Senin, 18 Juni 2012

Citra Jawa Kekuasaan Soekarno

Weko Kuncara


Betapapun Islam telah menyebar ke Jawa sejak abad ke-13, namun kultur Islam hanya sebagian saja membentuk kepribadian masyarakat Jawa. Malahan boleh jadi pengaruh Islam itu, untuk sebagian lagi, tidak membentuk kepribadiannya sama sekali. Biasanya, mereka ini disebut orang abangan. Kaum pembaharu Islam yang muncul di awal 1970-an menganggap hal ini sebagai proses Islamisasi yang belum selesai. Sementara itu, kenyataan yang tampak di masyarakat belum tuntasnya Islamisasi inilah yang menonjol, setidaknya sampai akhir 1980-an. Kebanyakan masyarakat Jawa masih berpandangan hidup “Kejawaan” (Kejawen) daripada Islam. Istilah-istilah Islam statistik, Islam nominal atau Islam KTP akrab di telinga  kita untuk menunjuk realitas ini. Hal ini tidak saja berpengaruh terhadap perilaku masyarakat dalam praktik keagamaan kesehariannya, namun juga memberikan bekasnya pada praktik kenegaraan Indonesia dalam periode yang disebut Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru. Sekurang-kurangnya dua periode tersebut dapat dicitrakan secara demikian. Petunjuk-petunjuk ke arah ini sebenarnya berupa potongan-potongan yang berserakan, namun memberikan arah yang jelas. Soekarno, misalnya, sejak semula telah mempersepsikan dirinya sebagai bapak yang selalu mengayomi tapi harus ditaati “anak-anaknya” (Haris 1995, 153). Soeharto sejak mula sekali telah dikenal sebagai seorang penganut ideologi abangan. Beberapa orang di sekitarnya, seperti Surono dan Soejono Hoemardani, merupakan orang-orang Kejawen yang berpengaruh. Manuver terpenting Soeharto dalam hal ini adalah upayanya memasukkan Aliran Kebatinan dalam salah satu Ketetapan MPR tahun 1978 yang membahas garis-garis besar haluan negara. Pikiran-pikirannya yang dikumpulkan dalam Butir-butir Budaya Jawa (1990) memperkuat citra abangan Soeharto (Sujamto 1992, 114-115).

Tulisan ini berusaha memaparkan citra itu dalam kaitannya dengan persoalan kuasa dan wibawa. Walaupun dasar-dasar yang dikembangkan di sini bermanfaat juga untuk menelaah citra kekuasaan Soeharto, namun mengingat keterbatasan waktu, pembahasan hanya diarahkan pada figur Soekarno saja. Citra ini barangkali membantu menjelaskan mengapa pesona dan kharisma Soekarno terus bertahan hingga dewasa ini. Citra ini barangkali pula memperjelas gambaran bagaimana persepsi rakyat Jawa terhadap "Raja Jawa tanpa mahkota" yang pertama itu setelah kepergian orang-orang kulit putih.[1] Sebagai kajian teoretik, katakanlah demikian, akan diuraikan terlebih dahulu basis ideologi bagi praktik kekuasaan presiden pertama RI tersebut.


Religi Jawa sebagai Basis Ideologi

Tulisan ini memaknai religi Jawa sebagai sebuah bentuk religi inovasi orang Jawa dengan berdasarkan sumber-sumber animisme, Hinduisme, Buddhisme dan Islam. Inovasi ini menghasilkan suatu religi yang sama sekali baru dan memiliki perbedaan mencolok dengan sumber-sumbernya yang semula. Walaupun tentu saja beberapa pokok ajarannya dapat dilacak pada tiap-tiap sumber tersebut.

Religi Jawa pada dasarnya menghendaki keselarasan. Keselarasan antara makrokosmos, tata alam semesta, dan mikrokosmos, yakni manusia itu sendiri. Alam semesta telah ditata sedemikian rupa menurut aturan-aturan yang pasti demi menjaga keselarasan tersebut. Pada tingkat makro, pergiliran siang dan malam, peredaran planet-planet mengelilingi matahari, pergantian musim kering dan hujan, siklus kelahiran, kedewasaan, penuaan dan akhirnya kematian, merupakan bukti-bukti adanya keselarasan alam semesta. Semua yang terjadi pada dasarnya telah diatur dan ditempatkan menurut yang semestinya. Keteraturan ini tidak boleh diganggu karena hanya akan menyebabkan kekacauan tata alam semesta. Adanya kekacauan, misalnya bencana alam, pada alam semesta dibaca sebagai adanya gangguan terhadap tata keselarasan tersebut. Keteraturan alam semesta ini dicitrakan kepada negara, sebagai replika dari keteraturan tersebut. Jawa memiliki konsepsi replika alam yang meskipun tidak berbelit-belit namun disederhanakan terlalu berlebihan. Misalnya, yang telah disebut di depan, alam semesta sebagai makrokosmos dan manusia sebagai mikrokosmosnya.

