Weko Kuncara
Prawacana
Wacana tentang takdir merupakan
salah satu masalah teologi tertua yang muncul dalam sejarah Islam. Meskipun
demikian, sejauh yang kami ketahui, pada masa Nabi Muhammad masih hidup,
masalah ini belum lagi muncul ke permukaan. Sama seperti seluruh persoalan lain
semasa Nabi masih hidup, setiap masalah yang muncul selalu langsung
diperhadapkan atau ditanyakan kepada Nabi. Karena kemunculan
persoalan-persoalan itu seringkali bersifat spontan, maka jawaban Nabi pun
bersifat solusi seketika. Nabi dan juga al-Quran tidak terlalu berkepentingan
dengan perumusan teologi yang sistematik. Dalam hal ini, Nabi Muhammad bukanlah
seorang teolog (dalam arti ketat: pemikir teologi-sistematik) dan al-Quran
bukan merupakan kitab atau risalah teologi, walaupun seluruh persoalan teologis
dapat mereka pecahkan, sendirian atau bersama-sama.
Seluruh persoalan takdir (apakah
yang bersifat fatalistik ataupun free-will) yang terdapat dalam Hadits-hadits
Nabi merupakan —demikian kami berkeyakinan— anekdot-anekdot yang ditambahkan
belakangan oleh sejumlah orang dalam rangka menjustifikasi pandangan-pandangan
mereka. Hadits tentang, misalnya, “Orang-orang Qadariyyah merupakan kaum Majusi
dalam umatku,” jelas-jelas merupakan refleksi atas perselisihan yang muncul
kemudian. Istilah teknis qadariyyah belum dikenal pada saat Nabi masih hidup,
bahkan kata itu sendiri semula (diketahui muncul pertama kali pada masa awal
Dinasti Umayyah, 661-750) merupakan istilah yang dilekatkan kepada orang-orang
yang berpikiran fatalistik.[1] Kemudian, orang Majusi masih belum bukan
merupakan masalah sampai Kekaisaran Persia ditaklukkan (pada tahun 637) semasa
Kekhalifahan Umar ibn al-Khaththab (634-644).
Apabila suatu laporan mengenai
salah satu episode pemerintahan khalifah kedua di bawah ini otentik, maka
barangkali itulah sebuah indikasi awal tentang adanya perbedaan pandangan dalam
masalah takdir di kalangan umat Islam. Dikisahkan bahwa sesudah penaklukkan
Syiria (pada tahun 635), Umar akan melakukan inspeksi ke kawasan itu untuk
memberikan instruksi-instruksi berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan di
bekas salah satu propinsi Kekaisaran Romawi Timur (Bizantium) itu. Ternyata
kawasan itu tengah dilanda wabah penyakit menular yang mematikan. Sesudah
berunding dengan sejumlah penasihatnya, Umar memutuskan untuk membatalkan
kunjungannya ke Syiria. Tak lama setelah itu, Abu Ubaidah al-Jarrah, seorang
Sahabat Nabi yang bersama-sama dengan Khalid ibn al-Walid memimpin penaklukan
Syiria, mempertanyakan keputusan itu, “Umar, kita akan lari dari takdir Allah?”
Diriwayatkan agak lama Umar tertegun dengan pertanyaan itu, lalu menjawab,
Ya, lari dari takdir Allah menuju takdir Allah juga. Bagaimana pendapat Anda kalau ada orang turun ke sebuah wadi [oase] yang terdiri dari dua lereng, yang satu subur dan yang satu lagi tandus, bukankah yang menggembalakan di tempat tandus itu dengan takdir Allah, dan yang menggembalakan di daerah subur juga dengan takdir Allah? [2]
Tak diriwayatkan bagaimana reaksi
Abu Ubaidah atas jawaban itu. Perhatikan bagaimana istilah takdir sebagaimana
dipergunakan Umar memiliki makna yang cukup “luwes”, bukannya fatalistik,
tetapi juga bukan persis free-will. Pastilah bahwa Sang Khalifah bukan penganut
paham fatalisme dan pasti juga bahwa dia memiliki pendapat bahwa manusia cukup
memiliki kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri.
Kami tak memiliki episode lain
yang berkaitan dengan perbincangan mengenai takdir pada masa Khalifah Umar,
tetapi laporan-laporan tentang wacana itu sesudah pembunuhan Khalifah ketiga,
Utsman ibn ‘Affan (644-656), benar-benar amat melimpah. Dan pembunuhan itu,
yang dijuluki sebagai Fitnah al-Kubra (“Cobaan Besar”) Pertama, merupakan akar
terpenting dari seluruh perselisihan yang terjadi di kalangan umat Islam
kemudian.[3] Persis bertitik tolak dari peristiwa inilah kita dapat mulai
membicarakan perdebatan teologis dalam Islam secara lebih substansial.[4]
Tahkim dan Munculnya Khawarij
Utsman ibn ‘Affan, menurut kami,
memang adalah figur seorang khalifah yang banyak mengundang kontroversi.
Terlalu banyak laporan tentang hal ini, sehingga tidak mungkin sifat
kontroversi pada dua belas tahun pemerintahannya diperbantahkan lagi. Pada
umumnya disepakati bahwa enam tahun pertama pemerintahannya berjalan dengan
baik dan sesuai dengan kebijakan yang telah digariskan oleh dua khalifah
sebelumnya. Sementara enam tahun terakhir pemerintahannya dinilai lemah.
Mungkin ini berkaitan dengan usianya yang sudah semakin menua (dia terpilih
menjadi khalifah ketika berumur 70 tahun), mungkin juga dia masih belum terlalu
berhasil melepaskan ikatan-ikatan lama kesukuannya, karena dia adalah anggota
salah satu kabilah terkemuka (Banu Umayyah) di lingkungan Quraisy, suku yang
paling dihormati di kalangan orang Arab.
Dilaporkan dia banyak mengangkat
pejabat-pejabat propinsi dari kalangan Banu Umayyah. Kalau dia sudah tidak
dapat lagi menemukan seorang yang paling dekat hubungannya dengan dirinya, maka
dia mengangkat saudara sepersusuannya. Misalnya adalah Abdullah ibn Sa‘d ibn
Abi Sarh, Gubernur Mesir. Banyak masalah semasa enam tahun terakhir
pemerintahannya, dan penunjukan gubernur Mesir itu hanyalah salah satunya saja.
Pada umumnya, inti masalahnya adalah ketidakpuasan masyarakat Islam atas
kebijakannya yang terlalu berpihak. Mungkin, karena usianya yang sudah tua, dia
banyak tunduk pada kepentingan orang-orang Banu Umayyah, yang memang dikenal
terampil dalam penyelenggaraan organisasi negara, paling tidak bila
dibandingkan dengan orang-orang Islam yang lain. Masalahnya, justru kebanyakan
orang Banu Umayyah itulah yang memeluk Islam pada menit-menit terakhir
menjelang wafatnya Nabi. Sebelumnya, mereka selalu memusuhi Islam dan Nabi
Muhammad. Kini para “musuh” itu, justru menjadi pemuka-pemuka dari suatu negara
dan agama yang pernah mereka tentang itu. Jadi, memang terdapat nada konflik
kepentingan dan “senioritas” di sini.
Sebagian para pemrotes kebijakan
yang terlalu bersemangat kemudian mengeksekusi mati khalifah yang sudah sepuh
itu di rumahnya sendiri. Para pemrotes kemudian mengangkat Ali ibn Abi Thalib
untuk menggantikan Utsman. Enam tahun pemerintahan Ali (656-661) tak pernah
sepi dari konflik berdarah yang melibatkan sesama umat Islam. Belum sempat
mengonsolidasi kedudukannya, Ali harus segera menghadapi perlawanan di bawah
pimpinan janda Nabi yang tersayang, ’A‘isyah binti Abu Bakar, yang didukung
oleh dua atau tiga kabilah yang kurang berpengaruh di Makkah. Di dalam barisan
’A‘isyah, paling tidak, terdapat dua dari tujuh al-Sabiq al-Awwalun (pemeluk awal Islam), Thalhah
ibn Ubaidillah dan al-Zubayr ibn al-Awwam, sepupu Khadijah.
Alasan perlawanan ’A‘isyah
benar-benar aneh: menuntut darah atas terbunuhnya Utsman! Aneh, karena ’A‘isyah
adalah salah seorang pemrotes terkeras kebijakan-berpihak Utsman, dan, yang
paling penting, yang paling berhak (jadi, dalam struktur-nalar kesukuan
menuntut balas darah adalah hak bukan kewajiban) bukanlah dia yang sama sekali
tak memiliki hubungan darah dengan Utsman, melainkan harusnya adalah
anggota-anggota kabilah Banu Umayyah. Dari pihak terakhir ini, muncullah
Mu’awiyah ibn Abu Sufyan, Gubernur Syiria. Segera sesudah “Perang Unta”
berakhir, pasukan-pasukan Syiria mulai bergerak untuk melancarkan apa yang
dikenal sebagai Perang Shiffin. Itu adalah dua perang saudara (civil war)
pertama dalam sejarah umat Islam.
Meskipun Mu’awiyah kalah dalam
segi jumlah, tetapi pasukannya unggul dalam hal ketrampilan, organisasional,
dan kedisiplinan. Sebab itu, apabila perang berlangsung dalam jangka panjang,
Ali niscaya akan menemui kekalahan. Tetapi dalam beberapa pertempuran awal,
pasukan Ali berhasil unggul. Dalam suasana terdesak itulah Mu’awiyah
mengusulkan diselenggarakannya tahkim (arbitrase, perundingan damai). Dalam
kaitannya dengan ini, penting dicatat bahwa arbitrase adalah salah satu metode
Arab pra-Islam untuk mencari solusi bagi pihak-pihak yang bertikai, oleh karena
itu, tahkim bukan sesuatu yang asing bagi kedua pihak (Ali dan Mu’awiyah) dan
umat Islam saat itu umumnya. Ali, yang bukannya tak memahami keunggulan
organisasional pasukan Mu’awiyah dan mungkin juga karena dorongan kesalehan,
menerima usulan tahkim.
Laporan-laporan historis mengenai
proses tahkim, menurut kami membingungkan, karena ‘Amr ibn ‘Ash (arbitrer dari
pihak Mu’awiyah) mengumumkan bahwa karena Ali sepakat untuk mundur dari jabatan
khalifah, maka Mu’awiyah berhak atas jabatan khalifah sebab dialah pewaris dan
penuntut balas yang sah atas terbunuhnya Utsman. Seluruh pihak Ali terkejut
atas hasil tahkim itu. Tampak bagi kami, mereka telah dipecundangi atau
diperlakukan secara licik oleh pihak Mu’awiyah. Serombongan pasukan dari pihak
Ali, terutama sekali karena kecewa atas hasil tahkim, menarik diri dari induk
pasukan dan bergerak menuju Harurah. Mereka inilah kelompok Khawarij yang
pertama. Pada waktu ini mereka belum sebagai Khawarij, melainkan kaum Haruriyyun,
yakni orang-orang yang memisahkan diri dari kubu Ali ke Harurah.
