Senin, 18 Juni 2012

Citra Jawa Kekuasaan Soekarno

Weko Kuncara


Betapapun Islam telah menyebar ke Jawa sejak abad ke-13, namun kultur Islam hanya sebagian saja membentuk kepribadian masyarakat Jawa. Malahan boleh jadi pengaruh Islam itu, untuk sebagian lagi, tidak membentuk kepribadiannya sama sekali. Biasanya, mereka ini disebut orang abangan. Kaum pembaharu Islam yang muncul di awal 1970-an menganggap hal ini sebagai proses Islamisasi yang belum selesai. Sementara itu, kenyataan yang tampak di masyarakat belum tuntasnya Islamisasi inilah yang menonjol, setidaknya sampai akhir 1980-an. Kebanyakan masyarakat Jawa masih berpandangan hidup “Kejawaan” (Kejawen) daripada Islam. Istilah-istilah Islam statistik, Islam nominal atau Islam KTP akrab di telinga  kita untuk menunjuk realitas ini. Hal ini tidak saja berpengaruh terhadap perilaku masyarakat dalam praktik keagamaan kesehariannya, namun juga memberikan bekasnya pada praktik kenegaraan Indonesia dalam periode yang disebut Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru. Sekurang-kurangnya dua periode tersebut dapat dicitrakan secara demikian. Petunjuk-petunjuk ke arah ini sebenarnya berupa potongan-potongan yang berserakan, namun memberikan arah yang jelas. Soekarno, misalnya, sejak semula telah mempersepsikan dirinya sebagai bapak yang selalu mengayomi tapi harus ditaati “anak-anaknya” (Haris 1995, 153). Soeharto sejak mula sekali telah dikenal sebagai seorang penganut ideologi abangan. Beberapa orang di sekitarnya, seperti Surono dan Soejono Hoemardani, merupakan orang-orang Kejawen yang berpengaruh. Manuver terpenting Soeharto dalam hal ini adalah upayanya memasukkan Aliran Kebatinan dalam salah satu Ketetapan MPR tahun 1978 yang membahas garis-garis besar haluan negara. Pikiran-pikirannya yang dikumpulkan dalam Butir-butir Budaya Jawa (1990) memperkuat citra abangan Soeharto (Sujamto 1992, 114-115).

Tulisan ini berusaha memaparkan citra itu dalam kaitannya dengan persoalan kuasa dan wibawa. Walaupun dasar-dasar yang dikembangkan di sini bermanfaat juga untuk menelaah citra kekuasaan Soeharto, namun mengingat keterbatasan waktu, pembahasan hanya diarahkan pada figur Soekarno saja. Citra ini barangkali membantu menjelaskan mengapa pesona dan kharisma Soekarno terus bertahan hingga dewasa ini. Citra ini barangkali pula memperjelas gambaran bagaimana persepsi rakyat Jawa terhadap "Raja Jawa tanpa mahkota" yang pertama itu setelah kepergian orang-orang kulit putih.[1] Sebagai kajian teoretik, katakanlah demikian, akan diuraikan terlebih dahulu basis ideologi bagi praktik kekuasaan presiden pertama RI tersebut.


Religi Jawa sebagai Basis Ideologi

Tulisan ini memaknai religi Jawa sebagai sebuah bentuk religi inovasi orang Jawa dengan berdasarkan sumber-sumber animisme, Hinduisme, Buddhisme dan Islam. Inovasi ini menghasilkan suatu religi yang sama sekali baru dan memiliki perbedaan mencolok dengan sumber-sumbernya yang semula. Walaupun tentu saja beberapa pokok ajarannya dapat dilacak pada tiap-tiap sumber tersebut.

Religi Jawa pada dasarnya menghendaki keselarasan. Keselarasan antara makrokosmos, tata alam semesta, dan mikrokosmos, yakni manusia itu sendiri. Alam semesta telah ditata sedemikian rupa menurut aturan-aturan yang pasti demi menjaga keselarasan tersebut. Pada tingkat makro, pergiliran siang dan malam, peredaran planet-planet mengelilingi matahari, pergantian musim kering dan hujan, siklus kelahiran, kedewasaan, penuaan dan akhirnya kematian, merupakan bukti-bukti adanya keselarasan alam semesta. Semua yang terjadi pada dasarnya telah diatur dan ditempatkan menurut yang semestinya. Keteraturan ini tidak boleh diganggu karena hanya akan menyebabkan kekacauan tata alam semesta. Adanya kekacauan, misalnya bencana alam, pada alam semesta dibaca sebagai adanya gangguan terhadap tata keselarasan tersebut. Keteraturan alam semesta ini dicitrakan kepada negara, sebagai replika dari keteraturan tersebut. Jawa memiliki konsepsi replika alam yang meskipun tidak berbelit-belit namun disederhanakan terlalu berlebihan. Misalnya, yang telah disebut di depan, alam semesta sebagai makrokosmos dan manusia sebagai mikrokosmosnya.

Sebagaimana halnya tata alam semesta yang tidak boleh diganggu dan tidak mungkin berubah aturan-aturannya, negara pun dipandang demikian. Negara “harus memiliki kecenderungan-kecenderungan dan kemampuan-kemampuan tata yang lebih tinggi itu, yaitu kekuasaan yang, sebagai bagian dari Tata Raya, tak seorang rakyat atau kawula pun berani membatasi atau mengganggunya” (Moertono 1985, 5). Pada puncak negara kokoh berdiri raja sebagai pengaturnya. Sekali lagi replika terjadi di sini. Apabila Tata Alam Semesta dipimpin oleh Tuhan yang kekuasaan-Nya mutlak, negara dipimpin oleh raja. Maka, demi keteraturan, baik negara maupun raja memiliki kekuasaan yang mutlak tidak terbatas. Raja diyakini sebagai perwakilan Tuhan di bumi, sebagai bentuk avatara (titisan, penjelmaan) Dewa dari langit, meminjam konsepsi Hinduisme. Dua hal tersebut memantapkan absoluditas penguasa negara, sang raja.