Sebagaimana halnya tata alam semesta yang tidak boleh diganggu dan tidak mungkin berubah aturan-aturannya, negara pun dipandang demikian. Negara “harus memiliki kecenderungan-kecenderungan dan kemampuan-kemampuan tata yang lebih tinggi itu, yaitu kekuasaan yang, sebagai bagian dari Tata Raya, tak seorang rakyat atau kawula pun berani membatasi atau mengganggunya” (Moertono 1985, 5). Pada puncak negara kokoh berdiri raja sebagai pengaturnya. Sekali lagi replika terjadi di sini. Apabila Tata Alam Semesta dipimpin oleh Tuhan yang kekuasaan-Nya mutlak, negara dipimpin oleh raja. Maka, demi keteraturan, baik negara maupun raja memiliki kekuasaan yang mutlak tidak terbatas. Raja diyakini sebagai perwakilan Tuhan di bumi, sebagai bentuk avatara (titisan, penjelmaan) Dewa dari langit, meminjam konsepsi Hinduisme. Dua hal tersebut memantapkan absoluditas penguasa negara, sang raja.

Walaupun raja dan rakyat dianggap sama pentingnya, yang dengan demikian segi fungsional merupakan satu-satunya perbedaan, namun di antara keduanya terdapat hubungan momongan. Ini berarti pamong (yang melakukan momongan) memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari yang mendapat momongan (kawula). Implikasinya adalah kawula harus patuh pada yang melakukan momongan (Moertono 1985, 30-31). Hal ini juga menunjukkan bahwa hubungan antara raja dan rakyatnya mengikuti contoh kasih sayang dalam ikatan keluarga (Moertono 1985, 17).[2]

Hubungan antara raja dan rakyat juga dijelaskan dalam konsep manunggaling kawula-gusti (menyatunya abdi-tuan) yang menunjukkan bahwa keduanya, walaupun berbeda, yaitu satu lebih rendah dan lainnya lebih tinggi, sesungguhnya merupakan dua aspek yang berbeda dari hal yang sama. Tat tvam asi, “aku adalah mereka”. Bahwa “semua benda hanya merupakan aspek, çakti, pancaran, bagian integral dari ke-Esa-an Utuh yang menyeluruh, yang meliputi segala sesuatu, dan ini diwujudkan dalam dewa Sang Hyang Wenang (Yang Maha Kuasa) atau lebih dikenal dalam putranya, Sang Hyang Tunggal (Yang Esa)”(Moertono 1985, 25). Konsepsi ini mengingatkan kita pada teologi Hindu yang menjelaskan bahwa Brahman sebagai asal-muasal dari segala yang ada di alam semesta ini pada dasarnya terdapat dalam atman, jiwa manusia sendiri. Antara manusia dan Tuhan dimungkinkan dapat menyatu karena adanya kesamaan unsur antara keduanya, yaitu unsur nur (Arab) atau suksma (India). Apabila antara Tuhan (Gusti) dan manusia (kawula) dapat menyatu, apalagi antara sesama manusia sendiri, meskipun itu adalah antara raja (gusti) dan rakyat (kawula) sebagai bentuk replikanya.

Konsepsi ini sekaligus mengimplikasikan pada adanya perbedaan status antara raja sebagai gusti, yang lebih tinggi, dan rakyat sebagai kawula, yang lebih rendah. Keyakinan  bahwa raja adalah titisan Tuhan di bumi memberikan konsekuensi bahwa perintah-perintah raja merupakan isyarat dari tuhan kepada manusia untuk memelihara keteraturan dan keselarasan alam semesta atau untuk mengembalikannya pada keteraturan bila ada gangguan; tidak memungkinkan bagi rakyat untuk mengucapkan tidak bagi setiap perintah raja.

Akhirnya, ketundukan rakyat terhadap raja diperkuat dengan adanya pemahaman fatalistik pada masyarakat Jawa. Setiap hal yang terjadi pada manusia dianggap telah merupakan ketentuan dari Tuhan yang mesti dijalankan. Berhubungan dengan ini, termasuk dalam memandang posisi rakyat sebagai kawula, diyakini sebagai titah dari tuhan yang mesti dijalaninya karena memang itulah yang terbaik baginya.