Tindakan ini didasarkan atas
pertimbangan yang sama sekali bersahaja namun militan: Mu’awiyah jelas-jelas
orang yang bersalah dan karena itu harus diperangi sampai dia tunduk, bertaubat
atau berhasil dibunuh. Ini adalah hukum Allah yang jelas, dan tak ada kompromi
mengenai hal ini. Kenyataannya, Ali sendiri bersedia menerima tahkim yang
berarti bersedia melakukan kompromi dengan seorang pendosa besar. Maka, Ali
adalah seorang pendosa besar juga! Karena tiap-tiap pendosa besar adalah kafir - dan dengan demikian darahnya halal,
maka baik Mu’awiyah maupun Ali harus dibunuh, pun pula dengan dua orang
arbitrer dari pihak yang bertikai: Abu Musa al-Asy‘ari (dari pihak Ali) dan
‘Amr ibn ‘Ash. Khawarij menentang dua pihak yang sedang bertikai, akibatnya
kini, konflik dalam tubuh umat Islam membentuk suatu “perang segitiga” antara:
kubu Mu’awiyah, kubu Ali dan kaum Khawarij, di mana satu sama lain saling
membinasakan.
Kaum Haruriyyun, karena
formulasi-formulasi pandangan mereka belum tegas, dan memang masih dalam tahap
pembentukan doktrin, segera terfriksi ke dalam berbagai kelompok, yang semakin
lama semakin mengecil.[5] Pada titik ini, sebenarnya, posisi Khawarij telah
jelas, mereka adalah pihak yang kecewa terhadap hasil tahkim, dan, seterusnya,
kecewa terhadap penerima-penerima dilaksanakannya tahkim. Siapa yang benar (pihak
Ali) dan yang siapa yang salah (pihak Mu’awiyah) telah jelas, dan, karena itu,
menerima gagasan tahkim berarti berkompromi dengan kesesatan. Tetapi, sekali
suatu kelompok memutuskan untuk memisahkan diri dari kelompok induknya, mereka
harus menemukan alasan-alasan pembenar bagi perlu hadirnya kelompok yang baru.
Inilah alasan, mengapa kemudian Khawarij mudah sekali menjatuhkan vonis
kekafiran kepada kelompok manapun yang tidak berada di pihaknya. Mereka butuh
alasan eksistensial: justifikasi untuk mewujud. Ketika pembenaran bagi
eksistensi Khawarij telah ditemukan, maka pembenaran bagi penentangan atau
perlawanan terhadap pihak lawan pun harus ditemukan. Hal terakhir ini ditambah
lagi dengan kepentingan untuk menjaga kohesivitas anggota-anggotanya, kelompok
yang lain harus “dipernyatakan” kesesatannya!
Pada titik ini, menurut kami,
Khawarij bergerak dari persoalan politis kepada persoalan teologis (keimanan):
siapakah yang dimaksud sebagai orang beriman? Apabila Mu’awiyah telah jelas
posisi kesesatannya, maka Ali mereka nyatakan menyeleweng dari Islam sesudah
bersedia menerima kompromi dari pihak yang sesat, padahal tak ada kompromi
dengan kesesatan. Oleh karena sebagian besar eksponen kaum Haruriyyun juga
terlibat dalam protes yang mengakibatkan terbunuhnya Utsman, maka mereka juga
perlu “menegaskan” kesesatan khalifah ketiga itu: enam tahun pemerintahannya
berdasarkan agama, enam tahun sisanya adalah masa penyelewengan. Khawarij
mengumumkan diri sebagai pihak penjaga kebenaran risalah yang dibawa Nabi,
pengoreksi kesesatan dan bertindak untuk meluruskan kesesatan itu, sambil
meneriakkan slogan: la hukmu ila lillah, Tak ada Hukum kecuali Hukum Allah.
Dengan begitu mereka memiliki alasan untuk mewujud, dan dengan itu pula mereka
memiliki alasan untuk menentang seluruh “kelompok lain” yang ada!
Proto-Syi‘ah
Pendukung-pendukung setia Ali
menolak hasil tahkim dan bermarkas di Kufah, kota di mana para pendukung
fanatik Ali berkumpul, dan ke kota itulah Ali memindahkan ibukota
kekhalifahannya. Para pendukung ini, walau dapat kita sebut sebagai kaum
Alawiyyah (para pendukung Ali), namun mereka bukanlah (tepatnya: belumlah)
merupakan kaum Syi‘ah yang baru muncul belakangan. Fanatisme kepada Ali
didasarkan pada suatu pandangan religio-politik yang berasal dari Yaman, Arab
Selatan: seseorang hanya dapat menjadi pemimpin yang sah karena, terutama ia
memiliki suatu kharisma dalam dirinya serta memiliki kedekatan hubungan dengan
pemimpin yang absah sebelumnya, dalam hal ini (bila dibandingkan dengan
Mu’awiyah atau Sahabat manapun yang masih hidup saat itu) jelaslah Ali adalah
orang yang paling layak untuk menjadi pemimpin. Dia bukan saja keponakan,
tetapi merupakan suami dari putri dan ayah dari cucu-cucu Sang Nabi.[6]
Betapapun, ini adalah bibit-bibit pemikiran dari para penganut Syi‘ahisme. Pada
tahapan ini, untuk amannya, kita sebut saja mereka itu adalah kaum
proto-Syi‘ah. Sesudah Ali dapat dibunuh oleh Ibn Muljam, seorang eksekutor Khawarij,
mayoritas anggota kelompok ini sepakat untuk memilih Hasan, putra sulung Ali,
untuk menjadi khalifah. Tetapi Hasan adalah seorang figur yang lemah dan mudah
diiming-imingi dengan kehidupan duniawi, maka “hak kekhalifahan” Hasan
diserahkan pada Mu’awiyah sesudah mendapat kompensasi yang melimpah darinya.
Di dalam pihak penyokong Ali ini,
sebenarnya, tidak hanya berkumpul pendukung-pendukung Ali, tetapi juga
orang-orang yang tak dapat menerima Mu’awiyah sebagai pemimpin mereka, namun
juga tak mungkin bagi mereka untuk mengelompok ke dalam kubu Khawarij. Sesudah
terbunuhnya Hasan (kira-kira enam bulan setelah penyerahan “hak khilafah”-nya),
kelompok ini pun terfriksi ke dalam berbagai kelompok baru. Jadi, keadaan umat
Islam saat ini benar-benar terpecah belah ke dalam berbagai kelompok, baik
karena, terutama, alasan-alasan politis ataupun alasan-alasan yang lain: hanya
perlu seorang demagog yang fasih berorasi bagi pemunculan kelompok baru.
Ahl al-Jama‘ah dan Gagasan
Jabariyyah
Sementara itu, pihak Mu’awiyah
setelah “kesuksesan” tahkim dan penyerahan diri Hasan, semakin berhasil
mengonsolidasi kelompoknya. Kekuasaan secara de facto telah digenggamnya
terutama sejak kematian Ali. Mu’awiyah bukan saja seorang politikus yang piawai
dan tenang, tetapi dia juga dikelilingi oleh orang-orang terbaik pada masanya dalam
masalah-masalah keorganisasian dan birokrasi penyelenggaraan negara. Umat Islam
yang pernah berada di bawah kepemimpinan provinsial Syiria Mu’awiyah (dia
ditunjuk oleh Khalifah Umar),
merasakan benar bagaimana kemampuannya dalam menyejahterakan mereka. Tentu
saja, hal ini bukannya tidak diperhatikan oleh rakyat di luar kawasan Syiria.
Maka kemampuan dan kepemimpinan Mu’awiyah ini benar-benar menarik perhatian
mereka, terutama sejak kematian Ali. Sementara pada saat yang sama, sejak akhir
kekuasaan Utsman mereka telah merasakan bagaimana keadaan negara berada dalam
kekisruhan dan, tentu saja, hal itu mempengaruhi tingkat kesejahteraan mereka.
Kepemimpinan Mu’awiyah lambat laun namun secara mantap diakui oleh pihak-pihak
yang semacam ini.
Mu’awiyah bukannya tidak memahami
kondisi tersebut. Dia juga menyadari bahwa sebagian besar umat Islam telah
terfriksi ke dalam berbagai kelompok kecil yang militan dan karenanya sulit
ditundukkan. Terhadap kelompok-kelompok ini Mu’awiyah tidak segan-segan
melakukan tindakan keras yang berdarah. Namun, baginya itu adalah pilihan
terakhir, sesudah mereka tidak bersedia dipersuasi atau disuap baik dengan
jabatan maupun imbalan material. Dan secara khusus terhadap mereka inilah,
namun secara umum ditujukan kepada seluruh umat Islam, baik dalam rangka
mendapatkan legitimasi kekuasaannya maupun keinginannya untuk mempersatukan
umat Islam, Mu’awiyah meluncurkan slogan “persatuan umat Islam”. “Persatuan”
yang dalam bahasa Arab saat itu adalah “al-Jama’ah”, membuat kubu Mu’awiyah
disebut sebagai Ahl al-Jama’ah (Golongan [yang menghendaki] Persatuan).
Orang-orang yang menginginkan kesejahteraan, penghentian segala kekisruhan dan
ketidakjelasan politis, dan semata-mata prihatin atas terjadinya keretakan
persatuan umat Islam yang telah dirintis dan dibina oleh Nabi, Abu Bakar dan
Umar, tertarik dengan program ini. Dan meskipun mereka tidak dapat menerima
kepemimpinan Mu’awiyah menurut dasar-dasar Islam, mereka tidak menolak atau
melakukan gerakan yang menentang kepemimpinan Mu’awiyah, lalu oleh karenanya,
menerima secara de facto kepemimpinannya. Inilah saat dimulainya era
Khilafah-Dinastik pertama di bawah Dinasti Umayyah.
Para khalifah Dinasti Umayyah
menyadari bahwa mereka tidak dianggap sebagai pemimpin-pemimpin yang ideal di
mata umat Islam yang saleh dan prihatin dengan diabaikannya aspek-aspek
religius dalam pemerintahan mereka. Dalam rangka mengatasi persoalan inilah,
mereka mengemukakan gagasan bahwa kekhalifahan atau kepemimpinan mereka atas
umat Islam merupakan Ketetapan dan Kehendak Allah yang bahkan mereka sendiri
tak kuasa untuk menghindarkannya, apalagi umat Islam lain yang tak mendapat
“amanah” itu. Terdapat laporan yang menunjukkan bahwa gagasan ini sudah
dimunculkan sejak masa Mu’awiyah (berkuasa 661-680). Salah seorang gubernurnya,
Ziyad ibn Abihi, ketika pertama kali berpidato di hadapan rakyat di bawah
tanggung jawabnya (Bashrah dan kawasan selatan Persia), mengemukakan,
Banyak yang berduka karena kedatanganku akan bergembira, dan mereka yang bergembira akan berduka. Saya datang padamu dengan kehendak Allah untuk memerintahmu dan mengawasi kesejahteraanmu. Maka menjadi kewajibanmulah untuk mendengar dan mematuhiku dalam hal apa yang kupandang terbaik, dan hak kamulah menuntut supaya aku adil dalam tanggung jawabku.[7]
Agak sulit untuk menyatakan bahwa
Mu’awiyah tidak tahu-menahu atas apa yang dikemukakan Ziyad, sebab seluruh
pengelolaan negara berada dalam kontrolnya secara langsung. Legitimasi berbasis
jabariyyah itu nampak jelas ketika al-Farazdaq (w. 728), salah seorang
penyair-istana Hisyam ibn Abdul Malik (berkuasa 724-743), melantunkan
panegyric-nya,
Bumi milik Allah yang dikuasakan pada khalifah-Nyayang berkuasa di dunia tanpa terkalahkan.