Walaupun raja dan rakyat dianggap sama pentingnya, yang dengan demikian segi fungsional merupakan satu-satunya perbedaan, namun di antara keduanya terdapat hubungan momongan. Ini berarti pamong (yang melakukan momongan) memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari yang mendapat momongan (kawula). Implikasinya adalah kawula harus patuh pada yang melakukan momongan (Moertono 1985, 30-31). Hal ini juga menunjukkan bahwa hubungan antara raja dan rakyatnya mengikuti contoh kasih sayang dalam ikatan keluarga (Moertono 1985, 17).[2]

Hubungan antara raja dan rakyat juga dijelaskan dalam konsep manunggaling kawula-gusti (menyatunya abdi-tuan) yang menunjukkan bahwa keduanya, walaupun berbeda, yaitu satu lebih rendah dan lainnya lebih tinggi, sesungguhnya merupakan dua aspek yang berbeda dari hal yang sama. Tat tvam asi, “aku adalah mereka”. Bahwa “semua benda hanya merupakan aspek, çakti, pancaran, bagian integral dari ke-Esa-an Utuh yang menyeluruh, yang meliputi segala sesuatu, dan ini diwujudkan dalam dewa Sang Hyang Wenang (Yang Maha Kuasa) atau lebih dikenal dalam putranya, Sang Hyang Tunggal (Yang Esa)”(Moertono 1985, 25). Konsepsi ini mengingatkan kita pada teologi Hindu yang menjelaskan bahwa Brahman sebagai asal-muasal dari segala yang ada di alam semesta ini pada dasarnya terdapat dalam atman, jiwa manusia sendiri. Antara manusia dan Tuhan dimungkinkan dapat menyatu karena adanya kesamaan unsur antara keduanya, yaitu unsur nur (Arab) atau suksma (India). Apabila antara Tuhan (Gusti) dan manusia (kawula) dapat menyatu, apalagi antara sesama manusia sendiri, meskipun itu adalah antara raja (gusti) dan rakyat (kawula) sebagai bentuk replikanya.

Konsepsi ini sekaligus mengimplikasikan pada adanya perbedaan status antara raja sebagai gusti, yang lebih tinggi, dan rakyat sebagai kawula, yang lebih rendah. Keyakinan  bahwa raja adalah titisan Tuhan di bumi memberikan konsekuensi bahwa perintah-perintah raja merupakan isyarat dari tuhan kepada manusia untuk memelihara keteraturan dan keselarasan alam semesta atau untuk mengembalikannya pada keteraturan bila ada gangguan; tidak memungkinkan bagi rakyat untuk mengucapkan tidak bagi setiap perintah raja.

Akhirnya, ketundukan rakyat terhadap raja diperkuat dengan adanya pemahaman fatalistik pada masyarakat Jawa. Setiap hal yang terjadi pada manusia dianggap telah merupakan ketentuan dari Tuhan yang mesti dijalankan. Berhubungan dengan ini, termasuk dalam memandang posisi rakyat sebagai kawula, diyakini sebagai titah dari tuhan yang mesti dijalaninya karena memang itulah yang terbaik baginya.

Keyakinan terhadap keniscayaan-kenisayaan ramalan Jayabaya juga sangat mempengaruhi praktik religi orang Jawa.[3] Ada kemungkinan kepecayaan ini sejalan dengan konsep takdir orang Jawa di atas. Jayabaya, yang secara historisnya adalah Raja Kediri ini, diyakini mampu meramalkan keadaan masa datang dengan melihat hanya makanan yang disajikan kepadanya setiap hari. Walaupun hiruk-pikuk ramalan Jayabaya —terutama menyangkut kedatangan Ratu Adil— muncul sangat terlambat, yakni pada jaman penjajahan Belanda, namun ramalan itu diyakini berasal dari Raja Jayabaya sendiri. Pujangga Jawa dari Keraton Surakarta, Raden Ngabehi Ranggawarsita, menghimpun ramalan-ramalan itu dalam Serat Jangka Jayabaya. Salah satu ramalannya yang terkenal dan akrab di telinga kita adalah “Sekarang ini adalah jaman pancaroba, semua orang sedang dalam kegilaan, yang tidak turut gila tidak kebagian.” Yang relevan dalam kajian ini adalah ramalan tentang akan munculnya seorang Ratu Adil Herucokro (Raja Bijaksana Penguasa Alam) pada saat makin menderitanya penduduk Jawa. Sebelum kedatangannya, penduduk Jawa terlebih dahulu akan merasakan masa kegalauan dan kegelapan yang sangat, yang kemudian dibebaskan oleh Ratu Adil tersebut. Masa ini, yakni penderitaan dan pembebasannya, akan berulang sampai tiga kali sampai akhirnya Jawa lenyap dari bumi.


Citra Jawa Kekuasaan Soekarno

Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis) adalah temuan terbesar Soekarno. Dibentuknya ajaran ini dimaksudkan olehnya untuk menyatukan semua kekuatan-kekuatan revolusioner pada jalur revolusi “yang sebenarnya”, sepenuhnya di bawah bimbingannya. Orang boleh saja bertanya-tanya, mana mungkin tiga ideologi yang saling meniadakan satu sama lain itu hendak dipersatukan. Jawabannya ada pada ajaran Jawa mengenai keselarasan, ketertiban, tata, dan kesatuan. Semuanya berasal dari yang satu. Sudah sejak 1921, Soekarno mengatakan bahwa ketiganya dapat dipertemukan, walau masih samar-samar. Soekarno berpidato,
Setelah tercipta kondisi-kondisi yang cocok, dan setelah terbentuk parlemen kita sendiri, yang benar-benar mewakili rakyat, maka Sarekat Islam hendaknya jangan menghentikan kegiatannya; ia harus terus bekerja untuk memperkokoh demokrasi dan Islam di Indonesia, dan untuk menghapuskan kapitalisme. Apa gunanya kita punya pemerintah sendiri, jika ia masih dikuasai oleh penganut-penganut kapitalisme dan imperialisme. (dalam Dahm 1987, 51).
Bernard Dahm, sejarahwan Jerman, menjelaskan bahwa nasionalisme diungkapkan oleh Soekarno sebagai “kondisi-kondisi yang cocok” (karena kondisi di sini dimaksudkan sebagai yang cocok bagi Indonesia). Lalu ada sosialisme yang perlu “menghapuskan kapitalisme”, sambil sekaligus “memperkokoh demokrasi dan Islam” (Dahm 1987, 51).

