaksud membuktikan bahwa alam akhirat itu tidak kekal, melainkan hampir seluruh aspek kehidupan alam akhirat hendak diungkapkan. Halaman-halaman berikut buku ini memberikan jawaban satu demi satu atas seluruh pertanyaan tersebut. Namun demikian, tidak seperti yang dijanjikannya, sedikit sekali data empiris yang dikemukakan oleh Agus Mustofa. Saya akan memberikan satu contoh saja. Yakni tentang tempat di mana Adam diturunkan dari surga. Sama sekali hanya berdasarkan ayat-ayat al-Quran Agus Mustofa menjawab pertanyaan ini, dengan kesimpulan:
“Dalam pemahaman saya, ya di permukaan Bumi juga, di sebuah wilayah yang kini disebut sebagai Timur Tengah. Yang persisnya, perlu dilakukan penelusuran lebih jauh. Saya kira, disinilah para ahli sejarah Islam harus mengambil peran” (hlm. 26).
Dengan gaya gelitik — namun tepat, Kyai Mustofa Bisri, mengomentari, “Tak jelas mengapa Timur Tengah, kok tidak Indonesia, misalnya, yang alamnya jauh lebih asri?” (hlm. x, dalam pengantar). Selanjutnya, hlm. 29-46, dipakai untuk menguraikan bahwa “semua di bumi diciptakan untuk manusia”.

Persis seperti gelitikan Kyai Bisri, kita dapat bertanya, bagaimana Agus Mustofa dapat sampai pada kesimpulan bahwa Adam dan Hawa diturunkan di Timur Tengah — ilmu pengetahuan apa yang dipakainya, sementara Allah sama sekali tidak menyinggung lokasi turunnya Adam? Apalagi, sejauh ilmu palaentologi diperkenankan turut berbicara di sini, tempat asal-mula ditemukannya homo sapiens tertua (tentu saja, sejauh fosil-fosil yang telah diperoleh hingga dewasa ini) justru di benua Afrika. Bila makna al-Quran harus koheren dengan ilmu pengetahuan, maka mestinya tempat turunnya Adam adalah di Afrika!

Meskipun demikian, tetap saja ini adalah kesimpulan yang mendadak dan tiba-tiba! Dalam epistemologi atau filsafat ilmu pengetahuan hal ini tidak diperkenankan. Kalimat kesimpulan itu haruslah diubah menjadi: “maka, sejauh menurut ilmu pengetahuan modern mutakhir, tempat turunnya Adam adalah di benua Afrika”. Ini adalah kalimat yang sama sekali berbeda dengan kalimat kesimpulan sebelumnya. Yang pertama bersifat rigid, sedang yang kedua lebih bersifat terbuka karena mempertimbangkan faktor waktu. Yang pertama, ada kemungkinan salah; namun, yang kedua tidak memiliki kemungkinan salah karena adanya faktor waktu tersebut – yakni, “sejauh menurut ilmu pengetahuan modern mutakhir”.

Sungguh, justru yang pertama itulah model data empiris yang dimaksudkan oleh Agus Mustofa dalam bukunya ini. Itu pun kalau ia menunjuk data empiris, namun yang seringkali terjadi, ia malah menjadikan teks-teks al-Quran sebagai fakta telanjang, yang kemudian dikaitkan (atau dikait-kaitkan?) dengan teori-teori dalam disiplin pengetahuan tertentu.

Contoh lain adalah mengenai perbedaan dimensional: bahwa manusia ada di dimensi tiga, jin dimensi empat, arwah-arwah manusia yang telah mati di dimensi lima, enam, tujuh, dan delapan, sedang malaikat berada di dimensi sembilan. Sama sekali tidak ada fakta empiris yang dipergunakan sebagai bukti atau argumen bagi pernyataan ini, kecuali bahwa Nabi Muhammad pernah bertemu dengan arwah sejumlah nabi dari masa terdahulu di dimensi-dimensi itu, dimensi mana terletak di langit ke-3, ke-4, ke-5, dan ke-6. Selain Nabi, siapa yang telah membuktikan bahwa memang di sanalah terletak arwah manusia-manusia yang telah mati itu? Sejauh menyangkut Nabi, yang didasarkan hanya kepada hadits, dari sahabat Abu Sa’id al-Khudri ra., kita bisa menemukan hadits-hadits lain yang tidak mengisahkan pertemuan Nabi dengan para arwah nabi itu. Literatur dan materi hadits sedemikian banyaknya, sehingga —sebagai akibat konflik politik berkepanjangan yang melanda umat Islam sejak paruh terakhir masa pemerintahan Utsman ibn Affan— cukup banyak di antaranya yang bertentangan satu sama lain. Imam al-Bukhari, perawi hadits yang terkenal itu, di sepanjang hidupnya telah meneliti sekitar 600.000 hadits dan hanya menemukan 7237 di antaranya yang shahih. Lalu, Imam Hajar al-Asqalani, membuktikan bahwa lebih dari 100 hadits yang dinyatakan shahih oleh al-Bukhari, ternyata adalah hadits-hadits mu’allaq, artinya, hadits dlaif. Seluruhnya menunjukkan bahwa tidak seluruh matan hadits Nabi dapat kita telan mentah-mentah begitu saja.

Kembali pada topik kita. Untuk “melacak” kehidupan akhirat dan kemudian membuktikan bahwa akhirat itu tidak kekal, Agus Mustofa memulai dengan penelusuran yang amat jauh: hingga ke asal-mula asal semesta. Lalu, ia mengajukan teori:
  1. Sekitar 12 miliar tahun yang lalu alam semesta diciptakan Allah lewat sebuah ledakan yang sangat dahsyat.
  2. Kemudian, sekitar 5 miliar tahun yang lalu terbentuklah tata surya kita, termasuk di dalamnya adalah Bumi dan 8 planet lainnya. Sejak itu pula Allah membentuk kondisi Bumi yang memungkinkan untuk kehidupan. Termasuk di dalamnya adalah lapisan udara yang disebut atmosfer.
  3. Lantas, sekitar 3,5 miliar tahun yang lalu Allah menciptakan makhluk bersel satu di daerah perairan. Sekitar 1 miliar tahun yang lalu Dia memulai kehidupan di daratan, lewat makhluk yang bersel lebih banyak. Dan, sekitar 550 juta tahun yang lalu Allah menciptakan berbagai jenis tanaman dan binatang yang kompleks struktur tubuhnya.
  4. Barulah sekitar puluhan ribu tahun yang lalu Allah menciptakan manusia untuk pertama kalinya, yang kemudian berkembang biak hingga kini.
  5. Seterusnya, Allah tetap memproses kejadian alam semesta ini hingga sekitar beberapa ribu tahun lagi dan Bumi akan mengalami kiamat. Bumi bakal hancur, dan kehidupan makhluk di atasnya pun musnah. Mirip kejadian punahnya Dinosaurus sekitar 150-200 juta tahun yang lalu.
  6. Bumi akan mengalami recovery alias perbaikan lingkungannya kembali selama 2-3 miliar tahun, untuk mengembalikan kehidupan di muka Bumi ini. Maka, ketika kondisi Bumi sudah ideal untuk kehidupan tahap kedua, manusia dibangkitkan kembali dari dalam kuburnya. Itulah dimulainya periode Akhirat.Manusia akan dihidupkan selama sekitar 15 miliar tahun di alam Akhirat, sampai kehidupan semuanya lenyap, kembali kepada Sang Pencipta (hlm. 101-102).
Kita barangkali akan penasaran bagaimana Agus Mustofa dapat sampai menentukan angka-angka itu secara persis?


Siapa Bilang Akhirat Kekal?

Rupanya, Agus Mustofa mendasarkannya pada asal-mula penciptaan alam semesta yang berpijak pada Teori Big Bang (Ledakan Besar). Merujuk pada teori ini, ia mengemukakan bahwa suatu waktu sekitar 12 miliar tahun yang lalu, Allah memulai proses penciptaan alam semesta, dengan menciptakan ledakan raksasa yang mengakibatkan seluruh materi tersebar dan mengalami pemuaian hingga sekarang, sejak itu alam semesta hingga kini sedang berproses menuju limit pemuaiannya, yang diperkirakan akan tercapai 3 miliar tahun lagi. Pada saat tercapainya titik limit pemuaian itulah — yakni kiamat bumi, alam semesta bergerak kembali ke dalam atau mengalami proses penciutan. Ketika titik limitasi penciutan terjadi, itulah saat kiamat alam semesta, ketika untuk keduanya kalinya alam semesta mengalami lagi ledakan raksasa (hlm. 129-131).

Seiring dengan dimulainya kehidupan akhirat (ketika proses penciutan terjadi), sejak waktu itu pula hukum alam berjalan terbalik! (hlm. 129). Sebagai akibatnya, jika sekarang manusia cenderung pada kematian, di akhirat manusia cenderung mengarah pada kehidupan abadi: “Yang tadinya mati, justru akan HIDUP KEMBALI” (hlm. 129-130). Ini bukan saja karena berlakunya hukum alam terbalik, namun karena entropi juga berbalik arah. Entropi dimaknai oleh Agus Mustofa sebagai ketidakteraturan, di mana alam semesta bergerak menuju kehancuran (hlm. 53). Dengan berbaliknya entropi, maka, kini yang terjadi bukanlah proses kehancuran melainkan yang sebaliknya, alam tidak mengarahkan kita pada kematian (hlm. 133).

Berkaitan dengan terjadinya kiamat alam semesta di atas, Agus Mustofa melanjutkan bahasannya mengenai alam barzakh. Di bagian inilah ia menjelaskan bagaimana kiamat alam semesta itu dapat terjadi (hlm. 135-170). Struktur alam semesta terdiri dari materi dan energi, di mana materi dapat berubah menjadi energi dan energi pun dapat berubah menjadi materi. Sedemikian rupa, sehingga terjadi keseimbangan di antara keduanya, kuatnya materi mengakibatkan lemahnya energi, dan kuatnya energi menyebabkan lemahnya materi. Tiap-tiap gerakan sesuatu apapun, termasuk manusia, akan menghasilkan perubahan energi. “Sedikit apapun perubahan yang kita berikan, maka akan terjadi perubahan susunan struktur energi lingkungan kita” (hlm. 157). Pada titik ini, Agus Mustofa berteori bahwa: perbuatan baik akan menimbulkan perubahan positif dan menghasilkan energi positif; sebaliknya, perbuatan buruk akan menimbulkan perubahan negatif dan menghasilkan energi negatif.

Karena manusia “tenggelam di ‘lautan energi’ itu” maka, tiap-tiap energi positif dan negatif akan memberikan penandaan pada “struktur energi di sekitar kita” (hlm. 159). “Struktur energi” itulah yang oleh al-Quran disebut sebagai buku amalan. Oleh karena itu, meskipun seandainya tak ada Malaikat Raqib dan Atid sekalipun, perbuatan manusia (plus atau minus) dengan sendirinya akan tercatat. Perbuatan-perbuatan positif akan mempengaruhi “langit positif”, itulah Surga; dan perbuatan-perbuatan negatif akan mempengaruhi “langit negatif”, itulah Neraka. Keduanya terletak di langit yang ketujuh (hlm. 161). Berdasarkan Surat al-Anbiyâ’ (21) ayat 104,
Yaitu pada hari Kami gulung langit sebagai menggulung lembaran-lembaran kertas. Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengulanginya. Itulah suatu janji yang pasti Kami tepati, sesungguhnya Kamilah yang akan melaksanakan.
Disimpulkan oleh Agus Mustofa bahwa setiap langit tertentu bertugas untuk mencatat segala kejadian, mulai dari langit pertama sampai langit ketujuh. Karena langit pertama dilingkupi oleh langit kedua, sedang langit kedua dilingkupi oleh langit ketiga, demikian seterusnya, maka kejadian-kejadian yang terdapat di langit pertama dengan sendirinya terekam juga di langit yang ketujuh (hlm. 161). Dengan begitu, mudah saja bagi Allah untuk menjatuhkan vonis surga atau neraka kepada seseorang, karena segala alat bukti tersedia dan tak ada yang terlewatkan sedikit pun.

Titik perhatian kita adalah pada: “lautan energi”, karena bertemunya langit positif dan langit negatif – sebagai akibat dari pemakaiannya untuk membalas kebaikan seseorang dan menghukum kejahatan seseorang mengakibatkan energi akan mencapai titik nol. Itulah saat terjadinya kiamat alam semesta.

Lalu, bagaimana kita membuktikan bahwa akhirat memang tidak kekal? Ini dilakukan melalui dua pembuktian: logika agama dan logika sains (hlm. 228-241).

Yang dimaksudkan Agus Mustofa dengan logika agama adalah sebagai berikut. Allah adalah Pencipta, karena itu disebut Khalik. Sedangkan alam, jadi, termasuk alam akhirat, adalah ciptaan Allah, dan karena itu disebut makhluk. Ciri pokok makhluk dalam kaitannya dengan ini adalah: dari tak ada, menjadi ada, dan kemudian akan tidak ada lagi. Karena alam akhirat adalah makhluk, dengan sendirinya kelak ia akan tidak ada lagi, betapapun lama waktu yang diperlukan.

Persoalannya kemudian, terdapat banyak ayat dalam al-Quran (misalnya QS. al-Baqarah/2, ayat 25 dan 29; Ali Imran/3 ayat 107, al-Tawbah/9, ayat 100, Hûd/11, ayat 23, dan lain-lain – yang seluruhnya, menurut Agus Mustofa, berjumlah sekitar 110 ayat) menyatakan dengan tegas bahwa kehidupan di akhirat, jadi termasuk di surga dan di neraka, adalah kehidupan yang kekal.

Maka, demikianlah, ratusan ayat tersebut “dikalahkan” oleh Agus Mustofa demi ayat berikut ini,
Adapun orang-orang yang celaka, maka tempatnya adalah di dalam Neraka, di dalamnya mereka menarik dan mengeluarkan nafas. Mereka kekal di dalamnya selama ada Langit dan Bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain). Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia Kehendaki. Adapun orang-orang yang bahagia tempatnya adalah di dalam Surga, mereka kekal di dalamnya selama ada Langit dan Bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain), sebagai karunia yang tiada putus-putusnya (QS. Hûd/11, ayat 106-108).
Berdasarkan ayat di atas, surga dan neraka bergantung pada “keberadaan Langit dan Bumi alias alam semesta.” Konsekuensinya, “Akhirat itu akan kekal jika langit dan Bumi atau alam semesta ini juga kekal. Sehingga, kalau suatu ketika alam semesta ini mengalami kehancuran, maka alam Akhirat juga bakal mengalami hal yang sama, kehancuran” (hlm. 234). Dengan kata lain, demikian ditandaskan olehnya, kalau akhirat memang kekal, maka “Pastilah Allah lebih kekal” (hlm. 236).

Menurut Agus Mustofa logika sains dapat menjelaskan bahwa ada dua hal yang menyebabkan alam semesta lenyap:
  1. Bertemunya ‘langit positif’ dan ‘langit negatif’, ketika seluruh energi positif yang dihasilkan oleh manusia telah dihabiskan untuk menikmati kebahagiaan surga; ketika seluruh energi negatif yang dihasilkan oleh manusia telah habis dibakar atau dipakai untuk menyiksa manusia di neraka, itulah saat di mana energi positif menjadi nol, dan energi negatif juga menjadi nol. “Itulah saat-saat kita semua kembali kepada ‘Ketiadaan Mutlak’. Atau sebaliknya, menjadi ‘Keber-Ada-an Mutlak’.” (hlm. 240); dan
  2. menciutnya’ alam semesta setelah mengalami kondisi berkembang selama 15 miliar tahun, sehingga lenyap di pusat alam semesta (hlm. 237). Hal ini didasarkan pada logika: “jika alam semesta berkembang dari kondisi awal (Big Bang) sampai berhenti membutuhkan waktu 15 miliar tahun, maka waktu yang diperlukan untuk menciut dari kondisi berhenti menuju titik awal juga selama 15 miliar tahun” (hlm. 241).
Selanjutnya, karena sedemikian lamanya waktu yang 15 miliar tahun itu, “sangat masuk akal kalau Allah sangat sering menggunakan kata ‘Kekal’ dan ‘Abadi’ untuk menggambarkan lamanya periode Akhirat itu” (hlm. 241).

Dan akhirnya, “sekitar 18 miliar tahun dari sekarang, alam semesta ini akan lenyap kembali seperti awal mulanya. RUANG TIDAK ADA. WAKTU TIDAK ADA. BENDA-BENDA PUN TIDAK ADA. YANG ADA HANYALAH ALLAH, SANG MAHA PERKASA — SUMBER SEGALA CINTA DAN KEDAMAIAN DI ALAM SEMESTA . . .” (hlm. 241).

Demikianlah, Agus Mustofa menginformasikan kepada kita bahwa kiamat akan terjadi 3 miliar tahun lagi, dan alam semesta akan lenyap 18 miliar tahun lagi, saat di mana alam akhirat pun juga akan musnah.


Sekadar Tinjauan (Kritis)

Pertama-tama, kami ingin menyatakan bahwa karya Agus Mustofa ini adalah sebuah buku yang amat berguna bagi kaum Muslim terutama yang awam atau tidak mampu memperkaitkan antara kebenaran wahyu Allah dengan hasil-hasil ilmu pengetahuan modern. Sudah sering dikemukakan bahwa ilmu pengetahuan dapat bertentangan dengan pengetahuan agama. Ini adalah pernyataan yang sama sekali salah. Agama dan wahyu yang benar tidak mungkin bertentangan dengan ilmu pengetahuan, karena kedua-duanya mengacu pada realitas atau kenyataan secara objektif dan rasional. Namun, memang tidak banyak kaum Muslim yang telah mampu melakukan hal tersebut. Agus Mustofa telah memberikan kontribusinya dalam bidang ini. Terlepas dari itu, cukup banyak penafsiran atau “temuan” Agus Mustofa yang belum dapat kita setujui — paling tidak, kita masih meminta bukti dan argumentasi lebih lanjut.

Sesungguhnya, kami ingin mendalami aspek metodologis, namun tampaknya Agus Mustofa tidak terlalu mempermasalahkan aspek metodologis karyanya ini. Dalam penafsiran al-Quran, misalnya, Agus Mustofa tampaknya terikat dengan aspek lahiriah teks. Informasi mengenai kesejarahan (Nabi Adam, misalnya) telah diterima bulat-bulat begitu saja. Tidak sedikit mufasir al-Quran yang telah memaknai kisah Adam dan Hawa dalam al-Quran merupakan metafora semata untuk menunjukkan kualitas manusia (lebih baik daripada malaikat) namun sekaligus tetap secara fitrah memiliki kelemahan (tergoda sehingga melanggar larangan Allah). Surat Hûd/11 ayat 106-108 juga dipahami secara harfiah, padahal mufasir terkenal seperti al-Qurtubi dan Ibn Katsir di jaman abad pertengahan dulu sudah mengemukakan bahwa pernyataan itu adalah berbasis sastra Arab belaka. Seperti halnya ketika Allah bersumpah demi buah/pohon Tin, demi waktu/masa: untuk apa Allah bersumpah demi sesuatu yang akan musnah. Namun, itu tetap dipergunakan karena memang demikianlah cara orang Arab dahulu agar suatu pernyataan memperoleh perhatian yang serius. Allah dapat saja mengatakan dengan cara lain, namun, karena al-Quran adalah petunjuk bagi manusia, maka ia akan diwahyukan dalam bentuk yang sedemikian cara agar dapat dipahami oleh manusia.

Pendekatan sastra akan mengalahkan pendekatan harfiah, dalam pernyataan, misalnya, “perbuatan lelaki itu bagai pagar makan tanaman”. Tak ada yang salah dengan kalimat ini, dan bahwa “pagar makan tanaman” adalah pernyataan yang benar dan sesuai fakta karena maksud anak kalimat itu adalah “tidak tahu balas budi”; bukannya harfiah: serangkaian pagar sedang asyik menikmati menu berupa tanam-tanaman.

Sejauh menyangkut topik buku ini, dapat kita katakan sejumlah hal. Pertama, secara hakiki, tidaklah mungkin bahwa akhirat adalah kekal; kenyataan bahwa suatu waktu dahulu akhirat pernah tidak ada, sudah dengan sendirinya menunjukkan ketidakkekalan. Namun, kalau Allah bermaksud melangsungkan kehidupan akhirat tanpa memusnahkannya, itu juga masih termasuk ke dalam Kekuasaan Allah. Kalau Allah mampu menciptakan sesuatu secara creatio ex nihilo, kenapa Dia tidak mampu membuatnya ada secara terus-menerus? Yang harus dicatat: keberadaan alam akhirat itu sepenuhnya bergantung kepada Kehendak Allah semata. Jadi, dalam hal tidak kekalnya akhirat, Agus Mustofa benar. Tetapi bahwa akhirat pun pada akhirnya akan sirna, itu yang tidak terdapat informasinya dalam al-Quran, sebaliknya kitab suci itu justru menginformasikan berlangsung selama-lamanya. Sekali lagi, selama-lamanya tidak selalu berarti kekal!

Kedua, apakah alam akhirat memang harus di bumi? Itu yang menjadi persoalan. Nampaknya, mustahil bahwa kehidupan akhirat akan berlangsung di bumi dalam keadaan sebagaimana adanya dewasa ini. Namun, bilamana yang dimaksudkan adalah berlangsung dalam kosmos atau alam semesta ini, nampaknya penafsiran ini masih dimungkinkan. Seorang pakar filsafat Islam, Fazlur Rahman, pernah mengemukakan,
“Al-Qur’an tidak berbicara mengenai penghancuran alam semesta, tetapi mengenai transformasi dan penyusunan kembali alam semesta untuk menciptakan bentuk-bentuk kehidupan yang baru pada level-level kehidupan yang baru. … [seluruhnya] untuk meng-gambarkan kebesaran-Nya yang mutlak dan abadi” (Tema Pokok al-Quran, 1983, hlm. 161).
Seluruh angka yang disebutkan oleh Agus Mustofa, menurut hemat kami, dalam hal ini amat tidak relevan. Tidak selalu ayat al-Quran yang menunjuk angka harus dipahami secara harfiah, hikmah atau pelajaran moral-lah yang hendak diajarkan oleh Allah. Misalnya, dalam ayat yang berkaitan dengan Perang Badar berikut,
(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu: “Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut.” (QS. Al-Anfâl/8, ayat 9).
Kalau memang itu tujuannya, Allah tidak perlu menurunkan seribu malaikat, cukup satu malaikat saja, pasukan musyrik Quraisy Makkah yang hanya berjumlah 750 orang itu, pasti akan kalang kabut. Tetapi, ayat ini menunjukkan bahwa Allah senantiasa bersama orang-orang yang memperjuangkan Risalah-Nya. Kenyataannya, 313 orang Madinah harus berjuang hebat untuk dapat memenangkan perang di hari itu. Dan tak ada tanda bahwa seorang Quraisy harus menghadapi satu atau dua malaikat yang menyandang pedang.

Pada dasarnya, manusia adalah “makhluk material”, sebagai akibatnya cakupan ilmu pengetahuan manusia adalah meliputi “hal-hal material” juga. Baik mengenai jin, malaikat, akhirat – surga dan neraka, maupun mengenai Tuhan, apa yang diketahui manusia, kalaupun ada, sungguh-sungguh sedikit. Wilayah pun, bukan lagi wilayah ilmu, melainkan wilayah filsafat. Filsafat memiliki prosedur konklusi yang berbeda. Namun, keduanya sama dalam hal berbasis pada fakta. Dewasa ini, ilmu tanpa filsafat akan kehilangan orientasi dasar dan makronya, filsafat tanpa ilmu akan “liar”. Seluruh pembahasan alam akhirat ini berada dalam wilayah “immaterial”; akibatnya, tak ada ilmu yang dapat memverifikasi atau memfalsifikasinya, dan, karenanya, filsafat pun terbatas pada wilayah “dugaan” semata. Malahan, sebenarnya, hanya sedikit yang telah kita ketahui mengenainya. Apakah berdasarkan yang sedikit ini kita dapat memiliki gambaran yang memadai tentang akhirat? Apalagi bila diingat, yang sedikit itu didasarkan kepada “hukum-hukum material” yang belum lagi menjadi aksioma, namun barulah sebatas teori, sedangkan alam akhirat berada dalam wilayah “hukum-hukum immaterial” – paling tidak hingga saat ini.

Keberadaan alam akhirat adalah benar adanya – malahan, bagi manusia yang mudah lengah itu (QS. Qâf/50, ayat 22), adanya kehidupan akhirat adalah keharusan. Tak setiap kebaikan di dunia berbuah kebaikan, sebaliknya, tak setiap kejahatan berbalas hukuman. Agar ada perhitungan yang fair atas kinerja dan perilaku bagi tiap-tiap orang, suatu “Hari Pembalasan” atas setiap perbuatan baik atau buruk sekecil apapun haruslah ada. Dan itulah Hari Akhirat. Sesungguhnya, inilah pelajaran pokok atas banyaknya ayat-ayat Allah yang membicarakan alam tersebut.

Lâ yukallifullâhu nafsan illa wus ‘ahâ

Senin, 16 Mei 2011

Berperang Demi Tuhan Karya Karen Armstrong

 
Weko Kuncara

 
The Book of the Sects
Buku Armstrong ini yang dibicarakan di sini berjudul Berperang Demi Tuhan: Fundamentalisme dalam Islam, Kristen dan Yahudi (Bandung: Mizan dan Serambi, 2001). Melihat judul dalam bahasa aslinya (Inggris), judul terjemahan ini tidak ada distorsi, artinya memang sesuai dengan maksud pengarangnya.[1] Ditulis dalam 640 halaman terjemahan termasuk 26 halaman bibliografi yang memuat ratusan referensi menunjukkan keluasan bahan yang dimiliki sekaligus juga memperlihatkan keseriusan pengarang dalam menulis topik ini, buku ini pada dasarnya ditulis dalam format penuturan kronologis menyangkut perkembangan tiga “agama dari kemah Ibrahim” mulai dari tahun 1492 hingga 1999 dalam kaitannya dengan reaksi terhadap modernitas. Sampai di sini saja telah terlihat betapa luas persoalan yang hendak diliput buku ini.

