Weko Kuncara
Betapapun Islam telah menyebar ke Jawa sejak abad ke-13,
namun kultur Islam hanya sebagian saja membentuk kepribadian masyarakat Jawa.
Malahan boleh jadi pengaruh Islam itu, untuk sebagian lagi, tidak membentuk
kepribadiannya sama sekali. Biasanya, mereka ini disebut orang abangan.
Kaum pembaharu Islam yang muncul di awal 1970-an menganggap hal ini sebagai
proses Islamisasi yang belum selesai. Sementara itu, kenyataan yang tampak di
masyarakat belum tuntasnya Islamisasi inilah yang menonjol, setidaknya sampai
akhir 1980-an. Kebanyakan masyarakat Jawa masih berpandangan hidup “Kejawaan”
(Kejawen) daripada Islam. Istilah-istilah Islam statistik, Islam nominal atau
Islam KTP akrab di telinga kita untuk
menunjuk realitas ini. Hal ini tidak saja berpengaruh terhadap perilaku
masyarakat dalam praktik keagamaan kesehariannya, namun juga memberikan
bekasnya pada praktik kenegaraan Indonesia dalam periode yang
disebut Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru. Sekurang-kurangnya dua periode
tersebut dapat dicitrakan secara demikian. Petunjuk-petunjuk ke arah ini
sebenarnya berupa potongan-potongan yang berserakan, namun memberikan arah yang
jelas. Soekarno, misalnya, sejak semula telah mempersepsikan dirinya sebagai
bapak yang selalu mengayomi tapi harus ditaati “anak-anaknya” (Haris 1995,
153). Soeharto sejak mula sekali telah dikenal sebagai seorang penganut
ideologi abangan. Beberapa orang di sekitarnya, seperti Surono dan Soejono
Hoemardani, merupakan orang-orang Kejawen yang berpengaruh. Manuver terpenting
Soeharto dalam hal ini adalah upayanya memasukkan Aliran Kebatinan dalam salah
satu Ketetapan MPR tahun 1978 yang membahas garis-garis besar haluan negara.
Pikiran-pikirannya yang dikumpulkan dalam Butir-butir Budaya Jawa (1990)
memperkuat citra abangan Soeharto (Sujamto 1992, 114-115).
Tulisan ini berusaha memaparkan citra itu dalam kaitannya
dengan persoalan kuasa dan wibawa. Walaupun dasar-dasar yang dikembangkan di
sini bermanfaat juga untuk menelaah citra kekuasaan Soeharto, namun mengingat
keterbatasan waktu, pembahasan hanya diarahkan pada figur Soekarno saja. Citra
ini barangkali membantu menjelaskan mengapa pesona dan kharisma Soekarno terus
bertahan hingga dewasa ini. Citra ini barangkali pula memperjelas gambaran
bagaimana persepsi rakyat Jawa terhadap "Raja Jawa tanpa mahkota" yang pertama
itu setelah kepergian orang-orang kulit putih.[1] Sebagai kajian teoretik,
katakanlah demikian, akan diuraikan terlebih dahulu basis ideologi bagi praktik
kekuasaan presiden pertama RI tersebut.
Religi Jawa sebagai Basis Ideologi
Tulisan ini memaknai religi Jawa sebagai sebuah bentuk
religi inovasi orang Jawa dengan berdasarkan sumber-sumber animisme, Hinduisme,
Buddhisme dan Islam. Inovasi ini menghasilkan suatu religi yang sama sekali
baru dan memiliki perbedaan mencolok dengan sumber-sumbernya yang semula.
Walaupun tentu saja beberapa pokok ajarannya dapat dilacak pada tiap-tiap
sumber tersebut.
Religi Jawa pada dasarnya menghendaki keselarasan.
Keselarasan antara makrokosmos, tata alam semesta, dan mikrokosmos, yakni
manusia itu sendiri. Alam semesta telah ditata sedemikian rupa menurut
aturan-aturan yang pasti demi menjaga keselarasan tersebut. Pada tingkat makro,
pergiliran siang dan malam, peredaran planet-planet mengelilingi matahari,
pergantian musim kering dan hujan, siklus kelahiran, kedewasaan, penuaan dan
akhirnya kematian, merupakan bukti-bukti adanya keselarasan alam semesta. Semua
yang terjadi pada dasarnya telah diatur dan ditempatkan menurut yang semestinya.
Keteraturan ini tidak boleh diganggu karena hanya akan menyebabkan kekacauan
tata alam semesta. Adanya kekacauan, misalnya bencana alam, pada alam semesta
dibaca sebagai adanya gangguan terhadap tata keselarasan tersebut. Keteraturan
alam semesta ini dicitrakan kepada negara, sebagai replika dari
keteraturan tersebut. Jawa memiliki konsepsi replika alam yang meskipun tidak
berbelit-belit namun disederhanakan terlalu berlebihan. Misalnya, yang telah
disebut di depan, alam semesta sebagai makrokosmos dan manusia sebagai
mikrokosmosnya.
