Senin, 19 September 2011

Mencuri Waktu

Gresik, 19 September 2011


Seperti hari-hari yang lain, hari ini sama seperti hari sebelumnya. Ketika kesibukan sedikit meningkat, kilasan tujuan hidup kembali membayang.
Apakah hari ini lebih baik daripada sebelum-sebelumnya, hanya Tuhan yang tahu. Tuhan yang sama yang selama ini lebih banyak kunomordua atau tigakan. Aku hanya merasa aneh saja, pekerjaan yang harus kuselesaikan tak kurang banyaknya, pada akhirnya aku ingin menulis juga. Menulis saja.
Menulis adalah hobi sejak kecil, apa saja ingin kutulis. Plat nomor sepeda-sepeda motor tetanggaku, emosi teman-teman masa kecil ketika kuabaikan, komentar-komentar terhadap buku yang selesai kubaca, atau kegalauan-kegalauan hati yang seolah tak pernah sirna.
Aku gelisah dengan keadaan umat Islam dunia dan Indonesia khususnya. Aku gelisah dan tak sabar terhadap keadaan negeri, terutama politik Indonesia. Tapi, tak ada satupun yang bisa kulakukan. Lagipula, memang apa yang bisa kulakukan? Kutegaskan saja, persoalannya adalah kemandirian ekonomiku. Tak ada yang mampu menggambarkan secara pas situasi itu selain dengan kata-kata yang konon Sabda Sang Nabi : "Kefakiran dekat dengan kekafiran." Melepaskan diri dari jerat kefakiran untuk menjauhi kekafiran demikiaan sulitnya. Sesudah berusaha semenjak Subuh hingga menjelang tidur malam, dengan perasaan seolah-olah sehari mestinya tak boleh dibatasi hanya 24 jam saja, hanya sedikit saja yang bisa kuselesaikan. 24 jam terlalu pendek, terlalu singkat bagi orang yang dinamikanya lamban seperti diriku.
Aku senang mengetahui bahwa kelas menengah Islam dahulu sempat menjadi penyokong hidup Masjumi, partai Islam terbesar dalam sejarah Indonesia merdeka; tapi, aku gelisah ketika kalangan menengah Muslim Indonesia kini seolah tak memiliki idealisme dan cita-cita politik yang demokratis. Secara sarkastis aku akan menyebutnya: mereka semula adalah pengusaha lalu beraktivitas dalam politik, tetapi, sekali pedagang tetap pedagang. Perbedaan dengan generasi sebelumnya adalah sebaliknya: mereka adalah kalangan idealis yang  berprofesi sebagai pengusaha. Beda yang amat substansial.
Bekerja lebih dari 16 jam sehari, tetapi hanya sedikit menyelesaikan tanggungan pekerjaan, betul-betul membuatku emosi. Saking emosinya sampai semuanya kutinggalkan, lalu tiba-tiba aku sudah memulai tulisan ini. Apa gunanya tulisan ini? Tak ada kecuali untuk diriku sendiri. Sekadar relaksasi dan sebuah bentuk penyegaran kembali. Sebenarnya, bisa saja aku menuangkannya ke dalam akun FB-ku, tapi kurasa ruang FB tidak terlalu privat. Tidak enak rasanya melontarkan teman-teman di FB dengan sesuatu yang sebaiknya tetap dibiarkan privat. Lagipula, aku sudah telanjur menjadikan akun FB-ku sebagai wahana kritik sosial-ekonomi-politik, sarana 'membangunkan' kalau-kalau ada di antara sejumlah teman yang ketinggalan informasi menjengkelkan tapi nyata dalam kehidupan sosial-ekonomi-politik negeri kita.
Jadilah ini semacam manifesto ruang ini. Aku tak bisa menjanjikan dapat sering menulis dalam ruang ini, meskipun ingin sekali. Kadang-kadang (atau biasanya malah sering) aku harus menyelesaikan hal-hal tak penting lainnya, kadang-kadang aku sudah merasa capai untuk dapat menulis sesuatu. Jadi, manifesto ini adalah hasil dari semacam kegiatan 'mencuri waktu'. Aku tak hendak menjadikannya terlalu privat, tapi juga tak ingin menyiarkan ke publik. Namun, siapa saja yang ingin membaca mendapat perkenan saya. 