Nama Karen Armstrong akhir-akhir ini cukup populer di Indonesia. Dia sendiri tampaknya adalah seorang pengarang yang produktif. Dalam waktu kira-kira 10 tahun (1991-2001) dia telah menulis 9 judul buku, yang berarti rata-rata dalam setahun ia menghasilkan sebuah buku, dalam subjek-subjek yang terkonsentrasi pada religionwissenschaft. Di Indonesia ia mulai terkenal setelah penerbitan terjemahan bukunya Muhammad: Sang Nabi (Surabaya: Risalah Gusti, 1998), yang tampaknya cukup sukses di pasaran Indonesia. Bukunya yang paling populer di Barat adalah Islam: A Short History (New York: Ballantine Books, 2000) dan telah pula diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, Islam: A Short History. Sepintas Sejarah Islam (Jakarta: Ikon Teralitera, 2002). Satu edisi majalah Basis (lihat edisi No.05-06, Mei-Juni, 2002), terbitan komunitas Serikat Yesus Katolik Indonesia, khusus membahas karya dan tantangan provokatifnya, A History of God: the 4000-Year Quest of Judaism, Christianity and Islam (1993), yang telah pula diindonesiakan, Sejarah Tuhan (Bandung: Mizan, 2001). Bagaimana tidak provokatif bila dalam bab terakhir buku itu ia menantang dan bertanya: “Adakah Masa Depan bagi Tuhan?”.

Kesan pertama ketika membaca buku yang sekarang ini mengingatkan saya akan terjemahan tulisan al-Syahrastani (ahli heresiografer Islam yang meninggal tahun 1153), al-Milal wan Nihal [2], tentang sekte-sekte Islam. Tentu saja, yang dibahas dalam buku ini adalah gerakan-gerakan ketiga agama, Yahudi, Kristen dan Islam, dalam merespon perubahan dunia yang cepat terkait dengan kemajuan sains dan teknologi yang berdampak pada sekularisme. Maka, pertama-tama, kita perlu melihat pretensi Armstrong.

Armstrong telah dengan benar menunjuk anggapan umum bahwa “sekularisme adalah suatu keniscayaan dan bahwa faktor agama tidak berperan penting dalam peristiwa-peristiwa besar dunia. Aksiomanya adalah jika manusia menjadi lebih rasional, maka mereka tidak lagi berperan penting dalam peristiwa-peristiwa besar dunia. Atau kalau tidak, mereka akan memasukkan agama itu menjadi sesuatu yang pribadi, suatu wilayah kehidupan privat” (hlm. X). Karena sifat sekularisme yang ingin meminggirkan dan bahkan melenyapkan agama inilah maka, kaum agamawan yang masih taat pada agamanya melakukan defense mechanism: mempertahankan diri dengan cara melakukan perlawanan terhadap ancaman pemusnahan. Bagi mereka, perlawanan ini bukanlah peperangan biasa, melainkan suatu “peperangan kosmis antara kebaikan dan kejahatan” (hlm. XII). Berbagai gerakan dalam rangka pertahanan dan perlawanan kemudian muncul, dan Armstrong, sembari menginsyafi bahwa gerakan itu muncul dalam setiap agama, memfokuskan bukunya pada gerakan yang terdapat pada agama Yahudi, Kristen dan Islam. Inilah sebabnya, bahkan semenjak awal hingga akhir bukunya sarat dan penuh sesak dengan paparan gerakan-gerakan keagamaan dari ketiga agama tersebut. Dan, oleh karena tidak setiap gerakan keagamaan itu mendapatkan pengakuan dari pihak-pihak yang dianggap otoritatif dari institusi resmi agama masing-masing, maka saya mendapat kesan buku ini merupakan deskripsi “sekte-sekte” itu.

Dalam satu sudut, paparan perlawanan kaum agamawan terhadap sekularisme, yang berbasiskan sains dan teknologi, dapat dipandang sebagai sejarah perlawanan “agama” terhadap ilmu pengetahuan. Maka, Armstrong juga mengungkap bagaimana gereja pertama sekali bereaksi terhadap Galileo. Meskipun, menurut saya, perlawanan “agama” terhadap ilmu itu hanya benar dalam konteks Eropa dan Barat. Dunia Islam cukup apresiatif terhadap sains dan teknologi bahkan semenjak awal kemunculannya. Apa yang telah dimatikan dalam Dunia Islam adalah pemikiran spekulatif filsafat yang dicurigai mempersoalkan hal-hal yang telah tidak boleh dipersoalkan lagi dalam agama (ushul al-din) dan ini tidak tidak terlalu berkaitan langsung dengan perkembangan sains dan teknologi.

Gereja, dan begitu pula dengan gerakan keagamaan yang muncul kemudian, melakukan perlawanan terhadap sains dan ilmu sebagai cikal bakal sekularisme, secara sederhana karena Gereja sebelumnya telah memiliki pandangan tertentu menyangkut kosmos, fenomena alam, dan kebenaran. Ketika sains telah berkembang dan mengalami kemajuan pesat, tampaklah bahwa pandangan-pandangan gereja itu tidak dapat dipertahankan lagi oleh karena memang tidak dapat dibuktikan dalam ukuran-ukuran rasional dan metode ilmiah. Bahwa Adam, manusia pertama, hidup pada tahun 5000 SM, dan diciptakan secara sempurna oleh Tuhan, bahwa bumi adalah pusat tata surya, kisah-kisah dalam Alkitab tidak dapat dibuktikan secara historis, dan akhirnya, seluruh penjelasan rumit mengenai Trinitas Kristen dijadikan bahan tertawaan karena tidak ada satu metode pun (juga filsafat) yang dapat membuktikan hal tersebut. Membuktikan satu Tuhan yang transenden dari alam saja sudah sulit, apalagi harus membuktikan bahwa “Dia” juga hadir di dunia material. Maka, runtuhlah sudah seluruh fundamental bangunan dogmatika gereja yang telah dibangun berabad-abad. Perlawanan terhadap sains dan metode-metode rasional menjadi umum di kalangan kaum taat beragama. Ada suatu kisah menarik yang dituturkan oleh Armstrong dalam kaitannya dengan ini.

Pada tahun 1925 di kota Daytona, Amerika Serikat (AS), John Scopes mengajarkan teori evolusi di dalam kelas biologi. Dia kemudian dituntut oleh para pemuka agama Protestan AS, dengan William Jennings Bryan, pemuka kaum Protestan AS, sebagai jaksa penuntut umumnya. Sementara American Civil Liberties Union, yang menganggap ini sebagai pelanggaran terhadap hak-hak kebebasan berbicara bagi warga negara mengirimkan Clarence Darrow sebagai pembela Scopes. Kasus ini digambarkan oleh Armstrong bukan lagi sebagai perkara pengadilan, melainkan sebagai “pertentangan antara Tuhan dan ilmu pengetahuan” (hlm. 277). Di sini akan saya berikan kutipan yang agak lengkap mengenai garis besar persidangan.
“Ketika Darrow berhadap-hadapan dengan Bryan di persidangan, ia menyerang Bryan secara tajam dan tanpa ampun mengungkapkan kekacau-balauan dan kedangkalan cara berpikirnya. Dalam keadaan tersudut, Bryan dipaksa mengakui bahwa usia alam semesta jauh lebih tua dari enam ribu tahun seperti yang terkandung dalam pengertian harfiah di dalam Alkitab, bahwa masing-masing ‘hari’ dalam enam hari proses penciptaan yang disebut dalam Kitab Kejadian jauh lebih panjang dari 24 jam, bahwa dia tidak pernah membaca catatan-catatan kritis tentang orisinalitas ayat-ayat Alkitab, bahwa dia tidak punya ketertarikan pada agama lain, dan akhirnya, pengakuan bahwa ‘saya tidak memikirkan hal-hal yang tidak saya ingin pikirkan’ dan hanya ‘sesekali’ memikirkan apa yang memang dia pikirkan. Ini adalah kekalahan mutlak” (hlm. 278).
Meskipun Scopes akhirnya dinyatakan bersalah dan dikenai sanksi denda, tetapi “Darrow muncul sebagai pahlawan kebebasan berpikir secara rasional dan jernih, dan pak tua Bryan mendapat reputasi buruk sebagai orang yang kikuk, tidak cakap, dan tak jelas pandangannya; dia meninggal hanya beberapa hari setelah persidangan itu, akibat kelelahan” (hlm. 278).
 
Kasus kekalahan “Tuhan” di hadapan ilmu pengetahuan tidak sekali itu saja terjadi. Kasus tersebut hanyalah sebuah contoh saja untuk menunjukkan betapa absurdnya sikap tidak mau mengapresiasi secara layak pemikiran rasional, modernitas dan akhirnya sekularisme. Era modern sudah seharusnya meninggalkan agama yang merupakan produk manusia-manusia jaman pramodern. Ia hanya cocok untuk masa lalu, karena di masa lalu agama merupakan mode of existence manusia. Sementara, yang kompatibel dengan masa kini, dan oleh karena itu merupakan modern age mode of existence, adalah berpikir secara rasional dan mengandalkan sains yang ilmiah. Karena keterbatasan rasionya, manusia di masa lalu hanya mampu mengungkap sedikit fenomena alam, tetapi tidak untuk hari ini. Semuanya kini bisa dijelaskan dan oleh karenanya tiap-tiap pandangan, pendapat dan kepercayaan harus ditundukkan oleh rasio dan ilmu pengetahuan. Sementara itu, karena agama tidak mampu menunjukkan atau membuktikan klaim-klaim kebenaran yang dinyatakannya, maka, atas nama harkat dan martabat kemanusiaan, agama harus ditinggalkan, kalau memang manusia ingin tetap berpartisipasi dalam kehidupan di dunia modern ini.

Di AS kini, agama Protestan, yang dianut mayoritas penduduknya, secara kasar dapat dibedakan dua “jenis” penganut: fundamentalis dan sekular. Yang tetap berpegang secara harfiah kepada teks-teks Alkitab dan yang berpandangan secara lebih positif terhadap pemikiran rasional. Pada dasarnya, seluruh agama monoteis yang dibahas dalam buku Armstrong memiliki dua “jenis” pengikut yang semacam itu. Apabila terhadap penganut agama yang bersedia menerima kemodernan dianggap sebagai hal yang wajar, maka terhadap kaum fundamentalis ini Armstrong ingin menunjukkan bahwa sikap mereka itu “telah didorong rasa ketakutan, kecemasan, dan hasrat umum yang tampaknya merupakan respons yang lazim terhadap berbagai kesulitan hidup di dunia modern yang sekular” (hlm. XIII).

 
Agree in Disagreement
Masalahnya adalah: semakin kaum fundamentalis ditekan dan ditindas serta dipaksa menerima modernitas dan sekularisme, mereka akan semakin militan dan mengeras perlawanannya. Untuk ini, Armstrong telah membuktikan dengan amat meyakinkan: kasus Scopes, sayap radikal Ikhwan al-Muslimun di Mesir (yang menembak mati Anwar Sadat), Zionis-religius di Israel (ingat pembunuhan Yitzhak Rabin oleh mereka), dan yang paling spektakuler: keberhasilan Revolusi Islam Iran setelah penindasan yang begitu mendalam oleh rejim Syah Iran. Maka, tidak ada cara lain untuk membiarkan kaum fundamentalis dengan keberadaan dan cara keberadaan mereka, menghormati keyakinan mereka; sebagaimana kita menuntut agar mereka lebih simpatik dalam sikap perlawanannya terhadap mereka.

Untuk ini Armstrong memiliki teori menarik, yang diambil dari Johannes Sloek, intelektual Denmark. Menurutnya, manusia masa lalu mengembangkan dua cara berpikir, dua cara berbicara, dan dua cara memperoleh pengetahuan: mitos (mithoi) dan logos (logoi). Keduanya penting dan dianggap “saling melengkapi dalam mencapai kebenaran, dan masing-masing memiliki kelebihan” (hlm. XV).
“Mitos berurusan dengan makna dan tidak berurusan dengan masalah-masalah praktis. Manusia akan mudah jatuh ke dalam keputusasaan jika mereka tidak menemukan makna dalam hidup mereka. Mitos dalam suatu masyarakat memberi manusia konteks yang membuat kehidupan rutin mereka masuk akal … Mitos tidak bisa ditunjukkan dengan bukti-bukti rasional. Manfaatnya lebih bersifat intuitif … Pada zaman pramodern, manusia memiliki pandangan sejarah yang berbeda. Mereka kurang tertarik dengan apa yang sebenarnya terjadi. Mereka lebih tertarik dengan makna dari kejadian tersebut. Peristiwa historis tidak dilihat sebagai kejadian unik yang terjadi di suatu masa nun jauh di sana, melainkan dilihat sebagai perwujudan eksternal reaalitas abadi yang konstan” (hlm. XVI-XVII).
Sedangkan logos adalah “pemikiran rasional, pragmatis, dan ilmiah yang memungkinkan manusia berfungsi dengan baik di dunia … Kita menggunakan penalaran logis dan diskursif jika kita ingin mewujudkan sesuatu, menuntaskan pekerjaan, atau membujuk orang lain melakukan tindakan yang sama. Logos bersifat praktis” (hlm. XVII-XVIII). Tetapi, logos memiliki kelemahan. Ia “tidak mampu mengurangi kesedihan dan kepedihan manusia. Argumen rasional tidak mampu memahami tragedi. Logos tidak mampu menjawab pertanyaan tentang nilai puncak dalam kehidupan manusia. Seorang ilmuwan bisa membuat sesuatu berfungsi lebih efisien dan menemukan fakta-fakta baru tentang alam fisik, namun dia tidak akan bisa menjelaskan makna kehidupan” (hlm. XIX). Pada titik inilah manusia memerlukan mitos.

Agama kaum fundamentalis, yang dipahami oleh Armstrong sebagai produk manusia di masa lalu, adalah merupakan mitos. Dan persis itulah yang coba dihilangkan oleh manusia modern. Maka modernisasi “selalu menjadi suatu proses yang menyakitkan” (hlm. XX). Betapapapun aneh dan tidak masuk akalnya agama kaum fundamentalis itu, namun, kata Armstrong, “untuk mencegah memanasnya konflik, terkadang kita harus mencoba memahami rasa sakit dan persepsi dari sudut pandang lain” (hlm. XX), maksudnya dari sudut kaum fundamentalis sendiri.
 
Eksistensi kaum dan gerakan fundamentalis adalah kenyataan, sementara realitas dan sikap hidup dunia modern menghendaki untuk menerima perbedaan sebagai sesuatu yang wajar. Bila kita berharap agar kaum fundamentalis lebih simpatik dalam cara mereka keberadaan dan perlawanan mereka sekalipun, maka hendaknya kita pun dapat lebih empatik dalam memahami persoalan-persoalan yang mereka hadapi.


Tidak Tajam, tetapi Kerikil
Buku ini merupakan sebuah serangan yang terencana terhadap eksistensi agama. Meskipun secara simpatik Armstrong telah mengajak orang untuk lebih memahami kaum beragama dan sistem kepercayaan yang mereka anut, namun dia —seperti halnya pandangan kaum sekularis— memandang bahwa agama sebenarnya adalah sesuatu yang kuna dan sudah tidak relevan untuk diikuti pada masa modern ini. Agama adalah mitos, agama adalah produk masa lalu dan hanya berguna ketika manusia belum sanggup mengoptimalkan kemampuan daya berpikirnya, agama adalah pedoman hidup di masa lalu. Di masa sekarang pedoman hidup itu adalah ilmu pengetahuan, sains dan teknologi. Masa bagi agama sudah lewat. Para penganut agama adalah kaum yang masih beromantisme dengan masa lalu. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa pemeluk agama seperti “penderita penyakit tertentu”. Dan terhadap orang yang sedang “sakit”, siapapun juga harus lebih memberikan perhatian kepadanya. Bila kaum beragama adalah “orang yang sakit”, kaum fundamentalis adalah “penderita yang sakitnya sudah agak parah”. Jadi perhatian ekstra atau lebih besar lagi harus diberikan kepada mereka.

Karena pandangan semacam itulah maka tidak heran bila Armstrong dalam sejumlah tempat di buku ini menggunakan kerangka teori Sigmund Freud. Ahli psikoanalisis ini sudah terkenal akan pendapatnya bahwa agama adalah semacam penyakit neurosis tertentu. Penerimaan Armstrong atas teori Sloek juga membuatnya sejak semula telah memiliki pandangan sekular, pemisahan yang sakral dan profan. Oleh karena itu, meskipun Armstrong mengajak orang lain untuk lebih memahami, menoleransi dan lebih mengapresiasi para pemeluk agama, ajakan itu tidaklah didasarkan pada pandangan bahwa “kita harus bisa menerima perbedaan pendapat dalam banyak hal, terutama dalam masalah keyakinan”, namun lebih karena para pemeluk agama adalah orang-orang yang menderita penyakit tertentu.

Jelaslah bahwa pandangan ini merupakan suatu serangan terhadap agama. Namun, baik serangannya maupun ajakannya bukanlah hal yang baru. Malah bisa dikatakan merupakan sebuah perkembangan wajar bagi orang Barat mengingat gelapnya masa lalu mereka dalam berhadapan dengan agama. Agamalah yang telah membuat orang Barat masa lalu terkungkung dalam kebodohan, agamalah yang telah menjerumuskan mereka ke dalam perang saudara selama puluhan tahun dan bekas-bekasnya masih dapat dirasakan hingga kini. Dan agamalah pulalah yang kini menghalang-halangi mereka untuk lebih mengeksplorasi ilmu dan sains. Berbarengan dengan kesadaran untuk “lebih menghormati keyakinan lain” mulai muncul ajakan untuk bisa menerima dan menoleransi keberadaan “yang lain” itu.

Bagi umat beragama serangan Armstrong ini ibaratnya kerikil, belumlah suatu besar karena dia tidak pernah memasuki ranah yang paling “suci”, misalnya, teks-teks kitab suci atau para nabi. Oleh karena itu, Berperang Demi Tuhan, meskipun kerikil namun tidak terlalu tajam. Bahwa kita umat pemeluk agama harus sungguh-sungguh menyimak apa yang dikatakan Armstrong adalah jelas: “berhentilah, mau menang dan merasa benar sendiri; mulailah mengenal dan menerima keberadaan yang lain”. Sebab, meskipun tidak tajam, dia tetaplah kerikil; dan sejauh kerikil dia dapat mengganggu cara dan kecepatan kita berjalan. Saya kira, itulah bahan perenungan kita bersama.

Sungguh mengherankan bahwa Armstrong memerlukan diri untuk menyiapkan ratusan halaman guna menjelaskan dua hal yang sebenarnya bukan sama sekali baru. Dalam pandangan saya, sebenarnya, karya Armstrong dapat dipadatkan hingga setengah atau sepertiga tebal saat ini. Paparannya terlalu bertele-tele. Analisis Armstrong yang luas, tak membuatnya mendasar dan mendalam. Ia, misalnya, sama sekali tak melihat perlawanan agamawan yang di-package dalam label keagamaan, tidak benar-benar religius, melainkan semata-mata perlawanan terhadap penindasan kemanusiaan atau, lebih spesifik lagi, hak-hak politik dan keinginan penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya. Sebenarnya, analisis Armstrong akan menarik dan mendalam bila ia menggunakan pendekatan analitik struktural yang mengombinasikan antara kenyataan-kenyataan sosial, ekonomi dan politik, sehingga gambaran lengkap perlawanan kaum fundamentalis terungkap. Marilah kita lihat kasus paling spektakuler dan dicontohkan sendiri oleh Armstrong: Revolusi Islam Iran.

Kasus apakah yang kita hadapi di sini? Keberingasan kaum fundamentalis atau kezaliman penguasa Syah Iran? Akankah kaum Muslim Syiah akan bersedia secara sukarela mendukung habis-habisan Khomeini seandainya dia bukanlah simbol perlawanan terhadap rejim yang menindas? Dan mengapa Khomeini, bukankah Marja’-i-taqlid (otoritas tertinggi Syiah Iran) pada waktu itu adalah Ayatullah Burujerdi? Mungkinkan Burujerdi tidak akan ditinggalkan oleh umatnya bila dia tidak nyaris hampir selalu mengesahkan penindasan yang dilakukan oleh rejim penguasa? Dan mengapa tokoh intelektual semacam Ali Syari’ati yang jelas-jelas berkecenderungan Marxisme bisa mendapat tempat sebagai salah seorang ideolog Revolusi Iran? Mengapa pula pimpinan partai komunis Iran, Bani Shadr, masih dipercaya sebagai salah seorang pemimpin Iran sesudah rejim Syah Iran jatuh? Jelaslah di sini bahwa kita tidak sedang berhadapan dengan keberingasan kaum fundamentalis Syi’ah, melainkan kita sedang menyaksikan revolusi warga negara terhadap penguasanya yang lalim. Tidak kurang dan tidak lebihnya, kita sedang melihat Revolusi Perancis terulang dalam konteks Iran. Jadi, pendekatan Armstrong gagal menjelaskan fenomena ini. Revolusi Iran hanya dapat dipahami secara lebih baik dalam konteks: keadilan sosial-ekonomi dan partisipasi politik warga negara. Bahwa para pemimpin Revolusi Iran sadar betul agama bisa memainkan peranan dalam menjatuhkan rejim sudah jelas: warga Iran sedang butuh ideologi untuk mempersatukan mereka. Apakah itu akan mereka ketemukan pada diri Imam Khomeini, pikiran-pikiran revolusioner Ali Syari’ati ataupun komunisme Bani Shadr, warga negara barangkali sudah tidak terlalu peduli lagi. Gulingkan dan usir Syah dari Iran, lain-lain bisa dibicarakan belakangan.

La yukallifullahu nafsan ila wus’aha


Catatan Akhir
[1] Sekadar menyebutkan contoh judul buku yang didistorsi pihak penerbit untuk lebih memperoleh pasar yang lebih luas adalah buku Abdelwahab el-Affendi Masyarakat Tak Bernegara (judul aslinya Who Need an Islamic State?, 1991; terj. Amiruddin Ar-Rani). Yogyakarta: LKiS, 1994, mestinya berjudul Siapa yang Membutuhkan Negara Islam?; dan William Montgomery Watt Studi Islam Klasik: Wacana Kritik Sejarah (judul aslinya The Formative Period of Islamic Thought; terj. Sukoyo, Zainul Abas, Asyahabuddin). Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999, mestinya berjudul Periode Pembentukan Pemikiran Islam.
[2] Muhammad bin Abdul Karim al-Syahrastani. Sekte-sekte Islam: Bagian tentang Sekte-sekte Islam dalam Kitab al-Milal wan Nihal (Muslim Sects and Divisions. The Section on Muslim Sects in Kitab al-Milal wan-Nihal, trans. AK. Kazi and JG. Flynn, London: Kegan Paul International, 1984; terj. Karsidi Diningrat). Bandung: Pustaka, 1996.

Jumat, 13 Mei 2011

Kartosuwirjo dan NII (1907-1962)

Weko Kuncara

Pendiri Gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang kemudian memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) adalah Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo. Bagi banyak orang nama tersebut lekat dengan kesan-kesan kolot, sadis dan salah seorang perongrong kewibawaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Meskipun demikian, dia adalah seorang penentang gigih kolonialisme Belanda; bahkan ketika banyak di antara kawan seperjuangannya mulai bisa menerima politik kooperatif (kerjasama) dengan penjajah, Kartosuwirjo, dengan segala dalil sosiologis dan agamisnya, menentang politik tersebut. Sesungguhnya dia adalah seorang ideolog; seorang yang cerdas dan jauh sebelum generasi tahun 1970-an hingga sekarang mengenal apa yang disebut dengan ‘pemikiran orientalis’, Kartosuwirjo sudah amat akrab dengan gagasan-gagasan mereka. Tulisan ini dimaksudkan untuk memperkenalkan pribadi Kartosuwirjo dan perjalanan NII sampai ketika ia dieksekusi mati pada awal tahun 1960-an.
 
Sudah cukup banyak karya tulis yang membicarakan Kartosuwirjo dan NII. Beberapa di antaranya menyajikan dengan nada simpati dan mendukung perjuangannya, namun kebanyakan mendiskusikannya dalam nada yang tidak terlalu simpatik. Karena itu,  saya menganggap sekarang ini kita masih memerlukan suatu perkenalan yang mampu memberikan penilaian yang relatif berimbang atas sepak terjang mantan mahasiswa sekolah tinggi kedokteran di Surabaya itu. Inilah pretensi pokok tulisan ini.
 
Meskipun pada dasarnya bisa dikatakan bahwa tulisan ini sebenarnya merupakan rangkuman dari karya Holk Harald Dengel, seorang berkebangsaan Jerman yang menekuni sejarah Indonesia, namun poin terpenting tulisan ini merupakan penafsiran saya, yakni mengenai evolusi gagasan Negara Islam dalam struktur pemikiran Kartosuwirjo. Poin yang juga krusial adalah penafsiran saya mengenai sikap Kartosuwirjo terhadap jalannya Negara Republik Indonesia semenjak diproklamasikan Soekarno-Hatta hingga deklarasi NII olehnya. Karya Dengel yang aslinya merupakan disertasi untuk meraih gelar doktor dalam ilmu sejarah tersebut telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Darul Islam dan Kartosoewirjo: Angan-angan yang Gagal (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1996).