Sebagaimana halnya tata alam semesta yang tidak boleh
diganggu dan tidak mungkin berubah aturan-aturannya, negara pun dipandang
demikian. Negara “harus memiliki kecenderungan-kecenderungan dan
kemampuan-kemampuan tata yang lebih tinggi itu, yaitu kekuasaan yang, sebagai
bagian dari Tata Raya, tak seorang rakyat atau kawula pun berani membatasi atau
mengganggunya” (Moertono 1985, 5). Pada puncak negara kokoh berdiri raja
sebagai pengaturnya. Sekali lagi replika terjadi di sini. Apabila Tata Alam
Semesta dipimpin oleh Tuhan yang kekuasaan-Nya mutlak, negara dipimpin oleh
raja. Maka, demi keteraturan, baik negara maupun raja memiliki kekuasaan yang
mutlak tidak terbatas. Raja diyakini sebagai perwakilan Tuhan di bumi, sebagai
bentuk avatara (titisan, penjelmaan) Dewa dari langit, meminjam konsepsi
Hinduisme. Dua hal tersebut memantapkan absoluditas penguasa negara, sang raja.
Walaupun raja dan rakyat dianggap sama pentingnya, yang
dengan demikian segi fungsional merupakan satu-satunya perbedaan, namun di
antara keduanya terdapat hubungan momongan. Ini berarti pamong (yang melakukan
momongan) memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari yang mendapat momongan
(kawula). Implikasinya adalah kawula harus patuh pada yang melakukan momongan
(Moertono 1985, 30-31). Hal ini juga menunjukkan bahwa hubungan antara raja dan
rakyatnya mengikuti contoh kasih sayang dalam ikatan keluarga (Moertono 1985,
17).[2]
Hubungan antara raja dan rakyat juga dijelaskan dalam konsep
manunggaling kawula-gusti (menyatunya abdi-tuan) yang menunjukkan bahwa
keduanya, walaupun berbeda, yaitu satu lebih rendah dan lainnya lebih tinggi,
sesungguhnya merupakan dua aspek yang berbeda dari hal yang sama. Tat tvam asi,
“aku adalah mereka”. Bahwa “semua benda hanya merupakan aspek, çakti, pancaran,
bagian integral dari ke-Esa-an Utuh yang menyeluruh, yang meliputi segala
sesuatu, dan ini diwujudkan dalam dewa Sang Hyang Wenang (Yang Maha Kuasa) atau
lebih dikenal dalam putranya, Sang Hyang Tunggal (Yang Esa)”(Moertono 1985,
25). Konsepsi ini mengingatkan kita pada teologi Hindu yang menjelaskan bahwa Brahman
sebagai asal-muasal dari segala yang ada di alam semesta ini pada dasarnya
terdapat dalam atman, jiwa manusia sendiri. Antara manusia dan Tuhan
dimungkinkan dapat menyatu karena adanya kesamaan unsur antara keduanya, yaitu
unsur nur (Arab) atau suksma (India).
Apabila antara Tuhan (Gusti) dan manusia (kawula) dapat menyatu, apalagi antara
sesama manusia sendiri, meskipun itu adalah antara raja (gusti) dan rakyat
(kawula) sebagai bentuk replikanya.
Konsepsi ini sekaligus mengimplikasikan pada adanya
perbedaan status antara raja sebagai gusti, yang lebih tinggi, dan rakyat
sebagai kawula, yang lebih rendah. Keyakinan
bahwa raja adalah titisan Tuhan di bumi memberikan konsekuensi bahwa
perintah-perintah raja merupakan isyarat dari tuhan kepada manusia untuk
memelihara keteraturan dan keselarasan alam semesta atau untuk mengembalikannya
pada keteraturan bila ada gangguan; tidak memungkinkan bagi rakyat untuk
mengucapkan tidak bagi setiap perintah raja.
Akhirnya, ketundukan rakyat terhadap raja diperkuat dengan
adanya pemahaman fatalistik pada masyarakat Jawa. Setiap hal yang terjadi pada
manusia dianggap telah merupakan ketentuan dari Tuhan yang mesti dijalankan.
Berhubungan dengan ini, termasuk dalam memandang posisi rakyat sebagai kawula,
diyakini sebagai titah dari tuhan yang mesti dijalaninya karena memang itulah
yang terbaik baginya.