Allah telah memberikan karunia padamu khalifah dan kepemimpinannya.
Kehendak Allah tidak bisa diubah.[8]
Jelaslah kini bahwa gagasan
jabariyyah (yakni: segala kejadian dan sesuatu telah ditentukan oleh Allah)
mula sekali diinjeksikan ke dalam tubuh umat Islam oleh Dinasti Umayyah dalam
rangka memberikan justifikasi atas kekuasaan mereka yang sulit dicarikan legitimasinya dalam
ajaran Islam. Sesudah itu, mudah sekali bagi mereka untuk mencari ayat-ayat
al-Quran dalam rangka formulasi teologis atas posisi itu. Apa yang menjadi
pertanyaan kini, bagaimana mungkin Nabi dan dua khalifahnya yang pertama yang
merupakan orang-orang yang penuh vitalitas dan dinamika dalam perjuangan
menegakkan risalah Allah memiliki sejumlah besar pengikut yang jabariyyah itu?
Apakah vitalitas dan dinamika mereka bertiga, yang harus dinyatakan distimuli
secara langsung oleh al-Quran, tidak mengajarkan sesuatu hal (yakni, masalah
takdir) kepada para pengikutnya? Lebih persis lagi, apakah memang mereka
bertiga mengajarkan konsep jabariyyah itu?
Jawabannya akan kita peroleh
manakala kita menelisik lebih jauh ke dalam state of mind orang-orang Arab
menyangkut kehidupan. Arabia adalah sebuah padang kehidupan yang keras, penuh dengan
keganasan serta banyak diliputi ketidakpastian. Bahkan fenomena alam seperti
hujan adalah sangat tidak teratur. Jika seseorang berusaha mengantisipasi
setiap kejadian itu, maka dia seringkali akan dilanda kecemasan dan bahkan
kemalangan, karena faktor ketidakpastian itu. Suatu antisipasi seringkali gagal
mengantisipasi justru karena pastinya ketidakpastian itu. Sebaliknya, seseorang
yang bersikap menerima apa saja yang terjadi ada kemungkinan harapan untuk
mendapatkan keberhasilan. Ketika suatu hal telah terjadi, barulah dia akan
bertindak berdasarkan kejadian itu, dan itulah sebabnya ada peluang untuk dapat
berhasil. Belum lagi guncangan-guncangan mental yang harus dihadapi apabila
sebuah antisipasi benar-benar tak dapat mengantisipasi suatu kejadian. Jadi,
fatalisme justru merupakan konsep yang dapat membantu. Fatalisme khas Arabia
ini terformulasi sebagai, hasil dari perbuatan manusia sudah tertentukan, dan
bukannya karena perbuatan manusia itu. Pada suatu saat seseorang dapat
memutuskan untuk ikut atau tidak ikut serta dalam suatu peperangan, namun ia
tetap akan mati apabila saat itu ia telah ditentukan hari kematiannya. Jadi,
meskipun manusia dapat menentukan berbagai alternatif tindakan yang dipilihnya,
namun ia tidak dapat menentukan hasil akhirnya. Hasil akhir mana ditentukan
oleh Dahr (Waktu), Zaman (Era), ’Ashr (Masa) atau Ayyâm (Hari), Ajal (Waktu
yang Dijanjikan). Sebuah ayat al-Quran menjelaskan kepada kita mengenai
pandangan tersebut,
Dan mereka (orang-orang kafir itu) berkata, “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia ini saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain Dahr (Surah al-Jâtsiyah, ayat 24).
Beberapa petikan syair Arab
pra-Islam juga menyingkapkan hal ini,
Setelah melihat kematian (kakek saya) raja al-Hârith, dan(ayah saya) Hujr yang tiada bandingnya,yang memiliki banyak rumah besar bagaimana mungkin sayamengharapkan kelembutan giliran Dahr, yang saya tahu,tak pernah membiarkan begitu saja bahkan pegunungan karang yang kokoh? (Syair Imr’ al-Qays)
Anak puteri Dahr telah menembakku dari suatu tempat yang tak dapat kulihat.Apa yang dapat dilakukan seseorang ketika ia ditembak tanpa dapat membalas menembaknya? (Syair Amr ibn Qami’ah)
Apa saja bisa membunuhmu apabila ajal-mu telah tiba. (Syair al-Salakah)
Maka, suatu weltanschauung
fatalisme telah tertanam dalam stuktur umum nalar orang Arab, pandangan-dunia
mana juga dimiliki oleh orang Persia. Dahr atau “Waktu” yang abstrak ini hanya
memerlukan sedikit pemikiran spekulatif saja untuk kemudian dihubungkan dengan
Allah, Sang Pencipta dan Pemelihara yang diperkenalkan oleh Nabi dan al-Quran.
Kini, Dahr memiliki wujud yang lebih kongkrit. Dalam bahasa yang mirip khas
“berita pojok kampung”(-nya JTV) kita bisa menyatakan, “ealah… tiba’e Dahr iku… yo … Allah iku.”
Ketika Allah dinyatakan sebagai penentu nasib akhir manusia, maka gagasan itu
bukanlah sesuatu yang sama sekali asing.[9]
Patut dicatat di sini bahwa
hampir seluruh penentang Dinasti Umayyah adalah orang-orang yang berpaham
qadariyyah (yakni: manusia menentukan sendiri nasib kehidupannya). Namun, oleh
karena tidak seluruh penentang Dinasti Umayyah berpandangan qadariyyah
(misalnya, tapi terutama, Jahm ibn Shafwan – pemikir sistematik pertama konsep
jabariyyah), maka paham itu tampaknya hanya dijadikan sebagai wacana-tanding
(counter-discourse) saja bagi “ideologi” jabariyyah yang dikembangkan Dinasti
Umayyah. Tetapi, seolah memang sudah ditakdirkan untuk berkuasa oleh Allah,
posisi teologis Dinasti Umayyah semakin kuat manakala ia didukung oleh suplai
energi baru dari kalangan Murji‘ah.
Murji‘ah, Ahl al-Sunnah, dan Ahl
Sunnah wa al-Jama’ah
Tidak seluruh umat Islam turut
aktif dalam blok-blok kepentingan yang ada saat itu. Fazlur Rahman menduga
bahwa bagian terbesar umat Islam justru risau dengan segala kekisruhan dan
konflik berdarah yang ada, terutama mereka yang tinggal di kawasan Hijaz (wilayah
barat Arabia, dengan daerah utama Makkah dan Madinah). Orang-orang ini menarik
diri dari keterlibatan dalam aktivisme politik dan berusaha tetap tinggal
netral di antara berbagai kelompok yang ada. Perhatian utama mereka adalah agar
umat Islam tidak terpecah belah atau saling membinasakan satu sama lain, dan
agar mereka mempertahankan apa-apa yang telah diajarkan, diteladankan atau
di-Sunnah-kan oleh Nabi. Inilah sebabnya mereka dikenal sebagai Ahl al-Sunnah
(Golongan [yang menghendaki dilaksanakannya] Sunnah [Nabi]). Dua pemuka utama
kelompok ini adalah Abdullah ibn Abbas, yang belakangan dianggap sebagai
otoritas tertinggi dalam penafsiran al-Quran, dan Abdullah ibn Umar ibn
al-Khaththab.
Posisi politis kedua Abdullah itu
setelah kematian Ali kira-kira dapat dirumuskan demikian. Mu’awiyah sebenarnya
bukanlah seorang penguasa ideal bagi mereka karena dari sudut pandang Islam ia
tidak termasuk sebagai seorang Muslim yang baik (Mu’awiyah telah bertindak
kejam terhadap anggota keluarga Nabi, membunuh lawan-lawan politiknya meskipun
orang-orang itu adalah Muslim juga). Tetapi, oleh karena di bawah Mu’awiyah ada
harapan umat Islam dapat dipersatukan dan dengan itu dapat dijadikan bekal
untuk membina kembali ukhuwwah Islamiyah, maka Mu’awiyah (dan pada akhirnya
seluruh penguasa dari Dinasti Umayyah) adalah seorang penguasa yang dapat
ditolerir. Artinya, Mu’awiyah diterima kepemimpinannya secara de facto, tetapi
tidak secara de jure. Kaum “netralis politik” ini, pada akhirnya, memang tidak
dapat bertahan terus sebagai kelompok netral, karena dalam kenyataannya (meskipun
tidak mendukung) mereka tidak dapat tidak menerima kekuasaan Mu’awiyah.[10]
Mereka juga prihatin dengan
gagasan gegabah Khawarij yang mudah menjatuhkan vonis kafir kepada lawan-lawan
politiknya. Dihadapkan pada persoalan iman yang dilontarkan Khawarij ini,
pandangan mereka benar-benar “netralis”. Bagi mereka, seseorang yang telah
pernah mengucapkan dua kalimah syahadat atau keimanannya kepada Islam, orang
itu tetap adalah seorang Muslim (asalkan tidak murtad). Lalu, bagaimana seandainya
orang itu melakukan perbuatan dosa besar? Jawabannya: bagaimana kita bisa tahu
dan dapat memastikan nasib akhirnya di akhirat kelak? Manusia tidak
mengetahuinya apakah akan dihukum atau diampuni oleh Allah, tetapi pasti bahwa
Dia mengetahui bagaimana keadaannya. Oleh karena itu, masalah ini hendaknya
ditangguhkan (arja‘ah, kata kerja irjâ’) terlebih dahulu dan kelak ditanyakan
langsung kepada Allah. Karena hal inilah mereka disebut juga Ahl al-Murji‘ah
(Golongan [yang] Menangguhkan).[11] Tetapi kata irjâ’ dapat juga menjadi kata
kerja dari kata lain arjâ, yang artinya “menimbulkan harapan”. Itu berarti
orang-orang Murji‘ah dapat dikatakan sebagai kelompok orang yang masih
“memberikan harapan” keselamatan bagi para pelaku dosa besar.[12] Harapan mana
tergantung kepada Allah sendiri. Pada titik ini, posisi takdir Murji‘ah
benar-benar amat dekat dengan “ideologi” jabariyyah Dinasti Umayyah.
Dengan demikian, dalam banyak hal
kaum Murji‘ah benar-benar berusaha netral, berusaha tidak memihak kepada
golongan manapun, apakah posisi teologis ataukah posisi politis, sambil
meneruskan perhatian mereka untuk menggali kandungan apa saja yang terdapat
dalam Sunnah Nabi, dan dengan demikian mereka semakin ditarik untuk memasuki
wilayah kajian-kajian keagamaan. Dalam perkembangannya kemudian —untuk
mendahului kronologi— kaum Murji‘ah inilah yang memainkan peran sesungguhnya
dalam merumuskan, membina, menjaga dan mempertahankan ortodoksi (ajaran baku)
Islam. Tentu saja, kalimat terakhir ini tidak terjadi dalam waktu satu atau dua
generasi, tetapi memerlukan kemunculan seorang Muhammad bin Idris asy-Syafi‘i (767-820), Abu Hasan al-Asy‘ari (873-935)
dan Abu Hamid al-Ghazali (1058-1111) untuk dapat menentukan bentuk bakunya,
sedangkan posisi-posisi yang kita bicarakan saat ini terjadi dalam kisaran tahun
670-an.