 
Kartosuwirjo di Jaman Penjajahan, 1907-1945 
Orang ini dilahirkan pada tanggal 7 Januari 1907 di Cepu, Jawa Tengah. Ayahnya adalah seorang mantri penjual candu di Pamotan dekat Rembang (masih Jawa Tengah) yang diangkat menjadi pegawai oleh pemerintah Hindia Belanda di bidang distribusi perdagangan candu yang dikontrol pemerintah. Jabatan ayahnya ini dapat disamakan dengan Asisten Wedana [1]. Artinya, ayahnya mempunyai kedudukan yang cukup terpandang sebagai seorang pribumi saat itu. Kartosuwirjo memiliki seorang kakak perempuan dan seorang kakak lelaki (yang memimpin Serikat Buruh Kereta Api pada tahun 1920-an).
 
Pada usia enam tahun, Kartosuwirjo masuk Sekolah Rakyat (Sekolah Dasar), di desa tempat tinggal orang tuanya. Pada waktu ujian akhir kelas IV, ia pindah ke Hollandsch-Inlandsche School (HIS, setingkat SD namun berstandar bumiputra) di Rembang. Ketika orang tuanya pindah ke Bojonegoro pada tahun 1919, Kartosuwirjo dimasukkan ke Europeesche Lagere School (ELS, setingkat sekolah menengah namun berstandar Eropa yang khusus diperuntukkan bagi anak-anak atau keturunan orang Eropa). Karena standar pendidikan di ELS lebih tinggi daripada HIS, maka Kartosuwirjo diturunkan satu kelas. Di Bojonegoro, Kartosuwirjo mengenal Notodiharjo, seorang guru di bidang keruhanian. Kemungkinan besar, inilah satu-satunya pendidikan agama yang diperolehnya semasa remaja.
 
Setelah lulus dari ELS, Kartosuwirjo pada tahun 1923 pergi ke Surabaya dan mulai kuliah pada NIAS (Nederlandsch Indische Artsen School, sebuah sekolah kedokteran). Di sekolah ini ia mengikuti tingkat persiapan selama tiga tahun. Kemudian pada tahun 1926, dia memulai kuliah utama yang sebenarnya, tetapi setahun kemudian dikeluarkan dari NIAS. Alasan untuk itu, menurutnya sendiri, adalah karena ia memiliki sejumlah buku sosialis dan komunis —yang setelah peristiwa pemberontakan PKI yang gagal pada tahun 1926/1927— cukup menjadi alasan bagi pihak birokrat untuk mengeluarkannya dari sekolah. Buku-buku itu diperolehnya dari pamannya, Marco Kartodikromo, seorang wartawan dan sastrawan terkemuka beraliran kiri, yang bersama-sama dengan Semaun, Alimin dan Darsono merupakan tokoh-tokoh penting PKI waktu itu. Akibat kontak dengan pamannya ini, minat politik Kartosuwirjo berkembang.
 
Sudah sejak tahun 1923 dia memasuki gerakan Jong Java (“Pemuda Jawa”) di Cabang Surabaya, malahan tak lama kemudian ia menjadi ketuanya (jadi dalam usia kurang dari 25 tahun). Ketika anggota-anggota Jong Java yang lebih mengutamakan keislaman memisahkan diri dan membentuk Jong Islamieten Bond (JIB, Himpunan Pemuda Islam), Kartosuwirjo pindah ke organisasi ini, dan tak lama kemudian menjadi ketua JIB cabang Surabaya.
 
Melalui keanggotaan dalam organisasi-organisasi itulah Kartosuwirjo berkenalan dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional lain, seperti Haji Agus Salim dan HOS (Haji Oemar Said) Tjokroaminoto – pemimpin Sarekat Islam yang kharimastik itu. Pandangan politik dan terutama cita-cita politik Islam Tjokroaminoto ternyata di kemudian hari sangat mempengaruhi jalanan pikiran Kartosuwirjo.
 
Ketika pada awal tahun 1927 Kartosuwirjo dikeluarkan dari NIAS, dan kemudian dari JIB [2], dia kembali untuk beberapa bulan ke Bojonegoro di mana ia bekerja sebagai guru swasta untuk membiayai hidup ibunya, karena ayahnya sudah meninggal dunia pada tahun 1925. Dalam bulan September, masih di tahun 1927, Kartosuwirjo kembali ke Surabaya dan menerima tawaran Tjokroaminoto untuk menjadi sekretaris pribadinya. Ketika tak lama kemudian Tjokroaminoto pindah ke Cimahi, Kartosuwirjo turut menemaninya ke sana, walau tidak tinggal bersamanya. Di Cimahi, untuk pertama kalinya Kartosuwirjo bertemu dengan Soekarno yang waktu itu telah mendirikan dan menjadi Ketua Partai Nasional Indonesia (PNI, berdiri 1927). Di sini, mereka bertiga cukup kerap terlibat dalam diskusi-diskusi tentang politik. Kartosuwirjo semakin sering bertemu dengan Soekarno, ketika keduanya sama-sama terlibat dalam Permufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI, sebuah organisasi induk, semacam organisasi konfederasi, yang bermaksud menampung aspirasi segala organisasi yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, yang dibentuk juga atas gagasan Soekarno).
 
Dalam Kongres Partai Serikat Islam Hindia Timoer (PSIHT) [3] pada bulan Desember 1927 di Pekalongan, Kartosuwirjo terpilih menjadi sekretaris jenderal (Sekjen) partai itu. Salah satu keputusan kongres adalah bahwa pimpinan partai harus dipindahkan ke Batavia (sebelumnya di Surabaya). Di samping bertugas sebagai Sekjen, Kartosuwirjo mulai bekerja sebagai wartawan pada koran harian partai tersebut, yaitu Fadjar Asia. Dalam waktu hanya 16 bulan ia mula-mula bekerja sebagai korektor, reporter dan redaktur sampai akhirnya menjadi wakil pimpinan redaksi dan kuasa usaha. Malahan suatu waktu ketika, Agus Salim sedang berada di luar negeri dan Tjokroaminoto sedang terbaring sakit, Kartosuwirjo menjadi pimpinan harian tersebut.
 
Selama tahun 1928, dalam tugas-tugasnya sebagai pengurus partai, Kartosuwirjo banyak melakukan perjalanan ke daerah-daerah yang memiliki cabang-cabang PSIHT. Antara lain ia ke Malangbong (Jawa Barat, sekitar arah Timur Laut dari Garut atau Barat Laut dari arah Tasikmalaya), di mana ia bertemu dengan pimpinan PSIHT setempat, Ajengan Ardiwisastera. Di tempat inilah ia bertemu putri sang Ajengan yang bernama Siti Dewi Kalsum, dan kelak akan menjadi istrinya. Di Malangbong, Kartosuwirjo merupakan orang yang sangat terpandang bukan hanya karena reputasi calon mertuanya yang tinggi, tetapi juga karena dia datang dari ibukota, pernah kuliah di NIAS (jumlah mahasiswa pada waktu itu hanya beberapa gelintir orang), sekretaris Tjokroaminoto dan pimpinan pusat PSIHT. Akhirnya, pada bulan April 1929, di Malangbong, Kartosuwirjo menikahi Dewi Siti Kalsum, yang lebih muda dua tahun darinya.
 
Masih dalam tahun 1928, Kartosuwirjo menjadi utusan PSIHT untuk kongres pemuda Indonesia di Batavia. Dalam forum ini Kartosuwirjo menjelaskan gagasannya mengenai hakikat pendidikan pada masa akan datang yang amat berbeda dengan pemikiran ketua kongres, Sugondo. Ia menegaskan bahwa dasar-dasar pendidikan harus berlandaskan pada ajaran Islam. Sugondo mengecam pandangan itu sebagai dapat memecah persatuan bangsa. Namun Kartosuwirjo dengan sengit membela pandangannya. Perdebatan itu diakhiri ketika Sugondo memukul palu di atas mimbar. Utusan PNI, Mr. Soenario, amat heran atas sikap tanpa kompromi Kartosuwirjo yang bagi orang Jawa merupakan hal yang tidak lumrah.
 
Pada tahun 1929, dalam usia 22 tahun, Kartosuwirjo sebagai redaktur Fadjar Asia mulai menerbitkan artikel-artikel, yang mula-mula hanya ditujukan untuk menentang bangsawan-bangsawan Jawa yang bekerja sama dengan pemerintah penjajah. Di dalam artikel-artikelnya ini mulai terlihat sikap dan pandangan-pandangan politiknya yang radikal. Sebagai wartawan, dia juga menyerang Raja Surakarta, ketika sang raja mengadakan resepsi ulang tahunnya yang ke-64 dan hanya memperhatikan wartawan-wartawan Belanda. Dia, antara lain, menulis [4]
Rasa kebangsaan tak ada, keislaman pun demikian pula halnya, kendatipun ia menurut titelnya [gelarnya—WK.] menjadi kepala negara Islam, agama bangsa kita di tanah tumpah darah ini. Bangsanya dibelakangkan dan bangsa lain diberi hak yang lebih dari batas…, Yang sudah terang dan nyata ialah: Bukan karena cinta bangsa dan tanah air…, melainkan karena keperluan diri sendiri belaka, keperluan yang bersangkutan dengan kesunanannya [5] (dalam “Sambil Laloe”, Fadjar Asia, 16 Januari 1929).
Dalam tulisan lain, Kartosuwirjo menulis bahwa tidak ada perbedaan, siapa yang berkuasa, apakah itu pemerintahan sendiri atau pemerintahan bangsa lain, hasilnya sama saja, yaitu rakyat tidak memiliki kemerdekaan.
Semenjak jaman Kerajaan Pajajaran sampai ke jaman Brawijaya, maka yang boleh dianggap merdeka cuma rajanya saja. Tetapi rakyatnya sejak jaman itu sampai ini waktu tetap tinggal dalam gelombang perhambaan dan perhinaan yang serendah-rendahnya dan sedalam-dalamnya (dalam “Ra’iat dan Nasibnya”, Fadjar Asia, 12 Pebruari 1929).
Ia juga menulis bahwa PSIHT selalu berupaya untuk membela rakyat dan bangsanya, agar supaya kelak di kemudian hari Indonesia menjadi Indonesia merdeka dan agama Islam menjadi agama nasional bangsa Indonesia. Kartosuwirjo melihat saatnya telah tiba, di mana rakyat telah terjaga dari tidurnya yang selama berabad-abad lamanya dan sadar akan kewajiban dan haknya serta sama-sama menemukan suatu persatuan untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Persatuan ini baginya adalah PSIHT. Dia mengritik, bagaimana dengan cepatnya seseorang dituduh komunis, termasuk anggota PMI (Pemoeda Moeslim Indonesia) di Solo, yang dituduh sebagai gerakan komunis yang dapat membahayakan keamanan dan tata tertib.
 
Kartosuwirjo juga memperhatikan nasib para petani kecil yang menyewakan tanahnya kepada perusahaan Barat atau pada kapitalis pribumi. Dia marah sekali atas kenaikan pajak sawah hingga 90%. Dia mengritik kerja rodi (Heerendienst) yang diganti dengan pembayaran tahunan, hanya karena tidak ada lagi lapangan kerja, akibat krisis ekonomi pada waktu itu. Suatu ketika, terdapat sejumlah petani di Lampung yang diusir dari tanah mereka oleh sekelompok kapitalis asing. Para petani ini meminta advokasi kepada PSIHT. Kartosuwirjo menulis,
Orang-orang Lampung dipandang dan diperlakukan sebagai monyet belaka, ialah monyet yang diusir dari sebatang pohon ke sebatang pohon lainnya (dalam “Orang Lampoeng boekan Monjet tetapi Ialah Manusia Belaka”, Fadjar Asia, 10 Juni 1929).
Katanya ada Majelis ini dan Majelis itu, ada Volksraad ada Provinciale Raad dan Majelis Negeri (Tweede Kamer [6]) dan segalanya buat melindungi rakyat buat menertibkan keamanan dan keadilan. Omong kosong belaka (dalam “Mana Hak Ra’iat”, Fadjar Asia, 8 Juni 1929).

Itu sebabnya, ia mengajak para buruh untuk memperbaiki keadaan mereka, “Janganlah berkeluh-kesah? Janganlah meminta-minta! Janganlah tinggal diam saja! Kalau takut mati janganlah hidup! Kalau hendak hidup, janganlah takut mati!” (dalam “Soal Kaoem Boeroeh dan Madjikan”, Fadjar Asia, 6 Mei 1929).
 
Kartosuwirjo juga mencela hubungan orang-orang Belanda di perkebunan-perkebunan dengan wanita-wanita pribumi. Dan dia mengajak para orang kulit putih terutama pers Belanda untuk menjernihkan masalah ini,
Kalau mereka sesungguhnya menghendaki perlakuan yang manis dari pihak kita, hendaklah mereka membuang segala perlakuan yang tidak layak kepada bangsa Indonesia (dalam “Belanda, Keboen jang Soeka Mempermainkan Anak Isteri Orang”, Fadjar Asia, 6 Juni 1929).
Lalu, ia menandaskan bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia hanya bisa dicapai dengan pengorbanan yang besar, “Sebab kemerdekaan tanah air tidaklah sedikit harganya, yang oleh karenanya, harganya tentu bakal memakan korban yang luar biasa” (dalam “Perajaan 1 Mei”, Fadjar Asia, 6 Mei 1929).
 
Tak pelak lagi, karena artikel-artikelnya ini, Kartosuwirjo mendapat banyak musuh, tetapi justru bukan dari pihak penguasa kolonial, melainkan dari pihak bangsanya sendiri, terutama di kalangan nasionalis sekular. Ketika pengaruh PSIHT dalam kancah pergerakan nasional menurun, dan peran dominannya digantikan oleh PNI, Kartosuwirjo menyerang anggota-anggota partai berhaluan sekular itu. Dalam bulan-bulan terakhir jabatannya sebagai redaktur dan wakil pimpinan Fadjar Asia, ia banyak menulis tentang hal ini, dan tak lagi menandatanganinya dengan namanya, melainkan dengan nama samarannya Ario Djipang. [7] Parada Harahap, pemimpin redaksi koran Bintang Timoer, salah satu media kaum nasionalis-sekular, dijadikan bulan-bulanan.
Si Parada Harahap menjilat-jilat pantat dan mencari muka dan perlindungan kepada kaum Nasionalis (PNI). Menjilat pantat dan mencari muka, karena ia perlu akan hal itu sebab boleh jadi Parada Harahap takut kalau ia lantaran berbuat khianat terhadap bangsa dan tanah air kita – mendapat kemplangan di arah kepalanya, sehingga boleh jadi ia menjadi tidak sadar kalau tidak mampus sama sekali. (dalam “Neutraal, on-Partijdig dan Kemoenafikan”, Fadjar Asia, 14/15 Juni 1929).
Parada Harahap kaya dari mana? Tak melainkan dari menjilat pantat kaum kapitalis dan menjual budi rohnya kepada orang asing (dalam, “Alamat Perpisahan”, Fadjar Asia, 26 Juni 1929).
Keresahan besar dari pihak nasionalis timbul karena terbitnya artikel Kartosuwirjo mengenai bank nasional,
Yang dinamakan “national” yang tak lain melainkan bank secara Barat, bank sistem tiruan, bank yang menimbulkan kapitalisme, bank yang mendorong kita ke arah penyesatan, bank yang akan memperoleh hasil karena memungut rente [riba; itu sebabnya pelakunya disebut rentenir—WK.] (dalam “Penjiar Perchabaran Palsoe”, Fadjar Asia, 22 Juni 1929).
Harian Darmo Kondo di Solo menanggapi bahwa artikel itu mengguncangkan kaum nasionalis Indonesia dan mendidihkan darah mereka. Namun, Kartosuwirjo memberikan tanggapan balik,
Kebangsaan kita dianggap aneh oleh Darmo Kondo. Janganlah kira kalau kita kaum kebangsaan yang berdasarkan Islam dan keislaman tidak berangan-angan ke Indonesia merdeka. Cita-cita itu bukan monopolinya kolega dalam Darmo Kondo. Dan lagi jangan kira, bila kita orang Islam tidak senantiasa berusaha dan ikhtiar sedapat-dapatnya untuk mencapai cita-cita kita, supaya kita dapat menguasai tanah air kita sendiri. Cuma perbedaan antara kolega dalam Darmo Kondo dan kita ialah, bahwa kemerdekaan kebangsaan Indonesia bagi Nasionalisme yang dinyatakan oleh redaksi Darmo Kondo itu adalah puncaknya yang setinggi-tingginya, sedang kemerdekaan negeri tumpah darah kita ini bagi kita hanyalah satu syarat, suatu jembatan yang harus kita lalui, untuk mencapai cita-cita kita yang lebih tinggi dan lebih mulia, ialah kemerdekaan dan berlakunya agama Islam di tanah air kita Indonesia ini dalam arti kata yang seluas-luasnya dan sebenarnya. Jadi yang bagi kita hanya satu syarat itu, bagi redaksi Darmo Kondo adalah maksud dan tujuan yang tertinggi (dalam “Roedjak Sentoel”, Fadjar Asia, 17 Juli 1929).
Selama bekerja di Batavia, Kartosuwirjo hidup sangat sederhana. Ketika Tjokroaminoto jatuh sakit pada September 1929 dan Agus Salim berangkat ke Jenewa untuk mengikuti Sidang Liga Bangsa Bangsa, ia mengambil alih pimpinan redaksi Fadjar Asia. Akibatnya, Kartosuwirjo terlalu banyak bekerja. Tak lama setelah itu dia menderita penyakit beri-beri dan untuk sementara dibebaskan dari tugasnya di Batavia. Dia kembali ke Malangbong dan beristirahat hingga sembuh dari penyakitnya.
 
Dalam kongres PSIHT pada akhir tahun 1929 di Batavia, Kartosuwirjo terpilih menjadi Komisaris Partai untuk daerah Jawa Barat dan tetap menduduki posisi ini sampai kongres partai berikutnya pada akhir tahun 1931 di Surabaya. Jabatan baru ini dipergunakan Kartosuwirjo untuk menjalin hubungan pribadi dengan para ulama daerah setempat, hingga mencapai Priangan Timur. Di bawah bimbingan mertuanya dan para ulama yang lain Kartosuwirjo juga memperdalam pengetahuannya tentang agama Islam. Selama masa ini dia tidak muncul dalam pentas percaturan politik. Namun, keadaan segera berubah, ketika ia terpilih kembali sebagai Sekjen pada tahun 1931 dalam Kongres PSII.
 
Setelah sang tutor agung politik Tjokroaminoto wafat pada tahun 1934, Kartosuwirjo bersama dengan Harsono Tjokroaminoto (salah seorang putra tutor agung itu) melanjutkan karya tulis Tjokroaminoto yang berisikan naskah setengah jadi tentang suatu gambaran ideal umat Islam. Namun, Kartosuwirjo heran karena dalam naskah itu tak dijelaskan peran PSII dalam gambaran ideal umat Islam itu.
 
Sementara itu, tubuh PSII di tahun 1935 sedang dilanda pertentangan. Dewan Eksekutif yang dipimpin oleh Abikusno Tjokrosujoso (adik Tjokroaminoto) bersitegang dengan Dewan Partai yang dipimpin oleh Agus Salim. Kedua pihak tidak bersepakat dalam hal penyikapan terhadap pemerintah kolonial. Abikusno memperjuangkan politik non-kooperatif, sedangkan Agus Salim menganjurkan agar partai mengambil sikap kooperatif terhadap pemerintah. Bagi Salim, politik non-kooperatif akan menyebabkan percepatan keruntuhan partai, lagipula politik itu akan menyebabkan PSII kehilangan haknya untuk menempatkan wakilnya di Volksraad.
Penting untuk dicatat bahwa memasuki tahun 1930-an, kebijakan pemerintah kolonial terhadap pergerakan nasional rakyat Indonesia berubah sama sekali, sebagai akibat naiknya de Jonge sebagai Gubernur Jenderal. Semenjak awal dia sudah bertekad akan memusnahkan partai-partai yang berhaluan radikal dan percaya bahwa kekuasaan kolonial Belanda masih akan berlangsung hingga 300 tahun lagi. Beberapa gubernur jenderal sebelumnya, memang telah menunjukkan kebijakan “yang sabar” terhadap pergerakan nasional. Selama ini, PSII memang menganut politik non-kooperatif. Namun, dengan perubahan kebijakan pemerintah, Salim memandang perlunya meninjau kembali politik itu.
 
Abikusno menuduh bahwa usulan Salim itu dilatarbelakangi oleh niatnya untuk mencari kursi di Volksraad. Kedua pihak gagal meyakinkan para pengurus partai dari kedua belah pihak. Konsekuen dengan hal ini, pada akhir tahun 1935 itu, Abikusno mengambil langkah untuk mengundurkan diri dari jabatan Ketua Dewan Eksekutif PSII, sebuah langkah yang kemudian diikuti oleh Kartosuwirjo.
 
Setelah cara pemilihan pimpinan partai yang baru diberlakukan, yaitu kongres partai sekarang hanya harus memilih ketua partai saja, ternyata Abikusno terpilih menjadi ketua partai pada kongres ke-22 di Batavia dalam bulan Juli 1936. Kini, Abikusno dapat memilih sendiri anggota-anggota pimpinan lainnya. Ia lalu menunjuk Kartosuwirjo sebagai wakilnya di pimpinan PSII. Kemudian, Kartosuwirjo mengritik Agus Salim dan menuntut suatu penerapan politik hijrah (dari kebijakan sebelumnya yang kooperatif menjadi kebijakan baru yang non-kooperatif) yang tak mengenal kompromi. Kartosuwirjo kemudian ditugaskan oleh kongres untuk menyusun suatu brosur tentang sikap hijrah PSII, yang dapat diselesaikannya pada bulan Nopember 1936. Dua bulan berikutnya, pada Januari 1937, Abikusno-Kartosuwirjo memecat Agus Salim bersama 27 orang anggota terkemuka PSII lainnya yang mendukung pendapat Salim. Kelompok ini akhirnya mendirikan partai Islam baru: Barisan Penyadar.
 
Suatu kejadian penting lain dalam kaitannya dengan DI/TII atau NII adalah diperintahkannya oleh kongres partai tahun 1938 agar Kartosuwirjo mendirikan dan memimpin Lembaga Shuffah sebagai wahana pengkaderan generasi baru pejuang Islam. Pemilihan nama Shuffah sungguh menarik, karena menunjukkan suatu tingkat wawasan tertentu atas sejarah Nabi Muhammad. Sebenarnya, Shuffah adalah sebuah lokasi yang terletak —dan karena itu menghubungkan— antara Masjid Nabawi dan rumah Nabi di Madinah. Tempat itu telah dipakai oleh Nabi untuk mengajar sahabat-sahabatnya mengenai ajaran Islam dan wahyu-wahyu yang baru didapatkan Nabi. Bilamana Nabi tidak sedang berada di Madinah, biasanya karena sedang melancarkan peperangan dengan musuh-musuhnya, Nabi menunjuk seorang sahabat yang dirasanya menguasai ajaran Islam untuk meneruskan pengajarannya.
 
Memasuki tahun 1939, Abikusno merasa perlu untuk melibatkan PSII ke dalam Gabungan Politik Indonesia (GAPI) yang menuntut agar pemerintah membentuk suatu parlemen Indonesia. Bagi Kartosuwirjo, tindakan Abikusno sama saja dengan mengubah kebijakan partai dari non-kooperatif menjadi kooperatif. Karena, bukankah sebuah tuntutan parlemen secara implisit menunjukkan pengakuan akan kekuasaan pemerintahan penjajah? Karena ketidaksetujuan inilah, Kartosuwirjo kemudian dipecat oleh Abikusno, tidak hanya sebagai wakil ketua partai, namun juga dipecat sebagai anggota PSII. Bersama-sama dengan Jusuf Taudjiri dan Kamran, Kartosuwirjo kemudian membentuk Komite Pembela Kebenaran (KPK) PSII. Dalam hal ini dapat dicatat, politik non-kooperatif terhadap pemerintah kolonial yang diyakini oleh Kartosuwirjo tetap dipegangnya secara konsisten. Adapun Abikusno berubah: dulu ia memecat Agus Salim dan kawan-kawannya karena menolak politik kooperatif, kini ia memecat Kartosuwirjo karena hendak menerapkan politik kooperatif.
 
Pada Maret 1940, Kartosuwirjo mengubah KPK-nya menjadi sebuah partai politik dan tanpa kenal lelah (walau hanya mendapat sedikit anggota) terus-menerus mempropagandakan bahwa KPK-PSII adalah PSII yang sebenarnya. Itu sebabnya, dia pun tidak merasa perlu untuk membuat AD/ART yang baru. Mulai bulan ini pula, ia merealisasikan program Lembaga Shuffah yang sesungguhnya sudah dihentikan oleh PSII Abikusno.
 
Lembaga pendidikan kader ini, yang didirikan di Malangbong, dia bentuk dalam gaya sebuah pesantren tradisional, di mana para siswa mendapat pengajaran pengetahuan umum, agama Islam dan pelatihan politik. Seperti ternyata kemudian, siswa-siswa kader ini tidak hanya berasal dari Jawa Barat, melainkan juga dari bagian lain Jawa, Sulawesi Selatan, Sumatera dan Kalimantan. Pelatihan di sana berjalan sedemikian rupa, sehingga banyak siswanya yang sulit untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan latihan yang keras, pekerjaan yang berat dan makanan yang sangat sederhana. Banyak di antara para siswa kader ini yang akhirnya kelak akan menjadi pengikut setia Kartosuwirjo dalam mempertahankan Negara Islam Indonesia yang diproklamasikan pada 1949.
 
Sementara pengkaderan berjalan terus, pada akhir tahun 1941, Kartosuwirjo ditangkap dan dijatuhi vonis hukuman penjara selama 1,5 bulan oleh Pengadilan Negeri Subang karena dituduh menjadi mata-mata Jepang. Hukuman ini dijalaninya di penjara Purwakarta. Namun, lembaga Shuffah tetap berjalan terus hingga masa pendudukan Jepang di Indonesia. Pada waktu itulah, lembaga ini ditutup dan para siswanya kembali ke kampung halamannya masing-masing. Pada akhir jaman Jepang, ketika para pemuda Muslim diijinkan oleh Jepang untuk membentuk laskar Hizbullah, lembaga ini kedengaran lagi, karena di tempat inilah para pemuda Hizbullah mendapat latihan kemiliteran mereka.
 