Keyakinan terhadap keniscayaan-kenisayaan ramalan Jayabaya
juga sangat mempengaruhi praktik religi orang Jawa.[3] Ada kemungkinan kepecayaan
ini sejalan dengan konsep takdir orang Jawa di atas. Jayabaya, yang secara
historisnya adalah Raja Kediri ini, diyakini mampu meramalkan keadaan masa
datang dengan melihat hanya makanan yang disajikan kepadanya setiap hari. Walaupun
hiruk-pikuk ramalan Jayabaya —terutama menyangkut kedatangan Ratu Adil— muncul
sangat terlambat, yakni pada jaman penjajahan Belanda, namun ramalan itu
diyakini berasal dari Raja Jayabaya sendiri. Pujangga Jawa dari Keraton
Surakarta, Raden Ngabehi Ranggawarsita, menghimpun ramalan-ramalan itu dalam
Serat Jangka Jayabaya. Salah satu ramalannya yang terkenal dan akrab di telinga
kita adalah “Sekarang ini adalah jaman pancaroba, semua orang sedang dalam
kegilaan, yang tidak turut gila tidak kebagian.” Yang relevan dalam kajian ini
adalah ramalan tentang akan munculnya seorang Ratu Adil Herucokro (Raja
Bijaksana Penguasa Alam) pada saat makin menderitanya penduduk Jawa. Sebelum
kedatangannya, penduduk Jawa terlebih dahulu akan merasakan masa kegalauan dan
kegelapan yang sangat, yang kemudian dibebaskan oleh Ratu Adil tersebut. Masa
ini, yakni penderitaan dan pembebasannya, akan berulang sampai tiga kali sampai
akhirnya Jawa lenyap dari bumi.
Citra Jawa Kekuasaan Soekarno
Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis) adalah temuan
terbesar Soekarno. Dibentuknya ajaran ini dimaksudkan olehnya untuk menyatukan
semua kekuatan-kekuatan revolusioner pada jalur revolusi “yang sebenarnya”,
sepenuhnya di bawah bimbingannya. Orang boleh saja bertanya-tanya, mana mungkin
tiga ideologi yang saling meniadakan satu sama lain itu hendak dipersatukan.
Jawabannya ada pada ajaran Jawa mengenai keselarasan, ketertiban, tata, dan
kesatuan. Semuanya berasal dari yang satu. Sudah sejak 1921, Soekarno mengatakan
bahwa ketiganya dapat dipertemukan, walau masih samar-samar. Soekarno
berpidato,
Setelah tercipta kondisi-kondisi yang cocok, dan setelah terbentuk parlemen kita sendiri, yang benar-benar mewakili rakyat, maka Sarekat Islam hendaknya jangan menghentikan kegiatannya; ia harus terus bekerja untuk memperkokoh demokrasi dan Islam di Indonesia, dan untuk menghapuskan kapitalisme. Apa gunanya kita punya pemerintah sendiri, jika ia masih dikuasai oleh penganut-penganut kapitalisme dan imperialisme. (dalam Dahm 1987, 51).
Bernard Dahm, sejarahwan Jerman, menjelaskan bahwa
nasionalisme diungkapkan oleh Soekarno sebagai “kondisi-kondisi yang cocok”
(karena kondisi di sini dimaksudkan sebagai yang cocok bagi Indonesia).
Lalu ada sosialisme yang perlu “menghapuskan kapitalisme”, sambil sekaligus
“memperkokoh demokrasi dan Islam” (Dahm 1987, 51).
Pada tahun 1926 Soekarno menegaskan,
Saya tak menyangkal, bahwa ada perbedaan-perbedaan yang kecil tentang asas dan taktik, tetapi perbedaan-perbedaan itu tidaklah begitu besar atau fundamentil untuk menjadi sebab perpisahan satu sama lain. Saya malahan berkata, bahwa di dalam tiap-tiap partai adalah perbedaan-perbedaan yang kecil itu antara golongan-golongan di dalam partai itu, bahwa di dalam tiap-tiap partai satu pihak adalah lebih “sengit” dan satu pihak sedikit lebih “tenang”.Saya, karena hal-hal itu semua, tak jemu-jemu menganjurkan persatuan, tak jemu-jemu mendinginkan segala rasa kepanasan hati, tak jemu-jemu mencoba menghilangkan segala kesalah pahaman (Soekarno 1959, 167).[4]
Di sini dia mulai menjelaskan bahwa ketiga ideologi
dipertentangkan satu sama lain karena adanya salah paham. Dan itulah yang
kemudian betul-betul dia lakukan, meluruskan kesalahpahaman. Sambil mengutip
Mahatma Gandhi, nasionalisme dipahami sebagai berikut, “Buat saya, cinta saya
pada tanah-air itu, masuklah dalam cinta pada segala manusia. Saya ini seorang
patriot, karena saya manusia dan bercara manusia. Saya tidak mengecualikan
siapa juga.” Dia tekankan bahwa Islam, di Timur Tengah, menjadi pengemban
semangat orang-orang nasionalisme demi kemerdekaan mereka. Semangat anti kafir
Islam tidak bisa tidak menimbulkan nasionalisme, karena yang disebut kafir
bukanlah bangsanya sendiri, tetapi Barat. Marxisme dijelaskannya sebagai tidak
harus didasarkan pada materialisme filosofis. Ia membedakan antara materialisme
filosofis dengan materialisme historis. Yang pertama adalah suatu filsafat,
yang seperti kebanyakan filsafat atau teori, bisa dipercayai namun juga tidak.