Keyakinan terhadap keniscayaan-kenisayaan ramalan Jayabaya juga sangat mempengaruhi praktik religi orang Jawa.[3] Ada kemungkinan kepecayaan ini sejalan dengan konsep takdir orang Jawa di atas. Jayabaya, yang secara historisnya adalah Raja Kediri ini, diyakini mampu meramalkan keadaan masa datang dengan melihat hanya makanan yang disajikan kepadanya setiap hari. Walaupun hiruk-pikuk ramalan Jayabaya —terutama menyangkut kedatangan Ratu Adil— muncul sangat terlambat, yakni pada jaman penjajahan Belanda, namun ramalan itu diyakini berasal dari Raja Jayabaya sendiri. Pujangga Jawa dari Keraton Surakarta, Raden Ngabehi Ranggawarsita, menghimpun ramalan-ramalan itu dalam Serat Jangka Jayabaya. Salah satu ramalannya yang terkenal dan akrab di telinga kita adalah “Sekarang ini adalah jaman pancaroba, semua orang sedang dalam kegilaan, yang tidak turut gila tidak kebagian.” Yang relevan dalam kajian ini adalah ramalan tentang akan munculnya seorang Ratu Adil Herucokro (Raja Bijaksana Penguasa Alam) pada saat makin menderitanya penduduk Jawa. Sebelum kedatangannya, penduduk Jawa terlebih dahulu akan merasakan masa kegalauan dan kegelapan yang sangat, yang kemudian dibebaskan oleh Ratu Adil tersebut. Masa ini, yakni penderitaan dan pembebasannya, akan berulang sampai tiga kali sampai akhirnya Jawa lenyap dari bumi.


Citra Jawa Kekuasaan Soekarno

Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis) adalah temuan terbesar Soekarno. Dibentuknya ajaran ini dimaksudkan olehnya untuk menyatukan semua kekuatan-kekuatan revolusioner pada jalur revolusi “yang sebenarnya”, sepenuhnya di bawah bimbingannya. Orang boleh saja bertanya-tanya, mana mungkin tiga ideologi yang saling meniadakan satu sama lain itu hendak dipersatukan. Jawabannya ada pada ajaran Jawa mengenai keselarasan, ketertiban, tata, dan kesatuan. Semuanya berasal dari yang satu. Sudah sejak 1921, Soekarno mengatakan bahwa ketiganya dapat dipertemukan, walau masih samar-samar. Soekarno berpidato,
Setelah tercipta kondisi-kondisi yang cocok, dan setelah terbentuk parlemen kita sendiri, yang benar-benar mewakili rakyat, maka Sarekat Islam hendaknya jangan menghentikan kegiatannya; ia harus terus bekerja untuk memperkokoh demokrasi dan Islam di Indonesia, dan untuk menghapuskan kapitalisme. Apa gunanya kita punya pemerintah sendiri, jika ia masih dikuasai oleh penganut-penganut kapitalisme dan imperialisme. (dalam Dahm 1987, 51).
Bernard Dahm, sejarahwan Jerman, menjelaskan bahwa nasionalisme diungkapkan oleh Soekarno sebagai “kondisi-kondisi yang cocok” (karena kondisi di sini dimaksudkan sebagai yang cocok bagi Indonesia). Lalu ada sosialisme yang perlu “menghapuskan kapitalisme”, sambil sekaligus “memperkokoh demokrasi dan Islam” (Dahm 1987, 51).

Pada tahun 1926 Soekarno menegaskan,
Saya tak menyangkal, bahwa ada perbedaan-perbedaan yang kecil tentang asas dan taktik, tetapi perbedaan-perbedaan itu tidaklah begitu besar atau fundamentil untuk menjadi sebab perpisahan satu sama lain. Saya malahan berkata, bahwa di dalam tiap-tiap partai adalah perbedaan-perbedaan yang kecil  itu antara golongan-golongan di dalam partai itu, bahwa di dalam tiap-tiap partai satu pihak adalah lebih “sengit” dan satu pihak sedikit lebih “tenang”.
Saya, karena hal-hal itu semua, tak jemu-jemu menganjurkan persatuan, tak jemu-jemu mendinginkan segala rasa kepanasan hati, tak jemu-jemu mencoba menghilangkan segala kesalah pahaman (Soekarno 1959, 167).[4]
Di sini dia mulai menjelaskan bahwa ketiga ideologi dipertentangkan satu sama lain karena adanya salah paham. Dan itulah yang kemudian betul-betul dia lakukan, meluruskan kesalahpahaman. Sambil mengutip Mahatma Gandhi, nasionalisme dipahami sebagai berikut, “Buat saya, cinta saya pada tanah-air itu, masuklah dalam cinta pada segala manusia. Saya ini seorang patriot, karena saya manusia dan bercara manusia. Saya tidak mengecualikan siapa juga.” Dia tekankan bahwa Islam, di Timur Tengah, menjadi pengemban semangat orang-orang nasionalisme demi kemerdekaan mereka. Semangat anti kafir Islam tidak bisa tidak menimbulkan nasionalisme, karena yang disebut kafir bukanlah bangsanya sendiri, tetapi Barat. Marxisme dijelaskannya sebagai tidak harus didasarkan pada materialisme filosofis. Ia membedakan antara materialisme filosofis dengan materialisme historis. Yang pertama adalah suatu filsafat, yang seperti kebanyakan filsafat atau teori, bisa dipercayai namun juga tidak. Sedang materialisme historis adalah ilmu yang menggunakan penalaran eksak, dan karena itu pasti benar. Oleh karenanya tidak relevan mempersoalkan sikap anti-Tuhan Marxisme. Mempercayai materialisme historis tidak perlu bertentangan dengan kepercayaan Ketuhanan. Meyakini kebenaran materialisme filosofis-lah yang bertentangan dengan Ketuhanan. Contoh-contoh argumen ini sekadar untuk mengilustrasikan bahwa Soekarno terus-menerus berupaya mempersatukan ketiga ideologi tersebut dan menafikkan perbedaan-perbedaan pokok ketiganya dalam artikelnya yang berjudul Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme (Nasamarx) (1926). Selanjutnya, dengan tersingkapnya kesalahpahaman antara ketiga ideologi itu dia menyerukan persatuan sambil memberikan kiat demi persatuan tersebut. “Kita harus bisa menerima, tetapi juga harus bisa memberi. Inilah rahasianya Persatuan itu. Persatuan tak bisa terjadi, kalau masing-masing pihak tak mau memberi sedikit-sedikit pula”(DBR, 23).