Semasa awal pendudukan balatentara Jepang di Indonesia, Kartosuwirjo hanya merupakan “tokoh regional” saja, dikarenakan sikap hijrahnya yang benar-benar konsisten. Dia baru kembali ke kancah politik, ketika pada tahun 1943 ditunjuk menjadi sekretaris dalam Majelis Baitul Mal, sebuah organisasi kesejahteraan di bawah Majelis Islam A’laa Indonesia (MIAI) yang baru dibentuk di bawah pimpinan Wondoamiseno. Kartosuwirjo terlibat dalam pembentukan lembaga ini dan mengunjungi cabang-cabang Baitul Mal di propinsi Priangan, wilayah yang amat dia kenal. Dalam Soeara MIAI, Kartosuwirjo menerbitkan beberapa artikel: sebuah artikel tentang Isra’ al-Mi’raj Nabi berjudul “I’tibar Madjazy dan Ma’any daripada Perdjalanan Isra dan Mi’radj Rasoeloellah qlm.” (No. 11, 2603, hlm. 5-7) [8]; artikel yang lain berisi tentang tuntutannya yang lama, yaitu suatu masyarakat Islam yang benar-benar sempurna yang, demikian tampaknya, dicocokkan dengan propaganda Jepang. Ia, antara lain, menulis, “bahwa semua orang dapat ikut membangunkan dunia baru yang memberi jaminan akan kemakmuran, bagi tiap-tiap bagian daripada ‘Keluarga Asia Timur Raya’, apabila mereka kembali kepada ajaran rasulullah dan umat Islam sadar akan kedudu-kannya.” Ditambahkannya bahwa menurut laporan resmi pemerintah (Jepang), mayoritas rakyat Indonesia beragama Islam. Karena itu setiap orang Islam memikul tanggung jawab untuk membuktikannya melalui perbuatannya dan harus melaksanakan ajaran-ajaran Islam. Artikel itu berjudul “Menjelenggarakan ‘Benteng Islam’” (Soeara MIAI, No. 11, 2603, hlm. 5-7).
 
Ketika MIAI dibubarkan pada Oktober 1943, Jepang membentuk organisasi baru yang diberi nama Madjlis Sjoero Moeslimin Indonesia (Masjoemi) pada tanggal 1 Nopember 1943, di mana dalam anggaran dasarnya disebutkan bertujuan “mengendalikan dan merapatkan perhubungan antara perkumpulan-perkumpulan Islam di Jawa dan Madura.” Dalam organisasi terakhir ini, Kartosuwirjo, meski menjadi anggotanya, tidak pernah menduduki posisi penting.
 
Kemudian, ketika Jepang, pada Pebruari 1944, membentuk sarana mobilisasi baru dalam wadah Djawa Hokokai (Perhimpunan Kebaktian Jawa) sebagai pengganti Poetra (Poesat Tenaga Rakjat), terhimpun banyak politikus Indonesia dari jaman pergerakan nasional dahulu. Kartosuwirjo juga bekerja di sini pada Chuo Honbu (kantor pusat) di bagian Chosaka yang bertugas mengumpulkan data ekonomi dan informasi penting lain. Di bagian ini, Kartosuwirjo satu ruangan dengan S.K. Trimurti, Sumanang, dan Sajuti Atmoprasodjo (seluruhnya politikus terkemuka PNI). Selain menyusun berita-berita ekonomi setiap bulan dan berita-berita tentang penyerahan beras, sebenarnya, mereka tidak melakukan sesuatu yang “benar-benar berarti”. Mereka sepakat dalam hal pendapat bahwa mereka ditempatkan dalam kantor tersebut hanya agar mereka dapat dikontrol lebih baik oleh pihak Jepang.
 
Namun, pada masa ini, Kartosuwirjo sering ditugaskan ke kawasan Priangan di mana ia harus mengontrol penyerahan beras yang wajib dilakukan rakyat setempat. Ia lebih sering berada di perjalanan, tetapi tidak pernah meninggalkan kantornya lebih dari satu minggu. Keuntungannya adalah: senantiasa ada kesempatan bagi Kartosuwirjo untuk melanjutkan hubungannya dengan teman-teman lamanya dari KPK PSII yang semuanya tinggal di Jawa Barat.
 
Teman-teman Kartosuwirjo di Djawa Hokokai menilai bahwa dia adalah seorang yang sopan tetapi sangat tertutup dan serius, tidak pernah berbicara dengan mereka tentang pandangan politiknya, dan lebih suka bekerja di belakang layar. Bagi mereka, Kartosuwirjo adalah seorang yang tidak dapat dibaca pikirannya, dan Kartosuwirjo meninggalkan kesan yang mendalam pada teman-temannya itu ketika ia mengatakan bahwa garis darahnya berasal dari Arya Jipang atau Arya Panangsan.
 
Di Jakarta, Kartosuwirjo tinggal bersama istrinya dan merupakan tetangga dari keluarga Sajuti Atmoprasodjo. Kedua keluarga ini sering bertemu dan saling membantu dalam situasi ekonomi yang amat sulit pada waktu itu. Kepada Sajuti, Kartosuwirjo senang berbicara tentang ramalan-ramalan Jayabaya, di mana dia berusaha menafsirkan ramalan tersebut, terutama ramalan kedua Jayabaya tentang “tahun jagung”, yakni kapan saatnya balatentara Jepang akan meninggalkan Indonesia. Bagi tetangga-tetangganya, Kartosuwirjo juga dikenal sebagai seorang yang taat menjalankan ibadah.
 
Pada bulan Desember 1944, Jepang menyetujui dibentuknya sebuah organisasi militer di bawah Masjoemi yang dinamakan Hizbullah (Partai Allah) yang dirancang sebagai cadangan bagi PETA. Kemudian sejak Mei 1945, Jepang menyelenggarakan latihan pertahanan bagi rakyat sipil di Jawa. Seluruh “niat baik” Jepang ini hendaknya dibaca sebagai upaya pihaknya untuk menarik simpati lebih jauh rakyat kepada pemerintahannya untuk kemudian agar dapat dimobilisasi guna kepentingan Jepang melawan tentara Sekutu yang terus-menerus mampu mendesak Jepang dalam setiap garis medan peperangan. Dalam latihan-latihan militer ini, Kartosuwirjo ditugaskan oleh pihak Jepang untuk bertindak sebagai pengamat, pengawas sekaligus instruktur latihan di daerah Banten. Bersama dengan timnya yang berjumlah antara 10-16 orang, dia juga harus menjelaskan teori perang gerilya kepada peserta latihan yang terdiri dari wanita, pria, remaja, dan tak terkecuali para ulama.
 
Suatu tinjauan akhir akan sikap Kartosuwirjo terhadap Jepang harus dikemukakan di sini. Selama masa ini ia tidak pernah memberikan pernyataan politik, meskipun ia menunjukkan sikap loyal kepada pemerintah. Yang sesungguhnya terjadi: Kartosuwirjo – sama seperti para politikus lain Indonesia pada masa itu, bersedia terlibat dalam pemerintahan Jepang, selain karena kekejaman Jepang yang luar biasa, terutama yang paling penting adalah pemanfaatan segala fasilitas dan kedudukan yang dia peroleh guna kepentingan perjuangannya sendiri. Soekarno telah memanfaatkan kepemimpinannya dalam Djawa Hokokai untuk memperluas pengaruh dan wibawa pribadinya di daerah-daerah luar Jawa, karena ia menjadi sering berkunjung ke pulau-pulau dan daerah-daerah lain di luar Jawa. Ini terbukti merupakan faktor penting dalam pembentukan pengaruh pribadi Soekarno. Para pemimpin lain juga melakukan hal serupa. Kartosuwirjo pun bermaksud melakukan hal yang sama. Dia tidak pernah memutuskan hubungan dengan kawan-kawan KPK PSII-nya. Mengenang kembali keadaan pada masa itu, dia menulis,
Pada jaman pendudukan Jepang, maka keadaannya lebih menyedihkan daripada jaman Belanda. Semuanya pergerakan politik dengan tiada kecualinya disapu bersih sampai ke akar-akarnya, atau dibunuh mati. Hak politik buat rakyat nol, tidak barang sedikit pun diberikan.
Waktu itu praktis tiada hak politik bagi rakyat Indonesia, melainkan semua jejak dan langkah harus dialirkan kepada Tokyo, ialah pusat persembahan manusia berhala, yang bernamakan Tennoo Heika [gelar resmi Kaisar Jepang Hirohito—WK.], dan kiblatnya semua Jepangisme dan kemusyrikan ala Jepang. (Haloean Politik Islam, 1946, hlm.8)
Tentang masa kerjanya di Djawa Hokokai, di dalam “sangkar emas yang didirikan oleh keturunan dewa Ameterasu”, Kartosuwirjo menulis bahwa ia merasa dikubur hidup-hidup di situ dan dia menggambarkan Soekarno sebagai agen Jepang nomor satu,
Ibu Pertiwi diselaraskan dengan Dewi Ameterasu, animisme Jawa (Kejawen) dicampur dengan Sintoisme, Marhaenisme [ajaran Soekarno tentang sosialis-komunisme dalam konteks masyarakat Indonesia—WK.] disesuaikan dengan cita-cita kemakmuran Asia Timur Raya dan dengan alat-alat itu atas perintah tuannya, ia siap memperjepangkan diri dan kawan-kawannya dan kemudian OEIBI (Oemat Islam Bangsa Indonesia) pun menjadi sasarannya yang istimewa. (Statement Pemerintah Negara Islam Indonesia No. VI/7, 15 Mei 1955)
Tentang organisasi Islam bentukan Jepang, ia menulis
Masyumi dan kemudian MIAI, kedua-duanya buatan Jepang, dengan perantaraan agen-agen-nya, kyai-kyai ala Tokyo, merupakan lembaga dan medan pertempuran. Oleh pihak Islam muda, pihak revolusioner dan progresif, lembaga ini dipakai untuk menyusun dan mengatur “gerakan di bawah tanah”, seperti juga yang dilakukan oleh kawan-kawan seperjuangan lainnya di Hokokai dan lain-lain badan kebaktian, buatan saudara tua itu.
Benih-benih subversif di masa sangkar emas Jepang, yang sesungguhnya kamp konsentrasi, di masa nanti, menjadi pendorong dan daya kekuatan yang hebat. (Pedoman Dharma Bakti. Menggalang Negara Kurniah Allah. Negara Islam Indonesia. Jilid I. 25 Mei 1955, hlm. 277).

Kartosuwirjo 1945-1949:
Langkah-langkah Menuju Negara Islam Indonesia


Pada bulan kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno, Kartosuwirjo sedang berada di Jakarta. Ketika Indonesia merdeka memerlukan seorang panglima bagi angkatan bersenjata yang baru dibentuk (TKR, Tentara Keamanan Rakyat), Kartosuwirjo merupakan salah seorang kandidat yang dicalonkan untuk jabatan itu. Tokoh PNI yang pernah menjadi tetangganya, Sajuti Atmoprasodjo berusaha mengontak Kartosuwirjo untuk mengemukakan maksud tersebut. Namun yang sedang dicari sudah tak ada, karena ia telah menuju ke Priangan. Sehingga Soedirman yang terpilih untuk jabatan itu.
 
Sebagai seorang anggota Masjumi, Kartosuwirjo selalu mendapat informasi yang penting berkaitan dengan rencana-rencana Masjumi yang akan datang. Karena itu, dalam bulan Oktober 1945 di Surabaya, ia juga turut terlibat dalam pembicaraan-pembicaraan dengan sesama orang Masjumi yang bermaksud untuk mentransformasikannya menjadi sebuah partai politik. Orang-orang seperti A. Wachid Hasjim (bapaknya Gus Dur) dan Mohammad Natsir merupakan nama-nama penting yang juga terlibat di sana. Akhirnya sebuah partai politik baru, yang bermaksud mewadahi seluruh individu dan organisasi Islam yang telah ada di Indonesia, berhasil dibentuk pada tanggal 7 Nopember 1945 di Yogyakarta. Tujuan Masjumi jelas, “menciptakan sebuah negara hukum yang berdasarkan ajaran agama Islam.”
 
Kepengurusan Masjumi terdiri dari dua dewan. Dewan Syuro diketuai oleh KH Hasjim Asj’ari, sedangkan Dewan Eksekutif diketuai oleh Mr. Sukiman Wirjosandjojo. Abikusno Tjokrosujoso menjadi salah seorang wakil ketua Dewan Eksekutif. Roda keseharian Masjumi dijalankan oleh Dewan Eksekutif. Kartosuwirjo sendiri dipercaya untuk jabatan sekretaris Dewan Eksekutif. Dengan demikian, buku-buku sejarah yang selalu berusaha meminggirkan peran-peran politik yang dimainkan oleh Kartosuwirjo sama sekali dapat dipertanyakan. Masjumi, hingga Pemilu 1955, sejak pertama kali didirikan, merupakan partai politik terbesar di Indonesia. Sejumlah tokohnya pernah menjadi kepala pemerintahan Indonesia. Dalam partai terbesar itulah Kartosuwirjo menjadi salah seorang pengurus terasnya.
 
Pada kongres pertama Masjumi di Yogyakarta, ditetapkan keputusan, antara lain, pembentukan sebuah laskar Islam lain, Sabilillah (Pejuang di Jalan Allah), selain Hizbullah yang masih ada. Kongres juga mengamanatkan kepada para pengurus untuk membentuk cabang-cabang partai, mulai dari tingkat propinsi hingga ke desa-desa. Kartosuwirjo segera mengorganisasi tokoh-tokoh Islam di Jawa Barat untuk mendirikan kantor Masjumi Daerah Priangan. Pada akhir tahun itu juga, sebuah konferensi berhasil diselenggarakan dan terbentuklah Masjumi Daerah Priangan yang diketuai oleh KH. Moechtar, sedangkan pimpinan Sabilillah ditugaskan kepada Kamran, yang kelak akan merupakan pengikut penting Kartosuwirjo.

Sabilillah akan dilatih di perguruan Shuffah Kartosuwirjo di Malangbong. Seorang bekas perwira PETA, Ateng Djaelani, yang dulu menjadi pelatih militer Hizbullah di Shuffah, di tempat yang sama kini juga melatih Sabilillah. Sama seperti Kamran, Ateng Djaelani juga akan menjadi pengikut penting DI/TII Kartosuwirjo. Yang terakhir ini, hingga kedatangan pasukan Sekutu, terus-menerus mondar-mandir antara Yogyakarta dan Malangbong selain untuk pengorganisasian partai, juga berusaha memobilisasi rakyat dalam rangka perang yang diperkirakannya akan segera meletus. Demikianlah, sekali lagi, kita catat di sini peran penting Kartosuwirjo tidak hanya bagi Masjumi, namun sekaligus negara Indonesia, terutama di kawasan Priangan.
 
Sementara itu situasi nasional terus bergolak. Sekutu datang dan membonceng NICA yang bermaksud mengembalikan pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia. Rakyat di Bandung meledak dan melakukan perlawanan sengit. Dalam rangka menghindari ancaman pembumihangusan Bandung, tentara Siliwangi dan laskar rakyat mengosongkan Bandung, namun melakukan taktik pembakaran kota, untuk membuatnya menjadi tempat yang tidak nyaman bagi pasukan Sekutu. Peristiwa inilah yang kita kenal dengan “Bandung Lautan Api”. Mereka melakukan gerak mundur dan bermarkas di Garut.
 
Di Garut, pada Juni 1946, diselenggarakan lagi konferensi Masjumi Daerah Priangan untuk memiliki kepengurusan yang baru. Kartosuwirjo sebagai utusan Masjumi pusat untuk daerah Priangan (jadi, semacam komisaris) oleh mayoritas peserta konferensi ditunjuk sebagai formatur. Ini sekaligus membuktikan kewibawaannya di hadapan orang-orang Masjumi Jawa Barat. Dia lalu menunjuk KH. Moechtar sebagai ketua dan dirinya sendiri sebagai wakilnya. Sanusi Partawidjaja (kelak juga akan menjadi tokoh penting DI/TII) ditunjuk sebagai sekretaris badan pengurus, sedangkan Raden Oni (tokoh penting lain DI/TII) memimpin bidang informasi (pada waktu itu, departemen ini juga menjalankan fungsi propaganda).

Masih dalam bulan yang sama, dalam suatu forum pertemuan Masjumi Daerah Priangan, Kartosuwirjo melakukan orasi tentang haluan politik Islam. Pada waktu inilah tampak sikap demokratisnya tentang siapa yang akan berkuasa di Indonesia,

Dan oleh karena Republik Indonesia berdasarkan kedaulatan rakyat, maka suara rakyat yang terbanyak itulah yang akan memegang kekuasaan negara. Jika Komunisme yang diikuti oleh sebagian besar daripada rakyat, maka pemerintah Negara akan mengikuti haluan politik sepanjang ajaran Komunisme. Dan bila sosialisme atau Nasionalismelah yang “menang suara”, maka sosialisme atau Nasionalismelah yang akan menentukan haluan politik negara. Demikian pula, jika Islam yang mendapat kurnia Tuhan menang dalam perjuangan politik itu, maka Islam pulalah yang akan memegang tampuk Pemerintah Negara. Sehingga pada waktu itu terbangunlah Dunia Islam atau Dar-ul-Islam, yang tidak menyimpang serambut dibelah tujuh sekalipun daripada ajaran-ajaran Kitabullah dan Sunnatun-Nabi Muhammad qlm.
Sampai akhir tahun 1946, Kartosuwirjo tetap tinggal di Jawa Barat dan ketika pada awal tahun 1947 diadakan reorganisasi partai Masjumi, Kartosuwirjo dipanggil kembali ke Yogyakarta. Sejak itu dia kembali mondar-mandir antara Malangbong dan Yogyakarta di mana dia tinggal di asrama PSII di pinggiran kota. Di tempat itu dia dikenal sebagai orang yang gaya hidupnya amat sederhana dan teguh pendirian. Terdapat sebuah contoh kasus yang menunjukkan bahwa Kartosuwirjo adalah seorang yang seperti itu (atau lebih tepatnya: keras kepala?)
 
Ketika Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada bulan Maret 1947 mengadakan sidang di Malang untuk memutuskan apakah Persetujuan Linggarjati akan disetujui atau tidak, Kartosuwirjo dan termasuk para politikus Masjumi menolak persetujuan tersebut tanpa kompromi. Dia datang dengan laskarnya dari Jawa Barat ke Malang untuk bergabung dengan laskar lainnya yang juga tidak setuju dengan perjanjian tersebut. Mereka bersama-sama ingin mencegah laskar sayap kiri yang menyetujui perjanjian tersebut yang bermaksud meneror para politikus yang menolak Perjanjian Linggarjati. Ketika anggota-anggota dari pihak kiri dalam sidang KNIP mencoba untuk menakut-nakuti wakil-wakil rakyat yang menolak persetujuan tersebut, Kartosuwirjo memerintahkan penempatan sebuah senapan mesin di atas sebuah rumah yang terletak di seberang gedung tempat KNIP bersidang. Sutomo (Bung Tomo, yaitu pahlawan dalam pertempuran Surabaya 10 Nopember), meminta Kartosuwirjo untuk menahan diri. Tetapi Kartosuwirjo hanya menatapnya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Baru ketika Bung Tomo memberitahu Kartosuwirjo bahwa mungkin akan ada serangan Belanda, Kartosuwirjo mengalah.
 
Pada bulan Juli 1947, sebagai akibat Perjanjian Linggarjati itu, Sutan Sjahrir mendapat kritik tajam dari anggota parlemen, dan ia pun mengundurkan diri. Ternyata yang menggantikan dia adalah Amir Sjarifuddin, seorang pimpinan PKI. Karena perbedaan ideologi, Masjumi menolak untuk bergabung dalam kabinet Amir. Yang terakhir ini merasa perlu untuk memperoleh dukungan dari kalangan Islam, maka ia pun menawarkan kepada tokoh-tokoh PSII. Padahal pada waktu itu, tokoh-tokoh PSII sudah menggabungkan diri pada Masjumi. Amir menawarkan bahwa PSII dapat dihidupkan kembali. Maka berpisahlah PSII dari Masjumi, romantisme singkat tentang “persatuan umat Islam se-Indonesia” berantakan sudah. Mungkin mengira bahwa Kartosuwirjo masih “orang PSII”, maka Amir pun menawari Kartosuwirjo jabatan Wakil Menteri Pertahanan, sedangkan Menterinya adalah Amir sendiri. Tetapi Kartosuwirjo menolak karena ia “belum mencampuri PSII dan masih terikat Masjumi”.

Saya kira, ini adalah alasan diplomatis saja. Sudah tentu, sulit membayangkan bahwa Kartosuwirjo akan bersedia bekerja di bawah seorang komunis seperti Amir, sedangkan dia sendiri tampaknya juga menginginkan kesebulatan umat Islam. Namun, tawaran ini dapat menunjukkan bahwa nama Kartosuwirjo tidaklah asing bagi politikus-politikus utama di pusat pemerintahan, suatu kesan kewibawaan yang nampaknya ingin dihilangkan oleh literatur sejarah produk sejarawan Orde Baru.

Kartosuwirjo segera kembali ke Jawa Barat dan tiba di Malangbong satu minggu sebelum terjadi Agresi Militer Belanda yang pertama. Akibatnya, ia tidak bisa lagi kembali ke Yogyakarta karena semua perhubungan lalu lintas putus dan jembatan melalui Sungai Serayu dibom dan dirusak oleh Belanda. Namun, dia masih sempat mendapat kabar bahwa dirinya ditunjuk oleh pimpinan partai menjadi wakil pengurus pusat Masjumi untuk Jawa Barat. Kartosuwirjo memindahkan kegiatan partainya di Malangbong dan dari sini mulai mengoordinasi perlawanan bersama laskar-laskar Sabilillah dan Hizbullah melawan pasukan Belanda. Namun, perlawanan hanya sedikit membuahkan hasil terutama karena masalah persenjataan. Malangbong dapat diserbu, perguruan Shuffah dibakar, dan koleksi perpustakaan Kartosuwirjo beserta semua catatan pribadinya musnah terlalap api. Sejak itu, Kartosuwirjo memimpin laskarnya dengan taktik perang gerilya sambil terus berpindah dari satu daerah ke daerah lainnya. Dalam rangka mempersiapkan penduduk sipil untuk apa yang secara sah dapat disebut sebagai jihad fi sabilillah, maka setiap desa di Priangan dibentuk barisan-barisan pertahanan lokal yang disebut SKD (Sabilillah Keamanan Desa). Setiap SKD harus mempunyai anggota paling sedikit 60 pemuda.

Pada waktu markas Komando Divisi III (sekarang Kodam Siliwangi) masih berada di Malangbong, Nasution (panglima divisi) memerintahkan Detasemen Markas Divisi III untuk menindak “anak-anak Kiai Suffah”, seperti Kartosuwirjo waktu itu disebut, karena pasukannya menimbulkan insiden. Bentrokan senjata antara pasukan pemerintah dengan Hizbullah begitu juga dengan Sabilillah tidak jarang terjadi pada waktu itu, dan alasan pada umumnya adalah perebutan bahan makanan dan senjata. Dan dengan demikianlah terjadi juga bentrokan senjata yang sengit antara Batalyon Pelopessy dengan laskar Islam di Balubur Limbangan. Pada bentrokan tersebut, Hidayat, sebagai wakil komandan divisi mengirim ajudannya, Jusuf Ramli, ke tempat kejadian dengan membawa bendera putih. Jusuf harus mencoba meredakan bentrokan tersebut.

Ketika suatu waktu terdengar desas-desus bahwa “kelompok hijau” (waktu itu laskar Islam sering disebut demikian) telah membunuh pamong praja di Manonjaya, maka dikirimkanlah sebuah kesatuan tentara yang diperintahkan untuk membawa Kartosuwirjo ke markas TNI di Garut untuk mempertanggungjawabkan kejadian itu. Ketika Kartosuwirjo tiba di markas, dia hanya ditanyai mengenai kejadian di Manonjaya dan diperlakukan dengan baik, karena pihak TNI mengira bahwa yang sedang dihadapinya adalah seseorang yang akan menjadi Wakil Menteri Pertahanan. Mereka belum tahu bahwa Kartosuwirjo telah menolak tawaran jabatan tersebut.

Seiring dengan semakin gencarnya serangan pasukan Belanda ke kawasan Jawa Barat, Kartosuwirjo makin meningkatkan langkah-langkah konsolidasinya. Dalam suatu rapat Masjumi di Garut, yang dipimpinnya, suatu rapat yang harus dihadiri oleh semua organisasi yang bernaung di bawah Masjumi diputuskan bahwa Masjumi Cabang Garut diganti namanya menjadi Dewan Pertahanan Oemat Islam (DPOI). Anggaran Dasar dan ART-nya sama seperti AD/ART-nya Masjumi, hanya ditambahkan sebuah pasal baru yang berhubungan dengan pertahanan melawan tentara Belanda. Sebelum pembentukan DPOI di Garut, sudah dibentuk sebelumnya dua Madjlis Pertahanan Oemat Islam (MPOI) di Tasikmalaya dan Ciamis. Keduanya sama sekali tidak berbeda dengan dengan DPOI.