Pada tahun 1926 Soekarno menegaskan,
Saya tak menyangkal, bahwa ada perbedaan-perbedaan yang kecil tentang asas dan taktik, tetapi perbedaan-perbedaan itu tidaklah begitu besar atau fundamentil untuk menjadi sebab perpisahan satu sama lain. Saya malahan berkata, bahwa di dalam tiap-tiap partai adalah perbedaan-perbedaan yang kecil  itu antara golongan-golongan di dalam partai itu, bahwa di dalam tiap-tiap partai satu pihak adalah lebih “sengit” dan satu pihak sedikit lebih “tenang”.
Saya, karena hal-hal itu semua, tak jemu-jemu menganjurkan persatuan, tak jemu-jemu mendinginkan segala rasa kepanasan hati, tak jemu-jemu mencoba menghilangkan segala kesalah pahaman (Soekarno 1959, 167).[4]
Di sini dia mulai menjelaskan bahwa ketiga ideologi dipertentangkan satu sama lain karena adanya salah paham. Dan itulah yang kemudian betul-betul dia lakukan, meluruskan kesalahpahaman. Sambil mengutip Mahatma Gandhi, nasionalisme dipahami sebagai berikut, “Buat saya, cinta saya pada tanah-air itu, masuklah dalam cinta pada segala manusia. Saya ini seorang patriot, karena saya manusia dan bercara manusia. Saya tidak mengecualikan siapa juga.” Dia tekankan bahwa Islam, di Timur Tengah, menjadi pengemban semangat orang-orang nasionalisme demi kemerdekaan mereka. Semangat anti kafir Islam tidak bisa tidak menimbulkan nasionalisme, karena yang disebut kafir bukanlah bangsanya sendiri, tetapi Barat. Marxisme dijelaskannya sebagai tidak harus didasarkan pada materialisme filosofis. Ia membedakan antara materialisme filosofis dengan materialisme historis. Yang pertama adalah suatu filsafat, yang seperti kebanyakan filsafat atau teori, bisa dipercayai namun juga tidak. Sedang materialisme historis adalah ilmu yang menggunakan penalaran eksak, dan karena itu pasti benar. Oleh karenanya tidak relevan mempersoalkan sikap anti-Tuhan Marxisme. Mempercayai materialisme historis tidak perlu bertentangan dengan kepercayaan Ketuhanan. Meyakini kebenaran materialisme filosofis-lah yang bertentangan dengan Ketuhanan. Contoh-contoh argumen ini sekadar untuk mengilustrasikan bahwa Soekarno terus-menerus berupaya mempersatukan ketiga ideologi tersebut dan menafikkan perbedaan-perbedaan pokok ketiganya dalam artikelnya yang berjudul Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme (Nasamarx) (1926). Selanjutnya, dengan tersingkapnya kesalahpahaman antara ketiga ideologi itu dia menyerukan persatuan sambil memberikan kiat demi persatuan tersebut. “Kita harus bisa menerima, tetapi juga harus bisa memberi. Inilah rahasianya Persatuan itu. Persatuan tak bisa terjadi, kalau masing-masing pihak tak mau memberi sedikit-sedikit pula”(DBR, 23).

Hanya Soekarno, yang demikian gandrung persatuan, yang mampu mempertemukan semua aliran pergerakan. Atas usahanya pula pada 17 Desember 1927 dibentuk Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI), yang menghimpun 7 partai terbesar saat itu. Dikatakannya
Hendaknya kita tidak mengemukakan soal-soal yang dapat membahayakan permufakatan kita. Umpamanya, kita hendaknya jangan membicarakan soal  koperasi dan nonkoperasi – soal apakah kita akan bekerjasama dengan pemerintah atau tidak. Tapi marilah kita mencari hal-hal yang mendekatkan kita satu sama lain. Marilah kita tonjolkan segala hal yang mempersatukan kita” (dalam Dahm 1987, 98).
Dengan menonjolkan kesamaan dan hampir-hampir meniadakan perbedaan yang prinsipil, tanpa disadari, Soekarno sebenarnya membuat kesatuan yang semu. Letak bahayanya adalah, kesatuan segera bubar manakala pemersatunya tiada hadir di tempat. Tetapi sintesis Nasamarx semakin mantap tatkala pada 14 Juni 1941 ia menulis,
Ada orang mengatakan Sukarno itu nasionalis, ada orang mengatakan Sukarno bukan lagi nasionalis, tetapi Islam, ada lagi yang mengatakan dia bukan nasionalis, bukan Islam, tapi Marxis, dan ada lagi yang mengatakan dia bukan nasionalis, bukan Islam, bukan Marxis, tetapi seorang yang berfaham sendiri. Golongan yang tersebut belakangan ini berkata: mau disebut dia nasionalis, dia tidak setuju dengan apa yang biasanya disebut nasionalisme; mau disebut dia Islam, dia mengeluarkan faham-faham yang tidak sesuai dengan fahamnya banyak orang Islam; mau disebut Marxis, dia…sembahyang; mau disebut bukan Marxis, dia “gila” kepada Marxis itu!…Apakah Sukarno itu? Nasionaliskah? Islamkah? Marxiskah? Pembaca-pembaca, Sukarno adalah…campuran dari semua isme-isme itu.!(DBR, 507).
Dengan demikian Nasakom yang diperkenalkan pada 1961, bukanlah suatu gagasan tiba-tiba menyangkut situasi kontemporer saat itu, tapi merupakan realisasi final dari gagasan kesatuan Soekarno sejak tahun 1920-an. Itulah yang dikatakannya kemudian, “Aku masih tetap Soekarno dari tahun 1927.” Gagasan kesatuan ini, seperti dijelaskan di muka, adalah ajaran Jawa yang telah berusia berabad-abad. Tat tvam asi (Aku adalah Mereka) atau Bhinneka tunggal ika (Berbeda-beda tapi satu jua) sebagai idiom Jawa Kuno dikemas secara modern oleh Soekarno menjadi Nasakom.