Sementara itu, netralitas
berbagai posisi Murji‘ah justru amat bermanfaat bagi justifikasi kekuasaan
Mu’awiyah. Penerimaan de facto dan gagasan “penangguhan” segera di-ekspose oleh
Mu’awiyah dibarengi dengan niat (atau minat?) untuk mempersatukan dunia Islam.
Karena paralelisme inilah maka kedua golongan yang pada awalnya amat berbeda
itu seringkali disebut secara bersama-sama, katakanlah sebagai suatu
persekutuan, dan dikenal sebagai Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (Golongan [yang
menghendaki terlaksanakannya] Sunnah dan [menghendaki] Persatuan [umat Islam]).
Pada umumnya, dinyatakan bahwa Umar ibn Abd al-Aziz (Khalifah Umayyah ke-8,
717-720) adalah orang yang berjasa untuk gagasan ini. Seperti diketahui, di
antara 14 khalifah Umayyah, satu-satunya yang dianggap sebagai orang saleh
hanyalah dirinya. Itu sebabnya dia mendapat kehormatan untuk disebut sebagai
Umar II, seakan menghendaki agar orang mengasosiasikan dirinya pada Umar ibn
al-Khaththab, yang tidak hanya bijaksana dan cerdas, melainkan juga berjasa
besar dalam membangun imperium (kekaisaran) Islam dan membina agama Islam.
Sekali lagi, ingin kami tegaskan, walaupun nama untuk kelompok ini telah ada,
tetapi formulasi teologisnya masih dalam proses pembentukan, yang
sistematisasinya dimulai oleh Muhammad bin Idris al-Syafi‘i, yang lebih
dikenal sebagai Imam Syafi‘i.
Mu’tazilah
Dapat dikatakan bahwa Mu’tazilah
adalah kelompok teologi penting yang muncul belakangan. Dia mewarisi
kecenderungan-kecenderungan egalitarian Khawarij (bahwa seorang pemimpin umat
Islam tidak harus merupakan orang Arab, apalagi Quraisy, tidak harus memiliki
kedekatan hubungan dengan Nabi; pendeknya, siapa saja dapat menjadi khalifah
asalkan memiliki kemampuan); Mu’tazilah, pada awalnya, juga mewarisi
kecenderungan “netralisme” Murji‘ah. Mempertimbangkan dua hal tersebut, dapat
diduga bahwa orang-orang Mu’tazilah memiliki asal-usul dari kalangan umat Islam
yang memiliki kecenderungan keagamaan dan kesalehan. Dan memang tradisi yang
paling luas diterima menyatakan bahwa Mu’tazilah berasal dari orang-orang yang
mendapat pengajaran Hasan al-Bashri (642-728) dan tidak puas dengan
analisis-analisisnya yang lebih mengedepankan pertimbangan moral psikologis
dalam masalah takdir.
Hasan al-Bashri dikenal sebagai
ulama paling terkemuka pada masa Dinasti Umayyah, baik karena kesalehannya
maupun intelektualitasnya. Dia dipandang sebagai otoritas tertinggi dalam
masalah-masalah keagamaan. Barangkali, ini sebabnya dia tidak mendapat hukuman
ketika terang-terangan menentang “ideologi” jabariyyah negara yang disampaikan
langsung kepada Khalifah Abdul Malik ibn Marwan. Popularitas dan pengaruhnya
terlalu amat besar pada masyarakat sehingga suatu tindakan pada dirinya mungkin
akan menyebabkan reaksi umum. Tetapi, barangkali juga karena Hasan bukanlah
seorang penentang Umayyah. Dilaporkan bahwa dia menolak bahkan menentang ajakan
sejumlah pemimpin pemberontakan, dan menyarankan agar masyarakat mendukung
Dinasti Umayyah.[13]
Posisi takdir Hasan benar-benar
kontroversial. Seorang penganut jabariyyah maupun qadariyyah dapat sama-sama
menggunakan otoritasnya untuk membenarkan posisi mereka. Hasan menyatakan bahwa
setiap perbuatan baik hanya dapat terjadi atas Kehendak Tuhan, sedangkan
perbuatan-perbuatan jahat merupakan tanggung jawab manusia sendiri. Kelihatan
bahwa dengan mengatributkan perbuatan baik pada Tuhan, maka Hasan menghendaki
agar pelaku perbuatan itu tetap menjaga kebaikannya dan tidak “merasa congkak”
atas kebaikan yang dilakukan ataupun diperbuatnya. Karena penekanannya lebih
kepada pertimbangan moral dan psikologis seorang Muslim, pada tahapan ini Hasan
tidak terlalu mementingkan apakah ada pertentangan intern di dalam
pernyataan-pernyataannya. Bagi seorang Muslim yang saleh dan menginginkan
pendasaran yang lebih masuk akal atas posisi ini, tentu tidak puas dengan
pernyataan Hasan. Sesudah tidak puas dengan penjelasan Hasan, salah seorang
muridnya, Washil ibn Atha’ meninggalkan halaqah (forum pengajian)-nya. Hasan hanya berkomentar,
“lihatlah, Washil telah meninggalkan (i’tizalâ) kita.” Konon, dari kata itulah berasal
kata benda Mu’tazilah.
Pada saat yang bersamaan, umat
Islam yang menginginkan segala eksplanasi logis atas setiap ajaran Islam telah
berkenalan dengan pemikiran-pemikiran filosofis dan spekulatif yang berkembang
di Irak. Baik tradisi Hellenistik (filsafat atau pemikiran Yunani) maupun
teologi Kristen telah lama memperdebatkan masalah takdir, namun dengan
hasil-hasil yang kurang memuaskan. Baik gagasan yang bersifat fatalistik maupun
free-will sama-sama mendapatkan pendukungnya.[14] Sedikit-banyak, cepat ataupun
lambat, pemikiran-pemikiran itu akan segera dikenali oleh umat Islam. Dan dari
bahan-bahan inilah, orang-orang Mu’tazilah kemudian mendapatkan penjelasan yang
lebih “logis”. Walhasil, Mu’tazilah lebih menerima posisi qadariyyah.
Pada perkembangan berikutnya,
untuk “mengamankan” posisi qadariyyah ini, Mu’tazilah memperkenalkan doktrin
kembar Tawhid dan al-‘Adl, Ke-Esa-an dan Ke-Adil-an Tuhan. Dan dari doktrin
kembar inilah muncul doktrin al-ushul al-khamsah (Lima Dasar, atau —meminjam
istilah Profesor Harun Nasution— Pancasila) Mu’tazilah yang terkenal itu.
Secara berturut-turut adalah sebagai berikut. Pertama adalah al-Tawhid (Tuhan
adalah Maha Esa, Zat yang unik, karena itu harus nafy al-sifat Tuhan, menolak
konsep bahwa Tuhan memiliki sifat). Kedua, al-’Adl (Tuhan tidak mungkin
menzhalimi hamba-Nya atau ciptaan-Nya, maka Tuhan harus Adil). Ketiga,
al-manzilah bayn al-manzilatayn (posisi tengah di antara dua posisi – dari sini
terlihat warisan Murji‘ah), bahwa seorang pelaku dosa besar bukanlah Mukmin
bukan pula kafir, melainkan fasiq, ia akan disiksa di neraka “khusus” yang
berbeda dengan neraka yang disediakan bagi orang kafir.[15] Keempat, al-wa’d wa
al-wa’id (janji baik dan ancaman). Kelima, al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ’an
al-munkar (memerintahkan orang untuk berbuat baik dan melarang orang berbuat
jahat wajib dijalankan, kalau perlu dengan kekerasan).[16] Marilah kita melihat
lebih jauh formulasi, interdependensi dan implikas-implikasi teologis kelima
asas Mu’tazilah tersebut.[17]
Doktrin free-will Mu’tazilah
segera menjadi konsep teologis mengenai “Keadilan Tuhan” dan mengalahkan segi
aslinya, yaitu kemerdekaan dan tanggung jawab manusia. Dari berbagai bagian
penting mengenai konsep al-Quran mengenai Tuhan, semacam Kekuasaan, Kasih, Kehendak
dan Keadilan, kaum Mu’tazilah telah lebih menekankan konsep Keadilan Tuhan dan
dibandingkan dengan konsep-konsep yang lain. Sebagai akibat “logisnya”: Tuhan
(alih-alih bisa, tapi tak dilakukan-Nya) tidak bisa melakukan hal-hal yang tak
masuk akal dan tak adil. Dalam kaitan dengan inilah dimunculkan doktrin “janji
dan ancaman”, menurut mana Tuhan tidak bisa mengampuni pelaku kejahatan (yang
akan merupakan pelanggaran terhadap ancaman-Nya sendiri) ataupun menghukum
pelaku kebaikan (dan melanggar janji-Nya sendiri). Sederhananya, Tuhan tidak
bisa menjebloskan ke dalam neraka seorang Muslim yang taat kepada-Nya dan tidak
bisa memasukkan ke dalam surga seorang yang kafir kepada-Nya, karena Tuhan
bukanlah “Maha Pelanggar”. Dengan mengasumsikan pernyataan-pernyataan al-Quran
tentang janji dan ancaman hukuman sebagai pernyataan-pernyataan yang kategoris
(“terpastikan”) mengenai fakta-fakta di masa yang akan datang, Mu’tazilah
berkesimpulan bahwa Tuhan bukan saja akan menjadi tidak adil bahkan Ia akan
menjadi pembohong. Konsekuensinya, pernyataan al-Quran mengenai Rahmat dan
Kemurahan Tuhan mereka tafsirkan dalam batas-batas kemestian dan kewajiban:
Tuhan harus (tidak dapat tidak untuk) berbuat sebaik-baiknya bagi manusia. Ia
harus mengutus Nabi-nabi dan menurunkan wahyu kepada manusia. Apabila Ia tidak
berbuat sebaik-baiknya untuk manusia, maka berarti Ia tidak adil dan bukan
Tuhan. Menurut Fazlur Rahman, doktrin-doktrin ini “dikembangkan secara paten
dalam pengaruh Hellenisme dan terutama dalam pengaruh Stoikisme, seperti halnya
pengaruh Stoa tak syak lagi memang telah merasuk ke dalam doktrin-doktrin ilmu
kalam yang terkemudian.”[18] Di mata kalangan piety-minded (gerakan umum
keagamaan atau kesalehan agama), kemerdekaan manusia yang semacam itu berarti
ketidakmerdekaan Tuhan.