Sedang materialisme historis adalah ilmu yang menggunakan penalaran eksak, dan
karena itu pasti benar. Oleh karenanya tidak relevan mempersoalkan sikap
anti-Tuhan Marxisme. Mempercayai materialisme historis tidak perlu bertentangan
dengan kepercayaan Ketuhanan. Meyakini kebenaran materialisme filosofis-lah
yang bertentangan dengan Ketuhanan. Contoh-contoh argumen ini sekadar untuk
mengilustrasikan bahwa Soekarno terus-menerus berupaya mempersatukan ketiga
ideologi tersebut dan menafikkan perbedaan-perbedaan pokok ketiganya dalam
artikelnya yang berjudul Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme (Nasamarx)
(1926). Selanjutnya, dengan tersingkapnya kesalahpahaman antara ketiga ideologi
itu dia menyerukan persatuan sambil memberikan kiat demi persatuan tersebut.
“Kita harus bisa menerima, tetapi juga harus bisa memberi. Inilah rahasianya
Persatuan itu. Persatuan tak bisa terjadi, kalau masing-masing pihak tak mau
memberi sedikit-sedikit pula”(DBR, 23).
Hanya Soekarno, yang demikian gandrung persatuan, yang mampu
mempertemukan semua aliran pergerakan. Atas usahanya pula pada 17 Desember 1927
dibentuk Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI), yang
menghimpun 7 partai terbesar saat itu. Dikatakannya
Hendaknya kita tidak mengemukakan soal-soal yang dapat membahayakan permufakatan kita. Umpamanya, kita hendaknya jangan membicarakan soal koperasi dan nonkoperasi – soal apakah kita akan bekerjasama dengan pemerintah atau tidak. Tapi marilah kita mencari hal-hal yang mendekatkan kita satu sama lain. Marilah kita tonjolkan segala hal yang mempersatukan kita” (dalam Dahm 1987, 98).
Dengan menonjolkan kesamaan dan hampir-hampir meniadakan
perbedaan yang prinsipil, tanpa disadari, Soekarno sebenarnya membuat kesatuan
yang semu. Letak bahayanya adalah, kesatuan segera bubar manakala pemersatunya
tiada hadir di tempat. Tetapi sintesis Nasamarx semakin mantap tatkala pada 14
Juni 1941 ia menulis,
Ada orang mengatakan Sukarno itu nasionalis, ada orang mengatakan Sukarno bukan lagi nasionalis, tetapi Islam, ada lagi yang mengatakan dia bukan nasionalis, bukan Islam, tapi Marxis, dan ada lagi yang mengatakan dia bukan nasionalis, bukan Islam, bukan Marxis, tetapi seorang yang berfaham sendiri. Golongan yang tersebut belakangan ini berkata: mau disebut dia nasionalis, dia tidak setuju dengan apa yang biasanya disebut nasionalisme; mau disebut dia Islam, dia mengeluarkan faham-faham yang tidak sesuai dengan fahamnya banyak orang Islam; mau disebut Marxis, dia…sembahyang; mau disebut bukan Marxis, dia “gila” kepada Marxis itu!…Apakah Sukarno itu? Nasionaliskah? Islamkah? Marxiskah? Pembaca-pembaca, Sukarno adalah…campuran dari semua isme-isme itu.!(DBR, 507).
Dengan demikian Nasakom yang diperkenalkan pada 1961,
bukanlah suatu gagasan tiba-tiba menyangkut situasi kontemporer saat itu, tapi
merupakan realisasi final dari gagasan
kesatuan Soekarno sejak tahun 1920-an. Itulah yang dikatakannya kemudian, “Aku
masih tetap Soekarno dari tahun 1927.” Gagasan kesatuan ini, seperti dijelaskan
di muka, adalah ajaran Jawa yang telah berusia berabad-abad. Tat tvam asi (Aku
adalah Mereka) atau Bhinneka tunggal ika (Berbeda-beda tapi satu jua) sebagai
idiom Jawa Kuno dikemas secara modern oleh Soekarno menjadi Nasakom.