Langgengnya persatuan, di bawah nama apapun, mengandaikan satu persyaratan, yakni “sebuah partai dengan disiplin yang ketat dan yang pucuk pimpinannya diberi kekuasaan yang hampir diktatorial,” jelas Soekarno seperti dikutip Dahm (1987, 189). Gagasan adanya orang kuat dari Soekarno ini nampaknya sejalan dalam teori dan praktiknya. Apabila dalam teori Soekarno menjelaskan bahwa
Partai di dalam kalbu sendiri tidak boleh berdemokrasi…Demokrasi yang boleh di dalam kalbunya partai-pelopor bukan demokrasi biasa, demokrasi partai pelopor itu adalah demokrasi yang dengan bahasa asing dinamakan demokrasi-sentralisme: suatu demokrasi yang memberi kekuasaan pada pucuk pimpinan buat menghukum tiap-tiap anggota atau bagian-partai yang membahayakan strijdpositie-nya massa (DBR, 305).
Maka dalam praktik telah dibuktikan kemanjurannya oleh dirinya sendiri. Segala macam persatuan yang diusahakannya pada tahun 1927 berantakan manakala dia meringkuk dalam tahanan pemerintah kolonial. PPPKI bubar. Bahkan partainya sendiri bubar akibat perbedaan pendapat antara faksi Sartono —yang di sini termasuk Soekarno— dan Hatta-Sjahrir. Faksi terakhir ini akhirnya mendirikan PNI-Baru (Pendidikan[5] Nasional Indonesia Baru), sedangkan Sartono mendirikan Partindo (Partai Indonesia), tempat mana akhirnya Soekarno bergabung. Barangkali pula periode parlementer yang porak-poranda akibat ketiadaan persatuan makin meyakinkan Soekarno akan perlunya pemimpin rakyat yang mampu mempersatukan. Dan pemimpin itu tiada lain adalah dirinya sendiri. Maka Februari 1957, dia menawarkan Konsepsi Presiden yang isinya antara lain hendak mengembalikan UUD 1945 sebagai konstitusi RI. Berpalingnya Soekarno pada UUD ‘45 bukanlah kebetulan. Hampir semua pengamat politik sepakat bahwa kekuasaan Presiden menurut konstitusi itu adalah tak terbatas. Soepomo sendiri sebagai perancang UUD ’45 mengakui bahwa negara yang diidealkan dalam konstitusi itu, yang disebut sebagai negara integralistik atau kekeluargaan merupakan “nama lain untuk negara totaliter sebagaimana dipraktikkan oleh Nazisme Jerman dan fasisme Jepang” (Haris 1995, 156).

Ketika konsepsinya ditolak, dengan dukungan tentara, dia mengeluarkan dekrit 5 Juli 1959 yang terkenal. Mulai saat itu posisinya sebagai pemimpin besar —yang telah disandangnya sejak masa pendudukan Jepang— kembali lagi dan tanpa ada yang mampu menggoyahkannya. Konstituante yang secara kelembagaan mestinya berada di atasnya, malah dibubarkan olehnya. Tidak saja posisinya sekarang sebagai Presiden menurut UUD ‘45 kembali, tetapi berbagai gelar –yang makin membuatnya mirip dengan raja-raja Jawa masa lampau— dilekatkan kepadanya. Juru Penerang Agung, Panglima Besar Revolusi, Nelayan Agung, Mandataris Amanat Penderitaan Rakyat, Penyambung Lidah Rakyat, Mahaputera Irian Barat, adalah sedikit gelar-gelar yang sempat dicatat oleh Ulf Sundhaussen (1988, 300), seorang pengamat militer dari Australia. Lebih lanjut Sundhaussen menjelaskan,
Istana presiden…pada akhirnya memamerkan suasana “Bizantium yang aneh”. Berdebat dengan presiden atau menyangsikan kebijaksanaannya dianggap sebagai perbuatan mencemarkan keramat. Bahkan kritik yang lunak sekalipun mengenai kebijaksanaan Presiden harus ditujukan kepada penasehatnya dan bukan kepada Presiden pribadi, dan harus disertai ungkapan-ungkapan secukupnya yang memuji “Panglima Besar Revolusi”(1988, 300).
Kiranya tak ada yang dapat menunjukkan dengan lebih baik bahwa Soekarno sedang bertindak bagai seorang raja-raja Jawa di masa lampau daripada ketetapan MPRS (yang para anggotanya ditetapkan olehnya sendiri) tahun 1963 untuk memilihnya sebagai Presiden Seumur Hidup, serta bahwa dia “mengharuskan pembantu-pembantunya (anggota kabinetnya, WK) menghadap kepadanya tiap pagi untuk suatu levee (odiensi pagi setelah sang raja bangun)…” (Sundhaussen 1988, 300).

Absoluditas Soekarno ini dapat diterangkan juga dari sudut konsepsi kekeluargaan yang telah dijelaskan di atas. Dalam suatu negara yang dikembangkan berdasarkan prinsip kekeluargaan, penguasa sebagai pihak yang melakukan momongan lebih mengetahui segala keperluan yang menyangkut hajat negara, rakyat —yang di-emong— hanya tunduk menjalankan perintah saja.