Hanya Soekarno, yang demikian gandrung persatuan, yang mampu mempertemukan semua aliran pergerakan. Atas usahanya pula pada 17 Desember 1927 dibentuk Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI), yang menghimpun 7 partai terbesar saat itu. Dikatakannya
Hendaknya kita tidak mengemukakan soal-soal yang dapat membahayakan permufakatan kita. Umpamanya, kita hendaknya jangan membicarakan soal  koperasi dan nonkoperasi – soal apakah kita akan bekerjasama dengan pemerintah atau tidak. Tapi marilah kita mencari hal-hal yang mendekatkan kita satu sama lain. Marilah kita tonjolkan segala hal yang mempersatukan kita” (dalam Dahm 1987, 98).
Dengan menonjolkan kesamaan dan hampir-hampir meniadakan perbedaan yang prinsipil, tanpa disadari, Soekarno sebenarnya membuat kesatuan yang semu. Letak bahayanya adalah, kesatuan segera bubar manakala pemersatunya tiada hadir di tempat. Tetapi sintesis Nasamarx semakin mantap tatkala pada 14 Juni 1941 ia menulis,
Ada orang mengatakan Sukarno itu nasionalis, ada orang mengatakan Sukarno bukan lagi nasionalis, tetapi Islam, ada lagi yang mengatakan dia bukan nasionalis, bukan Islam, tapi Marxis, dan ada lagi yang mengatakan dia bukan nasionalis, bukan Islam, bukan Marxis, tetapi seorang yang berfaham sendiri. Golongan yang tersebut belakangan ini berkata: mau disebut dia nasionalis, dia tidak setuju dengan apa yang biasanya disebut nasionalisme; mau disebut dia Islam, dia mengeluarkan faham-faham yang tidak sesuai dengan fahamnya banyak orang Islam; mau disebut Marxis, dia…sembahyang; mau disebut bukan Marxis, dia “gila” kepada Marxis itu!…Apakah Sukarno itu? Nasionaliskah? Islamkah? Marxiskah? Pembaca-pembaca, Sukarno adalah…campuran dari semua isme-isme itu.!(DBR, 507).
Dengan demikian Nasakom yang diperkenalkan pada 1961, bukanlah suatu gagasan tiba-tiba menyangkut situasi kontemporer saat itu, tapi merupakan realisasi final dari gagasan kesatuan Soekarno sejak tahun 1920-an. Itulah yang dikatakannya kemudian, “Aku masih tetap Soekarno dari tahun 1927.” Gagasan kesatuan ini, seperti dijelaskan di muka, adalah ajaran Jawa yang telah berusia berabad-abad. Tat tvam asi (Aku adalah Mereka) atau Bhinneka tunggal ika (Berbeda-beda tapi satu jua) sebagai idiom Jawa Kuno dikemas secara modern oleh Soekarno menjadi Nasakom.