Langgengnya persatuan, di bawah nama apapun, mengandaikan
satu persyaratan, yakni “sebuah partai dengan disiplin yang ketat dan yang
pucuk pimpinannya diberi kekuasaan yang hampir diktatorial,” jelas Soekarno
seperti dikutip Dahm (1987, 189). Gagasan adanya orang kuat dari Soekarno ini
nampaknya sejalan dalam teori dan praktiknya. Apabila dalam teori Soekarno
menjelaskan bahwa
Partai di dalam kalbu sendiri tidak boleh berdemokrasi…Demokrasi yang boleh di dalam kalbunya partai-pelopor bukan demokrasi biasa, demokrasi partai pelopor itu adalah demokrasi yang dengan bahasa asing dinamakan demokrasi-sentralisme: suatu demokrasi yang memberi kekuasaan pada pucuk pimpinan buat menghukum tiap-tiap anggota atau bagian-partai yang membahayakan strijdpositie-nya massa (DBR, 305).
Maka dalam praktik telah dibuktikan kemanjurannya oleh
dirinya sendiri. Segala macam persatuan yang diusahakannya pada tahun 1927
berantakan manakala dia meringkuk dalam tahanan pemerintah kolonial. PPPKI
bubar. Bahkan partainya sendiri bubar akibat perbedaan pendapat antara faksi
Sartono —yang di sini termasuk Soekarno— dan Hatta-Sjahrir. Faksi terakhir ini
akhirnya mendirikan PNI-Baru (Pendidikan[5] Nasional Indonesia Baru), sedangkan
Sartono mendirikan Partindo (Partai Indonesia), tempat mana akhirnya
Soekarno bergabung. Barangkali pula periode parlementer yang porak-poranda
akibat ketiadaan persatuan makin meyakinkan Soekarno akan perlunya pemimpin
rakyat yang mampu mempersatukan. Dan pemimpin itu tiada lain adalah dirinya
sendiri. Maka Februari 1957, dia menawarkan Konsepsi Presiden yang isinya
antara lain hendak mengembalikan UUD 1945 sebagai konstitusi RI. Berpalingnya
Soekarno pada UUD ‘45 bukanlah kebetulan. Hampir semua pengamat politik sepakat
bahwa kekuasaan Presiden menurut konstitusi itu adalah tak terbatas. Soepomo
sendiri sebagai perancang UUD ’45 mengakui bahwa negara yang diidealkan dalam
konstitusi itu, yang disebut sebagai negara integralistik atau kekeluargaan
merupakan “nama lain untuk negara totaliter sebagaimana dipraktikkan oleh
Nazisme Jerman dan fasisme Jepang” (Haris 1995, 156).
Ketika konsepsinya ditolak, dengan dukungan tentara, dia
mengeluarkan dekrit 5 Juli 1959 yang terkenal. Mulai saat itu posisinya sebagai
pemimpin besar —yang telah disandangnya sejak masa pendudukan Jepang— kembali
lagi dan tanpa ada yang mampu menggoyahkannya. Konstituante yang secara
kelembagaan mestinya berada di atasnya, malah dibubarkan olehnya. Tidak saja
posisinya sekarang sebagai Presiden menurut UUD ‘45 kembali, tetapi berbagai
gelar –yang makin membuatnya mirip dengan raja-raja Jawa masa lampau—
dilekatkan kepadanya. Juru Penerang Agung, Panglima Besar Revolusi, Nelayan
Agung, Mandataris Amanat Penderitaan Rakyat, Penyambung Lidah Rakyat,
Mahaputera Irian Barat, adalah sedikit gelar-gelar yang sempat dicatat oleh Ulf
Sundhaussen (1988, 300), seorang pengamat militer dari Australia. Lebih lanjut
Sundhaussen menjelaskan,
Istana presiden…pada akhirnya memamerkan suasana “Bizantium yang aneh”. Berdebat dengan presiden atau menyangsikan kebijaksanaannya dianggap sebagai perbuatan mencemarkan keramat. Bahkan kritik yang lunak sekalipun mengenai kebijaksanaan Presiden harus ditujukan kepada penasehatnya dan bukan kepada Presiden pribadi, dan harus disertai ungkapan-ungkapan secukupnya yang memuji “Panglima Besar Revolusi”(1988, 300).
Kiranya tak ada yang dapat menunjukkan dengan lebih baik
bahwa Soekarno sedang bertindak bagai seorang raja-raja Jawa di masa lampau
daripada ketetapan MPRS (yang para anggotanya ditetapkan olehnya sendiri) tahun
1963 untuk memilihnya sebagai Presiden Seumur Hidup, serta bahwa dia
“mengharuskan pembantu-pembantunya (anggota kabinetnya, WK) menghadap kepadanya
tiap pagi untuk suatu levee (odiensi pagi setelah sang raja bangun)…”
(Sundhaussen 1988, 300).
Absoluditas Soekarno ini dapat diterangkan juga dari sudut
konsepsi kekeluargaan yang telah dijelaskan di atas. Dalam suatu negara yang dikembangkan
berdasarkan prinsip kekeluargaan, penguasa sebagai pihak yang melakukan
momongan lebih mengetahui segala keperluan yang menyangkut hajat negara, rakyat
—yang di-emong— hanya tunduk menjalankan perintah saja.