Teologi yang semacam itulah yang
menjadi teologi resmi negara pada masa Abbasiyyah. Pretensi-pretensi Abbasiyyah
berbeda dengan Umayyah. Yang pertama itu tidak memerlukan lagi “ideologi”
jabariyyah untuk melegitimasi kekuasaannya. Abbasiyyah cukup didukung oleh
orang-orang yang memiliki perhatian terhadap agama. Sebaliknya, salah satu sasaran tembak
pada Umayyah adalah jabariyyah itu. Maka, Abbasiyyah tak dapat lagi
menggunakannya, sebab ia telah menggunakan, antara lain, qadariyyah untuk
membenarkan pemberontakannya. Dengan banyaknya orang-orang piety-minded di
pihaknya, maka Abbasiyyah berketetapan untuk tidak melukai perasaan salah satu
kelompok pendukung pentingnya itu. Apalagi, revolusi Abbasiyyah yang bermarkas
besar di kawasan Iran-Irak, yang selama berabad-abad merupakan basis kekuasaan
dinasti-dinasti Kekaisaran Persia, mendapatkan cukup pengetahuan mengenai
bagaimana agama dan negara harus saling diserasikan. Masih cukup banyak
pejabat-pejabat di Kekaisaran Abbasiyyah yang merupakan mantan atau putra-putra
dari mantan pejabat-pejabat dari masa Kekaisaran Persia. Maka,
“terlepas dari kegemaran mereka yang makin menjadi-jadi terhadap kemegahan dan kebesaran raja-raja Sasania [dinasti terakhir dalam Kekairan Persia—WK.], kata-kata tentang kesalehan merupakan acara sehari-hari. Ideal pemerintahan Persia, yang menyatukan antara agama dan negara, merupakan rencana ‘Abbâsiyah yang jelas. Sekarang agama bukanlah sekadar masalah penting bagi negara, tetapi justru merupakan urusan pertama dan terutama bagi negara.Mudah dipahami apabila para teolog lalu tampil berkerumun di istana dan di dalam pemerintahan. Oleh karena negara, hukum, dan administrasi peradilan harus disusun dan dibangun sesuai dengan perintah-perintah agama, maka preferensi haruslah diberikan kepada orang-orang yang mempraktikkan dan mempelajari sunah, atau orang-orang yang menggunakan metode-metode ilmu untuk mencari hukum-hukum agama.”[19]
Di dalam kerangka kerja semacam
ini, wajar apabila banyak orang-orang Mu’tazilah berkumpul di sekeliling
istana. Mereka telah membuktikan diri sebagai teolog-teolog sistematik yang
unggul, di samping sebagai orang-orang yang taat beragama. Puncak dari
perkembangan ini terjadi pada kekuasaan al-Ma’mun (Khalifah ke-7 Abbasiyah,
berkuasa 813-833) yang kegemarannya pada ilmu pengetahuan dan filsafat sudah sangat terkenal. Salah satu laporan riwayatnya menuturkan bahwa ketika terjadi
pemberontakan yang dilancarkan oleh pamannya, Ibrahim, sedang berlangsung di
Baghdad (ibukota), al-Ma’mun tidak segera bergerak ke Baghdad, karena di
Khurasan ia sedang melakukan “perang”-nya sendiri: perdebatan teologi! Oleh sebab
itu, tidak membutuhkan waktu terlalu lama bagi al-Ma’mun untuk mengerti bahwa
kelompok Islam yang paling sesuai bagi dirinya adalah Mu’tazilah. Sistem-sistem
Mu’tazilah segera dinyatakan sebagai sistem negara, dan dia (sesuai dengan
al-ushul al-khamsah kelima) memerintahkan diluncurkannya kebijakan mihnah
(inkuisisi, pemeriksaan akidah). Korban yang paling terkenal dari mihnah ini
adalah Ahmad ibn Hanbal (lebih kita kenal sebagai Imam Hambali), yang harus
dihukum karena menolak “ideologi” negara bahwa al-Quran adalah makhluk bukannya
Kalam Allah dalam kaitannya dengan al-ushul al-khamsah yang pertama dan paling
utama.
Hendaknya kita harus kritis bahwa
doktrin al-Quran sebagai makhluk bukan memiliki kepentingan akan kebenaran
doktrin itu sendiri, melainkan terkait dengan gagasan absolutisme penguasa yang
ingin dibangun oleh Abbasiyyah. Dinasti ini ingin menawarkan “model Islami”
atas penyatuan agama dan negara sebagaimana dulu pernah dicoba oleh
dinasti-dinasti Persia (yang, tentu saja, dibasiskan pada Zoroastrianisme
dan/atau Manikeanisme). Apabila al-Quran diterima sebagai makhluk (ciptaan)
Allah, maka ukuran-ukuran benar-salah al-Quran dapat disejajari oleh ukuran
benar-salah dari manusia yang juga merupakan makhluk (ciptaan) Allah. Dalam hal
ini kedudukan manusia adalah sejajar dan sederajat dengan al-Quran. Oleh karena
yang merupakan “bayangan Allah di muka bumi” adalah sang khalifah maka dengan
sendirinya kedudukannya sekarang lebih tinggi daripada al-Quran (yang hanya
merupakan ciptaan dan bukannya Firman) Allah: khalifah tidak dapat dinyatakan
salah atas dasar al-Quran. Konsekuensinya, khalifah-khalifah Abbasiyyah harus
lebih ditaati daripada al-Quran, dan persis pada titik inilah, kedudukan
al-Quran terletak di bawah khalifah! Dalam “ruang” yang berbeda, posisi
teologis Mu’tazilah adalah akal harus didudukkan lebih tinggi daripada wahyu
(al-Quran). Terutama dalam “ruang” khalifah, konsep al-Quran adalah makhluk
benar-benar amat mencemaskan kalangan piety-minded. Dari pihak terakhir ini,
sayap paling kanan yang dipimpin oleh Ahmad ibn Hanbal (salah seorang murid
Imam al-Syafi‘i) yang, berbeda dengan kebanyakan piety-minded lain bersedia
melakukan “taqiyah” (menyembunyikan akidah sesungguhnya karena lawan lebih
berkuasa), amat tegar dan terang-terangan menolak doktrin tersebut.
Namun, sejarah masih terus berjalan. Dan dengan semakin berpengaruh dan
berkuasanya jenderal-jenderal Turki, kekuasaan efektif khalifah semakin
melemah. Kira-kira setengah abad kemudian, al-Mutawakkil (Khalifah ke-10
Abbasiyyah, 847-861) memerlukan dukungan yang lebih luas dari kalangan umat
Islam untuk melawan orang-orang Turki tersebut. Tidak dapat tidak, ia akan
berpaling kepada kalangan piety-minded yang merupakan mayoritas umat. Dalam
rangka ini, al-Mutawakkil mengamandemen pemberlakukan doktrin Mu’tazilah
(termasuk konsep al-Quran adalah makhluk) sebagai teologi resmi negara. Ahmad
ibn Hanbal (pemuka piety minded) dibebaskan dari segala tuduhan, namanya
direhabilitasi, dan ditawari sebagai
Hakim Agung Negara. Sang Imam menolak, dan, meskipun tidak lagi
memberikan kuliah-kuliah Islamnya (mungkin karena usia), dapat meninggal dengan
tenang sedang popularitasnya sama sekali tak terganggu.
Dalam suasana politik dan
keagamaan yang semacam inilah muncul seorang pengritik paling serius terhadap
gagasan-gagasan Mu’tazilah. Tak kepalang tanggung, ia justru adalah salah
seorang calon guru besar Mu’tazilah yang digadang-gadang untuk menggantikan
posisi al-Jubba‘i, salah seorang teolog terkemuka Mu’tazilah. Ia adalah Abu
al-Hasan al-Asy‘ari, salah seorang keturunan Sahabat Nabi, Abu Musa al-Asy‘ari.
Asy‘ariyyah
Sudah pasti bahwa al-Asy‘ari
menolak pandangan bahwa al-Quran adalah makhluk. Oleh karena pandangan itu
ditarik dari doktrin Mu’tazilah yang menolak adanya sifat-sifat bagi Tuhan
(nafiy al-shifat), dengan sendirinya al-Asy‘ari menerima pandangan bahwa Allah
memiliki sifat-sifat. Dan karena inilah, maka ajarannya oleh al-Syahrastani dan
beberapa heresiografer lain disebut sebagai Shifatiyyah. Mungkin, nama
Asy‘ariyyah diperoleh sesudah ajaran itu diterima dengan baik dan
disebarluaskan oleh Abu Hamid al-Ghazali, nama penting lain yang kelak
—bersama-sama dengan al-Syafi‘i, Ibn Hanbal, dan al-Asy‘ari— dinyatakan sebagai
para formulator ajaran Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah sebagaimana dikenal dewasa
ini dalam doktrin desisifnya. Tetapi di sini hanya akan diuraikan lebih lanjut
perihal topik kita.
Upaya al-Asy‘ari pada intinya
adalah suatu usaha untuk membuat sintesis antara pandangan ortodoks (yang pada
waktu itu belum lagi terumuskan) dengan pandangan Mu’tazilah. Bahwa semangat
dasar ortodoksi (sebagaimana diawali oleh Murji‘ah – yang seperti kami nyatakan
di atas merupakan penyemai bibit-bibit ortodoksi) adalah sintesis dan/atau
domestikasi berbagai pandangan ekstrim yang muncul di kalangan umat Islam.
Meskipun demikian, perumusan itu juga bersifat reaksi terhadap doktrin
Mu’tazilah (yakni motivasi utama al-Asy‘ari untuk “memerdekakan” Tuhan dari
“belenggu” Mu’tazilah atau didorong oleh upaya untuk menegaskan Kemahakuasaan
dan Kemutlakan Kehendak Tuhan), yang karena itu membuat rumusannya berkarakter
setengah sintesis dan setengah reaksi. Dan, barangkali, karena sifatnya yang
setengah-setengah itu pula yang membuat rumusannya demikian sulit dipahami:
terlalu banyak yang harus diselesaikan oleh al-Asy‘ari. Ia harus menemukan
pemecahan atas dua tuntutan sekaligus: bagaimana menyusun formulasi Kekuasaan
Mutlak Tuhan atas seluruh perbuatan manusia (yang adalah ditentukan oleh
Tuhan), namun tetap mengharuskan manusia itu bertanggung jawab atas segala yang
ditindakkannya itu!
Untuk menyelesaikan persoalan
tersebut al-Asy‘ari mengelaborasi istilah yang sebenarnya tidak lagi asing bagi
para teolog (karena telah dipergunakan oleh al-Quran dan ahli-ahli teologi
Islam sebelumnya) namun dengan pengertian yang berbeda, itulah kasb atau
istilah padanannya iktisab. Arti harfiahnya sebenarnya sederhana: “perbuatan
manusia”. Masalahnya adalah apakah kasb betul-betul “perbuatan manusia” ataukah
“perbuatan Tuhan melalui manusia”.
Dengan mendasarkan kepada Surah
al-Shaffât ayat 96, al-Asy‘ari menjelaskan bahwa Allah menciptakan manusia
beserta perbuatan-perbuatannya, karena tidak ada pembuat segala sesuatu kecuali
Allah. Dengan kata lain, yang mewujudkan kasb atau perbuatan manusia adalah
Tuhan itu sendiri. Sebelum melangkah jauh, terlebih dahulu kami ingin
berkomentar betapa semena-menanya al-Asy‘ari terhadap wahyu Allah ini.