Di atas segala-galanya Soekarno agaknya yakin —atau diyakinkan oleh rakyatnya—bahwa dia  adalah —atau sangat menikmati kedudukan sebagai— Ratu Adil bagi penduduk Jawa yang telah dijanjikan dalam Jangka Jayabaya, untuk membebaskan Jawa dari penderitaan akibat penjajahan kulit putih. Semula rakyat menaruh harapan pada Tjokroaminoto, yang sangat cemerlang. Kesamaan nama “Cokro” dalam Tjokroaminoto dan Ratu Adil Herucokro terlalu sukar bagi orang Jawa untuk sekadar disebut sebagai kebetulan, sehingga mereka meyakini bahwa dialah Ratu Adil yang dimaksud. Namun setelah menunggu kurang lebih 10 tahun tak ada kemajuan selain pidato demi pidato yang kontradiktif (antara pembebasan dari dan loyalitas pada pemerintah kolonial) harapan itu pupus. Rakyat Jawa begitu tersentak ketika tahun 1926 muncul seorang muda usia dengan penuh energik menggembar-gemborkan hal yang dulu pernah mereka dengar dari Tjokroaminoto dan dengan gaya yang sama. Ya, Soekarno memang mewarisi gaya pidato oratorik Tjokroaminoto, Sang Tutor Politik terbesar. Berulang kali ditandaskan oleh Soekarno bahwa “saya telah belajar politik dari Tjokro.” Sejak itu popularitasnya tak pernah turun kembali kecuali dalam dua masa. Yakni, tahun 1930-an, pada saat santer isu bahwa dia meminta ampunan pada pemerintah kolonial di tahun 1930-an dan saat berkolaborasi dengan Jepang. Bila terhadap yang terakhir ini kita bisa dengan tegas mengatakan tidak, tetapi untuk yang pertama —yaitu permintaan ampun— sampai sekarang masih terus menjadi perdebatan. Namun demikian, tetap saja keduanya hanya sedikit saja mengurangi popularitasnya. Pada tahun 1943, laporan penyelidikan Jepang mencatat,
“Namanya disebut oleh setiap orang, tak peduli apakah mereka mengenalnya atau tidak; orang-orang Indonesia dari semua golongan memikirkan perihal keadaannya”… Mereka berbicara tentang desas-desus seperti yang menyatakan bahwa ‘Sukarno akan menjadi raja Nusantara’ dan bahwa ‘orang-orang Jepang akan mengangkatnya menjadi Gubernur Jenderal’. Padahal mereka sama sekali tidak mengerti politik” (dalam Dahm 1987, 268).
Bahwa Soekarno memang sentral perjuangan Indonesia tak ada yang memungkiri. Kenyataan bahwa pergerakan terasa mandeg dan berat sekali jalannya pada saat dia meninggalkan gelanggang tersebut karena harus meringkuk dalam tahanan dan tak sampai dua tahun kemudian dibuang keluar Jawa sampai kedatangan Jepang, kuat membuktikan hal ini. Yang paling nyata adalah kenyataan bahwa hampir semua kaum pergerakan yakin bahwa hanya Soekarno-lah yang harus memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Karena tanpa kehadirannya, proklamasi pasti tidak akan didukung rakyat. Ini berlaku bahkan bagi lawan utama Soekarno, Sutan Sjahrir. Walaupun dalam perdebatan keduanya adalah lawan yang seimbang, namun di hadapan rakyat Sjahrir terlalu kecil pengaruhnya.[6] Kemampuan pidato Soekarno yang seolah-olah menghipnotis para pendengarnya untuk melakukan apa saja yang diperintahkannya juga menunjukkan lekatnya Soekarno bagi rakyatnya. Contoh yang paling fantastis adalah peristiwa di lapangan Ikada pada September 1945.

Setelah proklamasi kemerdekaan, ternyata Jepang tidak segera menyerahkan kendali pemerintahan kepada republik. Jepang juga tidak mau meletakkan senjata padahal tentara sekutu segera mendarat. Jadi rakyat seolah-olah dibiarkan dalam keadaan dijepit oleh dua kelompok kekuatan bersenjata. Melihat keadaan ini, golongan muda yang dipelopori oleh Adam Malik melakukan agitasi pada rakyat untuk melakukan pemberontakan kepada Jepang yang dimulai di lapangan Ikada, Jakarta. Sekitar 200.000 orang berkumpul di lapangan dalam tensi emosi yang meninggi. Di sekelilinginya terdapat tentara Jepang yang bersenjata lengkap. Soekarno yang dilapori keadaan ini segera mendatangi kerumunan massa dan naik ke podium. Dia hanya berpidato selama lima menit. Menekankan bahwa jika rakyat masih mempercayainya harus juga percaya kepada langkah-langkah yang dia tempuh. Dijanjikannya bahwa kemerdekaan pasti dipertahankan. Sebagai bukti bahwa rakyat masih mempercayainya, sekarang mereka diharap pulang dengan tenang dan tertib dan mempercayakan segala sesuatunya pada dirinya, Soekarno, sang pemimpin rakyat. Bagaikan terhipnosis, 200.000 orang segera meninggalkan lapangan dengan tenang. Tak ada kejadian apa-apa. Golongan muda pastilah sangat kecewa karena agitasi mereka, yang nampaknya akan membuahkan hasil, dapat dipatahkan.

Soekarno juga memiliki apa yang tidak dimiliki kaum kaum pergerakan, tetapi justru dibutuhkan oleh rakyat. Yakni keyakinannya bahwa dia mampu menyuarakan apa yang ingin disuarakan orang tapi tidak mampu melakukannya. Soekarno mampu menjeritkan tangisan-tangisan rakyat, dan rakyat memandang bahwa suara Soekarno adalah suara mereka sendiri. Inilah yang antara lain dimaksud dengan konsep “keselarasan” di depan. Keselarasan antara rakyat dengan pemimpinnya. Menegaskan hal ini adalah kemampuan Soekarno yang luar biasa dalam menggunakan bahan-bahan asli Jawa, mitos-mitos yang diyakini kebenarannya, untuk menjelaskan kondisi riil yang dihadapi oleh rakyatnya. Pengidentifikasian kaum kolonial sebagai Kurawa dan kaum pergerakan sebagai Pandawa; pemerintah penjajah adalah Dasamuka (Rahwana), sedang kaum pejuang adalah pasukan Rama; penggodokan Gatotkaca dalam kawah Candradimuka agar kebal senjata (otot kawat balung wesi); Nanggala, senjata Kakrasana (nama muda Raja Baladewa dari Kerajaan Mandura) untuk mendapatkan negaranya kembali; merupakan cerita-cerita yang sangat dikenal baik oleh rakyat lewat satu-satunya hiburan massal yang masih tersisa untuk mereka: pertunjukan wayang kulit.

Melihat semua kemampuan itu, yang memang tiada bandingannya, rakyat mana atau bahkan kita sendiri jika hidup pada masa itu —yang menderita sejak lahir dan di saat yang sama menelan kabar-kabar ramalan Jayabaya setiap harinya— yang tidak tergoda untuk meyakini bahwa Soekarno-lah, yang karena mampu menyuarakan penderitaan dan mengupayakan pembebasannya itu, Ratu Adil yang dimaksud. Dia adalah harapan semua orang, dan, nyatanya, bahkan harapan lawan-lawan politiknya.