Di atas segala-galanya Soekarno agaknya yakin —atau
diyakinkan oleh rakyatnya—bahwa dia
adalah —atau sangat menikmati kedudukan sebagai— Ratu Adil bagi penduduk
Jawa yang telah dijanjikan dalam Jangka Jayabaya, untuk membebaskan Jawa dari
penderitaan akibat penjajahan kulit putih. Semula rakyat menaruh harapan pada
Tjokroaminoto, yang sangat cemerlang. Kesamaan nama “Cokro” dalam Tjokroaminoto
dan Ratu Adil Herucokro terlalu sukar bagi orang Jawa untuk sekadar disebut
sebagai kebetulan, sehingga mereka meyakini bahwa dialah Ratu Adil yang dimaksud.
Namun setelah menunggu kurang lebih 10 tahun tak ada kemajuan selain pidato
demi pidato yang kontradiktif (antara pembebasan dari dan loyalitas pada
pemerintah kolonial) harapan itu pupus. Rakyat Jawa begitu tersentak ketika
tahun 1926 muncul seorang muda usia dengan penuh energik menggembar-gemborkan
hal yang dulu pernah mereka dengar dari Tjokroaminoto dan dengan gaya yang sama. Ya,
Soekarno memang mewarisi gaya
pidato oratorik Tjokroaminoto, Sang Tutor Politik terbesar. Berulang kali
ditandaskan oleh Soekarno bahwa “saya telah belajar politik dari Tjokro.” Sejak
itu popularitasnya tak pernah turun kembali kecuali dalam dua masa. Yakni,
tahun 1930-an, pada saat santer isu bahwa dia meminta ampunan pada pemerintah
kolonial di tahun 1930-an dan saat berkolaborasi dengan Jepang. Bila terhadap
yang terakhir ini kita bisa dengan tegas mengatakan tidak, tetapi untuk yang
pertama —yaitu permintaan ampun— sampai sekarang masih terus menjadi
perdebatan. Namun demikian, tetap saja keduanya hanya sedikit saja mengurangi
popularitasnya. Pada tahun 1943, laporan penyelidikan Jepang mencatat,
“Namanya disebut oleh setiap orang, tak peduli apakah mereka mengenalnya atau tidak; orang-orang Indonesia dari semua golongan memikirkan perihal keadaannya”… Mereka berbicara tentang desas-desus seperti yang menyatakan bahwa ‘Sukarno akan menjadi raja Nusantara’ dan bahwa ‘orang-orang Jepang akan mengangkatnya menjadi Gubernur Jenderal’. Padahal mereka sama sekali tidak mengerti politik” (dalam Dahm 1987, 268).
Bahwa Soekarno memang sentral perjuangan Indonesia tak
ada yang memungkiri. Kenyataan bahwa pergerakan terasa mandeg dan berat sekali
jalannya pada saat dia meninggalkan gelanggang tersebut karena harus meringkuk
dalam tahanan dan tak sampai dua tahun kemudian dibuang keluar Jawa sampai
kedatangan Jepang, kuat membuktikan hal ini. Yang paling nyata adalah kenyataan
bahwa hampir semua kaum pergerakan yakin bahwa hanya Soekarno-lah yang harus
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Karena tanpa kehadirannya, proklamasi pasti tidak akan didukung rakyat. Ini
berlaku bahkan bagi lawan utama Soekarno, Sutan Sjahrir. Walaupun dalam
perdebatan keduanya adalah lawan yang seimbang, namun di hadapan rakyat Sjahrir
terlalu kecil pengaruhnya.[6] Kemampuan
pidato Soekarno yang seolah-olah menghipnotis para pendengarnya untuk melakukan
apa saja yang diperintahkannya juga menunjukkan lekatnya Soekarno bagi
rakyatnya. Contoh yang paling fantastis adalah peristiwa di lapangan Ikada pada
September 1945.
Setelah proklamasi kemerdekaan, ternyata Jepang tidak segera
menyerahkan kendali pemerintahan kepada republik. Jepang juga tidak mau
meletakkan senjata padahal tentara sekutu segera mendarat. Jadi rakyat
seolah-olah dibiarkan dalam keadaan dijepit oleh dua kelompok kekuatan bersenjata. Melihat
keadaan ini, golongan muda yang dipelopori oleh Adam Malik melakukan agitasi
pada rakyat untuk melakukan pemberontakan kepada Jepang yang dimulai di
lapangan Ikada, Jakarta.