Langgengnya persatuan, di bawah nama apapun, mengandaikan satu persyaratan, yakni “sebuah partai dengan disiplin yang ketat dan yang pucuk pimpinannya diberi kekuasaan yang hampir diktatorial,” jelas Soekarno seperti dikutip Dahm (1987, 189). Gagasan adanya orang kuat dari Soekarno ini nampaknya sejalan dalam teori dan praktiknya. Apabila dalam teori Soekarno menjelaskan bahwa
Partai di dalam kalbu sendiri tidak boleh berdemokrasi…Demokrasi yang boleh di dalam kalbunya partai-pelopor bukan demokrasi biasa, demokrasi partai pelopor itu adalah demokrasi yang dengan bahasa asing dinamakan demokrasi-sentralisme: suatu demokrasi yang memberi kekuasaan pada pucuk pimpinan buat menghukum tiap-tiap anggota atau bagian-partai yang membahayakan strijdpositie-nya massa (DBR, 305).
Maka dalam praktik telah dibuktikan kemanjurannya oleh dirinya sendiri. Segala macam persatuan yang diusahakannya pada tahun 1927 berantakan manakala dia meringkuk dalam tahanan pemerintah kolonial. PPPKI bubar. Bahkan partainya sendiri bubar akibat perbedaan pendapat antara faksi Sartono —yang di sini termasuk Soekarno— dan Hatta-Sjahrir. Faksi terakhir ini akhirnya mendirikan PNI-Baru (Pendidikan[5] Nasional Indonesia Baru), sedangkan Sartono mendirikan Partindo (Partai Indonesia), tempat mana akhirnya Soekarno bergabung. Barangkali pula periode parlementer yang porak-poranda akibat ketiadaan persatuan makin meyakinkan Soekarno akan perlunya pemimpin rakyat yang mampu mempersatukan. Dan pemimpin itu tiada lain adalah dirinya sendiri. Maka Februari 1957, dia menawarkan Konsepsi Presiden yang isinya antara lain hendak mengembalikan UUD 1945 sebagai konstitusi RI. Berpalingnya Soekarno pada UUD ‘45 bukanlah kebetulan. Hampir semua pengamat politik sepakat bahwa kekuasaan Presiden menurut konstitusi itu adalah tak terbatas. Soepomo sendiri sebagai perancang UUD ’45 mengakui bahwa negara yang diidealkan dalam konstitusi itu, yang disebut sebagai negara integralistik atau kekeluargaan merupakan “nama lain untuk negara totaliter sebagaimana dipraktikkan oleh Nazisme Jerman dan fasisme Jepang” (Haris 1995, 156).

Ketika konsepsinya ditolak, dengan dukungan tentara, dia mengeluarkan dekrit 5 Juli 1959 yang terkenal. Mulai saat itu posisinya sebagai pemimpin besar —yang telah disandangnya sejak masa pendudukan Jepang— kembali lagi dan tanpa ada yang mampu menggoyahkannya. Konstituante yang secara kelembagaan mestinya berada di atasnya, malah dibubarkan olehnya. Tidak saja posisinya sekarang sebagai Presiden menurut UUD ‘45 kembali, tetapi berbagai gelar –yang makin membuatnya mirip dengan raja-raja Jawa masa lampau— dilekatkan kepadanya. Juru Penerang Agung, Panglima Besar Revolusi, Nelayan Agung, Mandataris Amanat Penderitaan Rakyat, Penyambung Lidah Rakyat, Mahaputera Irian Barat, adalah sedikit gelar-gelar yang sempat dicatat oleh Ulf Sundhaussen (1988, 300), seorang pengamat militer dari Australia. Lebih lanjut Sundhaussen menjelaskan,
Istana presiden…pada akhirnya memamerkan suasana “Bizantium yang aneh”. Berdebat dengan presiden atau menyangsikan kebijaksanaannya dianggap sebagai perbuatan mencemarkan keramat. Bahkan kritik yang lunak sekalipun mengenai kebijaksanaan Presiden harus ditujukan kepada penasehatnya dan bukan kepada Presiden pribadi, dan harus disertai ungkapan-ungkapan secukupnya yang memuji “Panglima Besar Revolusi”(1988, 300).
Kiranya tak ada yang dapat menunjukkan dengan lebih baik bahwa Soekarno sedang bertindak bagai seorang raja-raja Jawa di masa lampau daripada ketetapan MPRS (yang para anggotanya ditetapkan olehnya sendiri) tahun 1963 untuk memilihnya sebagai Presiden Seumur Hidup, serta bahwa dia “mengharuskan pembantu-pembantunya (anggota kabinetnya, WK) menghadap kepadanya tiap pagi untuk suatu levee (odiensi pagi setelah sang raja bangun)…” (Sundhaussen 1988, 300).

Absoluditas Soekarno ini dapat diterangkan juga dari sudut konsepsi kekeluargaan yang telah dijelaskan di atas. Dalam suatu negara yang dikembangkan berdasarkan prinsip kekeluargaan, penguasa sebagai pihak yang melakukan momongan lebih mengetahui segala keperluan yang menyangkut hajat negara, rakyat —yang di-emong— hanya tunduk menjalankan perintah saja.