Penutup

Penerapan pola kekuasaan raja-raja Jawa —demikianlah sekarang kita dapat mencitrakannya— seperti yang dipraktikkan oleh Soekarno melahirkan sistem politik yang sentralistik. Semua keputusan diambil oleh satu orang. Soekarno terus mempertahankan sistem ini dengan bertumpu pada kewibawaannya yang dapat diperoleh karena kharisma sebagai founding father, reputasi di masa pergerakan yang nyaris legendaris, serta pemanfaatan kepercayaan rakyat akan mitos Ratu Adil. Tetapi manakala sistem sentralistik ini dihadapkan pada riil politik, ia ternyata tidak begitu lama bertahan. Perhatiannya yang hanya tertuju pada agitasi taraf internasional, di satu sisi, membuat kehidupan rakyat terabaikan. Di sisi lain, ketidakpuasan meningkat terus-menerus diakibatkan tersumbatnya arus demokrasi yang telah menjadi tuntutan jaman.

Jadi Soekarno menghadapi dua tantangan berat. Di elit politik dan rakyat yang penghidupannya semakin memburuk. Soekarno tidak mampu memberikan  konsesi yang dibutuhkan rakyat. Pemberian konsesi yang substansial sama saja dengan penggerogotan kewibawaannya sebagai seorang raja. Untuk hal ini Soekarno bersikukuh bahwa dirinya benar. Dan ia jatuh dari “tahtanya” bersama dengan segala kekakuan sikapnya, yang tak pernah berubah sejak dia pertama kali muncul dalam gelanggang politik Indonesia (Hindia Belanda).

La yukalifullahu nafsan ila wus‘aha


Catatan Akhir
  1. Raja Jawa tanpa mahkota merupakan julukan yang diberikan kepada Haji Oemar Said Tjokroaminoto pada saat memimpin Sarekat Islam yang sedang berada dalam puncak kebesarannya. Julukan ini terkait erat dengan kepercayaan masyarakat Jawa bahwa beliau adalah Ratu Adil yang dijanjikan dalam ramalan Jayabaya. Begitu popularitas Tjokroaminoto merosot karena janji-janjinya yang tak kunjung terealisasi, kedudukannya segera digantikan oleh Soekarno. Julukan “raja” pada yang terakhir ini semakin tepat manakala Soekarno benar-benar menjadi presiden dalam tahun 1945-1967.
  2. Dalam keseharian kata momongan ditujukan pada pengasuhan dari orang yang lebih tua kepada yang lebih muda, misalnya ibu atau bapak kepada anaknya, paman kepada keponakannya, dan seterusnya.
  3. Betapa kuatnya makna ramalan ini dalam benak orang Jawa dapat ditunjukkan dalam kisah sebagai berikut. Konon pada waktu raja Majapahit —yang Hindu-Buddha— yang terakhir, Brawijaya, menyerahkan kekuasaannya kepada anaknya sendiri, Raden Patah, Raja Demak, salah seorang abdi setianya, Sabdo Palon tidak rela terhadap penyerahan tersebut. Oleh karenanya Sabdo Palon bersumpah bahwa Kerajaan Majapahit, yang Hindu-Buddha itu, akan merebut kembali kekuasaan dalam waktu lima ratus tahun kemudian. Tahun 1978 sebagai tahun penetapan Aliran Kebatinan —yang  sangat Hinduis-Buddhis— dalam GBHN diyakini sebagai realisasi sumpah tersebut. Tahun kejatuhan Majapahit ditandai dengan titimangsa beruapa candra sengkala sirna ilang kertaning bumi yang berarti tahun 1400 Saka atau tahun 1478 dalam kalender Masehi.
  4. Kutipan dari kumpulan tulisan Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, Jilid Kesatu, selanjutnya disebut DBR.
  5. Hatta dan Sjahrir menekankan pendidikan sebagai hal penting yang selama itu mereka anggap telah ditelantarkan oleh Soekarno. Yang terakhir ini mereka anggap hanya aktif melakukan penggalangan dan menggelorakan massa-rakyat tanpa ada upaya mencerdaskannya, padahal —menurut mereka— inilah bekal utama bagi Indonesia merdeka kelak.
  6. Sjahrir termasuk orang yang semula ragu-ragu terhadap proklamasi Soekarno pada 17 Agustus. Dia yakin bahwa rakyat pasti mengasosiasikan proklamasi itu sebagai hadiah Jepang karena politik kolaborasi Soekarno. Untuk membuktikannya, Sjahrir mengunjungi beberapa daerah di Jawa, dan terkejut setelah mengetahui bahwa ternyata dukungan rakyat terhadap Soekarno sangat luas, malahan proklamasi itu membangkitkan gelora semangat kemerdekaan rakyat. Dia harus mengakui bahwa dirinya telah salah mengira. Karena itulah Sjahrir segera bergabung pada Soekarno. Segera saja perbedaan keduanya tampak. Bersama “kawan lama”-nya, Hatta, dia mengubah jalan politik Indonesia ke dalam apa yang disebut sistem parlementer, yang pada tahun 1920 dan 1930-an sangat dikecam oleh Soekarno.

 
Referensi
Dahm, Bernard. 1987. Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan. Terjemahan. Jakarta: LP3ES. 
Feith, Herbert. 1995. Soekarno–Militer dalam Demokrasi Terpimpin. Terjemahan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Haris, Syamsuddin. 1995. Demokrasi Di Indonesia: Gagasan dan Pengalaman. Jakarta: LP3ES.
Moertono, Soemarsaid. 1985. Negara dan Usaha Bina-Negara Di Jawa Masa Lampau: Studi tentang Masa Mataram II, Abad XVI sampai XIX. Terjemahan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Nishihara, Mashashi. 1993. Sukarno, Ratna Sari Dewi, dan Pampasan Perang: Hubungan Indonesia-Jepang 1951-1966. Terjemahan. Jakarta: Grafiti.
Onghokham. 1994. "Sukarno: Mitos dan Realitas." Dalam Taufik Abdullah, Aswab Mahasin, dan Daniel Dhakidae (ed). 1994. Manusia dalam Kemelut Sejarah. Jakarta: LP3ES.
Sujamto. 1991. Reorientasi dan Revitalisasi Pandangan Hidup Orang Jawa. Semarang: Dahana Prize.
Sukarno. 1959. Dibawah Bendera Revolusi. Jilid I. Jakarta: Panitia Penerbit Dibawah Bendera Revolusi.
Sundhaussen, Ulf. 1988. Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwifungsi ABRI. Terjemahan. Jakarta: LP3ES.