Terjemahan ayat itu adalah, “Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa
yang kamu perbuat itu.” Tetapi ini bukanlah ucapan Tuhan, melainkan ucapan
Ibrahim terhadap para penyembah berhala pada masanya. Kesewenang-wenangan
al-Asy‘ari jelas terlihat manakala kita melihat ayat sebelumnya. Bahwa ayat 96
adalah bagian dari kalimat Ibrahim yang terpotong dan merupakan kelanjutan dari
kalimat Ibrahim dalam ayat sebelumnya (95). Sehingga seluruh teks itu
seharusnya berarti, “Ibrahim berkata: Apakah kamu menyembah patung-patung yang
kamu pahat itu? Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu
perbuat itu’.” Kelihatanlah di sini bahwa kata ta’malun (dalam ayat 96) tidak
tepat diterjemahkan sebagai “apa yang kamu perbuat (lakukan) ” melainkan lebih
tepat “apa yang kamu buat (bikin)”. Persoalannya adalah: apabila kalimat wa ma
ta’malun dilepaskan keterkaitannya dari kalimat sebelumnya, maka terjemahan
al-Asy‘ari, menurut gramatika Arab, sepenuhnya dapat dibenarkan atau absah.
Betapapun, kritik telah kami kemukakan.
Apabila Tuhan adalah pencipta
perbuatan manusia, maka manusia adalah wahana dari perbuatan yang diciptakan
oleh Tuhan itu. Oleh karenanya, manusia hanya dapat berbuat (melakukan) sesuatu
setelah ia mendapat “daya” (kemampuan) dari Tuhan. Tanpa daya yang berasal dari
Tuhan ini, tak ada sesuatu pun yang dapat diperbuat oleh manusia. Jadi, kasb
tergantung pada adanya daya itu. Selanjutnya, manusia tidak dapat menghendaki
sesuatu, kecuali apabila Allah menghendaki manusia supaya menghendaki sesuatu
itu. Ditegaskan oleh Nasution, “Jadi seseorang tidak bisa menghendaki pergi ke
Mekkah, kecuali jika Tuhan menghendaki seseorang itu supaya berkehendak pergi
ke Mekkah.” Dengan demikian, baik kasb, kehendak, maupun daya manusia,
sepenuhnya diciptakan oleh Tuhan.
Lalu, daya untuk mewujudkan
perbuatan adalah berbeda dengan kemampuan yang terdapat pada diri manusia,
karena manusia kadang-kadang mampu mewujudkan perbuatan tertentu tetapi
kadang-kadang juga tidak. Daya ini tidak terwujud sebelum adanya sesuatu
perbuatan; daya ada bersama-sama dengan adanya perbuatan itu dan daya itu hanya
ada untuk perbuatan yang bersangkutan itu saja. Orang yang di dalam dirinya
tidak diciptakan daya oleh Tuhan, tidak bisa berbuat apa-apa. Namun, tetap saja
tidak dapat dikatakan, demikian menurut al-Asy‘ari, bahwa hanya Tuhanlah yang
melakukan perbuatan itu, karena manusia juga terlibat dalam perbuatan itu.
Jadi, baik manusia maupun Tuhan bersama-sama melakukan sesuatu perbuatan
tertentu. Nah! Marilah berhenti sampai di sini dulu untuk memperhatikan betapa
berputar-putarnya al-Asy‘ari. Sungguh, benar apa yang dilakukan oleh Abu ‘Uzbah
yang apabila menemui perkara-perkara yang rumit dan sulit untuk dicerna
melontarkan kata-kata, “lebih sulit dari kasb al-Asy‘ari”.[20]
Untungnya, kita mendapat uraian
yang lebih jelas dari al-Baghdadi, seorang heresiografer yang banyak dikutip
al-Syahrastani dan pengikut al-Asy‘ari. Al-Baghdadi mengilustrasikan kasb
sebagai berikut.[21] Perbuatan mengangkat batu yang berat adalah contoh yang
biasa diberikan oleh kalangan Asy‘ariyyah. Ada orang yang sama sekali tak
sanggup mengangkat batu itu dan ada pula yang sanggup mengangkatnya. Kalau
kedua orang tersebut bersama-sama mengangkat batu yang berat itu, perbuatan
mengangkat batu dilakukan oleh orang yang sanggup mengangkatnya, tetapi itu
tidak berarti bahwa orang yang tidak sanggup itu tidak turut mengangkat.
Demikian pulalah perbuatan manusia. Perbuatan pada hakikatnya terjadi dengan
perantaraan daya Tuhan, tetapi manusia dalam pada itu tidak kehilangan sifat
sebagai pembuat (fa‘il) suatu perbuatan.
Kalau al-Baghdadi benar, rupanya,
inilah “jalan tengah” yang diusulkan oleh al-Asy‘ari. Tidak seperti jabariyyah
yang menjelaskan bahwa perbuatan manusia pada dasarnya diperbuat oleh Tuhan,
juga (pasti) berbeda dengan qadariyyah yang menjelaskan bahwa perbuatan manusia
sama sekali ditentukan atau diatur oleh dirinya sendiri, maka, menurut
al-Asy‘ari, perbuatan manusia pada dasarnya adalah “hasil kerjasama” antara
manusia dan Tuhan, tanpa kerjasama semacam itu, sesuatu perbuatan manusia tidak
akan dapat diwujudkan. Dan karena manusia turut terlibat dalam mewujudkan
perbuatan itu, maka manusia dapat dimintai pertanggungjawaban atas seluruh
“perbuatannya” manakala itu adalah jenis perbuatan buruk atau jahat. Sedangkan
Tuhan tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas “perbuatan-Nya” karena baik
dan jahat adalah standar moral manusia yang karena itu tidak berlaku bagi
Tuhan. Tuhan berdiri tegak di atas segala ukuran standar moral yang dibuat oleh
manusia. Ketika suatu kritik ditujukan kepada teori kasb-nya, bahwa amat
sedikit sekali peranan manusia dalam mewujudkan sesuatu perbuatan, al-Asy‘ari
membenarkan sambil menegaskan: yang sedikit itu sudah merupakan alasan yang
cukup untuk membuatnya dapat dimintai pertanggungjawaban![22] Benar-benar
sebuah logika jalan tengah yang “mengagumkan”.
Harus diakui bahwa ajaran
al-Asy‘ari bukanlah jabariyyah an sich, tetapi cukup jelas terlihat bahwa
teorinya dekat dengan paham fatalisme itu. Ini menjelaskan kenapa kemudian
banyak di antara para pengikutnya yang terjerumus ke dalam paham itu. Sesuatu
hal yang apabila didasarkan pada tulisan al-Asy‘ari yang paling sistematik
dapat dibenarkan. Misalnya di dalam Maqâlat al-Islamiyyîn wa Ikhtilâf
al-Mushallîn (Pendapat-pendapat Kaum Islam dan Perselisihan Kaum
Bersembahyang), kita jumpai pengakuan,
Mereka (Ahl al-Sunnah) juga berpendapat bahwa tidak seorang pun mampu melakukan sesuatu sebelum Dia (Allah) melakukannya, juga tidak seorang pun mampu keluar dari pengetahuan Allah, atau melakukan sesuatu yang Allah mengetahui bahwa ia tidak melakukannya. Mereka meyakini bahwa tidak ada Pencipta selain Allah, dan bahwa keburukan para hamba (manusia) diciptakan oleh Allah, dan bahwa semua perilaku manusia diciptakan Allah ’azza wa jalla, dan bahwa manusia itu tidak berdaya menceritakan sedikit pun daripadanya.[23]
al-Asy‘ari juga berpendapat,
bahwa seseorang yang berdosa besar tidak mesti dihukumi masuk neraka, sebagaimana seseorang yang bertauhîd tidak mesti dihukumi masuk surga sampai Allah sendiri yang menentukan, dan bahwa Allah memberi pahala kepada siapa yang dikehendaki dan memberi siksaan kepada siapa saja yang dikehendaki, bahwa apa saja sampai ke tangan kita dari Rasulullah SAW melalui riwayat yang handal harus diterima, tanpa boleh bertanya: ‘Bagaimana?’ ataupun ‘Mengapa?’, karena semuanya itu bid‘ah.[24]
Artinya, tidak ada jaminan
seratus persen bahwa seorang Muslim yang paling bertakwa sekalipun akan
selamat. Bahkan seandainya pun ia selamat, dalam arti masuk surga, hal itu
bukanlah karena amal ibadah, perbuatan, dan pengabdiannya kepada Islam dan
Allah, melainkan semata-mata karena ia memperoleh Rahmat Allah. Jelaslah sudah,
kenapa al-Asy‘ari banyak memperoleh kritik dan kecaman. Janjinya untuk
merumuskan konsep manusia harus dimintai pertanggungjawaban atas seluruh
perbuatannya dan sekaligus Kemahakuasaan Tuhan tak tergoyahkan menjadi absurd
karena peran Tuhan masih demikian dominan. Pada sisi yang lain, ia juga harus
menuai kritik dari kalangan yang hendak ia bela, kaum Hanbaliyah, karena
al-Asy‘ari di dalam menyusun argumen dan perdebatannya banyak menggunakan
logika dan dialektika (khas Yunani) yang ditolak mereka. Kaum Hanbaliyah hanya
menghendaki suatu ajaran yang sama sekali didasarkan atas dalil-dalil naqli (nash)
yang sedikit atau bahkan tanpa bantuan akal sama sekali. Di dalam berbagai
bukunya, al-Asy‘ari, dalam rangka mendebat lawan-lawannya, seringkali justru
menggunakan dalil-dalil rasional, malah tidak jarang dalil naqli hanya
dikemukakan dalam rangka justifikasi dalil rasional yang dipergunakannya.
Butuh waktu hampir dua abad bagi
ajaran al-Asy‘ari untuk dapat diterima kaum keagamaan mayoritas, dan memerlukan
kemunculan seorang al-Ghazali yang memperbaiki dan membela teori-teorinya.
Sejak itu hingga kini, ajaran al-Asy‘ari mulai diterima dan malah menjadi
bagian baku ortodoksi Islam. Dengan ini, proses formulasi doktrin Sunni telah
mencapai tahap final formatifnya. Namun, bahwa ikhtiar manusia hampir-hampir
sepenuhnya dikalahi oleh Kehendak Tuhan adalah suatu ajaran yang tetap
mengundang kritik. Salah seorang di antara para pengritik paling serius
terhadap ajaran al-Asy‘ari adalah Ibn Taymiyyah, yang hidup sekitar empat abad
sesudah wafat al-Asy‘ari.
Ibn Taymiyyah: Jalan (Tengah)
Lain
Program utama Ibn Taymiyyah,
sebenarnya, tidak hanya terbatas pada masalah takdir, melainkan “menemukan dan
mengangkat kembali masyarakat Islam normatif awal yang didasarkan pada ajaran
al-Quran dan Sunnah, seperti ia melihatnya.”[25] Meskipun demikian, berbeda
dengan para pendahulu Sunni-nya, ia dapat melihat secara lebih kritis terhadap
generasi awal Islam. Tentang mereka, ia menulis,
Kesalahan kadang-kadang muncul dengan menganggap sesuatu yang tidak sah menjadi sah karena [salah] penafsiran; dan kadang-kadang meninggalkan apa yang wajib karena [salah] penafsiran; dan juga dengan mengalihkan apa yang tidak sah ke dalam bentuk penyembahan – seperti mereka [sahabat dan tabi’in] yang berperang satu sama lain dalam perang sipil [awal], karena mereka [salah] menafsirkan yang wajib dan yang terpuji, atau, seperti kelompok ahli fiqh [awal], ’Abdullah ibn Dawud al-Harbi (w. 213/828), yang mengatakan lebih baik minum nabidz [minuman yang mengandung alkohol dengan ukuran tertentu yang dianggap sama dengan bir] yang kontroversial daripada tidak meminumnya.[26]
Barangkali, jarak waktu yang
sudah cukup jauh serta berbedanya situasi-situasi sosial-politik yang dihadapi
Ibn Taymiyyah, membuatnya bisa lebih jernih melihat persoalan generasi awal
tersebut. Marilah sekarang kita mengikuti pokok-pokok pandangannya tentang
takdir.