Sekitar 200.000 orang berkumpul di lapangan dalam tensi emosi yang meninggi. Di
sekelilinginya terdapat tentara Jepang yang bersenjata lengkap. Soekarno yang
dilapori keadaan ini segera mendatangi kerumunan massa dan naik ke podium. Dia hanya berpidato
selama lima
menit. Menekankan bahwa jika rakyat masih mempercayainya harus juga percaya
kepada langkah-langkah yang dia tempuh. Dijanjikannya bahwa kemerdekaan pasti
dipertahankan. Sebagai bukti bahwa rakyat masih mempercayainya, sekarang mereka
diharap pulang dengan tenang dan tertib dan mempercayakan segala sesuatunya
pada dirinya, Soekarno, sang pemimpin rakyat. Bagaikan terhipnosis, 200.000
orang segera meninggalkan lapangan dengan tenang. Tak ada kejadian apa-apa.
Golongan muda pastilah sangat kecewa karena agitasi mereka, yang nampaknya akan
membuahkan hasil, dapat dipatahkan.
Soekarno juga memiliki apa yang tidak dimiliki kaum kaum
pergerakan, tetapi justru dibutuhkan oleh rakyat. Yakni keyakinannya bahwa dia
mampu menyuarakan apa yang ingin disuarakan orang tapi tidak mampu
melakukannya. Soekarno mampu menjeritkan tangisan-tangisan rakyat, dan rakyat
memandang bahwa suara Soekarno adalah suara mereka sendiri. Inilah yang antara
lain dimaksud dengan konsep “keselarasan” di depan. Keselarasan antara rakyat
dengan pemimpinnya. Menegaskan hal ini adalah kemampuan Soekarno yang luar biasa
dalam menggunakan bahan-bahan asli Jawa, mitos-mitos yang diyakini
kebenarannya, untuk menjelaskan kondisi riil yang dihadapi oleh rakyatnya.
Pengidentifikasian kaum kolonial sebagai Kurawa dan kaum pergerakan sebagai
Pandawa; pemerintah penjajah adalah Dasamuka (Rahwana), sedang kaum pejuang
adalah pasukan Rama; penggodokan Gatotkaca dalam kawah Candradimuka agar kebal
senjata (otot kawat balung wesi); Nanggala, senjata Kakrasana (nama muda Raja
Baladewa dari Kerajaan Mandura) untuk mendapatkan negaranya kembali; merupakan
cerita-cerita yang sangat dikenal baik oleh rakyat lewat satu-satunya hiburan
massal yang masih tersisa untuk mereka: pertunjukan wayang kulit.
Melihat semua kemampuan itu, yang memang tiada bandingannya,
rakyat mana atau bahkan kita sendiri jika hidup pada masa itu —yang menderita
sejak lahir dan di saat yang sama menelan kabar-kabar ramalan Jayabaya setiap
harinya— yang tidak tergoda untuk meyakini bahwa Soekarno-lah, yang karena
mampu menyuarakan penderitaan dan mengupayakan pembebasannya itu, Ratu Adil
yang dimaksud. Dia adalah harapan semua orang, dan, nyatanya, bahkan harapan lawan-lawan
politiknya.
Penutup
Penerapan pola kekuasaan raja-raja Jawa —demikianlah
sekarang kita dapat mencitrakannya— seperti yang dipraktikkan oleh Soekarno
melahirkan sistem politik yang sentralistik. Semua keputusan diambil oleh satu
orang. Soekarno terus mempertahankan sistem ini dengan bertumpu pada
kewibawaannya yang dapat diperoleh karena kharisma sebagai founding father,
reputasi di masa pergerakan yang nyaris legendaris, serta pemanfaatan
kepercayaan rakyat akan mitos Ratu Adil. Tetapi manakala sistem sentralistik
ini dihadapkan pada riil politik, ia ternyata tidak begitu lama bertahan.
Perhatiannya yang hanya tertuju pada agitasi taraf internasional, di satu sisi,
membuat kehidupan rakyat terabaikan. Di sisi lain, ketidakpuasan meningkat
terus-menerus diakibatkan tersumbatnya arus demokrasi yang telah menjadi
tuntutan jaman.
Jadi Soekarno menghadapi dua tantangan berat. Di elit
politik dan rakyat yang penghidupannya semakin memburuk. Soekarno tidak mampu
memberikan konsesi yang dibutuhkan
rakyat. Pemberian konsesi yang substansial sama saja dengan penggerogotan
kewibawaannya sebagai seorang raja. Untuk hal ini Soekarno bersikukuh bahwa
dirinya benar. Dan ia jatuh dari “tahtanya” bersama dengan segala kekakuan
sikapnya, yang tak pernah berubah sejak dia pertama kali muncul dalam
gelanggang politik Indonesia
(Hindia Belanda).