Pada tanggal 17 Januari 1948 ditandatangani Perjanjian Renville. Salah satu ketentuan dalam perjanjian itu mengharuskan pihak RI mengosongkan kawasan Jawa Barat, dan Divisi Siliwangi harus ditarik ke Jawa Tengah. Ketika pengosongan itu dilakukan, mayoritas penduduk Jawa Barat sama sekali tidak mengerti mengapa 29.000 tentara yang mestinya melindungi dan mempertahankan daerah mereka dari Belanda malah meninggalkan mereka, seolah-olah ditinggalkan dan diserahkan begitu saja kepada Belanda. Dalam situasi seperti ini, pada tanggal 30 Januari 1948, Oni, komandan Sabilillah, merundingkan dengan Kartosuwirjo tentang akibat-akibat perjanjian tersebut. Keduanya memutuskan bahwa pasukan Sabilillah tetap bertahan di Jawa Barat untuk melanjutkan perlawanan terhadap Belanda. Keputusan lainnya adalah bahwa pada tanggal 10 Pebruari akan diadakan sebuah konferensi di Pangwedusan di dekat Cisayong, di mana harus hadir semua pemimpin Islam daerah Priangan. Beberapa kesatuan Hizbullah ternyata juga memutuskan untuk bertahan di Jawa Barat, meskipun induk mereka memerintahkan penarikan mundur ke Jawa Tengah. Sebuah batalyon lengkap, yakni batalyon 22 Jaya Pangrengot, yang dipimpin Soegih Arto juga bertindak serupa.

Kartosuwirjo kecewa atas kenyataan bahwa pasukan yang meninggalkan Jawa Barat ternyata tidak meninggalkan senjata mereka, ini mengakibatkan kelemahan yang nyata bagi laskar-laskar Islam yang ada di Jawa Barat. Bahkan ketika telah tercapai kesepakatan dengan sebuah batalyon Siliwangi yang dipimpin Husinsjah dan Utarja, bahwa batalyonnya akan meninggalkan senjata untuk dibawa oleh Sabilillah, kesepakatan itu akhirnya diingkari. Ketika Oni hendak mengambil senjata-senjata itu, rupanya senjata telah turut dibawa ke Yogyakarta. Hal itu dinilai sebagai sebuah bentuk pengkhianatan. Inilah sebabnya, tidak heran dan bukan kebetulan bahwa pada saat keduanya kembali ke Jawa Barat pada bulan Maret 1949, terjadi bentrokan bersenjata antara batalyon mereka dengan Sabilillah. Itu pula sebabnya, ketika kemudian tertangkap, keduanya dieksekusi mati. Tetapi tidak semua batalyon Siliwangi melakukan hal tersebut. Wakil komandan Divisi Siliwangi, Hidajat, memenuhi janjinya untuk meninggalkan sebagian senjata mereka untuk Sabilillah. Belakangan Hidajat dituduh pihak TNI telah melakukan tindakan pengkhianatan!

Pada tanggal 10 Pebruari 1948, telah berkumpul wakil-wakil organisasi Islam di Pangwedusan untuk menggelar konferensi selama dua hari, sebagaimana sudah direncanakan sebelumnya. Hadir pula di sini: Kamran, Sanusi Partawidjaja (Ketua Masjumi Daerah Priangan), Dahlan Lukman (Ketua Gerakan Pemuda Islam Indonesia, GPII), Siti Murtadji’ah (Ketua Poetri GPII) dan Abdullah Ridwan (Ketua Hizbullah untuk Priangan), Saefullah (Ketua Masjumi Cabang Garut), masing-masing dua utusan dari DPOI Bandung dan Sumedang, serta MPOI Tasikmalaya dan Ciamis.

Dalam konferensi ini, Kamran mengajukan tuntutan agar pemerintah RI membatalkan Perjanjian Renville dan

kalau pemerintah RI tidak sanggup membatalkan Renville, lebih baik pemerintah kita ini kita bubarkan dan membentuk lagi pemerintah baru dengan corak baru. Di Eropa dua aliran sedang berjuang dan besar kemungkinan akan terjadi perang dunia III, yakni aliran Rusia lawan Amerika.
…kalau kita di sini mengikuti Rusia, kita akan digempur Amerika, begitu pula sebaliknya. Dari itu, kita harus mendirikan negara baru, yakni negara Islam. Timbulnya Negara Islam ini, yang akan dapat menyelamatkan Negara.
Untuk itu, menurut Kamran, harus diadakan persiapan, antara lain harus dapat menguasai satu daerah tertentu yang dapat dipertahankan sungguh-sungguh. Sementara itu Dahlan Lukman menerangkan bahwa persatuan (antara umat Islam dan umat lainnya) di masa lampau merupakan “persatuan ayam dan musang”, dan kini umat Islam memerlukan pimpinan yang baru dan kuat, yaitu seorang Imam. Pimpinan ini harus meliputi seluruh Jawa Barat. Noer Loebis menambahkan, bila sekarang ini diangkat seorang Imam hendaknya diinsyafi bahwa pemimpin sekarang harus berlainan dengan pemimpin di masa lampau, karena dalam situasi segenting sekarang ini yang dibutuhkan adalah seorang diktator yang adil; sedangkan demokrasi Islam berbeda dengan demokrasi Barat. Affandi Ridwan dari GPII mengusulkan supaya pemerintah di Yogyakarta menyerahkan Jawa Barat kepada umat Islam. Kemudian, ia mengusulkan kepada Pengurus Besar Masjumi di Yogyakarta “supaya Soekarno diturunkan, baik sandiwara atau tidak, kalau perlu ‘Coup d’etat’.

Atas berbagai gagasan yang muncul ini, Kartosuwirjo menyatakan bahwa Jawa Barat bukanlah Shanghai, bukan negara internasional, dan kudeta hanya dijalankan oleh golongan ilegal, sedangkan Masjumi adalah sebuah partai yang legal. Seterusnya, menurut pengamatannya, pada waktu itu usulan tersebut sukar untuk direalisasikan. Usulan agar dirinya menjadi seorang Imam, Kartosuwirjo meminta waktu untuk pikir-pikir, tapi pasti bahwa pada waktu itu ia tidak menyetujui dengan penggunaan kata Imam. Tampak di sini, bahwa Kartosuwirjo masih hendak berjuang dalam kerangka Negara Republik Indonesia, dan malahan tujuan konferensi hari itu adalah hendak memutuskan reaksi apa yang diberikan atas Perjanjian Renville. Dia masih percaya akan efektivitas dan kesesuaian gerak Masjumi dengan aspirasi politik Islamnya.

Sebuah usulan agar Masjumi menghentikan semua kegiatannya di Jawa Barat sampai waktu yang tertentu disetujui. Selanjutnya, seluruh cabang Masjumi di Jawa Barat akan diubah namanya menjadi Madjlis Islam (MI) Pusat yang dipimpin oleh Kartosuwirjo dan yang harus merupakan “sebuah pemerintah Islam sementara di Jawa Barat yang harus ditaati oleh seluruh umat Islam di daerah tersebut.” Dalam rangka ini, dibentuklah pula Tentara Islam Indonesia (TII) yang merupakan hasil peleburan dari Hizbullah dan Sabilillah serta laskar organisasi Islam yang lain. Suatu barisan pertahanan sipil, Pahlawan Darul Islam (PADI), juga disepakati untuk dibentuk. Disetujui pula pembentukan kesatuan-kesatuan khusus seperti Algojo, tukang Rebab (maksudnya: tukang potong leher) dan Pangkek (maksudnya: pencekik), yang seluruhnya menunjukkan tugas-tugas kesatuan tersebut untuk menghadapi para pengkhianat, yaitu mereka yang dianggap bekerja sama dengan pihak musuh.

Kepada penduduk diharapkan agar mereka bersedia menyerahkan seluruh senjata yang mereka miliki kepada TII dan menyerahkan sejumlah uang agar TII dapat membeli senjata. Seluruh kesatuan militer yang tidak menyerahkan senjatanya secara sukarela, bilamana perlu akan dilucuti secara paksa.

Raden Oni, yang ditunjuk menduduki jabatan Komandan Resimen, segera membentuk empat batalyon yang masing-masing dikepalai oleh S. Otong dari Bandung, Zainal Abidin dari Limbangan, M. Noer Loebis dan Adah Djaelani dari Singaparna.

Meskipun jelas bahwa ini adalah cikal bakal gerakan utama Darul Islam atau Negara Islam Indonesia yang baru belakangan akan dibentuk, namun pada waktu itu, gagasan untuk membentuk sebuah negara yang terpisah dari RI belumlah muncul. Seluruhnya, menurut saya, adalah langkah taktis untuk mengatasi situasi vacuum of power akibat pengosongan wilayah Jawa Barat. Tujuan pokoknya adalah: tidak menyerahkan begitu saja wilayah Jawa Barat kepada Belanda tanpa suatu perlawanan yang terorganisasi.

Pada tanggal 18 Pebruari 1948, Oni memberi nama "Raden Rachmat" kepada resimennya. Pemberian nama ini memiliki arti simbolis yang penting. Nama ini diambil dari riwayat kerajaan Pajajaran di mana kekuasaan Prabu Siliwangi dihancurkan oleh anaknya sendiri, yakni Sunan Rachmat itu tadi, yang sudah memeluk agama Islam. Tampak bagi saya bahwa makna di balik simbol ini adalah kekecewaan yang mendalam terhadap Divisi Siliwangi yang dianggap mengkhianati perjuangan untuk mempertahankan tanah air dengan cara meninggalkan Jawa Barat.

Seminggu setelah konferensi di Pangwedusan, pada 17 Pebruari 1948, terjadi pertempuran pertama TII dengan pasukan Belanda. Bagi Kartosuwirjo hari itu merupakan awal revolusi Islam di Jawa Barat yang belakangan dirayakannya setiap tahun sebagai “Hari Angkat Senjata”. Selanjutnya terjadi berkali-kali kontak senjata antara pasukan Oni dengan pasukan Belanda. Lagi-lagi, harus diakui, bahwa keterbatasan persenjataan dan pengorganisasian militer yang kalah modern, menyebabkan TII terus-menerus dalam keadaan terdesak.

Tampak-tampaknya, para peserta konferensi di Pangwedusan masih kurang luas dibandingkan dengan yang diharapkan. Oleh karena itu, pada tanggal 1-2 Maret 1948 diselenggarakan konferensi lagi, kali ini mengambil tempat di Cipeundeuy/Banturujeg, dekat Cirebon. Kali ini diharapkan agar cabang-cabang Masjumi di Banten, Jakarta, Bogor, Priangan, dan Cirebon sendiri diharapkan hadir. Konferensi dimulai pukul 8 malam, setelah hampir seluruh pesertanya menempuh perjalanan berhari-hari dengan berjalan kaki.

Kamran membuka konferensi. Dilanjutkan dengan penjelasan Sanusi Partawidjaja mengenai keputusan-keputusan yang telah dicapai pada konferensi sebelumnya. Oni, melanjutkan dengan menerangkan peleburan Hizbullah dan Sabilillah menjadi TII. Pada hari kedua konferensi, diambil keputusan bahwa hasil-hasil konferensi Pangwedusan yang diuraikan sebelumnya disetujui, dan Kartosuwirjo ditetapkan sebagai Imam di Jawa Barat, sedangkan Kamran ditunjuk sebagai panglima divisi.

Selaku Imam di Jawa Barat, Kartosuwirjo kemudian mengangkat enam anggota pimpinan pusat, yang terbagi ke dalam 3 bagian:
1. Bagian agama, terdiri dari alim ulama yang “modern”, yaitu Kyai Abdoel Halim dan KH. Gozali Tusi (dari Masjumi cabang Jakarta);
2. Bagian politik, terdiri dari Sanusi Partawadijaja dan Toha Arsjad;
3. Bagian militer, terdiri dari Kamran dan Oni.

Bersama Kartosuwirjo, ketujuh orang ini harus menjadi pemimpin yang bertanggung jawab di seluruh Jawa Barat “hingga di seluruh Indonesia kelak.” Kemudian ditetapkan pula dalam konferensi itu, “Program Politik Umat Islam” yang terdiri dari butir-butir berikut:
1. Membuat brosur tentang pemecahan (solusi) menyangkut keadaan-keadaan politik saat itu, untuk diarahkan kepada pemikiran perlu lahirnya satu negara baru, yakni Negara Islam. Sebagai pengarang brosur ditunjuk Kartosuwirjo.
2. Mendesak kepada pemerintah pusat RI agar membatalkan semua perundingan dengan Belanda. Dan bila hal (pembatalan) tersebut tidak memungkinkan, maka pemerintahan lebih baik dibubarkan seluruhnya dan dibentuk suatu pemerintah baru dengan dasar demokrasi yang sempurna (yakni Islam).
3. Mengadakan persiapan untuk membentuk suatu Negara Islam; yang akan dilahirkan apabila Negara Jawa Barat buatan Belanda lahir (pada waktu itu telah beredar kabar bahwa Belanda bermaksud mendirikan negara boneka yaitu Negara Pasundan yang terdiri dari orang-orang Indonesia namun tunduk kepada kepentingan Belanda), atau Pemerintah Republik Indonesia bubar.
4. Tiap-tiap daerah yang telah kuasai sedapat-dapatnya diatur dengan peraturan Islam, dengan seijin dan petunjuk Imam.

Konferensi mengamanatkan pula pembuatan suatu “Daftar Oesaha Tjepat” dalam rangka memberi penerangan kepada rakyat bahwa perjanjian dengan Belanda tidak akan membawa kemerdekaan bagi Indonesia. Juga kepada seluruh pegawai RI dan semua umat Islam yang bekerja untuk Belanda, serta semua kepala desa yang berada atau tidak berada di bawah kekuasaan Belanda, supaya secepat mungkin “berjiwa Islam”. Juga ditetapkan pula upaya untuk memperhebat tentang tauhid, amal saleh dan semangat berkorban hingga rakyat patut menjadi “warga negara saleh”. Selain itu dengan segala daya upaya paham jihad dan amal saleh harus diperdalam dan dipertinggi. Keputusan pembentukan TII yang berasal dari laskar Hizbullah dan Sabilillah juga disetujui. Dapat dikatakan, seluruh hasil keputusan konferensi di Pangwedusan disetujui kembali dalam konferensi kedua ini.

Penting untuk dicatat bahwa keputusan-keputusan dalam konferensi ini ditandatangani oleh Kartosuwirjo sebagai wakil Masjumi untuk Jawa Barat, Kamran sebagai wakil Sabilillah dan Hizbullah, serta Toha Arsjad sebagai wakil GPII. Dengan demikian jelaslah bahwa sampai dengan waktu itu, pembentukan suatu negara Islam yang terpisah dari RI belum terpikirkan. Meskipun Kartosuwirjo tetap mencita-citakan suatu negara Islam bagi seluruh rakyat Indonesia, namun ia masih berharap untuk dapat merealisasikan cita-citanya secara legal – konstitusional; apakah dengan persetujuan pemerintah RI di Yogyakarta atau karena jatuhnya pemerintah RI akibat serangan-serangan pihak Belanda. Itu sebabnya, tak lama kemudian Kartosuwirjo mengirimkan kurir ke Panglima TNI, Sudirman, di Yogyakarta, dalam rangka menuntut agar dia diangkat sebagai panglima untuk Jawa Barat dan supaya semua jajaran TNI yang ada di daerah tersebut ditempatkan di bawah komandonya; dia juga mengusulkan adanya sebuah “daerah percobaan” (semacam pilot project dalam istilah kita sekarang) bagi penerapan negara Islam. Ini artinya, Kartosuwirjo masih percaya dengan niat baik RI.

Tuntutan dan usulan ini tidak disetujui oleh Sudirman maupun Hatta, pelaksana pemerintahan pada waktu itu. Namun, keduanya mendukung upaya Kartosuwirjo dalam rangka melakukan perlawanan terhadap Belanda.

Simpati masyarakat terhadap upaya-upaya perlawanan Kartosuwirjo bertambah besar sesudah terjadinya pertempuran di Gunung Cupu pada tanggal 17 Pebruari. Di sini pasukannya memberikan perlawanan yang sengit terhadap gempuran-gempuran sporadis Belanda. Setelah pembentukan Madjilis Islam yang merupakan transformasi dari cabang-cabang Masjumi dan organ-organ di bawahnya di daerah Jawa Barat direalisasikan, dukungan dari kalangan ulama juga bertambah luas. Tentu saja, terdapat juga bukti sejarah bahwa sebagian dari mereka berbondong-bondong ke tempat yang dipertahankan Kartosuwirjo dan TII di lereng Gunung Cupu untuk mencari perlindungan dan pertolongan, karena mereka bukan saja dikejar-kejar oleh tentara Belanda, tetapi juga oleh “komunis serta sosialis”.

Selain itu terdapat satu alasan lainnya juga, yang didasarkan kepada kepercayaan kuna masyarakat setempat. Konon, menurut kepercayaan ini, di suatu waktu akan terjadi peperangan antara umat Islam dengan pihak kafir. Pada waktu peperangan inilah akan muncul seorang pemimpin Islam dari daerah-daerah yang diduduki oleh musuh. Tentu saja, dalam persepsi masyarakat waktu itu, yang dimaksud pihak kafir adalah orang Belanda dan pemimpin yang akan muncul itu adalah Kartosuwirjo. [10]

Sementara itu, Oni segera mengorganisasi sejumlah penduduk setempat dalam rangka pembentukan PADI dan BKD (Badan Keamanan Desa, semacam pasukan polisi) di daerah mereka masing-masing. Orang-orang yang telah ditunjuk untuk melaksanakannya harus segera berangkat ke daerahnya masing-masing untuk merealisasikannya. Kewajiban kesatuan-kesatuan ini adalah melakukan kegiatan-kegiatan sabotase terhadap Belanda dan harus “melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap semua pengkhianat agama, negara dan bangsa”. Tampak di sini bahwa gerakan Kartosuwirjo benar-benar memang ditujukan kepada pihak Belanda dan para kaki tangannya, bukan kepada pihak RI. Pada tanggal 7 Maret 1948. Oni memerintahkan untuk segera dilaksanakannya aksi-aksi pembersihan tersebut.

Hanya satu bulan kemudian, Oni menerima laporan tentang hasil aksi-aksi pembersihan tersebut dan menyatakannya sebagai “memuaskan dan menggembirakan”. Juga dijelaskan bahwa pihak-pihak yang menjadi sasaran operasi itu,

Bukan komunis! Dugaan itu sungguh berlainan … biar pun kyai, maupun haji dan bangsanya sendiri, asal saja menjadi kaki tangannya Belanda, mereka itulah yang diterkamnya. Dan sebaliknya, baik Belanda atau Tionghoa maupun bangsa apa saja, tapi jika takluk tunduk kepada Hukum Islam, mereka itulah yang dihormatinya.
Pada akhir Maret 1948, gerakan sudah membentuk kecamatan Islam pertama di Cikoneng dan Cihaur dan sebagai camatnya ditunjuk Ajengan Masdoeki dan Kyai Djadjoli. Kemudian di bulan April kecamatan Wado dan Cadasngampar, begitu juga kecamatan Bantarujeg, dekat Cirebon.

Setelah Belanda mendirikan secara resmi negara bonekanya, yakni Negara Pasundan, di Jawa Barat pada tanggal 24 April, Kartosuwirjo menggelar konferensi ketiga di Cijoho pada 1-5 Mei 1948. Tampaknya pada titik inilah, Kartosuwirjo mulai menegaskan tujuan dan cita-cita awalnya: perealisasian sebuah Negara Islam. Namun harus ditarik suatu kejelasan di sini. Hingga titik ini, yang dia maksudkan sebagai Negara Islam adalah sebuah negara yang akan menggantikan Republik Indonesia, bukannya sebuah negara tersendiri. Barulah beberapa tahun kemudian, ketika pemerintah RI, tentu saja, menolak “transformasi” RI menjadi Negara Islam Indonesia, Kartosuwirjo menganggap “negaranya” merupakan negara sendiri dengan batas-batas yurisdiksi sendiri yang berbeda dengan yurisdiksi RI.

Salah satu hasil terpenting lain konferensi itu adalah perubahan nama Madjlis Islam Pusat menjadi Madjlis Imamah di bawah pimpinan Kartosuwirjo sebagai Imam. Madjlis Imamah itu terdiri dari lima “kemajelisan” yang masing-masing dipimpin oleh seorang kepala majelis.
1. Madjlis Penerangan, dipimpin oleh Toha Arsjad;
2. Madjlis Keoeangan, dipimpin oleh Sanusi Partawidjaja;
3. Madjlis Kehakiman, dipimpin oleh KH. Gozali Tusi;
4. Madjlis Pertahanan, dipimpin (atau dirangkap sendiri) oleh Kartosuwirjo; dan
5. Madjlis Dalam Negeri dipimpin (atau dirangkap juga) oleh Sanusi Partawidjaja.

Anggota Madjlis Imamah lainnya adalah Kamran (selaku Komandan Divisi TII) dan Sjarif Hidajat dan Oni selaku Komandan Resimen Sunan Rachmat. Keputusan penting berikutnya adalah mendirikan dan menguasai satu “Ibu Daerah Negara Islam”, yaitu suatu daerah di mana berlaku “kekuasaan dan hukum-hukum agama Islam” dan yang dinamakan Daerah I (D.I). Daerah-daerah di luar Daerah I dibagi-bagi menjadi Daerah II (D.II) yang hanya setengahnya dikuasai umat Islam dan Daerah III (D.III) yakni daerah yang masih dikuasai oleh pihak bukan Islam (pada waktu ini yang dimaksud adalah Belanda).

Komunikasi ketiga level daerah harus berjalan dengan lancar agar rakyat di semua Daerah mendapat informasi yang tepat tentang situasi politik dan militer. Untuk ini semua keputusan politik dan militer serta semua pengumuman dari Madjlis Imamah dikeluarkan dalam bentuk Maklumat. Tampaknya sistem pembagian daerah ini, diadaptasi dari sistem pembagian wilayah dalam teori politik Islam klasik. Dalam teori politik Islam klasik, memang terdapat tiga jenis wilayah: Dar al-Islam (negara Islam), wilayah damai (saya lupa apa istilah teknisnya), dan Dar al-Harb (negara kafir, atau negara yang harus diperangi).

Di wilayah D.I, tindakan pertama yang harus segera dilakukan adalah mobilisasi dan militerisasi rakyat dan semua laki-laki berusia 16 sampai dengan 40 tahun untuk mengikuti latihan militer dan bila latihan selesai, mereka dikembalikan ke tiap-tiap desanya untuk menjadi pelopor-pelopor. Kemudian, para pemimpin di wilayah ini wajib mempertahan-kan daerah yang dikuasai serta memperluas daerah-nya dan berusaha menghubungkan D.I dengan D.II sehingga D.II menjadi D.I. Penduduk setiap minggu-nya berkewajiban dinas satu hari dan satu malam serta menyerahkan 2,5% dari pendapatannya sebagai pajak (infak) kepada instansi sipil dan militer (TII).

Di wilayah ini juga harus didirikan markas doa bagi para ulama dan “orang-orang yang suci hidupnya” (saya tidak mendapat keterangan lebih lanjut apa maksudnya “orang-orang yang suci hidupnya” ini). Di markas doa ini, setidak-tidaknya, harus terdapat 41 orang yang selalu mendoakan bagi keberhasilan perjuangan, membaca ayat-ayat al-Quran sebagai doa terutama ayat-ayat yang bertalian dengan perang, dzikir dan shalat tahajud. Orang-orang ini harus juga dididik dalam bidang ideologi dan politik. Kepada mereka diberi penerangan tentang situasi perjuangan dan jalannya perang yang sedang berlangsung. Tugas ketua markas doa adalah untuk mengumpulkan “hal-hal tanda gaib yang terdapat sehari-hari dan disampaikan kepada pembesar yang tertinggi di tempat itu, baik sipil maupun militer, selanjutnya di mana perlu ke pusat.”

Kewajiban semua pemimpin di wilayah D.II adalah mengadakan pemberontakan yang langsung hubungannya dengan Madjlid Imamah dan mengusahakan dengan segala cara supaya D.III berubah menjadi D.II. Setoran mingguan (infak) yang 2,5% oleh penduduk diserahkan hanya kepada militer (TII), sementara wajib dinas di D.II berlangsung selama seminggu. Kewajiban umat Islam di wilayah D.III adalah menguasahakan dengan segala cara untuk menarik simpati semua penduduk setempat supaya mereka tertarik kepada perjuangan Madjlis Imamah dan mereka harus juga berusaha supaya D.III menjadi D.II. Di wilayah ini semua orang harus menyerahkan 2,5% pendapatannya yang langsung dikumpulkan oleh TII.

Pada waktunya, sistem perluasan pengaruh ini dapat berfungsi berdasarkan sebuah prinsip yang sederhana, tapi efisien, dan dalam praktiknya berjalan sebagai berikut. Setelah semua daerah dimasukkan ke dalam D.I, menurut luas daerah tersebut ditempatkan seorang kepala desa, lurah atau camat. Pemimpin lokal tersebut sekarang berusaha memperluas daerahnya sesuai dengan kedudukan-nya, karena daerah yang dikuasai jarang seluas seperti yang diharapkan, dan dia juga berusaha untuk memperkuat pengaruhnya di daerahnya.

Bila kepala desa, lurah atau camat yang bersangkutan yang sekarang —setelah komando sipil dan militer disatukan— juga bertanggung jawab terhadap operasi militer di daerahnya telah berhasil mengonsolidasi kekuasaannya, maka selanjutnya dia berusaha untuk dapat mengontrol D.II yang berbata-san dengan daerahnya. Sistem ini memberikan moti-vasi yang cukup kuat kepada masing-masing pengua-sa lokal untuk memperluas daerah mereka, sebab bila mereka berhasil memperluas daerah mereka, mereka akan naik satu tingkat dalam hirarki jabatan administrasi. Dengan demikian, seorang kepala desa naik menjadi lurah, lurah menjadi camat dan camat menjadi bupati.

Begitulah, mulanya, terutama di daerah Pria-ngan Timur, sistem ini berjalan relatif lancar sampai pada akhir tahun 1949. Di daerah ini penduduk, baik secara sukarela maupun tidak, menempatkan diri di bawah kontrol Madjlis Imamah. Mereka yang berbuat demikian karena terpaksa, biasanya karena mereka khawatir bila tidak melakukan hal tersebut, akan dituduh bekerja sama (atau dianggap antek/kaki tangan) Belanda. Bagi yang sukarela, mereka menganggap tujuan Kartosuwirjo untuk mendirikan sebuah negara Islam di mana hukum-hukum Islam dijalankan secara menyeluruh, bagi penduduk Jawa Barat yang terkenal taat beragama, merupakan tujuan yang ideal.