Harus ditunjukkan, bahwa beberapa kelompok ahli teologi dan tasawuf telah melakukan kesalahan. Mereka sebenarnya telah mengadopsi pendapat yang jauh lebih buruk ketimbang Mu’tazilah dan lainnya yang mendukung kebebasan berkehendak. Karena kelompok yang disebut terakhir ini memberikan nilai yang besar kepada perintah dan larangan [Tuhan]; janji dan ancaman; dan ketaatan kepada Tuhan dan utusan-Nya; dan mereka memerintahkan pelaksanaan perbuatan baik dan melarang perbuatan buruk. Tetapi mereka tersesat dalam masalah kebebasan berkehendak. Mereka secara salah yakin bahwa jika mereka menegaskan Kehendak Kreatif Tuhan yang universal, kekuasaan-Nya yang serba meliputi dan kreativitas-Nya yang komprehensif atas segala sesuatu menimbulkan penolakan terhadap Keadilan dan Kebijakan-Nya. Mereka salah dalam keyakinan ini.
Berbeda dengan kelompok itu adalah segolongan ahli yang, ahli ibadah yang taat, sebagian di antaranya pendukung teologi dan tasawuf, menegaskan Kemahakuasaan Tuhan. Mereka benar-benar percaya bahwa Tuhan adalah penguasa atas segala sesuatu dan pemiliknya, dan bahwa apapun yang Dia Kehendaki pasti terjadi dan apapun yang tidak Dia Kehendaki tidak akan terjadi. Semua ini bagus dan benar. Tetapi mereka menahan [menjelaskan] perintah dan larangan Tuhan; janji dan ancaman. Sebagian di antara mereka menjadi berlebih-lebihan, ekstrim dan ahli bid’ah. Mereka sebenarnya telah menjadi sama dengan kaum musyrikin, yang mengatakan, “Jika Tuhan menghendaki niscaya kami tidak mempersekutukan-Nya, tidak juga bapak-bapak kami, tidak pula kami mengharamkan sesuatu” (QS. 6:148). Nah, para pendukung kebebasan berkehendak (qadariyyah), meskipun mereka menegaskan pelaku [utama adalah manusia], bukan Tuhan sebagai [sebab] kejahatan, kelompok [para penentang Mu’tazilah] ini menyerupai kaum musyrikin …
Gagasan yang esensial di sini adalah [sebagai berikut]. Seseorang yang telah menegaskan Kemahakuasaan Tuhan kemudian menjadikannya sebagai argumen untuk menghilangkan perintah dan larangan Tuhan adalah lebih buruk daripada seseorang yang hanya menegaskan perintah dan larangan Tuhan, tetapi tidak menegaskan Kemahakuasaan Tuhan [tetapi melakukan yang demikain itu untuk menegaskan manusia sebagai pelaku utama dan bebas]. Tidak hanya Muslim, tetapi pengikut agama [wahyu] lain juga sependapat terhadap [pendapat] ini, karena kenyataannya semua manusia berbuat. Karena [ini berarti] bahwa meskipun menegaskan Kehendak Tuhan yang Maha Kuasa dan menyaksikan kekuasaannya yang universal atas segala penciptaan-Nya, seseorang masih belum membedakan antara apa yang diperintah dan yang dilarang; dan [tidak membedakan] antara mereka yang mempunyai keimanan dan mereka yang menolaknya; dan [tidak membedakan] antara hamba Tuhan dan pemberontak-Nya. Orang semacam itu tidak dapat mengklaim beriman kepada Utusan atau Kitab Suci yang diwahyukan. Dalam pandangan orang semacam itu, Adam dan setan adalah sama; Nuh dan kaumnya adalah sama; Musa dan Fir‘aun sama; dan orang-orang yang memeluk Islam pertama [yang memahami kebenarannya tanpa menunda] dan penyembah berhala Makkah adalah sama.
Penyimpangan ini telah merajalela di kalangan para Sufi, asketik dan para penyembah yang taat. Ini benar, ketika mereka menyatukannya dengan monoteisme para teolog (semisal kaum Asy‘ariyyah) yang menegaskan Kemahakuasaan dan Kehendak Tuhan yang memaksa secara universal, tanpa menegaskan Kecintaan dan Rahmat Tuhan dan permusuhan serta ketidaksukaan-Nya. Orang-orang ini mengatakan, “Monoteisme adalah monoteisme kekuasaan” [yakni, hanya sebagai Pencipta-Pemelihara, bukan sebagai Penunjuk yang menjadi sumber petunjuk dan, karenanya, juga pahala dan siksaan]. Tentang “monoteisme ketuhanan”, mereka mereduksinya ke kekuatan untuk mencipta semata. Mereka tidak mengetahui [apa-apa tentang] monoteisme ketuhanan. Mereka tidak memahami bahwa ilah adalah sesuatu yang dituhankan dan disembah (anna al-ilah huwa al-ma’luh al-ma’bud). [Orang-orang semacam itu] tidak menyadari bahwa pengakuan mereka kepada Tuhan sebagai penguasa atas segala sesuatu semata tidak berarti seseorang sudah menyadari monoteisme yang benar, jika ia tidak bersaksi bahwa tidak tuhan kecuali Allah …
Alangkah sulitnya poin ini, sehingga banyak yang tergelincir di dalamnya. Juga banyak yang kehilangan pikiran di dalamnya, di mana agama kaum Muslimin telah didistorsi…
Umum dikaitkan dengan otoritas ’Abdul Rahman ibn Mahdi [w. 814] bahwa Sufyan al-Tsawri menolak istilah “keterpaksaan” (jabara). [Sebagai gantinya] ia mengatakan, “Tuhan “telah mencetak” atau “membentuk” (jabala) orang-orang yang terjamin [Tuhan telah membentuk watak manusia ketimbang menentukan perbuatan mereka].” Tujuan saya [dalam menyatakan semua tradisi ini] adalah bahwa al-Khallal [w. 923] dan lain-lain di kalangan orang terpelajar dimasukkan sebagai pendukung jabariyyah di bawah rubrik “kaum qadariyyah”. [Mereka dikategorisasikan demikian] meskipun mereka tidak menggunakan jabariyyah untuk membenarkan dosa. Lalu [bayangkan keputusan] terhadap mereka yang membenarkan dosa mereka dengan dasar jabariyyah? Jelaslah bahwa kaum Qadariyyah yang mengembangkan determinisme untuk membenarkan penghapusan perintah-perintah dan larangan-larangan Tuhan lebih tercela di hadapan Tuhan ketimbang yang jelas-jelas menolak determinisme Tuhan. [Ini karena] penyimpangan yang pertama lebih serius. Karena alasan ini kaum Qadariyyah disamakan dengan Murji‘ah oleh kalangan kaum salaf yang saleh. Alasannya adalah bahwa pembaharuan-pembaharuan [keterpaksaan Qadariyyah dan Murji‘ah] merusak perintah dan larangan Tuhan, di samping janji dan ancaman hukuman. Irja‘ [“penangguhan”—WK.] memperlemah keyakinan seseorang terhadap hukuman Tuhan dan mereduksi perintah-perintah dan larangan itu menjadi sangat sepele. Tentang seorang Qadari, ia menjadi pendukung Murji‘ah [jika ia membenarkan dosa berdasarkan determinismenya]. Dan jika ia menolak [determinisme], maka ia dan Murji‘ah akan berselisih.[27]
Disimpulkan oleh Rahman, bahwa
konsep takdir Ibn Taymiyyah secara sederhana adalah menerima takdir Tuhan
merupakan bagian esensial keyakinan Islam, tetapi meletakkan takdir sebagai
maaf atas kesalahan seseorang adalah dosa besar. Persoalannya, bagaimana Ibn
Taymiyyah dapat mengompromikan dua hal yang bertentangan ini? Secara bertahap
ia mengemukakan tiga argumen yang satu sama lain saling menunjang.
Pertama, Kehendak Tuhan terdiri dari dua jenis atau dua tingkat yang berbeda. Yang pertama ia sebut Kehendak Kreatif (iradah kawniyyah), yang kedua adalah Kehendak atau Perintah (moral) keagamaan (iradah diniyyah). Kedua aspek Kehendak Tuhan ini tidak hanya sejajar secara mekanis, tetapi disatukan dan dimasukkan ke dalam aktivitas Tuhan yang bertujuan, yang ditolak oleh al-Asy‘ari (yang memandang, misalnya: seorang Muslim yang taat dapat dimasukkan ke neraka, sebaliknya, seorang kafir dapat masuk surga; ini artinya, perintah Tuhan agar manusia taat dan beribadah kepada-Nya tak ada konsekuensinya bagi nasibnya, kelak orang semacam itu bisa celaka atau mendapatkan keselamatan, seluruhnya adalah Kuasa Mutlak Tuhan). Penjelasannya tentang adanya kejahatan adalah bahwa untuk mencapai kebaikan yang lebih besar hal itu diperlukan. Keburukan hanyalah insidental terhadap kebaikan dan relatif kecil dibanding dengan melimpahnya kebaikan.
Argumen kedua, Ibn Taymiyyah menegaskan bahwa takdir adalah Ketentuan Tuhan yang komprehensif, yang merupakan objek keimanan dan bukan dasar tindakan. Dalam kaitannya dengan keyakinan Muslim bahwa tidak ada sesuatu yang terjadi tanpa Kehendak Tuhan yang besar, adalah tautologi untuk mengatakan, misalnya, bahwa saya menulis baris-baris ini terjadi karena Kehendak Tuhan. Tetapi, hingga tulisan saya benar-benar terjadi, saya tidak tahu apa Kehendak Tuhan tentang tulisan saya. Karena itu, penisbatan saya atas tindakan, atau tindakan tertentu saya, tidak dapat dinisbatkan dengan tepat kepada Tuhan hingga masalah itu telah berlalu. Karena kita tidak pernah dapat mengetahui, setidaknya dengan pasti, apa Kehendak Tuhan yang akan terjadi untuk masa depan. Ditegaskan Rahman, “…jika, seseorang sudah berjuang, atau jika tanpa sadar dan tiba-tiba musibah menimpa dirinya tidak bisa lagi ditolak, ia harus menerimanya dengan sabar dan memuji Tuhan.”
Argumen ketiga, dengan memanfaatkan konsep sebab-sebab efisien dan teleologis Aristoteles, Ibn Taymiyyah menyatakan, “Takdir adalah kehendak Tuhan menjadikan segala sesuatu terjadi dan merupakan sebab efisien bagi semua. Sebaliknya perintah Tuhan, meskipun ia mengandaikan Kehendak tersebut, secara khusus berkaitan dengan masa depan, bukan dengan apa yang telah terjadi, tetapi apa yang harus terjadi.” Karena itu, perintah tersebut diarahkan kepada kehendak manusia dalam hubungannya dengan apa yang diharapkan akan muncul di dunia. Perintah tersebut adalah Syari‘ah. Manusia, sebagai agen yang berpikir dan aktif di dunia, karenanya, dituntut untuk mengimplementasikan Syari‘ah dalam konteks sejarah. Manusia diijinkan untuk menggunakan dan turut campur dengan kerja alam, meskipun beriman kepada Yang Maha Kuasa, bahkan kepada Kehendak Tuhan yang bertujuan harus tetap ada di balik pikiran mereka.[28]
Demikian konsep Ibn Taymiyyah,
dan kami kira, dalam merumuskan suatu jalan tengah, ia jauh lebih berhasil
daripada al-Asy‘ari.