Ada yang ingin kutulis mengenai acara pemilihan Miss Universe di Brazil pada pekan-pekan lalu yang tertunda-tunda terus, tapi akhirnya dapat kuingat sekarang. Baiklah. Entah sudah berapa kali Indonesia mengirimkan pesertanya. Tapi kita tak kunjung menang. Masuk 10 besar apalagi 5 dan 3 besar pun tidak pernah. Apakah aku setuju dengan acara-acara model begituan? Ah, itu tidaklah penting. Faktanya, meskipun hampir tiap tahun (kecuali barangkali tahun ini) pengiriman Putri Indonesia ke ajang Miss Universe selalu memantik kontroversi dan penentangan, Indonesia tetap mengirimkan pesertanya. Apa yang ingin kukatakan adalah kita tidak pernah serius dengan sesuatu. Kita berharap agar Putri kita dapat memenangi kontes itu, tapi kita tidak pernah menempuh jalan-jalan untuk memenanginya. Jepang pernah memenanginya. Apakah pada waktu itu Miss Japan lebih cantik daripada Miss Venezuela? Pasti tidak! Apakah dia lebih humble dan lebih pintar daripada Miss America? Aku meragukannya! Kenapa dia bisa mencuri hati para juri kontes? Jepang, Filipina dan Malaysia selalu punya persiapan lebih baik daripada kita. Apalagi negeri-negeri Amerika Latin sebagai pelanggan tetap pemenang kontes itu. Jauh-jauh hari sebelum kontes itu diselenggarakan, mereka mengundang dan menjadikan konsultan para mantan juri dan mantan pemenang kontestan untuk melatih dan mempersiapkan wakil-wakil mereka. Dan itu bukanlah proyek setahun atau dua tahun, melainkan bertahun-tahun.
Kuncinya adalah: kalau kamu ingin memenangi sesuatu, persiapkanlah dirimu untuk memenanginya. Jangan pernah berharap menang karena peserta lain tidak pantas menang atau melakukan kesalahan (seperti misalnya yang dilakukan salah seorang kontestan dengan cara tidak pernah memakai pakaian dalam ketika menghadiri acara-acara resmi ajang tersebut). Kamu harus menang karena kamu pantas memenanginya, bukan karena para pesaingmu tidak pantas memenanginya! Untuk pantas menang kamu harus tahu apa saja hal-hal yang dapat menyebabkan kamu menang. Kalau memang untuk menang harus berlenggang-lenggok dengan bikini two-pieces, ya gunakanlah! Karena kamu tahu bahwa dengan mengenakan bikini one-piece kamu tak akan bisa memenangkan kontes, apapun kontroversi yang muncul di dalam negeri, kamu tak boleh mengenakannya! Akhirnya, mengirimkan Putri Indonesia dengan mengharuskannya mengenakan bikini one-piece sama artinya dengan kamu memberikan harapan yang sia-sia kepadanya! Karena sudah bisa dipastikan kalah bahkan sebelum berangkat, maka lebih baik lagi tidak pernah mengirimkan Putri Indonesia ke kontes itu. Kalau pengiriman diniatkan untuk menang, ya persiapkanlah dia dengan baik-baik supaya dapat memenangkannya.
Kukatakan, kita tidak akan pernah menang karena cara pandang juri kontestan berbeda dengan kebanyakan cara pandang masyarakat Indonesia. Padahal panitia di Indonesia dan Putri Indonesia, sesudah kontes itu, akan kembali ke Indonesia, maka mau tidak mau mereka akan, sedikit-banyak, mengikuti alur cara memandang masyarakat Indonesia. Dan itulah sumber utama penyebab kekalahan kita. Kalau ingin menang: carilah tahu apa cara pandang para panitia dan juri kontes Miss Universe, lalu ikutilah, seperti layaknya sebuah peta, maka kamu sedang menempuh ke arah yang benar, meskipun arah itu sama sekali asing. Peta menunjukkan arah, selama kita tidak mengikuti peta itu, yang terjadi adalah sebuah kompetisi yang tidak fair. Satu pasti kalah, lainnya berada di jalan kemenangan.
Aku membayangkan, inilah cerita di balik seluruh keanehan kehidupan sosial-ekonomi-politik negeri kita. Kita tidak tahu sedang bergerak dan berjalan ke arah mana, selalu mengulang-ulang kisah yang sama, selalu mengalami kegagalan yang berulang kali. Bayangkanlah: Indonesia kita adalah negeri agraris, bagaimana mungkin pupuk langka, harga beras makin mahal, dan waduk sampai kekurangan air? Kita seolah-olah sudah berjalan ke sesuatu arah, nyatanya, dalam 10 tahun terakhir ini kita sama sekali tidak ke mana-mana. Ada jalan yang mesti kita lalu, tapi kita tidak pernah melewatinya. Celakanya, kita percaya diri bahwa kita sedang melangkah ke jalan yang benar! Negeri kita kaya akan gas alam, mengapa seluruh pabrik pupuk dan PLN mengeluhkan kekurangan pasokan gas. Ke mana larinya semua gas kita? Tetap saja, kita yakin bahwa kita ada dalam proses pembangunan yang benar. Masalahnya, keyakinan pun memerlukan pengetahuan sebagai dasar pembenarannya. Apakah keyakinan kita sudah benar? Apakah dasar kita untuk meyakininya? Apakah dasar kita meyakini sudah disokong oleh pengetahuan yang benar? Benar-benarkah kita tengah menggenggam pengetahuan yang benar?
Hal yang paling sulit untuk membawa seseorang yang salah kepada yang benar bukanlah mengajak dia untuk mengikuti yang benar, melainkan menyakinkannya bahwa dia tengah berada pada yang salah. Hanya sedikit orang yang mau mengikuti jalan yang benar, tetapi jauh lebih sedikit lagi orang yang mau mengakui kalau dia berada di jalan yang salah.
Selama para pemimpin negeri ini masih tidak mau mengakui bahwa ada yang salah dengan yang telah dilakukannya selama ini, selama itu pula kita akan pernah melangkah pada kemajuan. Dan selama itu pula Putri Indonesia tak pernah terpilih menjadi pemenang Miss Universe.

2 komentar:

  1. Bang ... aku jadi teringat waktu liputan di Gedung Dewan tercinta Surabaya, banyak hal yang bisa ditertawakan dan bikin decak kagum akan kebodohan kita ... seorang teman dengan santai ngomong ... ojok salah mas iki lho asli produk indonesia. Moga bisa bertahan di shirat al mustaqim

    BalasHapus
  2. ya..., jadi gimana nih, maaf, saya belum menangkap maksudnya....

    BalasHapus