Di atas segala-galanya Soekarno agaknya yakin —atau diyakinkan oleh rakyatnya—bahwa dia  adalah —atau sangat menikmati kedudukan sebagai— Ratu Adil bagi penduduk Jawa yang telah dijanjikan dalam Jangka Jayabaya, untuk membebaskan Jawa dari penderitaan akibat penjajahan kulit putih. Semula rakyat menaruh harapan pada Tjokroaminoto, yang sangat cemerlang. Kesamaan nama “Cokro” dalam Tjokroaminoto dan Ratu Adil Herucokro terlalu sukar bagi orang Jawa untuk sekadar disebut sebagai kebetulan, sehingga mereka meyakini bahwa dialah Ratu Adil yang dimaksud. Namun setelah menunggu kurang lebih 10 tahun tak ada kemajuan selain pidato demi pidato yang kontradiktif (antara pembebasan dari dan loyalitas pada pemerintah kolonial) harapan itu pupus. Rakyat Jawa begitu tersentak ketika tahun 1926 muncul seorang muda usia dengan penuh energik menggembar-gemborkan hal yang dulu pernah mereka dengar dari Tjokroaminoto dan dengan gaya yang sama. Ya, Soekarno memang mewarisi gaya pidato oratorik Tjokroaminoto, Sang Tutor Politik terbesar. Berulang kali ditandaskan oleh Soekarno bahwa “saya telah belajar politik dari Tjokro.” Sejak itu popularitasnya tak pernah turun kembali kecuali dalam dua masa. Yakni, tahun 1930-an, pada saat santer isu bahwa dia meminta ampunan pada pemerintah kolonial di tahun 1930-an dan saat berkolaborasi dengan Jepang. Bila terhadap yang terakhir ini kita bisa dengan tegas mengatakan tidak, tetapi untuk yang pertama —yaitu permintaan ampun— sampai sekarang masih terus menjadi perdebatan. Namun demikian, tetap saja keduanya hanya sedikit saja mengurangi popularitasnya. Pada tahun 1943, laporan penyelidikan Jepang mencatat,
“Namanya disebut oleh setiap orang, tak peduli apakah mereka mengenalnya atau tidak; orang-orang Indonesia dari semua golongan memikirkan perihal keadaannya”… Mereka berbicara tentang desas-desus seperti yang menyatakan bahwa ‘Sukarno akan menjadi raja Nusantara’ dan bahwa ‘orang-orang Jepang akan mengangkatnya menjadi Gubernur Jenderal’. Padahal mereka sama sekali tidak mengerti politik” (dalam Dahm 1987, 268).
Bahwa Soekarno memang sentral perjuangan Indonesia tak ada yang memungkiri. Kenyataan bahwa pergerakan terasa mandeg dan berat sekali jalannya pada saat dia meninggalkan gelanggang tersebut karena harus meringkuk dalam tahanan dan tak sampai dua tahun kemudian dibuang keluar Jawa sampai kedatangan Jepang, kuat membuktikan hal ini. Yang paling nyata adalah kenyataan bahwa hampir semua kaum pergerakan yakin bahwa hanya Soekarno-lah yang harus memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Karena tanpa kehadirannya, proklamasi pasti tidak akan didukung rakyat. Ini berlaku bahkan bagi lawan utama Soekarno, Sutan Sjahrir. Walaupun dalam perdebatan keduanya adalah lawan yang seimbang, namun di hadapan rakyat Sjahrir terlalu kecil pengaruhnya.[6] Kemampuan pidato Soekarno yang seolah-olah menghipnotis para pendengarnya untuk melakukan apa saja yang diperintahkannya juga menunjukkan lekatnya Soekarno bagi rakyatnya. Contoh yang paling fantastis adalah peristiwa di lapangan Ikada pada September 1945.

Setelah proklamasi kemerdekaan, ternyata Jepang tidak segera menyerahkan kendali pemerintahan kepada republik. Jepang juga tidak mau meletakkan senjata padahal tentara sekutu segera mendarat. Jadi rakyat seolah-olah dibiarkan dalam keadaan dijepit oleh dua kelompok kekuatan bersenjata. Melihat keadaan ini, golongan muda yang dipelopori oleh Adam Malik melakukan agitasi pada rakyat untuk melakukan pemberontakan kepada Jepang yang dimulai di lapangan Ikada, Jakarta. Sekitar 200.000 orang berkumpul di lapangan dalam tensi emosi yang meninggi. Di sekelilinginya terdapat tentara Jepang yang bersenjata lengkap. Soekarno yang dilapori keadaan ini segera mendatangi kerumunan massa dan naik ke podium. Dia hanya berpidato selama lima menit. Menekankan bahwa jika rakyat masih mempercayainya harus juga percaya kepada langkah-langkah yang dia tempuh. Dijanjikannya bahwa kemerdekaan pasti dipertahankan. Sebagai bukti bahwa rakyat masih mempercayainya, sekarang mereka diharap pulang dengan tenang dan tertib dan mempercayakan segala sesuatunya pada dirinya, Soekarno, sang pemimpin rakyat. Bagaikan terhipnosis, 200.000 orang segera meninggalkan lapangan dengan tenang. Tak ada kejadian apa-apa. Golongan muda pastilah sangat kecewa karena agitasi mereka, yang nampaknya akan membuahkan hasil, dapat dipatahkan.