Rabu, 02 Mei 2012

Menggugat Kudeta Jend. Soeharto : dari Gestapu ke Supersemar Karya AM Hanafi


Weko Kuncara


Prolog: Selintas tentang Buku

Sebagai sebuah buku yang mempersoalkan legitimasi kekuasaan Soeharto —dan terbit sebelum kelengserannya— adalah wajar jika buku ini diterbitkan di Perancis (dengan penerbit Edition Montblanc, Lile). Namun alasan sebenarnya adalah karena penulisnya memang sedang berada —menurut penulisnya sendiri dalam pembuangan— di Perancis. Ditulis antara tahun 1975 (hlm.250) sampai Agustus 1998, disertai lampiran pernyataan protes Kolonel A. Latief (salah seorang eksponen Gerakan 30 September [G30S]) dan surat pribadi Soekarno kepada Fidel Castro, buku ini dicetak setebal 308 halaman.

Seperti disebutkan dalam anak judulnya, buku ini merupakan memoar penulisnya sendiri. Sebagai memoar, sandaran utama penulisannya adalah perjalanan sejarah yang dilaluinya sendiri, terutama mengandalkan daya ingatnya. Tentu saja memoar merupakan referensi sejarah yang penting, tetapi juga sekaligus lemah, karena analisisnya yang one-sided view. Oleh karenanya sebuah buku memoar haruslah di-cross check-kan dengan sumber sejarah yang lain. Memoar saja tidak akan mampu merekonstruksikan suatu peristiwa bersejarah  —apalagi peristiwa kudeta G30S— yang kompleks. Keuntungan utama tetap dapat diraih. Misalnya, buku ini menggambarkan detil-detil suasana istana, ibukota, pergaulan Soekarno dengan bawahan-bawahannya, yang tentu saja sulit didapatkan dari buku dalam bentuk akademis.

Mengingat penulisnya, AM Hanafi, adalah termasuk politikus yang terjungkal menyusul tergulingnya Soekarno, merupakan hal yang wajar jika dia menganggap Soeharto adalah lawan politiknya. Dengan ini kita bisa memahami penyebab sesaknya buku ini dengan caci-makian, penghujatan, serta penuturan dengan bahasa emosional menyangkut setiap hal yang berhubungan dengan Soeharto. Secara keseluruhan hal tersebut menurunkan kualitas buku ini menjadi semacam olok-olokan anak kecil kepada lawan bermain yang berhasil mengalahkannya. Kelemahan ini masih ditambahkan dengan kenyataan bahwa sejak halaman awal hingga terakhir, buku ini senantiasa menonjolkan ketokohan Soekarno dan dirinya sendiri, serta keculasan dan keburukan politik yang dikembangkan oleh Soeharto sejak sebelum yang terakhir ini berkuasa.

Adanya suatu kerangka kesimpulan yang telah dipersiapkan sebelumnya oleh penulis, menyebabkan pula buku ini secara umum tidak didasarkan pada argumentasi yang kuat, serta penyimpulan setiap fakta dengan cara yang sangat gegabah. Contohnya dapat kita lihat pada halaman 188. Setelah mengutip buku berjudul Jejak Langkah Pak Harto, yang menyebutkan bahwa seluruh panglima ABRI menolak membentuk Barisan Soekarno dalam arti fisik, namun setuju dalam arti mental-ideologis saja, Hanafi, menyimpulkan bahwa para panglima itu
“hanya dimanipulasi, disalahgunakan oleh Letjen Soeharto, dipaksa menuruti pikirannya Soeharto yang sejak dari pecah pemberontakan GESTAPU yang mengkili-kili mereka itu untuk turut konfrontasi dibawah pimpinannya melawan Presiden Sukarno di dalam skenario perebutan kekuasaan.”
Kesimpulan semacam ini tidak mungkin terjadi, jika tidak karena telah ada suatu kerangka kesimpulan sebelumnya bahwa Soeharto-lah dalang G30S yang sebenarnya. Tanpa argumentasi apapun Hanafi telah menyimpulkan bahwa karena para panglima menolak untuk membentuk Barisan Soekarno, maka pasti para panglima telah dipaksa oleh Soeharto. Di halaman lain, misalnya lagi, disebutkan bahwa oleh karena telah menjadi fakta bahwa Soeharto sesungguhnya mengenal Untung, Latief, Syam Kamaruzaman dan Soepardjo (keempat yang terakhir adalah gembong G30S), maka cukup bukti untuk menunjuk bahwa kelimanya telah bersekongkol di bawah pimpinan Soeharto untuk merencanakan kudeta. Sesungguhnya cara penyimpulan semacam ini tersebar di hampir setiap halaman buku. Sekali lagi, kami tegaskan, hal ini mudah dipahami karena sifat buku ini yang memoar dan one-sided view.

Agaknya kerangka kesimpulan kedua yang telah diambil oleh Hanafi adalah bahwa PKI (sebagai lembaga, jadi dibedakan dengan oknum-oknum perorangan seperti Aidit, Sudisman dan Nyoto, untuk sekadar menyebut beberapa nama pimpinan teras PKI) dan Soekarno tidak tahu apa-apa sepanjang menyangkut peristiwa G30S itu dan dalam posisi yang defensif. Sementara Soeharto adalah seorang jenderal yang sangat berambisi menduduki puncak kekuasaan dengan cara yang ofensif dan brutal. Menunjuk pada brutalitas ini Hanafi menyebutkan bahwa Soeharto harus bertanggung jawab atas pembunuhan sekitar 1 juta orang yang dibunuh atas perintahnya atau sekurang-kurangnya atas sepengetahuannya.

Itulah hasil tinjauan penulis mengenai buku ini. Selanjutnya tulisan ini memaparkan dan membahas pendapat Hanafi menyangkut dua presiden pertama Indonesia, rekonstruksi jalannya kudeta Soeharto menurut Hanafi, serta penilaian penulis terhadap rekonstruksi tersebut.