Faktor penting yang membantu keutuhan dan tegaknya disiplin gerakan Kartosuwirjo adalah keputusan konferensi Cijoho yang mengharuskan setiap anggota untuk mengangkat sumpah setia (bai’at) terhadap pimpinannya masing-masing. Dengan cara demikian, Kartosuwirjo menjamin loyalitas bawahannya terhadap dirinya sebagai Imam, begitu juga terhadap gerakannya. Berdasarkan ketentuan ini, di D.I, misalnya, orang-orang berikut ini harus mengangkat sumpah:
- Imam terhadap Madjlis Imamah,
- Kepala Madjlis (menteri) terhadap Imam,
- Residen terhadap Imam,
- Staf Residen kepada residen,
- Bupati terhadap Imam,
- Staf bupati terhadap Bupati,
- Camat terhadap Bupati;
- Staf camat terhadap Camat; dan
- Kuwu (pimpinan lokal) terhadap Bupati.

Prinsip hirarki bai’at ini juga berlaku di wilayah D.I dan D.II, pendeknya: bawahan terhadap atasan-nya. Dalam bai’at ini setiap orang mengikrarkan bahwa dia bersedia berkorban untuk:

melaksanakan berdirinya Negara Islam yang Merdeka, sehingga berlaku Syari‘ah Islam.
Saya akan taat kepada perintah Allah, perintah Rasul-Nya dan perintah Ulil Amri saya dan menjauhi larangannya dengan tulus dan setia hati. Saya sanggup membela kesucian agama Islam, kebenaran Umat Islam dan pemimpin-pemimpin Islam daripada bencana, bahaya dan khianat dari mana dan apapun juga.
Pada tanggal 9-10 Mei 1948, Madjlis Imamah bersidang untuk memutuskan perubahan nama dari Madjlis Imamah menjadi Dewan Imamah. Sementa-ra itu, Kartosuwirjo terus bergerak. Ketika “Negara Pasundan” diumumkan pendiriannya, sebagian anggota gerakan mendesaknya untuk segera mem-proklamasikan sebuah negara baru, Negara Islam Indonesia. Namun sebagian lain menolak, karena menganggapnya masih terlalu pagi. Kartosuwirjo menunda keputusan mengenai masalah itu. Ia, kemudian berusaha untuk memperoleh persetujuan dari pemerintah RI di Yogyakarta untuk rencana mendirikan negara Islam. Setidak-tidaknya dia berharap untuk memperoleh dukungan pihak Masju-mi. Perhitungannya: bila Masjumi menyetujui renca-na-rencananya, akhirnya pemerintah RI juga akan menyetujuinya.

Dalam rangka ini, pada tanggal 8 Juli ia mengutus Abdul Hadi, Soelaiman dan Nanggadisoeara sebagai kurir ke Yogyakarta untuk membawa pesan-pesan pribadi kepada sejumlah politikus di sana, yang oleh karena alasan keamanan disampaikan secara lisan. Pesan-pesan Kartosuwirjo disampaikan antara lain kepada Anwar Tjokroaminoto, Ramlan, A.H. Soebakin, Soedardjo, Soemadhi dan Abikoesno Tjokrosujoso. Dalam surat pengantarnya Kartosuwirjo meminta agar tokoh-tokoh ini datang ke Jawa Barat untuk bersama-sama membicarakan langkah-langkah selanjutnya. Pengantar itu terdiri 6 butir isi:
1. Sejak ditandatanganinya Renville kami umat Islam di Jawa Barat telah menentukan sikap yang tegas.
2. Akibat daripada sikap itu, terjadilah perjuangan yang dahsyat, sehingga darah syuhada terus mengalir.
3. Cita-cita perjuangan kami ini, tidak hanya merupakan perjuangan regional akan tetapi hendaknya merata ke seluruh kepulauan Indonesia.
4. Dari situ untuk menyatukan bentuk dan lang-kah perjuangan kita, di samping keterangan-keterangan yang disampaikan oleh utusan kami, diharap supaya di antara saudara-saudara yang bertanggung jawab kepada perjuangan umat di sini datang ke tempat saya untuk membicarakan bentuk dan langkah perjuangan pada dewasa ini.
Semoga dengan jalan ini, karunia Allah, lahirnya Negara Islam yang Merdeka, akan datang secepat-cepatnya.
Selesai.

Hingga titik ini, Kartosuwirjo tetap berharap bahwa Masjumi akan mendukungnya untuk mewu-judkan rencananya, yaitu pembentukan sebuah Negara Islam, dan para politikus Masjumi mau datang ke Jawa Barat untuk membicarakan rencana ini. Pada saat kehadiran tokoh-tokoh teras itulah, direncanakan dia baru akan memproklamasikan berdirinya Negara Islam. Menurut perhitungannya, dengan cara ini diharapkan agar dapat diperoleh dukungan yang tidak hanya bersifat nasional, melainkan juga internasional; bila proklamasi sebuah negara Islam dimaksudkan untuk atas nama seluruh bangsa Indonesia, dia ingin menghindarkan prokla-masi itu hanya menjadi sebuah peristiwa lokal saja.

Dalam suatu surat kepada Kamran, Kartosuwirjo menyatakan,

Juga saya ingin sekali memperingatkan kepada suatu hal yang tampaknya kecil, tapi amat penting sekali dalam perjuangan kemerdekaan dan perjuangan agama, yakni terbentuknya pos-pos di sepanjang jalan antara kita dengan daerah Republik. Satu jalan dulu (route) boleh dimulai, asal sempurna. Jangan putus-putus. Selain daripada itu, juga tentang [pem-]bentukan kurir yang tetap, yang berangkat dan datang pada waktu-waktu yang [ter-]tentu. Saya harap, supaya hal-hal ini lekas dibentuk oleh Divisi. Agar supaya kita dengan kawan-kawan di daerah Republik merupakan rantai yang erat sekali. Insya Allah, itulah salah satu jalan dan usaha, menuju kepada Revolusi Islam Totaliter [maksudnya: Revolusi Islam yang Sempurna—WK.], di mana komando kita akan dihargakan oleh Umat dan Rakyat seluruhnya, dan berharga pula dalam pandangan dunia internasional seluruhnya. Selebih-lebih lagi, di mana-mana tempat dan di tiap-tiap penjuru dunia sudah mulai tampak menyala-nyala api, yang agaknya akan menjadi pangkal timbulnya Perang Dunia Ketiga.
Oleh sebab itu, supaya diusahakan meletusnya Pemberontakan Rakyat, atau Revolusi Islam, baik yang merupakan penculikan, pembunuhan, sabotase, dan —di mana mungkin— pertempuran.
Atas seluruh perkembangan ini, tampaknya pemerintah RI dan pimpinan TNI masih belum memiliki gambaran yang jelas mengenai keadaan-keadaan yang telah berlangsung di Jawa Barat. Seluruh kabar mengenai Kartosuwirjo dan gerakan-nya dianggap TNI sebagai bagian propaganda untuk meneruskan perjuangan melawan Belanda, lebih-lebih dengan telah didirikannya Negara Pasundan.

Pada tanggal 25 Agustus 1948, keluar maklumat pertama dari Pemerintah Islam Indonesia, yang memerintahkan mobilisasi dan militerisasi total rakyat, dan dua hari kemudian penyusunan Kanun Azasi (Undang-undang Dasar) Negara Islam Indonesia telah selesai. Di pihak Belanda akhirnya mengkhianati Perjanjian Renville. Tanggal 14 Desember 1948, pasukan-pasukannya melancarkan serangan gencar ke kawasan yang menurut perjanjian itu merupakan daerah RI. Hampir seluruh pimpinan RI ditawan oleh Belanda. Kartosuwirjo segera mereaksi perkembangan baru ini. Ia mempermaklumkan perang “suci semesta”.

Ketahuilah! Bahwa perjuangan yang kami usaha-kan hingga berdirinya Negara Islam Indonesia itu adalah kelanjutan perjuangan kemerdekaan, menurut dan mengingat Proklamasi 17 Agustus 1945!
Ketahuilah pula! Bahwa tiada kemerdekaan yang dapat direbut, hanya dengan goyang-goyang kaki di atas kursi belaka. Kemerdekaan kita, kemerde-kaan Negara dan kemerdekaan Agama, harus dan wajib direbut kembali dengan darah.
Tertuju kepada seluruh rakyat Indonesia Kartosuwirjo menyerukan pentingnya satu-kesatuan komando dan kesatuan pimpinan untuk menghin-darkan politik pecah belah musuh di masa yang akan datang. Dan dia menegaskan, bahwa dirinya, sebagai pimpinan Negara Islam Indonesia, yakin akan sanggup untuk memegang kesatuan komando itu.

Marilah kita perjelas situasinya. Dengan jatuhnya pemerintahan RI di Yogyakarta akibat Agresi Militer II Belanda, sebenarnya telah terjadi vacuum of power di wilayah-wilayah “bekas RI”, Kartosuwirjo menganggap bahwa sudah tiba waktunya untuk memproklamasikan Negara Islam Indonesia. Dapat saya tambahkan di sini: bukankah kelahiran RI dulu, pada 1945, juga akibat kekosongan kekuasaan, setelah Jepang menyerah sedangkan Sekutu belum juga tiba di Indonesia? Namun, Kartosuwirjo masih tetap berusaha untuk memper-oleh pimpinan komando tertinggi secara legal. Mungkin, dia berharap agar Negara Islam Indonesia, yang sudah dia bentuk dan dinyatakannya sebagai kelanjutan RI hasil proklamasi 17 Agustus 1945, akhirnya akan diakui (dilegalisasi) tanpa harus terjadi proklamasi NII.

Sementara itu, sesudah menyerahnya pemerintah RI, Divisi Siliwangi segera mengorganisasi diri untuk segera kembali ke Jawa Barat, wilayah yurisdiksi resminya. Hal ini bukannya tidak diketahui oleh Kartosuwirjo, yang segera mengambil langkah-langkah antisipatif. Maka, ketika kesatuan-kesatuan Siliwangi ini tiba di daerah perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat, mereka menemukan selebaran dan plakat yang ditempelkan di pohon-pohon, yang intinya berisi seruan agar mereka segera menggabungkan (atau meleburkan diri) ke dalam Tentara Islam Indonesia (TII). Satu atau dua batalyon Siliwangi yang, menolak bergabung, dapat dilucuti senjatanya. Komando Siliwangi sendiri berusaha menjalankan strategi mengajak TII ke arah kerja sama berkonsentrasi melawan Belanda. Namun, pihak Kartosuwirjo menegaskan bahwa Jawa Barat kini telah menjadi sebuah Negara Islam dan dengan demikian tidak ada tempat lagi bagi kaum RI di daerah itu, kecuali, bergabung ke dalam TII.

Suatu peristiwa penting terjadi. Pada 24 Januari 1949, staf Brigade XIV bersama keluarga mereka di dekat Antralina ditawan oleh sebuah kesatuan TII yang dipimpin oleh Kamran. Batalyon yang dipimpin Nasuhi segera dikirimkan untuk membebaskan tawanan. Permintaan ini disetujui, namun perminta-an kedua agar pihak TII menyerahkan senjata-senjata yang telah dirampas ditolak oleh Kamran. Sesudah ultimatum Nasuhi tak dihiraukan oleh Kamran, batalyon itu segera menyerang kubu-kubu pertahanan TII. Bagi Kartosuwirjo kejadian ini merupakan pernyataan permusuhan dari pihak TNI kepada NII. Pada hari yang sama, Kartosuwirjo mengeluarkan sebuah Maklumat Militer tentang “tentara liar, gerombolan serta golongan yang ada di Jawa Barat.” Mereka tidak pandai menghargai dirinya sebagai tamu, melainkan ingin menguasai daerah dan rakyat Negara Islam Indonesia. Lalu,

Waktu mereka (yakni RI darurat dan komunis gadungan) itu masuk di daerah de facto Madjlis Islam, maka dengan sombong dan congkaknya mereka menginjak-injak hak dan memperkosa keadilan “tuan rumah”, sehingga terjadilah insiden pertama dengan menggunakan senjata, yang terkenal dengan nama “Pertempuran Antralina” dan terjadi pada tanggal 25.1.1949. Dengan peristiwa ini, maka berkobarlah dengan hebatnya “Perang Siti Tiga Pertama” [maksudnya antara TII, TNI dan pasukan Belanda—WK.] di Indonesia.
Bahwa Tentara Liar tersebut dan gerombolan/ golongan yang serupa itu dianggap dan diperlakukan sebagai penghalang revolusi Islam dan musuh Negara Islam Indonesia.
Bahwa segala senjata dan alat kelengkapan perang serta harta benda mereka wajib dirampas bagi kepentingan Negara Islam Indonesia.
Pernah dilangsungkan beberapa kali perundingan antara TNI dan TII mengenai persoalan perlucutan senjata pada sekitar Januari-Pebruari 1949. Ketika Kamran menolak sejumlah usul yang disodorkan kepadanya, pihak TNI berusaha untuk menyergapnya bersama semua pasukannya. Namun, Kamran dapat meloloskan diri, dan hanya seorang pengikutnya yang tertangkap. Gaya TNI ini mengingatkan kita pada metode tentara Belanda di masa-masa lalu untuk menghentikan perlawanan-perlawanan bersenjata yang tidak mampu diatasinya. Pangeran Diponegoro dilumpuhkan dengan cara ini. Betapa sulitnya TNI mengatasi TII dapat dibayang-kan melalui sejumlah kenyataan sebagai berikut. Lebih dari empat kompi pasukan TNI terjebak di daerah pedalaman oleh pasukan-pasukan TII. Bahkan TNI perlu mengadakan gencatan senjata dengan Negara Pasundan yang disokong Belanda untuk kemudian menyepakati kerjasama kedua belah pihak guna menghadapi TII.

Pemerintahan sipil di daerah-daerah yang telah dikuasai TNI sudah ambruk karena tak tersedianya tenaga yang trampil, baik karena sudah direkrut oleh Negara Pasundan maupun karena mengikuti Karto-suwirjo. Kesulitan lain juga terjadi karena hubungan lalu lintas dan komunikasi. Seorang kurir dari Cire-bon membutuhkan waktu 18 hari untuk sampai ke Yogyakarta, sementara sepucuk surat bahkan mem-butuhkan 35 hari. Tentu saja, hal ini menyebabkan masalah dalam hal koordinasi di pihak TNI.

Sementara itu, di level internasional, Belanda mendapatkan kecaman dan tekanan dari berbagai pihak akibat dua kali pelanggaran perjanjian dan agresi militernya. Sebagai akibatnya, Belanda kemudian bersedia duduk di meja perundingan lagi. Maka, pada tanggal 7 Mei 1949 ditandatanganilah Perjanjian Roem-Royen. Kartosuwirjo menolak hasil-hasil perundingan yang, antara lain, memuat akan dibentuknya Republik Indonesia Serikat, itu. Kartosuwirjo menyatakan,

Banteng Indonesia yang gagah perkasa itu, karena kalah silatnya dengan singa Belanda terpaksa diikat lehernya dan kemudian masuk dalam salah satu kandang dalam kebun binatang modern, yang bernamakan: Negara Indonesia Serikat atau Republik Indonesia Serikat.
Kartosuwirjo malah menyatakan keluar dari Masjumi. Mungkin karena partai tersebut telah turut berpartisipasi dalam perundingan tersebut. Hatta, selaku kepala pemerintahan, juga menjadi sasaran kecaman, “Roem dan Hatta – yang dewasa akhir-akhir ini memang sudah tidak tahu malu lagi, menjual negara sampai habis – obral besar-besaran. Atau: sungguh memalukan sekali.” Indonesia kini kembali kepada derajat sebelum proklamasi, yaitu “derajat nol besar.” Rencana untuk menggelar Konferensi Meja Bundar tak luput dari serangan. Konferensi itu,
…adalah merupakan lakon wayang dan lakon tonil [pertunjukan boneka—WK.], yang dalangnya berwujud Belanda penjajah jahanam itu, sedang wayang-wayangnya ialah pemimpin-pemimpin negara-negara boneka. Berkat kepandaian dan kecerdikan ki dalang, yang memang sudah berpengalaman 350 tahun itu, maka dalam pandangan penonton yang “buta politik”, seolah-olah wayang-wayang itu hidup dan pandai melakukan rolnya [bhs. Inggris: role; perannya—WK.] masing-masing, seakan-akan terlepas daripada komando dan perintah ki dalang.”
Apapun pendapat Kartosuwirjo, perundingan itu membuahkan hasil. Belanda berangsur-angsur menarik mundur pasukannya dari wilayah RI. Kini pemerintah mulai bisa agak tenang menghadapi Kartosuwirjo. Pada Juli 1949 itu, Hatta menulis surat kepada Kartosuwirjo dalam rangka memintanya menghentikan semua permusuhan terhadap TNI. Kartosuwirjo, tak memberi balasan jawaban, namun ia menulis dalam buku hariannya bahwa Hatta telah menuntut untuk menghentikan permusuhan melawan “Tentara Liar.”

Pada tanggal 4 Agustus tahun itu, disusun delegasi Indonesia yang akan mengikuti Konferensi Meja Bundar di Den Haag. Kurang lebih pada waktu yang bersamaan, Mohammad Natsir, politisi terkemuka Masjumi, ditugaskan oleh Hatta untuk menjalin kontak dengan Kartosuwirjo, dalam rangka menghentikan seluruh permusuhannya terhadap angkatan bersenjata Republik. Segera, Natsir menuju ke Bandung untuk menunaikan tugasnya. Di Bandung, ia menginap di Hotel Homann dan menulis surat kepada Kartosuwirjo dengan menggunakan kertas surat hotel tersebut. Natsir meminta bantuan A. Hassan, pemimpin organisasi Persis (Persatuan Islam), yang pernah menjadi mentornya sewaktu Natsir masih aktif dalam organisasi tersebut, untuk menyerahkan secara pribadi surat tersebut. Hassan merupakan seorang ulama yang terkenal pula. Namun, karena surat itu ditulis di atas sebuah kertas bercap hotel, sehingga tak heran kalau dianggap sebagai sepucuk surat yang tak resmi. Baru tiga hari kemudian surat sampai ke tangan orang yang menjadi tujuannya.

Sementara itu, pada tanggal 6 Agustus Hatta beserta rombongannya berangkat ke Den Haag untuk menghadiri konferensi yang telah dijadwalkan. Keberangkatan ini bagi Kartosuwirjo merupakan pertanda untuk segera bertindak, karena dengan keberangkatan ini – baginya kini terjadi “vacuum of power” di wilayah Indonesia. Tampaknya, ia juga ingin memberikan fait accompli sebelum KMB dimulai.

Maka, pada tanggal 7 Agustus 1949, Kartosuwirjo memproklamasikan Negara Islam Indonesia (NII) di Cisampah, Cisayong, yang dihadiri oleh segenap anggota Komandemen Tertinggi, yakni Dewan Imamah. Beberapa hari kemudian, barulah ia memberikan surat jawaban kepada Natsir. Kartosuwirjo menerangkan bahwa ia menyayangkan surat itu, karena tiga hari sebelumnya ia telah memproklamasikan lahirnya NII. Proklamasi mana tak dapat lagi ditarik kembali. Karena – demikian katanya, “Saya tidak mau menelan air ludah saya kembali.”
Kartosuwirjo dan 13 Tahun NII, 1949-1962 
Semua peraturan NII dikeluarkan oleh Koman-demen Tertinggi, yang merupakan transformasi dari Dewan Imamah, dalam bentuk Maklumat yang ditandatangani oleh Imam dan kemudian dibagi-bagikan. Setelah proklamasi NII, para anggota Komandemen Tertinggi adalah:
Imam/Panglima Tertinggi : S.M.Kartosuwirjo
Wakil Imam dan Komandan Divisi : Kamran
Madjlis Keuangan : Oedin Kartasasmita (setelah meninggal diganti oleh Soelaiman Purnama)
Madjlis Penerangan : Toha Arsjad (setelah meninggal 1952/1953 tak ada penggantinya)
Madjlis Pertahanan : Raden Oni (setelah meninggal 1952/1953 tak ada penggantinya)
Madjlis Kehakiman : KH. Gozali Tusi (setelah tertawan tak ada penggantinya)
Madjlis Luar Negeri : Sanusi Partawidjaja (setelah dihukum mati, jabatan ini dirangkap oleh Kartosuwirjo).
Madjlis Dalam Negeri : dirangkap oleh Sanusi Partawidjaja (setelah dihukum mati, jabatan ini juga dirangkap oleh Kartosuwirjo).

Pada tanggal 7 Oktober 1949, keluar Maklumat Komandemen Tertinggi Angkatan Perang Negara Islam Indonesia (MKT-APNII) No. 1 yang isinya antara lain menjelaskan susunan NII di masa perang, karena cara demikian akan menjamin pemerintahan yang lebih efisien untuk sebuah negara yang sedang berada dalam perang. Semua kepentingan NII sejak ini harus disesuaikan dengan keadaan politik dan militer masa itu. Kartosuwirjo memerintahkan supa-ya, “Ahli politik harus dipermiliterkan. Sebaliknya, ahli militer harus diperpolitikkan.” Kepada para ko-mandan Angkatan Perang NII (APNII) disampaikan pesan untuk “membawa umat Islam bangsa Indonesia ke arah Mardhotillah. Kalau perlu dengan paksa.” Dalam hal keadaan yang darurat sekali, menurut Kartosuwirjo, bisa saja dilakukan demikian, walaupun dalam ajaran Islam tidak terdapat kata-kata paksaan itu.

Dengan keluarnya MKT-APNII No. 1 tersebut, terutama terjadi penyederhanaan sistem administrasi secara menyeluruh yang terdiri dari lima komandemen sebagai berikut.
1. Dewan Imamah di bawah Imam diubah menjadi: Komandemen Tertinggi (KT) di bawah pimpinan Panglima Tertinggi (Plm.). Pimpinan harian dilakukan oleh Kepala Staf Umum (KSU).
2. Divisi dan Wilayah yang dipimpin oleh Komandan Divisi dan Gubernur diubah menjadi: Komandemen Wilayah (KW) di bawah pimpinan Panglima Komandemen Wilayah (Plm. KW). Pimpinan harian dilakukan oleh Kepala Staf Komandemen Wilayah (KSW).
3. Resimen dan Karesidenan yang dipimpin oleh seorang Komandan Resimen dan seorang Residen diubah menjadi: Komandemen Daerah (KD). Dalam daerah yang demikian, pimpinan militer dan politik berada di angan Komandan Komandemen Daerah (Kmd. KD). Pimpinan harian dilakukan oleh Kepala Staf Komandemen Daerah (KSKD).
4. Batalyon dan Kabupaten yang dipimpin oleh seorang Komandan Batalyon dan seorang bupati, diubah menjadi: Komandemen Kabupaten (KK), di sini pimpinan militer dan politik dipegang oleh Komandan Komandemen Kabupaten (Kmd. KK). Pimpinan harian dilakukan oleh seorang Kepala Staf Komandemen Kabupaten (KSKK).
5. PADI dan Kecamatan yang dipimpin oleh seorang Komandan PADI dan seorang Camat diubah menjadi: Komandemen Kecamatan (K. Kt). Di sini, pimpinan militer dan politik dipegang oleh Komandan Komandemen Kecamatan (Kmd. K.Kt). Pimpinan harian dilakukan oleh seorang Kepala Staf Kecamatan (KSKKT).

Kelima wilayah administrasi ini masing-masing berhak untuk mendapat 20% dari pendapatan negara. Kemudian, PADI dilebur ke dalam TII, Badan Keamanan Negara (BKN) diubah namanya menjadi Polisi Islam Indonesia (disingkat POLISI), dan sejumlah kesatuan lain digabungkan ke dalam masing-masing komando wilayah. Tugas-tugas PADI seperti pelaksanaan hukuman mati, penyerangan terhadap musuh dan terhadap bioskop di kota-kota yang diduduki musuh, begitu juga penculikan dan aksi sabotase, kini dialihkan kepada TII. Namun, anggota-anggota kesatuan tetap harus menjalankan tugas-tugas seperti sebelumnya, misalnya harus menyamar sebagai pembantu rumah tangga ke dalam rumah tangga musuh atau menyusun daftar hitam yang berisi nama-nama orang yang menghalangi perjuangan Negara Islam. Kemudian, dibentuk pula sebuah pasukan pembantu yang dibentuk di tingkat kecamatan dan desa. Pasukan ini disebut BARIS (Barisan Rakyat Islam), dan di setiap kecamatan harus terdiri dari satu Brigade. Dengan demikian, di dalam NII sekarang, telah terjamin pengawasan total hingga ke tingkatan desa. Sistem sebelumnya tentang perluasan daerah (D.I – D.III) dan semua kewajiban penduduk di masing-masing daerah tersebut, seperti pembayaran pajak, wajib krja dan wajib militer tetap berlaku.
Gambaran Kartosuwirjo mengenai NII adalah merupakan sebuah “Negara Kurnia Allah”, yang lebih lanjutnya merupakan,

Satu: negara yang berdaulat penuh 100% ke luar dan ke dalam, de facto dan de jure. Kedua: harus ada peraturan Allah, yang merupakan agama Allah, atau agama Islam. Kedua anasir ini harus bersatu atau dipersatukan. Bukan sebagai minyak dan air yang ada di sebuh periuk.
Pada sekitar Oktober 1949, Kartosuwirjo mengeluarkan seruan yang ditujukan kepada TNI, bekas tentara KNIL, dan tentara-tentara dari negara-negara boneka ciptaan Belanda, agar mereka – apabila masih memiliki sikap ksatria dan nilai kebebasan di hati mereka, maka mereka seharusnya menghancurkan belenggu penindasan bergabung dengan TII. Menariknya, beberapa orang mengikuti seruan tersebut, terutama dari kalangan bekas laskar Hizbullah. Mereka berpendapat bahwa RI yang terus-menerus mengalah kepada Belanda, dan juga arena gencatan senjata yang telah disetujui, tidaklah lagi mewakili kepentingan mayoritas bangsa Indonesia. Alasan berikutnya adalah: munculnya pendapat yang beredar luas di kalangan Hizbullah bahwa TNI disusupi unsur-unsur Komunis. Malahan, seorang perwira Siliwangi, Kadar Solihat, akhirnya bergabung dengan NII, karena alasan yang sama.