Soekarno juga memiliki apa yang tidak dimiliki kaum kaum pergerakan, tetapi justru dibutuhkan oleh rakyat. Yakni keyakinannya bahwa dia mampu menyuarakan apa yang ingin disuarakan orang tapi tidak mampu melakukannya. Soekarno mampu menjeritkan tangisan-tangisan rakyat, dan rakyat memandang bahwa suara Soekarno adalah suara mereka sendiri. Inilah yang antara lain dimaksud dengan konsep “keselarasan” di depan. Keselarasan antara rakyat dengan pemimpinnya. Menegaskan hal ini adalah kemampuan Soekarno yang luar biasa dalam menggunakan bahan-bahan asli Jawa, mitos-mitos yang diyakini kebenarannya, untuk menjelaskan kondisi riil yang dihadapi oleh rakyatnya. Pengidentifikasian kaum kolonial sebagai Kurawa dan kaum pergerakan sebagai Pandawa; pemerintah penjajah adalah Dasamuka (Rahwana), sedang kaum pejuang adalah pasukan Rama; penggodokan Gatotkaca dalam kawah Candradimuka agar kebal senjata (otot kawat balung wesi); Nanggala, senjata Kakrasana (nama muda Raja Baladewa dari Kerajaan Mandura) untuk mendapatkan negaranya kembali; merupakan cerita-cerita yang sangat dikenal baik oleh rakyat lewat satu-satunya hiburan massal yang masih tersisa untuk mereka: pertunjukan wayang kulit.

Melihat semua kemampuan itu, yang memang tiada bandingannya, rakyat mana atau bahkan kita sendiri jika hidup pada masa itu —yang menderita sejak lahir dan di saat yang sama menelan kabar-kabar ramalan Jayabaya setiap harinya— yang tidak tergoda untuk meyakini bahwa Soekarno-lah, yang karena mampu menyuarakan penderitaan dan mengupayakan pembebasannya itu, Ratu Adil yang dimaksud. Dia adalah harapan semua orang, dan, nyatanya, bahkan harapan lawan-lawan politiknya.


Penutup

Penerapan pola kekuasaan raja-raja Jawa —demikianlah sekarang kita dapat mencitrakannya— seperti yang dipraktikkan oleh Soekarno melahirkan sistem politik yang sentralistik. Semua keputusan diambil oleh satu orang. Soekarno terus mempertahankan sistem ini dengan bertumpu pada kewibawaannya yang dapat diperoleh karena kharisma sebagai founding father, reputasi di masa pergerakan yang nyaris legendaris, serta pemanfaatan kepercayaan rakyat akan mitos Ratu Adil. Tetapi manakala sistem sentralistik ini dihadapkan pada riil politik, ia ternyata tidak begitu lama bertahan. Perhatiannya yang hanya tertuju pada agitasi taraf internasional, di satu sisi, membuat kehidupan rakyat terabaikan. Di sisi lain, ketidakpuasan meningkat terus-menerus diakibatkan tersumbatnya arus demokrasi yang telah menjadi tuntutan jaman.

Jadi Soekarno menghadapi dua tantangan berat. Di elit politik dan rakyat yang penghidupannya semakin memburuk. Soekarno tidak mampu memberikan  konsesi yang dibutuhkan rakyat. Pemberian konsesi yang substansial sama saja dengan penggerogotan kewibawaannya sebagai seorang raja. Untuk hal ini Soekarno bersikukuh bahwa dirinya benar. Dan ia jatuh dari “tahtanya” bersama dengan segala kekakuan sikapnya, yang tak pernah berubah sejak dia pertama kali muncul dalam gelanggang politik Indonesia (Hindia Belanda).