La yukalifullahu nafsan ila wus‘aha
Catatan Akhir
- Raja Jawa tanpa mahkota merupakan julukan yang diberikan kepada Haji Oemar Said Tjokroaminoto pada saat memimpin Sarekat Islam yang sedang berada dalam puncak kebesarannya. Julukan ini terkait erat dengan kepercayaan masyarakat Jawa bahwa beliau adalah Ratu Adil yang dijanjikan dalam ramalan Jayabaya. Begitu popularitas Tjokroaminoto merosot karena janji-janjinya yang tak kunjung terealisasi, kedudukannya segera digantikan oleh Soekarno. Julukan “raja” pada yang terakhir ini semakin tepat manakala Soekarno benar-benar menjadi presiden dalam tahun 1945-1967.
- Dalam keseharian kata momongan ditujukan pada pengasuhan dari orang yang lebih tua kepada yang lebih muda, misalnya ibu atau bapak kepada anaknya, paman kepada keponakannya, dan seterusnya.
- Betapa kuatnya makna ramalan ini dalam benak orang Jawa dapat ditunjukkan dalam kisah sebagai berikut. Konon pada waktu raja Majapahit —yang Hindu-Buddha— yang terakhir, Brawijaya, menyerahkan kekuasaannya kepada anaknya sendiri, Raden Patah, Raja Demak, salah seorang abdi setianya, Sabdo Palon tidak rela terhadap penyerahan tersebut. Oleh karenanya Sabdo Palon bersumpah bahwa Kerajaan Majapahit, yang Hindu-Buddha itu, akan merebut kembali kekuasaan dalam waktu lima ratus tahun kemudian. Tahun 1978 sebagai tahun penetapan Aliran Kebatinan —yang sangat Hinduis-Buddhis— dalam GBHN diyakini sebagai realisasi sumpah tersebut. Tahun kejatuhan Majapahit ditandai dengan titimangsa beruapa candra sengkala sirna ilang kertaning bumi yang berarti tahun 1400 Saka atau tahun 1478 dalam kalender Masehi.
- Kutipan dari kumpulan tulisan Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, Jilid Kesatu, selanjutnya disebut DBR.
- Hatta dan Sjahrir menekankan pendidikan sebagai hal penting yang selama itu mereka anggap telah ditelantarkan oleh Soekarno. Yang terakhir ini mereka anggap hanya aktif melakukan penggalangan dan menggelorakan massa-rakyat tanpa ada upaya mencerdaskannya, padahal —menurut mereka— inilah bekal utama bagi Indonesia merdeka kelak.
- Sjahrir termasuk orang yang semula ragu-ragu terhadap proklamasi Soekarno pada 17 Agustus. Dia yakin bahwa rakyat pasti mengasosiasikan proklamasi itu sebagai hadiah Jepang karena politik kolaborasi Soekarno. Untuk membuktikannya, Sjahrir mengunjungi beberapa daerah di Jawa, dan terkejut setelah mengetahui bahwa ternyata dukungan rakyat terhadap Soekarno sangat luas, malahan proklamasi itu membangkitkan gelora semangat kemerdekaan rakyat. Dia harus mengakui bahwa dirinya telah salah mengira. Karena itulah Sjahrir segera bergabung pada Soekarno. Segera saja perbedaan keduanya tampak. Bersama “kawan lama”-nya, Hatta, dia mengubah jalan politik Indonesia ke dalam apa yang disebut sistem parlementer, yang pada tahun 1920 dan 1930-an sangat dikecam oleh Soekarno.
Referensi
Dahm, Bernard. 1987. Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan.
Terjemahan. Jakarta:
LP3ES.
Feith, Herbert. 1995. Soekarno–Militer dalam Demokrasi
Terpimpin. Terjemahan. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.
Haris, Syamsuddin. 1995. Demokrasi Di Indonesia: Gagasan dan
Pengalaman. Jakarta:
LP3ES.
Moertono, Soemarsaid. 1985. Negara dan Usaha Bina-Negara Di
Jawa Masa Lampau: Studi tentang Masa Mataram II, Abad XVI sampai XIX.
Terjemahan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Nishihara, Mashashi. 1993. Sukarno, Ratna Sari Dewi, dan
Pampasan Perang: Hubungan Indonesia-Jepang 1951-1966. Terjemahan. Jakarta: Grafiti.
Onghokham. 1994. "Sukarno: Mitos dan Realitas." Dalam Taufik
Abdullah, Aswab Mahasin, dan Daniel Dhakidae (ed). 1994. Manusia dalam Kemelut
Sejarah. Jakarta:
LP3ES.
Sujamto. 1991. Reorientasi dan Revitalisasi Pandangan Hidup
Orang Jawa. Semarang:
Dahana Prize.
Sukarno. 1959. Dibawah Bendera Revolusi. Jilid
I. Jakarta:
Panitia Penerbit Dibawah Bendera Revolusi.
Sundhaussen, Ulf. 1988. Politik Militer Indonesia
1945-1967: Menuju Dwifungsi ABRI. Terjemahan. Jakarta: LP3ES.