Selain mengatur perundang-undangan, Kartosuwirjo juga mengatur pembagian pemasukan pajak NII yang terdiri dari pajak biasa (infak) dan pajak istimewa (infak fi sabilillah) yang diberikan pada masing-masing Komandemen, dari Komando Tertinggi hingga ke daerah-daerah. Dari hasil kedua jenis infak, Komandemen Tertinggi menerima 60%, Komandemen Wilayah 15% dan Desa 25%. Sumber pemasukan lain adalah fai, ghanimah dan harta salab [11]. Pembagian jenis pemasukan itu: fakir miskin dan anak yatim 40%, pihak TII 20%, dan tiap-tiap komandemen 10%.

Sifat infak adalah wajib. Seandainya segala sumber pemasukan di atas belum mencukupi kebutuhan, maka – bila dianggap perlu, dilakukan pungutan secara paksa atau melalui perampokan. Ini karena rakyat yang tidak mendukung NII harus dianggap sebagai musuh dan karena itu cara-cara semacam itu yang ditujukan kepada pihak musuh adalah legal (sah). Kapan dan bagaimana sesuatu pungutan paksa harus dilakukan, merupakan urusan dan tanggung jawab komandan masing-masing komandemen.

Sementara di level nasional, perjanjian KMB ditandatangani pada 27 Desember 1949. Pembentukan RIS dilakukan, dan sehari kemudian, Soekarno terpilih sebagai Presiden RIS. Kini, RI hanya merupakan salah satu di antara 16 negara anggota RIS. Namun, karena kecanggihan manuver politik diplomasi Natsir (pemimpin Masjumi itu), usia RIS hanya bertahan selama 8 bulan. Pada 17 Agustus 1950, seluruh negara anggota RIS bersedia digabungkan ke ke dalam RI melalui apa yang disebut sebagai “Mosi Integral Natsir”. Dan sebagai ganjarannya, Natsir terpilih sebagai Perdana Menteri RI yang pertama sesudah bubarnya RIS.

Pada tanggal 20-25 Desember 1949 diselenggarakan Kongres Muslimin Indonesia di Yogyakarta, dua hari setelah Masjumi mengadakan Muktamar ke-4-nya. Di dalam kongres ini dibahas pula masalah Darul Islam (DI) Kartosuwirjo dan proklamasi NII-nya. Menariknya, sebagian besar dari pembicara dalam kongres membela Kartosuwirjo dan menjelaskan bahwa DI bukan menentang Republik melainkan menentang Belanda, dan “anak-anak kita” – demikian mereka menyebut para anggota gerakan DI, telah mempertahankan Jawa Barat dengan gigih dan karena itu harus dianugerahi penghargaan yang tinggi. DI telah melemahkan Belanda dan memperkuat posisi Republik dalam perundingan.

Dalam kaitannya dengan TNI, salah seorang pembicara menerangkan bahwa sengketa antara laskar Islam dan TNI berakar pada perlucutan senjata laskar Jawa Barat di awal perjuangan kemerdekaan. Ini telah menimbulkan perasaan luka umat Islam. Selain itu, “kaum merah”, mencoba melemahkan umat Islam. Pembicara ini menunjuk FDR (Front Demokrasi Rakyat) yang pada waktu itu dipimpin oleh Amir Sjarifuddin mencoba mematahkan tenaga umat Islam dengan memperalat TNI. Amir adalah menteri pertahanan.

Banyak pembicara yang mengajukan bahwa penggunaan kekerasan dalam masalah DI tidak akan menyelesaikan permasalahan dan malah akan menyebarkan benih dendam dalam hati umat Islam terhadap republik. Dikritik pula Maklumat Rahasia Markas Besar Komando Djawa (MBKD) No. V, yang di dalamnya memerintahkan agar semua instansi, militer, polisi dan pamongpraja, melakukan pengawasan terhadap gerak-gerik umat Islam. Sebagai akibat dari Maklumat ini, anggota Masjumi didaftar, rapat-rapat Masjumi dihadiri oleh wakil pemerintah, dan beberapa cabang Masjumi, karena takut, tidak bergerak atas nama Masjumi melainkan atas nama Muhammadiyah. Penderitaan dan pengorbanan yang diberikan umat Islam untuk perjuangan kemerdekaan tidak dihargai dan tidak diakui, bahkan umat Islam dihukum dengan sikap curiga, tuduhan dan pengawasan.

Sementara itu, Natsir, selaku perdana menteri, senantiasa mencari cara untuk dapat menyelesaikan DI dengan solusi-solusi damai. Namun berbagai cara gagal. Setelah kabinet Natsir jatuh pada April 1951, Kartosuwirjo menyebut RI sebagai RIK, yakni Republik Indonesia Komunis. Dalam kesempatan ini, Kartosuwirjo menerangkan bahwa sejak tiga tahun ini, di Indonesia telah berdiri dua negara yang berbeda hukum dan pendirinya, berlainan sikap dan haluan politiknya, bertentangan maksud dan tujuannya; pendeknya berselisih dalam hampir setiap hal. Pancasila dikatakannya sebagai satu campuran masakan yang terdiri dari Sintoisme, Hakko Itchiu [12], Islam syirik dan nasionalisme jahiliyah yang kemerah-merahan (komunis).

Kartosuwirjo juga menyesalkan bahwa pemerintah RI telah mengecap negaranya sebagai “gerombolan Darul Islam”, pemberontak, perampok dan lain-lain. Semua upaya damai yang ditawarkan Natsir dituduhnya sebagai perbuatan khianat dan penipuan. Dan yang sangat memalukannya, dalam usaha-usaha itu telah turut terlibat para alim ulama terkenal yang mestinya mendukung perjuangannya mendirikan negara Islam. Maka, misi Wali Alfatah, misalnya, dikatakannya sebagai “tipuan pihak iblis laknatullah”. [13]

Pada tahun 1951, pasukan pemerintah RI meraih kemenangannya yang paling besar dalam suatu pertempuran antara TNI dan sebuah kesatuan TII. Dalam peristiwa ini, Menteri Pertahanan NII, Raden Oni, gugur, dan Menteri Kehakiman NII, KH. Gozali Tusi, dapat ditangkap. Sementara itu, dalam perjalanannya untuk bergabung dengan TII di Jawa Barat, Darul Islam Jawa Tengah, yang dipimpin Amir Fatah menyerah.

Pada waktu-waktu ini, jalan-jalan di Jawa Barat semakin tidak aman, dan terutama Priangan Timur, kendaraan-kendaraan pada siang hari dari satu kota ke kota lainnya hanya dapat bergerak dalam konvoi karena takut akan dicegat oleh pasukan TII. Pada malam hari, umumnya lalu lintas berhenti sama sekali. Jalur lalu lintas yang lain seperti Bandung-Jakarta dan ke jurusan Serang, semua kendaraan sesudah jam 4 sore meninggalkan jalan-jalan tersebut dan memasuki kota-kota besar karena setelah itu, kawasan tersebut dikontrol oleh TII.

Pada awal 1952, pencegatan terhadap kereta api juga semakin meningkat. Mula-mula kereta api dihentikan dengan cara menanam tiang dengan bendera perang NII di tengah rel, tetapi pada akhir tahun ini, kereta api dianjlokkan begitu saja. Terdapat sebuah kasus di mana sebuah kereta api jurusan Jakarta-Cirebon dicegat di dekat Cilege. Para penumpang diturunkan, harta benda mereka dirampas, kemudian diperbolehkan melangsungkan perjalanannya, kecuali beberapa anggota militer yang dibawa dan ditembak mati.

Pada Oktober 1952, Kartosuwirjo memerintahkan untuk mempercepat dan memperhebat semua usaha menyelenggarkan persiapan perang total dan memperbaiki organisasi POLISI dan BARIS, begitu juga dengan sistem Komandemen. Badan-badan ini harus membentuk sebuah “Benteng Islam” agar dapat menyelenggarakan negara basis atau “Negara Madinah” yang,

Ke dalam, berlaku sebagai alat-alat pembersih dan penyapu segala macam kutu-kutu masyarakat, dan obat penyembuh beraneka warna penyakit, pemelihara kedaulatan Negara Islam Indonesia dan kesucian Agama Islam.
Ke luar, merupakan Benteng Islam yang kuat sentosa, yang sanggup menghadapi tiap-tiap musuh Allah (Islam), dari jurusan mana pun juga.
Selanjutnya, bai’at yang harus diucapkan setiap anggota TII, kini ditambah lagi dengan janji tentara yang dinamakan “Sapta-Subaya”, yang terdiri dari tujuh janji. Seorang anggota TII harus tetap disiplin, berani, membela pemimpin, jujur dan hemat, bijaksana, mencintai sesama mujahid dan pantang menyerah.

Masih di sekitar Januari 1952, Kahar Muzakkar menerima tawaran Kartosuwirjo untuk memegang pimpinan TII di Sulawesi dan ditunjuk sebagai Panglima Divisi IV TII untuk kawasan Sulawesi dan Indonesia Timur. Namun, barulah pada 7 Agustus 1953, Kahar menggabungkan diri dengan NII dan menamakan pasukannya TII.

Pada tanggal 21 September 1953, Teungku Daud Beureueh, pahlawan Aceh dalam masa revolusi fisik (1945-1949) serta pemrakarsa berdirinya PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh), yang tidak puas dengan pemerintah pusat di Jakarta akibat banyaknya salah urus, dan diabaikannya rakyat Aceh dalam pembagian keuangan pendapatan asli daerah Aceh sendiri, menyatakan memutuskan semua hubungan dengan Jakarta dan mengumumkan Aceh sebagai wilayah NII Kartosuwirjo. Daud Beureueh adalah pemimpin paling terkemuka dan kharismatik bagi masyarakat Aceh. Maka pernyataannya itu sama dengan separatisme seluruh Aceh dari RI.

Memasuki tahun 1953 itu, keadaan banyak menguntungkan Gerakan Darul Islam. Setiap terjadi pertempuran, selalu saja ada korban tewas di pihak TNI. Kerusakan yang harus ditanggung oleh pemerintah RI diperkirakan sebesar Rp 115.000,00 setiap harinya, kemudian pada tahun 1954, kerugian akibat serangan-serangan TII menjadi Rp 82 juta. [14] Di Kalimantan Selatan, pada tahun 1954 Ibnu Hadjar, mengumumkan kawasan tempat tinggalnya sebagai bagian dari NII. Namun, gerakan Ibnu Hadjar segera dapat ditumpas oleh TNI.

Menurut Nasution, jalannya situasi menghadapi DI adalah merupakan keadaan perang dan, karena itu, harus dihadapi secara perang pula. Dia juga mengeluhkan bahwa pemerintah telah bertindak setengah hati dalam menghadapi masalah ini. Kita ketahui bahwa pemerintah, di bawah tekanan Masjumi, memang tidak terlalu keras secara militer dalam menghadapi masalah DI. Masjumi selalu menuntut penyelesaian masalah secara damai atau melalui perundingan.

Gerakan Darul Islam dan NII mencapai puncaknya pada tahun-tahun 1956-1957, ketika pemerintah RI berada dalam keadaan amat kritis. Hatta, mengundurkan diri sebagai Wapres pada Desember 1956, akibat ketidakcocokannya dengan Soekarno yang secara kontinyu menginfiltrasi parlemen dan kabinet agar kekuasaannya semakin kuat. Seperti diketahui, pada masa ini Indonesia menganut sistem parlementer, konsekuensinya presiden merupakan simbol belaka dan hanya memiliki kekuasaan nominal. Pemerintahan dijalankan oleh sebuah kabinet yang dipimpin oleh seorang perdana menteri. Sementara itu, di banyak daerah muncul pula ketidakpuasan daerah akibat berbagai kebijakan pusat, antara lain pembagian keuangan pusat-daerah dan demobilisasi tentara.

Sebagai akibat kondisi chaotic ini, dengan dukungan penuh Nasution, pada tanggal 15 Maret 1957, Soekarno mengumumkan negara dalam keadaan bahaya. Dengan pengumuman ini, militer mendapatkan keleluasaan dalam bergerak. Selanjutnya, banyak kehidupan sosial, politik dan ekonomi yang diintervensi oleh militer.

Untuk mengatasi semakin banyaknya pemberontakan daerah, Angkatan Bersenjata RI merumuskan doktrin militer yang baru. Lahirlah konsep Perang Wilayah, yang didasarkan atas pemikiran bahwa tanpa adanya bantuan aktif rakyat, pemberontakan tak akan dapat ditumpas. Menurut konsep ini, tentara harus menjalin hubungan yang erat dengan rakyat setempat dan di antara tentara dan rakyat tidak boleh terjadi perbedaan baik dalam masalah pangan, akomodasi maupun pelayanan kesehatan. Tentara juga harus membantu rakyat dalam pembangunan kembali daerah-daerah yang telah mengalami kerusakan akibat gangguan keamanan yang sudah berlangsung sejauh ini. Dalam kaitannya dengan Gerakan DI, semua rencana tersebut diharapkan dapat mengisolasi total DI dan akan memperkuat daya perlawanan rakyat. Panglima Daerah Militer (Pangdam) III Siliwangi pada waktu ini adalah Brigjen Ibrahim Adjie, sementara Nasution telah sejak lama memangku jabatan sebagai Kepala Staf Angkatan Darat, merangkap Menteri Pertahanan.

Segera setelah Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959, di seluruh Jawa Barat digelar berbagai operasi militer secara serempak. Untuk itu, Jawa Barat dibagi ke dalam tiga daerah operasi (DO). DO-A adalah suatu daerah yang telah berhasil dinormalisasi keadaannya; DO-B adalah daerah yang sudah dikontrol oleh TNI, tetapi masih belum 100% bersih dari satuan-satuan TII; sedang DO-C adalah daerah yang masih sepenuhnya dikontrol oleh TII. Sistem ini mengingatkan kita pada pembagian daerah seperti yang dilakukan oleh NII, yang telah dikemukakan di atas.

Kira-kira, pada waktu itulah keadaan bagi Kartosuwirjo dan NII mulai berbalik arah. Satuan-satuan TII dan Kartosuwirjo sendiri mulai terdesak dengan hebat. Selama tahun-tahun perjuangan ini, Kartosuwirjo beserta keluarganya, sudah sejak antara tahun 1954-1959, pindah ke daerah pegunungan selatan Jawa Barat di sekitar Karangnunggal (hutan Denuh), dan mengangkat Sanusi Partawaidjaja sebagai pelaksana hariannya. Namun, ketika ia mendengar bahwa Sanusi, bersama dengan seorang Belanda bekas anggota pasukan Westerling yang kemudian berperang untuk NII, merencanakan kudeta terhadap dirinya, maka Kartosuwirjo mengambil alih kembali pimpinan NII dan pada bulan Juli 1959, ia berangkat kembali ke daerah pusat perlawanan DI. Sanusi dipersidangkan dan divonis bersalah. Ia kemudian dieksekusi mati.

Pada waktu mengambil alih kembali kepemimpinan secara langsung inilah, dia menyatakan keprihatinan terhadap keadaan “negaranya”. Dalam pidatonya pada waktu penyerahan ijazah para lulusan akademi Wana Yudha (semacam AKABRI-nya NII), Kartosuwirjo menyindir rencana Sanusi. Dia, antara lain, menyatakan,

Sungguh pahit bagi Bapak, dengan keadaan Negara kita sekarang karena banyak hal-hal yang menyeleweng. Bahaya akan datang apabila ada dualisme dan pertengkaran dalam tiap-tiap Komandemen. Ada pertengkaran antara komandan-komandan, maka ke bawahnya apalagi.
Karena persoalan-persoalan tersebut dan mungkin juga karena makin seriusnya tekanan RI dalam menanggapi NII, maka Kartosuwirjo mereorganisasi struktur militernya. Reorganisasi ini menetapkan bahwa selama NII terlibat dalam peperangan, selama itu pula, di seluruh Indonesia berlaku hukum Islam di masa perang. Untuk menjamin berlakunya Hukum Perang, Indonesia dibagi menjadi tujuh Daerah Palagan atau “Sapta Palagan”, di mana Daerah Perang yang terkecil adalah sebesar desa.
1. Daerah Perang pertama meliputi seluruh Indonesia yang dipimpin langsung oleh Imam dan Panglima Besar APNII. Strukturnya identik dengan Komandemen Tertinggi yang dulu disebut Dewan Imamah.
2. Daerah Perang kedua meliputi beberapa wilayah NII, yang dibagi ke dalam tiga wilayah Komando Perang Wilayah Besar (KPWB), yang masing-masing dipimpin oleh seorang Panglima Perang KPWB. Wilayah ini dibagi menjadi:
a. KPWB I, meliputi pulau Jawa dan Madura, dipimpin oleh Agus Abdullah.
b. KPWB II, meliputi seluruh Indonesia Timur, dipimpin oleh kahar Muzakkar.
c. KPWB III, meliputi seluruh Sumatra dan kepulauan di sekitarnya, dipimpin oleh Daud Beureueh.
3. Daerah Perang ketiga, hanya meliputi satu wilayah NII yang disebut Komando Perang Wilayah (KPW). Jadi, dalam sebuah KPWB terdapat beberapa KPW. Seluruhnya terdapat 7 KPW di Indonesia. Wilayah ini dibagi menjadi:
a. KPW I, Daerah karesidenan Jakarta, Purwakarta, Cirebon, dan Priangan Timur.
b. KPW II, Daerah Jawa Tengah; namun wilayah ini kemudian dihapus, karena DI Amir Fatah telah menyerah kepada TNI.
c. KPW III, Daerah Jawa Timur, dipimpin oleh Masduky.
d. KPW IV, Daerah Sulawesi Selatan dan sekitarnya, dipimpin oleh Kahar Muzakkar.
e. KPW V, Daerah Sumatra, dipimpin oleh Daud Beureueh.
f. KPW VI, Daerah Kalimantan, namun gagal dibentuk.
g. KPW VII, Daerah Bogor, Bandung, Garut, Sumedang dan Banten, dipimpin oleh Ateng Djaelani Setiawan.
4. Daerah Perang keempat meliputi satu karesidenan.
5. Daerah Perang kelima meliputi satu Kabupaten.
6. Daerah Perang keenam meliputi satu kecamatan.
7. Daerah Perang ketujuh meliputi satu desa atau lebih.

Dengan pelaksanaan struktur baru ini diharapkan hilangnya setiap jenis, sifat dan bentuk dualisme, dalam bidang dan lapangan apa dan manapun sehingga di lingkungan NII hanya dikenal satu pimpinan negara yang juga bertugas memimpin perang dan pimpinan umat berperang.
Kartosuwirjo menegaskan agar para mujahid harus harmonis dan selaras dengan tugasnya dan mereka harus Allah minded 100%, supaya mereka sanggup dan mampu merealisasikan ajaran Sunnah Nabi serta pantang melakukan sesuatu di luar ajaran dan hukum Islam. Kepada para komandan, dianjurkan agar mereka harus terlebih dulu pandai menunjukkan kesungguhannya melaksanakan wajibnya, sebelum menuntut disiplin, kesetiaan, kepatuhan dan rasa tanggung jawab dari pihak bawahan terhadap atasannya. Kata Kartosuwirjo, “kita hanya mengenal satu Ulil-Amri Islam, satu Panglima tertinggi APNII, tidak lebih tidak kurang." Kemudian,

Tiap-tiap kepercayaan, keyakinan, anggapan dan perlakukan, yang menyimpang atau bertentangan dengan dia, adalah sesat dan menyesatkan, salah, keliru dan durhaka.
Sementara itu, karena kehidupan yang semakin sulit, akibat banyak manajemen negara RI yang salah urus, tekanan ekonomi yang harus dialami rakyat semakin berat. Ini bukannya tidak memberikan tekanan kepada NII pula. Sekarang, TII malah menaikkan pajak (infak wajib) kepada penduduk di daerah yang dikuasai NII (Jawa Barat, terutama kawasan Priangan dan Bantarujek). Akibatnya justru merupakan pukulan balik terhadap NII sendiri. Semakin banyak orang berpaling dari NII, padahal dukungan sebelumnya cukup kuat. Mereka dicap oleh Kartosuwirjo sebagai para pengkhianat.

Pada umumnya, kesatuan-kesatuan TII masuk ke desa-desa setelah maghrib untuk menagih infak-infak wajib itu. Ketika penduduk semakin tidak mampu memenuhi pungutan itu, anggota-anggota TII langsung masuk ke rumah-rumah penduduk dan secara paksa mengambil apa saja yang mereka butuhkan. Semula, setiap pembayaran infak diikuti dengan pemberian tanda terima, namun sekarang tidak lagi.

Kini, TII menerapkan taktik “hit and run” Memancing kesatuan-kesatuan TNI masuk perangkap, untuk kemudian diserang dengan kekuatan kecil dan segera menarik mundur pasukan. Kamran, Panglima APNII, bertanggung jawab atas disusunnya berbagai taktik dan siasat gerilya. Menurut siasat ini, musuh harus dilumpuhkan lewat propaganda, perusakan jalur hubungan saluran air minum dan transportasi (jembatan), juga jaringan komunikasi: kawat telpon harus dipotong. Juga dilakukan pencegatan terhadap iring-iringan mobil dan kereta api: penumpangnya digeledah dan barang-barang berharganya dirampas. Sementara itu PADI harus mengadakan penculikan dan penyerangan terhadap pihak-pihak yang mereka anggap musuh, mengadakan kekacauan di kota-kota yang dikuasai musuh dengan cara pelemparan granat di tengah pasar dan bioskop. Kesatuan barisan penyelidik harus menjadi pegawai pihak musuh, misalnya, menjadi pembantu rumah tangga atau sopir. Di samping itu, di dalam kesatuan ini juga dibentuk “kolone kelima” [15] yang harus mengadakan pembunuhan politik.

Selama di hutan, Kartosuwirjo jarang meninjau sebagian besar pengikutnya dan dia melarang dirinya dipotret, sehingga selain pengawal pribadi jarang ada yang mengetahui wajahnya. Sementara itu, di kalangan petani desa yang tak berpendidikan, tersebar desas-desas bahwa Kartosuwirjo memiliki kekuatan gaib. Sejumlah di antaranya percaya bahwa dia bisa menyamar, menghilang dan kebal peluru, ada pula yang menganggapnya sebagai “Ratu Adil” atau “Imam Mahdi”. Kartosuwirjo tampaknya sengaja meliputi dirinya dengan misteri dan tidak menolak pandangan semacam itu terhadapnya, asalkan hal itu berguna bagi perjuangannya.

Memasuki pertengahan tahun 1960, jelaslah sudah bahwa TNI telah dapat mengendalikan keadaan, meskipun Gerakan DI dan Kartosuwirjo belum sepenuhnya dapat ditumpas. Dalam rangka mengisolasi kesatuan-kesatuan TII yang masih bertahan di daerah Banten dan Priangan, TNI memperkenalkan strategi “Pagar Betis”. Penerapan strategi ini adalah sebagai berikut.

Setelah kesatuan TII terdesak ke suatu daerah tertentu, daerah tersebut dilingkari dengan garis pertahanan Pagar Betis di mana setiap 5 meter terdapat satu pos yang terdiri dari 5 orang yang tidak bersenjata. Pada setiap 5 sampai 10 pos rakyat itu, yakni setiap 20-40 meter, terdapat satu pos militer yang berkekuatan 3 pucuk senjata. Antara satu pos rakyat dengan pos rakyat berikutnya dipasang rintangan berupa tali yang, digantungi dengan kaleng-kaleng kosong yang diisi dengan sejumlah bebatuan, dipasang setinggi betis. Dengan ini, akan timbul bunyi manakala tali itu tersentuh. Selain itu dipasang lagi satu tali setinggi pinggang yang dimaksudkan sebagai alarm, yang ditarik pada saat terdapat bahaya. Garis lingkaran yang berupa pos-pos rakyat itu diamankan oleh sejumlah satuan tempur yang terus-menerus bergerak dalam rangka menemukan satuan pasukan TII untuk dihancurkan dan menghalanginya penerobosan garis Pagar Betis.

Karena untuk pelaksanaan isolasi total dibutuhkan partisipasi aktif rakyat, maka sejak awal operasi digelar, dikeluarkan instruksi untuk setiap anggota pasukan agar tidak menyinggung hati rakyat setempat, terutama sama sekali tidak diperkenankan menimbulkan kerugian pada rakyat. Masing-masing komandan militer mengunjungi secara teratur para alim ulama setempat dalam rangka mempererat hubungan dan menciptakan “saling pengertian”.

Tetap saja, Siliwangi kekurangan pasukan untuk menumpas NII Kartosuwirjo secara total. Maka, untuk operasi-operasi militer di daerah Banten didatangkanlah pasukan dari Divisi V Brawijaya, Jawa Timur; dan untuk operasi di daerah Priangan ditarik pasukan dari Divisi IV Diponegoro, Jawa Tengah. Didatangkannya pasukan ini sekaligus menunjukkan betapa luar biasa ketatnya sistem pertahanan NII dan TII. Suatu pasukan yang —pada dasarnya adalah “pasukan rakyat”— membutuhkan tiga divisi militer untuk dapat dilumpuhkan.