Penutup
Dalam tulisan ini kami telah
berusaha menunjukan keterkaitan organik antara konsep takdir sesuatu aliran
teologi dalam umat Islam dan interdependensinya dengan masalah-masalah politik
yang menimpa umat Islam. Jelaslah sudah bahwa perbincangan takdir, yang secara
keseluruhan memakan energi umat Islam selama lebih dari tujuh abad, pada
awalnya dipicu oleh kebutuhan Dinasti Umayyah untuk melegitimasi kekuasaannya.
Tetapi, sekali doktrin ini dimunculkan respon yang muncul tidak hanya berasal
dari penentang-penentang politik Umayyah, tetapi juga kalangan kaum agamawan
yang saleh. Menurut kami, konsep-konsep takdir yang muncul sesudah itu selalu
berkaitan dengan legitimasi keagamaan atas sesuatu kekuasaan politik, kecuali
—sejauh menurut yang kami paparkan di atas— konsep-konsep yang dikemukakan oleh
al-Asy‘ari dan Ibn Taymiyyah.
[1] Lihat Ignaz Goldziher,
Pengantar Teologi dan Hukum Islam, terj. Hersri Setiawan, Jakarta: INIS, 1991;
William Montgomery Watt, Wacana Islam Klasik: Wacana Kritik Sejarah, terj.
Sukoyo dkk.,Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1999. Buku Watt membahas perkembangan seluruh teologi
Islam dalam periode sesudah tahkim hingga tahun 750 M, pada dasarnya merupakan
karya sekunder yang amat bermanfaat dan dapat dirujuk untuk keseluruhan periode
yang dibahas. Buku Goldziher harus dibaca secara hati-hati karena terdapat
beberapa pandangannya yang tidak dapat disetujui dari sudut pandang Islam,
terutama menyangkut bias-bias Judeo-Kristiani yang merupakan cerminan pandangan
orientalis klasik.
[2] Lihat hal ini dalam,
misalnya, Muhammad Husain Haekal, Umar bin Khattab, terj. Ali Audah, Jakarta:
Litera AntarNusa, 2003, cet-4, hlm. 364-366.
[3] Pandangan klasik pihak
ortodoksi Islam mengenai Fitnah al-Kubra Pertama itu disajikan oleh Harun
Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan, Jakarta:
UI-Press, 1986, cet-5, hlm. 3-5; lihat juga Muhammad Husain Haekal, Usman bin
Affan: antara Kekhalifahan dengan Kerajaan, terj. Ali Audah, Jakarta: Litera
AntarNusa, 2002, hlm. 137-144. Suatu versi yang berbeda (versi inilah yang
lebih saya percayai) dilaporkan oleh Imam Jalaluddin al-Suyuthi, Tarikh
Khulafa’: Sejarah Para Penguasa Islam, terj. Samson Rahman, 2001, hlm. 180-190.
Tentang bagaimana dampak Fitnah al-Kubra terhadap perkembangan sejarah umat
Islam kemudian, lihat analisis, misalnya Marshall G.S. Hodgson, The Venture of
Islam: Iman dan Sejarah dalam Peradaban Islam. Buku Pertama, terj. Mulyadhi
Kartanegara, 2002, cet-2, hlm. 306-315; William Montgomery Watt, Kejayaan
Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, terj. Hartono Hadikusumo, 1990,
hlm. 10-12; Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, Bagian Kesatu dan
Kedua, terj. Ghufron A. Mas’adi, Jakarta: RajaGrafindo Persada, hlm. 83 dan
seterusnya. Kedua orientalis yang disebut pertama tampaknya menerima pandangan
al-Suyuthi (salah satu dari dua penulis karya terkenal Tafsir al-Jalalayn).
[4] Dalam bagian berikut ini
tidak akan dibicarakan secara panjang lebar peristiwa itu dan kejadian-kejadian
penting yang mengikutinya secara detil, kejadian mana melibatkan berbagai versi
dari pihak-pihak yang berlawanan. Kami akan memberikan suatu garis besar,
berdasarkan versi yang paling memungkinkan terjadi sejauh menurut sumber-sumber
yang dapat kami peroleh dan dapat diterima sejauh menurut konsistensinya.
Uraian berikut didasarkan pada bahan-bahan yang, antara lain, sudah disebutkan
dalam catatan no. 3.
[5] Untuk kelompok-kelompok besar
(sub-sub sekte utama) Khawarij lihat Nasution, op.cit. hlm. 13-21. Bandingkan
dengan al-Syahrastani, Sekte-sekte Islam, terj. Karsidi Diningrat, Bandung:
Pustaka, 1996, hlm. 145-169, yang menyajikan rincian hingga kelompok yang
paling kecil. Perbedaan pandangan kelompok-kelompok itu juga
disajikan oleh kedua bahan tersebut.
[6] Belakangan konsep kharisma
dan kedekatan hubungan ini, dikembangkan oleh Syi‘ah menjadi doktrin: Nabi
telah me-nash-kan atau mewasiatkan Ali, untuk menjadi penggantinya! Tentu saja,
ide pokoknya adalah: memberikan justifikasi. Lihat, misalnya, Sayyid Husain M. Jafri, Dari Saqifah sampai Imamah: Awal dan Sejarah Perkembangan Islam Syiah, terj. Meth Kieraha, Bandung: Pustaka Hidayah, 1995, cet-2
[7] Pidato ini dikutip dari Watt,
Kejayaan Islam, hlm. 20.
[8] Dikutip dari ibid., hlm. 57.
[9] Untuk pembahasan ini lihat
Watt, Studi Islam Klasik, op.cit., hlm. 117-119; Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan
dan Manusia: Pendekatan Semantik terhadap al-Qur’an, terj. Agus Fahri Husein
dkk., Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997, hlm. 132-143. Profesor Izutsu telah
menyajikan gambaran singkat evolusi dari Dahr (dan berbagai istilah padanannya)
menjadi Allah.
[10] Bandingkan dengan Fazlur
Rahman, Islam, terj. Ahsin Mohammad, Bandung: Pustaka, 2002, cet-4, hlm. 117-119. Seluruh uraian
Rahman mengenai “Theologi Dialektis dan Perkembangan Dogma” dalam buku ini amat
berguna dan dapat dijadikan sebagai rujukan utama dalam perbandingan
posisi-posisi aliran-aliran teologi dalam Islam, meskipun disajikan secara,
sayangnya, amat ringkas.
[11]Pada umumnya, para ulama
menyepakati bahwa sebutan ini berasal dari kalimat, “Dan ada (pula) orang-orang
lain yang ditangguhkan sampai ada keputusan Allah; adakalanya Allah akan
mengazab mereka dan adakalanya Allah akan menerima taubat mereka…” (Surah
al-Tawbah, ayat 106).
[12] Lihat Watt, Kejayaan Islam,
op.cit., hlm. 72.
[13] Salah satu penjelasan yang
dapat diterima menyangkut tidak ditindaknya Hasan al-Bashri —bahkan
diperlakukan dengan amat hormat dan simpatik oleh Yusuf ibn al-Hajjaj (panglima
perang Umayyah yang paling dibenci karena kebengisannya itu)— adalah karena pandangan
takdirnya bersifat “pasif politik”. Karena itu, suatu preposisi umum barangkali
dapat dinyatakan: pokok yang akan ditindas oleh Dinasti Umayyah adalah
penentangan terhadap kekuasaannya, tidak peduli apapun posisi teologisnya. Jahm
ibn Shafwan adalah seorang penganut jabariyyah, tetapi pada akhirnya ia juga
dieksekusi mati oleh Umayyah (yang juga jabariyyah) karena Jahm melakukan
pemberontakan terhadap kekuasaannya.
[14] Untuk perkembangan ringkas
tentang subjek ini lihat Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam,
terj. Yudian W. Asmin, Jakarta: Bumi Aksara, 1995, hlm. 135-152.
[15] Ulama Mu’tazilah lain
berpendapat bahwa seorang fasiq tidak ditempatkan di neraka, melainkan
benar-benar di tengah-tengah antara surga dan neraka. Sesekali dia akan
merasakan nikmat surga, pada kali lain akan turut merasakan siksa neraka.
[16] Untuk uraian yang padat
namun mencakup, beserta beberapa perbedaan di kalangan Mu’tazilah sendiri
menyangkut rincian penjelasan mengenai al-ushul al-khamsah, lihat Nasution,
op.cit., hlm. 41-56.
[17] Seorang sarjana Maroko
memberikan uraian tentang “teori perasan” terhadap kelima dasar itu yang
berpangkal pada “doktrin kembar” Mu’tazilah: “Ketawhidan” dan “Keadilan” Tuhan,
lihat Mohammed Abid al-Jabiri, Post Tradisonalisme Islam, Yogyakarta: LKiS,
2000, hlm. 46-57. Buku terakhir ini merupakan kumpulan sejumlah karangan
al-Jabiri yang dikompilasi dan diterjemahkan serta diberi pengantar yang amat
baik menyangkut proyek “Kritik Nalar Arab” al-Jabiri, oleh Ahmad Baso.
[18] Rahman, op.cit., hlm. 122.
[19] Goldziher, op.cit., hlm.
43-44.
[20] Bahwa teori kasb al-Asy‘ari
cukup rumit juga diakui oleh orang sekaliber Nurcholish Madjid, lihat bukunya
Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan,
Kemanusiaan dan Kemodernan, Jakarta: Paramadina, 2000, cet-5, hlm. 282.
[21] Uraian mengenai teori kasb
al-Asy‘ari di atas dan penjelasan al-Baghdadi berikut ini didasarkan pada
Nasution, op.cit., hlm. 106-111. Lihat juga, Fazlur Rahman, op.cit., juga buku
Rahman yang lain, Kebangkitan dan Pembaharuan Di Dalam Islam, terj. Munir,
Bandung: Pustaka, 2001, hlm. 65-70, dan Ibrahim Madkour, op.cit., hlm. 180-184.
[22] Lihat William Montgomery
Watt, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam, terj. Umar Basalim, Jakarta: P3M,
hlm. 105.
[23] Dikutip dari Madjid,
op.cit., hlm. 275.
[24] Kutipan ini merupakan
ringkasan yang diberikan oleh Madjid, ibid., hlm. 276.
[25] Rahman, Kebangkitan,
op.cit., hlm. 160. Pembahasan atas sub topik ini, kami dasarkan selain pada
buku tersebut juga buku Rahman yang lain, Islam, op.cit.
[26] Tulisan Ibn Taymiyyah dalam
karyanya al-Istiqamah ini dikutip dari Rahman, Kebangkitan, op.cit., hlm. 161.
[27] Dikutip, dengan penyuntingan
dari Rahman, Kebangkitan, op.cit., hlm. 181-185.
[28] Tiga argumen Ibn Taymiyyah
ini kami ringkas dari Rahman, Kebangkitan, op.cit., hlm. 186-189.