La yukalifullahu nafsan ila wus‘aha


Catatan Akhir
  1. Raja Jawa tanpa mahkota merupakan julukan yang diberikan kepada Haji Oemar Said Tjokroaminoto pada saat memimpin Sarekat Islam yang sedang berada dalam puncak kebesarannya. Julukan ini terkait erat dengan kepercayaan masyarakat Jawa bahwa beliau adalah Ratu Adil yang dijanjikan dalam ramalan Jayabaya. Begitu popularitas Tjokroaminoto merosot karena janji-janjinya yang tak kunjung terealisasi, kedudukannya segera digantikan oleh Soekarno. Julukan “raja” pada yang terakhir ini semakin tepat manakala Soekarno benar-benar menjadi presiden dalam tahun 1945-1967.
  2. Dalam keseharian kata momongan ditujukan pada pengasuhan dari orang yang lebih tua kepada yang lebih muda, misalnya ibu atau bapak kepada anaknya, paman kepada keponakannya, dan seterusnya.
  3. Betapa kuatnya makna ramalan ini dalam benak orang Jawa dapat ditunjukkan dalam kisah sebagai berikut. Konon pada waktu raja Majapahit —yang Hindu-Buddha— yang terakhir, Brawijaya, menyerahkan kekuasaannya kepada anaknya sendiri, Raden Patah, Raja Demak, salah seorang abdi setianya, Sabdo Palon tidak rela terhadap penyerahan tersebut. Oleh karenanya Sabdo Palon bersumpah bahwa Kerajaan Majapahit, yang Hindu-Buddha itu, akan merebut kembali kekuasaan dalam waktu lima ratus tahun kemudian. Tahun 1978 sebagai tahun penetapan Aliran Kebatinan —yang  sangat Hinduis-Buddhis— dalam GBHN diyakini sebagai realisasi sumpah tersebut. Tahun kejatuhan Majapahit ditandai dengan titimangsa beruapa candra sengkala sirna ilang kertaning bumi yang berarti tahun 1400 Saka atau tahun 1478 dalam kalender Masehi.
  4. Kutipan dari kumpulan tulisan Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, Jilid Kesatu, selanjutnya disebut DBR.
  5. Hatta dan Sjahrir menekankan pendidikan sebagai hal penting yang selama itu mereka anggap telah ditelantarkan oleh Soekarno. Yang terakhir ini mereka anggap hanya aktif melakukan penggalangan dan menggelorakan massa-rakyat tanpa ada upaya mencerdaskannya, padahal —menurut mereka— inilah bekal utama bagi Indonesia merdeka kelak.
  6. Sjahrir termasuk orang yang semula ragu-ragu terhadap proklamasi Soekarno pada 17 Agustus. Dia yakin bahwa rakyat pasti mengasosiasikan proklamasi itu sebagai hadiah Jepang karena politik kolaborasi Soekarno. Untuk membuktikannya, Sjahrir mengunjungi beberapa daerah di Jawa, dan terkejut setelah mengetahui bahwa ternyata dukungan rakyat terhadap Soekarno sangat luas, malahan proklamasi itu membangkitkan gelora semangat kemerdekaan rakyat. Dia harus mengakui bahwa dirinya telah salah mengira. Karena itulah Sjahrir segera bergabung pada Soekarno. Segera saja perbedaan keduanya tampak. Bersama “kawan lama”-nya, Hatta, dia mengubah jalan politik Indonesia ke dalam apa yang disebut sistem parlementer, yang pada tahun 1920 dan 1930-an sangat dikecam oleh Soekarno.

 
Referensi
Dahm, Bernard. 1987. Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan. Terjemahan. Jakarta: LP3ES. 
Feith, Herbert. 1995. Soekarno–Militer dalam Demokrasi Terpimpin. Terjemahan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Haris, Syamsuddin. 1995. Demokrasi Di Indonesia: Gagasan dan Pengalaman. Jakarta: LP3ES.
Moertono, Soemarsaid. 1985. Negara dan Usaha Bina-Negara Di Jawa Masa Lampau: Studi tentang Masa Mataram II, Abad XVI sampai XIX. Terjemahan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Nishihara, Mashashi. 1993. Sukarno, Ratna Sari Dewi, dan Pampasan Perang: Hubungan Indonesia-Jepang 1951-1966. Terjemahan. Jakarta: Grafiti.
Onghokham. 1994. "Sukarno: Mitos dan Realitas." Dalam Taufik Abdullah, Aswab Mahasin, dan Daniel Dhakidae (ed). 1994. Manusia dalam Kemelut Sejarah. Jakarta: LP3ES.
Sujamto. 1991. Reorientasi dan Revitalisasi Pandangan Hidup Orang Jawa. Semarang: Dahana Prize.
Sukarno. 1959. Dibawah Bendera Revolusi. Jilid I. Jakarta: Panitia Penerbit Dibawah Bendera Revolusi.
Sundhaussen, Ulf. 1988. Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwifungsi ABRI. Terjemahan. Jakarta: LP3ES.

2 komentar:

  1. Bagaimanapun dimasa itu sukarno memang sukses untuk menyatukan bangsa Indonesia dalam perjuangan melawan penjajahan. Dalam hal ini saya akan setuju bila Sukarno menyebut dirinya sebagai Ratu Adil.

    BalasHapus
  2. Fan's > mengenai keberhasilan Bung Karno dalam menyatukan bangsa yg terjajah, siapapun tidak punya hak utk membantahnya, apalagi saya, karena memang begitulah keadaannya.Tapi, soal Ratu Adil ini memang harus diklarifikasi dulu pengertian konsepnya. Antara lain adalah semacam raja yang mampu menyejahterakan rakyatnya. Pada titik ini peran Bung Karno sebagai Ratu Adil bisa diperdebatkan. Saya sendiri termasuk pengagum Bung Karno, dan hari minggu kemarin saya berkesempatan mengunjungi makam Bung Karno di Blitar. Itu adalah kunjungan kedua saya sejauh ini.

    BalasHapus