Dengan tibanya pasukan-pasukan bantuan itu, segera saja kesatuan-kesatuan TII di daerah Banten dapat ditumpas, sebagian di antaranya menyerahkan diri dikarenakan pemerintah mengeluarkan pemberian amnesti bagi orang-orang TII yang menyerah sebelum Nopember 1961. Sementara itu, penerapan strategi Pagar Betis telah menyulitkan komunikasi di antara masing-masing kesatuan TII. Ini, antara lain, menyebabkan sulitnya langkah-langkah koordinasi internal NII dan TII.

Meskipun sejumlah komandan pentingnya, seperti Zainal Abidin dan Ateng Djaelani, telah menyerah, namun Kartosuwirjo sama sekali tidak memikirkan hal tersebut. Tangan kanannya, Kamran, sendiri telah tewas dalam pertempuran pada tahun 1953. Kartosuwirjo masih dengan garang berpidato di hadapan pasukannya bahwa untuk “memasuki gedung Darul Islam itu tidak tanpa melalui proses pengaliran darah secara besar-besaran.” Dia juga membuat tegas, “kalau di dalam suatu negeri terdapat dua kepala negara, maka salah satu dari keduanya, Soekarno atau dia harus menyingkir.” Jelaslah sudah bahwa Kartosuwirjo bermaksud melakukan pertempuran hingga tetes darah terakhir.

Kira-kira dalam bulan Januari 1962, kesatuan-kesatuan DI yang bermarkas di kawasan Cakrabuana dan Galunggung, yang diperkirakan merupakan kedudukan Kartosuwirjo, menghadapi pengepungan total. Hal ini hanya mungkin dilakukan dengan partisipasi rakyat. Di Kecamatan Ciawi saja, sekitar 5653 rakyat pedesaan telah dipasang sebagai pagar manusia yang dibagi ke dalam 1127 pos penjagaan. Tampaknya, Kartosuwirjo lolos atau memang tak berada di lokasi itu. Dia masih bertahan dan terus memimpin pasukannya yang sudah semakin parah keadaannya itu. Ia sendiri dikabarkan tengah berada dalam keadaan sakit payah.

Pada awal Mei 1962, pemimpin NII yang telah menyerah, Toha Mahfoed, menyerukan kepada Kartosuwirjo, Agus Abdullah dan Adah Djaelani Tirtapradja untuk menghentikan perlawanan, setelah banyak pemimpin lain NII dan pasukannya telah menyerah. Dan pada akhir bulan itu juga, karena keadaan yang sudah tak dapat diperbaiki lagi tingkat keparahannya, akhirnya Adah Djaelani meletakkan senjata. Dengan menyerahnya Adah Djaelani, tokoh penggerak TII tinggal Agus Abdullah dan Kartosuwirjo sendiri.

Pada awal Juni 1962, sebuah kompi dari Batalyon Kujang II Siliwangi, yang dipimpin oleh Letnan Dua Suhanda, mengejar sebuah kelompok TII yang sedang menuju markas mereka. Karena kehilangan jejak, Suhanda kemudian membagi pasukan kompinya ke dalam tiga peleton, yang masing-masing terdiri 45 anggota tentara, untuk melakukan penelusuran secara terpisah terhadap jejak-jejak kelompok tersebut.

Pada tanggal 4 Juni, sewaktu hujan deras yang disertai angin kencang melanda, anggota pengintai pasukan Suhanda menemukan sebuah tempat persembunyian DI yang terletak di sebuah lembah antara Gunung Sangkar dan Gunung Geber. Alam sudah tidak lagi bersahabat dengan tentara NII, pos-pos penjagaannya yang ditempatkan di bukit-bukit tidak dapat mendengar suara apa-apa karena hujan yang deras itu. Akibatnya, pasukan Suhanda dapat melangkah maju sampai ke sebuah pohon yang roboh. Dari tempat itu, dalam jarak sekitar 50 meter, mereka dapat melihat sebuah gubuk yang dibangun secara darurat di bawah sebuah pohon rimba, yang cabang-cabangnya hampir menyentuh tanah.

Ketika Suhanda memerintahkan anak buahnya untuk melepaskan tembakan serbuan, pasukannya mendapatkan tembakan-tembakan dari arah bukit-bukit. Namun, anggota pasukannya yang diposisikan di tempat dapat mematahkan pos-pos bukit itu. Setelah dari arah gubuk tak ada lagi perlawanan, Suhanda mendekatinya dan kepada orang yang telah menyerah ia menanyakan siapa pimpinan di situ. Kepadanya ditunjukkan sebuah gubuk lain, di belakang gubuk yang terlihat pertama kali.

Di gubuk itulah Suhanda menemukan “the most wanted person” selama sepuluh tahun terakhir itu: Kartosuwirjo yang, kurus, dalam keadaan sakit parah terbaring di lantai, mengenakan sebuah jaket militer dan sebuah sarung terlilit di badannya. Di situ juga terdapat Darda putranya dan Atjeng Kurnia. Pada hari itu, sejumlah 46 orang anggota DI menyerah, di antaranya terdapat seorang wanita yang tak akan mungkin terlupakan oleh Suhanda: ia mengenakan kaus kaki pemain sepak bola setinggi lutut, sepatu sport, dan celana pendek olah raga, namun mengenakan kain kerudung yang menutupi seluruh rambutnya.

Karena Kartosuwirjo sudah tak mampu berjalan lagi, ia memerintahkan anggota pasukannya untuk membuat sebuah tandu bagi Kartosuwirjo untuk digiring ke markasnya. Sejumlah dokumen berhasil dirampas. Untuk dapat turun gunung, pasukannya harus melewati hutan yang lebat dan, karena itu, harus membuka jalan sendiri dengan parang-parang. Dalam perjalanan, Kartosuwirjo sempat meminta kopi dan nasi, karena sudah berbulan-bulan ia tidak mendapatkan kedua jenis bahan tersebut. Suhanda memenuhi permintaan Kartosuwirjo. Sungguh ini sebuah akhir yang mengenaskan dari perjuangan seorang yang pernah paling ditakuti di seantero Jawa Barat ini.

Malam itu juga, Kartosuwirjo dibawa ke Majalengka, untuk kemudian dengan sebuah mobil ambulans dibawa ke markas Ibrahim Adije, dan kemudian ke Garut, di mana ia dan tokoh DI lainnya ditahan. Dalam suatu pemeriksaan kesehatan, didiagnosis bahwa dia menderita penyakit gula (diabetes), pembengkakan hati, denyutan jantung tak teratur, dan kekurangan gizi. Pada tanggal 7 Agustus 1962, tepat 13 tahun usia proklamasi Negara Islam Indonesia-nya, Kartosuwirjo dibawa dari Bandung ke Jakarta; di mana telah menanti Mahkamah Militer Angkatan Darat yang akan mendakwanya atas tuduhan melakukan pemberontakan bersenjata dan percobaan pembunuhan kepada Presiden Soekarno.

Sebelumnya, pada tanggal 6 Juni 1962, istri Kartosuwirjo turun gunung dan pada 20 Juni, Agus Abdullah meletakkan senjata dan menyerahkan diri pada pos TNI di Cipikur. Di antara anggota-anggota TII yang turut menyerahkan diri terdapat sejumlah remaja berusia 10-12 tahun dengan seragam lengkap TII dengan membawa senjata mereka.

Setelah kesehatan Kartosuwirjo berangsur-angsur pulih, dimulailah proses pemeriksaan atas dirinya. Tidak hanya dia diperiksa oleh pihak militer, namun juga psikolog dan penafsir tulisan tangan (grafolog). Seluruh pemeriksa sepakat bahwa Kartosuwirjo adalah seorang yang memiliki kemampuan intelegensi (kecerdasan) yang tinggi dan tipe seorang pemikir yang amat baik. Dalam kesempatan ini, rupanya Kartosuwirjo tak bermaksud untuk menyerah begitu saja. Setiap celah kesempatan sekecil apapun yang mungkin dapat dipergunakan akan diambilnya. Ini tecermin dalam pernyataannya bahwa ia dapat menyatakan kesetiaan kepada Soekarno, Nasakom dan Manipol Usdek, dan bersedia membantu pemerintah dalam perjuangan membebaskan Irian Barat. [16]

Dikatakannya, dia masih merasa bertanggung jawab atas sisa-sisa TII atau para anggota Mujahidin-nya. Untuk itu, dia mengusulkan agar dapat dibentuk suatu “Legiun Veteran ex-Mujahidin” guna diterjunkan di sana, dan bila diijinkan ia sendiri akan memimpin legiun itu. Secara piawai Kartosuwirjo menunjukkan bahwa dari segi psikologis akan lebih baik kalau ex-Mujahidin dapat disatukan dalam sebuah perhimpunan daripada dibiarkan hidup sendiri-sendiri, apalagi 80% pengikutnya masih setia kepadanya. [17]

Tentu saja, usulan ini ditolak. Kita dapat berspekulasi, bahwa seandainya usulan tersebut diterima, Kartosuwirjo akan memanfaatkan “para ex-Mujahidin” itu untuk melanjutkan perjuangannya dari arah luar Jawa. Saya kira, kemungkinan ini bukannya tidak diketahui oleh pihak militer. Apalagi, salah satu di antara hasil-hasil pemeriksaan psikologinya menunjukkan bahwa orang dengan intuisi dan kemampuan analisis seperti Kartosuwirjo, “sangat kecil kemungkinan bahwa di masa mendatang ia akan melepaskan prinsip-prinsip ideologinya.” Sebaliknya, “sangat besar kemungkinan, ia akan berusaha meluaskan ideologinya, walaupun dengan cara dan corak yang lain.”

Pada tanggal 6 Agustus 1962, Penguasa Perang Tertinggi RI mengeluarkan instruksi untuk mengadili perkara Kartosuwirjo “dalam waktu sesingkat mungkin.” Tanggal 8 Agustus, pemeriksaan awal terhadap dan pengumpulan bahan-bahan bukti untuk mengadili perkara Kartosuwirjo telah selesai dilakukan. Tiga hari kemudian berkas perkaranya dilimpahkan kepada Mahkamah Militer Angkatan Darat. Tuduhan pokok terhadapnya adalah upaya makar dengan kekuatan senjata. Untuk itu, vonis yang paling pantas baginya adalah hukuman mati.
Para pembela Kartosuwirjo rupanya tidak tertarik untuk membuktikan ketidakbenaran atas tuduhan yang didakwakan kepada klien mereka. Misalnya, dapat saja mereka memperdebatkan sifat “vacuum of power” wilayah RI akibat menyerahnya pemerintah Indonesia pada waktu Agresi Militer Belanda kedua pada 1948, yang mengakibatkan kosongnya daerah Jawa Barat dari administrasi pemerintahan. Sebaliknya, tim pembelanya hanya memohon hakim untuk tidak menjatuhkan hukuman mati kepadanya, dengan pertimbangan-pertimbangan: jasa-jasa terdakwa pada waktu perang kemerdekaan, tidak menyulitkan proses persidangan, telah memerintahkan para pengikutnya untuk meletakkan senjata, gangguan kesehatan dan usia yang telah lanjut (padahal waktu itu usia Kartosuwirjo “baru” 55 tahun) serta keluarga yang menjadi tanggung jawabnya. Di samping itu, terdakwa telah menyatakan penyesalan atas segala perbuatannya dan sebuah hukuman mati akan membuat terdakwa tidak dapat lagi memperbaiki mentalnya.

Persidangan sungguh-sungguh berjalan amat cepat, mungkin tak ada bandingannya dalam soal kecepatannya. Tanggal 11 Agustus 1962 sidang dimulai dan 16 Agustus 1962, telah dicapai keputusan vonis. Maka, pada tanggal itu diumumkan keputusan Mahkamah bahwa Kartosuwirjo dijatuhi hukuman mati, karena telah terbukti bersalah dalam kegiatan-kegiatan:
1. makar untuk merobohkan Negara Republik Indonesia;
2. pemberontakan terhadap kekuasaan yang sah di Indonesia; dan
3. makar untuk membunuh kepala negara Republik Indonesia.

Kartosuwirjo masih memiliki langkah terakhir! Seperti dikemukakan sebelumnya, dia tidak akan melewatkan kesempatan apapun demi cita-citanya: pada tanggal 20 Agustus, ia mengajukan permohonan grasi kepada Presiden Soekarno. Dalam permohonannya ia menyatakan, “rasa penyesalan yang sebesar-besarnya atas segala perbuatannya di masa lampau”, dan dia menyatakan bahwa dia “sanggup berkelakuan sebagai seorang Warga Negara Indonesia yang baik dalam alam Pancasila.” Soekarno, menolak permohonan itu, dengan alasan “tidak ada alasan untuk mengabulkan permohonan tersebut.” Dalam berbagai tahap ini, baik ketika telah menjatuhkan vonis, sesudah Kartosuwirjo mengajukan permohonan grasi, maupun sesudah penolakan permohonan tersebut, mahkamah banyak menerima surat telegram yang sebagian besar —kalau bukan malah seluruhnya— berasal dari organisasi-organisasi komunis, yang pada waktu itu memang sedang berada di atas angin politik Indonesia, untuk menghukum mati Kartosuwirjo.

Seluruh upaya telah ditempuh, tetapi tanpa ada hasil. Maka, tinggallah menyusun surat wasiat yang dapat dilakukannya. Pada keluarganya ia meminta supaya mereka tetap bersabar dalam menerima ketentuan Allah yang pahit itu. Pada istrinya ia berpesan agar membimbing anak-anaknya menjadi putra-putri Islam yang sejati. Kepada para pengikutnya ia mengucapkan selamat berpisah, ini dilakukannya karena mereka dirasa perlu mengetahui bahwa hingga saat-saat terakhir dia masih tetap bertindak dan berbuat sebagai Imam Panglima Tertinggi APNII, juga tanpa ragu dia menyatakan apa yang dilakukannya bersumberkan pada perintah-perintah Allah dan Sunnah Rasul. Dia tetap berkeyakinan bahwa suatu waktu cita-cita Islam akan terwujud, meskipun musuh-musuh tetap menentang. Kepada instansi pemerintah terkait, dia meminta agar barang-barang pribadinya diberikan kepada keluarganya, dan agar dia dikuburkan di tanah miliknya sendiri, yakni di Shuffah yang terletak di Cisitu, Malangbong. Kepada pemerintah RI, dia mengajukan permintaan agar wasiat-wasiatnya ini disiarkan lewat pers dan radio. Malang bagi orang ini, kecuali permintaan terakhirnya agar dia diberi kesempatan terakhir untuk bertemu dengan keluarganya, seluruh permintaan dalam wasiatnya ditolak oleh pihak militer.

Akhirnya, pada tanggal 5 September 1962 (hampir persis tiga bulan setelah ia tertangkap), Kartosuwirjo bersama-sama dengan para regu penembaknya berangkat dengan sebuah kapal dari Tanjung Priok menuju ke sebuah pulau di teluk Jakarta – hingga sekarang, lokasinya tetap dirahasiakan, di mana ia akan dieksekusi. Pagi itu, tepat pukul 5.50 WIB, setelah regu penembak melaksanakan tugasnya dengan benar, dokter Kapten Paat Gerardus, mengeluarkan visum et repertum untuk kematian terdakwa bernama Kartosuwirjo. Ia dikuburkan di tempat itu juga.

Banyak pelajaran yang dapat ditarik atas sejarah Kartosuwirjo dan NII-nya. Di antaranya yang paling penting adalah: keluwesan strategi untuk mewujudkan sebuah cita-cita. “Banyak jalan menuju Roma”, begitu kira-kira seandainya sastrawan Idrus masih hidup akan mengatakannya. Ketika sudah pasti bahwa sebuah perjuangan bersenjata untuk mewujudkan sebuah cita-cita tidak akan mungkin mencapai hasilnya, sudah semestinya bilamana strategi perjuangan diubah. Kartosuwirjo tidak bersedia melakukan hal itu. Memasuki tahun 1960, sebenarnya, dirinya sudah hampir-hampir yakin bahwa ia sedang membawa dirinya dan para pengikutnya ke dalam sebuah medan pertempuran yang tak akan mungkin dapat dimenangkannya. Tetapi toh dia tetap terus angkat senjata. Saya teringat akan sebuah ayat Allah yang mengingatkan,

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan Allah, dan tempatnya ialah neraka Jahannam. Dan amat buruklah tempat kembalinya (Surah al-Anfâl/8, ayat 15-16).

Lâ yukallifullâhu nafsan ila wus‘ahâ.

 
Catatan Akhir
[1] Struktur kewilayahan Hindia Belanda saat itu: Pusat (dipimpin Gubernur Jenderal), Residensial (dipimpin Residen, setingkat gubernur sekarang), Asisten Residen (setingkat Walikota sekarang) yang sejajar dengan Bupati, Wedana, dan Asisten Wedana. Jabatan Asisten Wedana sejajar dengan jabatan Camat Indonesia dewasa ini.
[2] Menurut Mr. Mohammad Roem, yang pernah menjadi anggota JIB, Kartosuwirjo dipecat dari JIB karena pandangan politik yang ditulis dalam suatu artikel yang dikarangnya, meski tidak jelas pandangan politik yang bagaimana. (Mr. adalah singkatan dari Meester in de rechten merupakan gelar kesarjanaan dalam bidang hukum – sekarang disingkat SH. Jadi padanannya bukanlah Mister dalam bahasa Inggris, karena bahasa Belanda untuk itu adalah Meneer, artinya Tuan).
[3] Ini adalah nama baru dari organisasi/partai yang dulunya bernama Sarekat Islam, kemudian berganti menjadi Partai Sarekat Islam. Nama terakhir ini berganti lagi menjadi PSIHT, dan pada sekitar tahun 1930-an, namanya akan berganti lagi menjadi Partai Serikat Islam Indonesia (biasa disingkat PSII).
[4] Kutipan di bawah ini dan selanjutnya telah dialihaksarakan dari sistem ejaan lama ke sistem EYD. Inisial WK menunjukkan penjelasan atau keterangan dari saya. Namun, judul artikel tetap saya pertahankan sesuai dengan aslinya.
[5] Gelar raja Surakarta cukup panjang, antara lain memuat Sri Susuhunan Pakubuwana Khalifatullah Sayidin Panatagama yang kurang lebih berarti: Yang Mulia, Tempat Sesembahan Pusat Dunia, Khalifah Allah, Pemimpin Penata Agama
[6] Volksraad adalah semacam DPR pada jaman Hindia Belanda, namun ia tidak memiliki fungsi legislatif, melainkan hanya mengajukan usulan atau masukan dan nasihat kepada pemerintah. Provinciale Raad adalah semacam Pengadilan Tinggi sekarang, sedangkan Tweede Kamer adalah parlemen yang ada di negeri Belanda. Disebut “tweede kamer” karena parlemen Belanda menerapkan sistem bikameral atau “dua kamar”, Majelis Rendah (majelis rakyat) dan Majelis Tinggi (mewakili kaum bangsawan kerajaan Belanda).
[7] Ario Djipang atau Arya Jipang adalah nama lain Adipati Jipang yang terkenal itu, yakni Arya Panangsan. Banyak yang percaya bahwa perlawanan yang dilakukan Arya Panangsan terhadap Jaka Tingkir (yang kemudian menjadi Raja Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijaya) adalah pertempuran ideologi. Arya Panangsan dianggap membela Islam Pesisir yang lebih murni, sedangkan Jaka Tingkir berhaluan Islam Abangan yang banyak terpengaruh ajaran abangan atau Kejawen. Dengan mengambil nama samaran ini, tampaknya Kartosuwirjo mengambil keberpihakan pada haluan Arya Panangsan, cucu Raden Patah pendiri Kerajaan Demak.
[8] Saya tidak dapat melacak apa makna akronim “qlm” di belakang kata Rasoeloellah. Lainnya, selama masa pendudukannya, Jepang menggunakan penghitungan tahun yang disamakan dengan yang berlaku di negara asalnya, di mana terdapat selisih 660 tahun antara tahun Gregorian (Masehi) dengan tahun Jepang. Dengan demikian tahun 1943 dalam kalender Gregorian sama dengan tahun 2603 dalam perhitungan tahun Jepang.
[9] Sejauh yang saya ketahui Kartosuwirjo adalah seorang Muslim dengan kecenderungan modernis, oleh karena itu pada dasarnya dia tidak percaya dengan takhayul-takhayul yang semacam itu. Namun, sebagai seorang politikus yang piawai, Kartosuwirjo tahu bahwa ia harus memanfaatkan adanya kepercayaan atau takhayul yang semacam itu untuk kepentingan-kepentingan perjuangannya. Sementara itu, kepercayaan akan munculnya seorang pemimpin atau, lebih luas lagi, akan datangnya Ratu Adil, merupakan kepercayaan yang dapat dikatakan merata dianut oleh masyarakat pulau Jawa waktu itu. “Ratu Adil” ini dipercayai akan membentuk suatu negara yang adil dan makmur. Di Jawa Barat sendiri, telah muncul berbagai macam gerakan Ratu Adil, di mana salah satunya, gerakan Nyi Atjia (1870-1877) berpusat di Malangbong. Di antara ciri umum gerakan Ratu Adil adalah kepercayaan agama yang fanatik (atau militan) dan melangsungkan jihad untuk melawan kaum kafir.
[10] Fai adalah barang-barang yang dirampas dari musuh tidak dengan jalan pertempuran dan barang-barang yang berasal dari musuh, pengkhianat orang murtad dan orang kafir yang hidup di di daerah NII yang pada waktu meninggalnya tidak memiliki ahli waris. Ghanimah adalah barang-barang yang diperoleh dari pertempuran. Sedangkan semua barang yang terdapat pada tubuh musuh yang terbunuh disebut harta salab.
[11] Saya tidak memperoleh informasi atas yang dimaksudkan oleh Kartosuwirjo dengan kata ini. Mungkin saja —sekadar dugaan saya belaka— yang dimaksudnya adalah San Min Chu I yang diajarkan dr. Sun Yat Sen, pahlawan kemerdekaan Cina. San Min Chu I artinya, “tiga prinsip kerakyatan”, yang terdiri dari Mintsu (nasionalisme), Min Chuan (demokrasi), dan Min Sheng (sosialisme). Dugaan ini saya kemukakan karena Soekarno pada waktu menyampaikan asal-usul Pancasila-nya, yang disampaikannya di depan BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945, menyebutkan hal tersebut sebagai salah satu pemikiran yang memberikan inspirasi bagi kandungan Pancasila.
[12] Pada tanggal 14 Mei 1950, Wali Alfatah, salah seorang pemuka Masjumi, mendapatkan tugas dari Departemen Dalam Negeri RI untuk melakukan perundingan dengan Kartosuwirjo. Perundingan ini gagal, karena tempat di mana akan dilangsungkan pertemuan, diserang oleh pasukan yang dipimpin Kolonel Nasuhi dari Divisi Siliwangi. Dalam serangan ini, Menteri Penerangan NII, Toha Arsjad, dapat ditewaskan.
[13] Menurut kita sekarang, angka-angka ini tidaklah berarti. Namun, pada tahun-tahun itu, angka-angka tersebut merupakan jumlah yang fantastik. Sebagai gambaran dapat dilihat perbandingan berikut ini. Harga per gram emas 23 karat pada tahun 1956 adalah Rp 25,00. Sedangkan harga sekarang berada dalam kisaran Rp 250.000,00 hingga Rp 275.000,00. Asumsikanlah dari tahun 1953 hingga 1956 tak ada kenaikan harga emas, dan asumsikan pula harga terendah emas sekarang ini adalah harga terbawah. Maka, kerugian yang harus ditanggung pemerintah pada tahun 1953 setiap harinya adalah (250.000 : 25) x Rp 115.000 = Rp 1.150.000.000,00. Dengan demikian, pada tahun 1954 saja, kerugian pemerintah adalah sebesar (250.000 : 25) x Rp 82 juta = Rp 820 milyar.
[14] “Kolone kelima” atau “the fifth column”, secara terminologi artinya, “sekelompok manusia di sesuatu negeri yang menyokong musuh secara diam-diam.” Kartosuwirjo dan anggota gerakannya, tampaknya, tidak pernah mempergunakan istilah istilah ini. Di sini saya pakai, selain demi kemudahan penjelasan saja.
[15] Untuk mengingatkan saja, pada waktu ini, berdasarkan perjanjian KMB 1949, Irian Barat merupakan wilayah dalam perwalian PBB. Apakah Irian Barat akan mengikuti Belanda, RI atau berdiri sebagai negara sendiri ditentukan oleh sebuah “Penpera” (Penentuan Pendapat Rakyat) yang direncanakan akan segera dilaksanakan. Namun, setelah itu, Belanda telah memanfaatkan Irian Barat untuk menempatkan pos-pos pasukannya yang bilamana diperlukan akan dipergunakan sebagai sarana menduduki kembali Indonesia. Ternyata ini telah menimbulkan insiden internasional. Soekarno yang dekat dengan kubu sosialis-komunisme, segera dibantu oleh Uni Soviet dengan menempatkan sejumlah kapal selamnya di perairan sekitar Irian. Amerika Serikat, guna “mencegah pemerintah RI dari pengaruh komunisme” juga segera menempatkan kapal-kapal perang dan selamnya di kawasan perairan itu. Namun, kedua belah masih menahan diri guna mencegah apa yang akhirnya dapat menjadi Perang Dunia III, di antara sesama negara pemenang Perang Dunia II. Setelah sejumlah pertempuran antara pasukan RI dan Belanda, akhirnya Penpera dapat diberlangsungkan dan diperoleh hasilnya, maka pada 1 Mei 1963, PBB mengumumkan bahwa Irian Barat termasuk wilayah RI.
[16] Rupanya, sejarah membuktikan apa yang dikatakan oleh Kartosuwirjo ini. Hingga sekarang Gerakan DII/NII masih tetap ada. Pada Pebruari 1983, Adah Djaelani Tirtapradja dan Tahmid Rachmad (putra Kartosuwirjo) dan beberapa bekas pengikut Kartosuwirjo ditangkap dan dihadapkan ke pengadilan di Jakarta atas tuduhan menggerakkan sebuah organisasi yang merupakan gerakan lanjutan Darul Islam.