Yang Sempurna dan Yang Culas

Yang dimaksud yang sempurna di sini adalah Soekarno dan yang culas adalah Soeharto. Demikianlah kesan yang didapatkan setiap orang manakala menekuni halaman-halaman buku ini. Di setiap tempat Soekarno selalu dipuji setinggi langit sebagai penggali dan penemu Pancasila, kepribadian asli bangsa Indonesia. Dikatakannya, seandainya Karl Marx lahir di Indonesia, maka pastilah dia mengikuti Pancasila Soekarno dan tidak melahirkan gagasan Marxismenya. Tidak hanya itu, Soekarno pulalah yang dengan berani dan konsekuen mengembalikan UUD 1945 sebagai konstitusi Indonesia, setelah sebelumnya menganut konstitusi sementara yang liberal, dan dengan demikian tidak sesuai dengan watak kepribadian bangsa. Dalam kekuasaannya tidak ada penyalahgunaan wewenang, bahkan saat meninggal pun tidak mewariskan sesuatu yang berharga bagi keluarganya. Menurutnya,
Segala predikat revolusioner di zaman modern tepat dilekatkan kepada dirinya: Pemimpin Besar, de Massa Leider, sang Libertador, seperti Simon Bolivar, Pejuang Kemerdekaan Amerika Latin yang sampai sekarang patung-patungnya tegak megah di setiap negeri Amerika Latin. Sebagai putra Indonesia, saya menjunjung predikat Bapak nasion Indonesia setinggi-tingginya. Dulu kita tidak kenal bangsa, kecuali bangsa Belanda, bahasa Inggris dan lain-lain. Dulu kita cuma tahu orang Jawa yang suka makan tempe, orang seberang yang suka makan terasi dan tempuyak, orang Bali yang suka makan babi guling, sekarang kita punya bangsa dan negara sendiri. Hebat! (hlm.4)
Soekarno pula, lewat gagasan Nasakom, yang telah berhasil menyatukan bangsa dan seluruh kekuatan revolusioner, guna menuntaskan revolusi (diawali dari revolusi Agustus 1945) yang belum usai. Satu-satunya kekeliruan Soekarno adalah koppig (bhs. Belanda, keras kepala) karena tidak mau membubarkan PKI, sebagaimana yang telah diusulkan Hanafi sendiri.

Penggambaran di atas jelas kontras dengan yang diberikannya terhadap Soeharto. Yang terakhir ini adalah orang yang serakah kekayaan dan ambisius kekuasaan demi kekuasaan serta malu mengakui perbuatannya yang telah mengkudeta presidennya sendiri (hlm.4). Sesungguhnya, akan terlalu banyak kecaman dan makian yang diberikan oleh Hanafi kepada Soeharto untuk dituliskan di sini. Cukuplah untuk dikatakan bahwa sejak membuka halaman depan buku ini, nampak jelas bahwa penulisnya tengah melampiaskan rasa emosional dan kebenciannya dengan nada yang provokatif.

Sesungguhnya pula akan terlalu banyak menyita tempat untuk menunjukkan bahwa secara karakter kepemimpinan baik Soekarno maupun Soeharto adalah sama saja. Dalam hal MPR, misalnya, anggota-anggotanya merupakan orang-orang yang ditunjuk oleh Presiden. Setiap orang yang menentang presiden, cepat atau lambat, pasti akan menerima balasannya. Keduanya bertanggung jawab atas ditelantarkannya pembangunan ekonomi yang berbasiskan kerakyatan. Untuk Soekarno, pembangunan ekonomi malah sama sekali diabaikan. Masa pemerintahannya habis untuk apa yang disebutnya politik mercu suar. Memetakan dunia secara kaku dan rigid pada dua kutub, Oldefo (Old Established Forces, yang bercirikan imperialis dan kolonialis, untuk menunjuk pada negara-negara maju semacam Amerika Serikat dan Inggris) dan Nefo (New Emerging Forces, yang bercirikan revolusioner dan anti kemapanan terhadap sistem yang dibangun oleh Barat, untuk menunjuk pada negara-negara di Asia-Afrika, terutama yang berhaluan Marxisme atau Komunisme). Bahwa Demokrasi Terpimpin yang dikembangkannya adalah demokrasi yang mengikuti kehendak pemimpin. Dan pemimpin yang dimaksud itu adalah dirinya sendiri, sang Pemimpin Besar Revolusi. Menarik untuk dicatat bahwa akronim ABS (asal bapak senang) adalah berasal dari periode ini, dan bapak di situ mengacu pada diri Soekarno.

Sebaliknya, Soeharto, walaupun relatif berhasil (untuk segi-segi tertentu) dalam pembangunan ekonomi, namun tetap tidak mewujudkan suasana kehidupan politik yang demokratis. Dalam hal terakhir ini baik Soekarno maupun Soeharto sama-sama memiliki “dosa”. Persamaan “dosa politik” inilah yang, anehnya, sulit ditangkap oleh Hanafi. Bahwa Soekarno tidak pernah ada salahnya. Hal ini tampaknya tidak hanya dapat dijelaskan dari kenyataan bahwa Hanafi adalah pejabat tinggi di masa Soekarno, namun juga memiliki hubungan yang erat dengan Soekarno. Nama depannya, Anak Marhaen biasa disingkat AM, katanya sendiri, diberikan oleh Soekarno. Kakaknya, Asmara Hadi (pemimpin Partindo) adalah suami anak angkat Soekarno, yakni Ratna Djuami. Bahkan diakuinya sendiri, Soekarno adalah tutor politiknya yang pertama dan utama, yang pertama kali dikenalnya di Bengkulu, tempat Soekarno dibuang terakhir kalinya sebelum kedatangan bala tentara Jepang.


Rekonstruksi Kudeta Soeharto

Menurut Hanafi para eksponen utama Gerakan September Tiga Puluh (Gestapu) atau yang dengan tepat diistilah Soekarno Gerakan Satu Oktober (Gestok), seperti Kolonel Untung, Kolonel A Latief, dan Syam Kamaruzaman adalah orang-orang Soeharto yang melakukan kudeta pendahuluan dengan cara penculikan para jenderal. Rupanya kudeta ini gagal untuk secara langsung menguasai pemerintahan, sehingga dilanjutkanlah kudeta tahap kedua yang dipimpin oleh Soeharto sendiri melalui tiga jenderal. Kudeta terakhir inilah, yang kemudian terkenal dengan peristiwa keluarnya Supersemar, yang berhasil mengantarkan Soeharto pada tampuk kekuasaan. Yang menarik untuk dikemukakan di sini, menurut Hanafi, ternyata pemberontakan PKI di Madiun pada tahun 1948, juga diotaki oleh Soeharto yang kala itu masih berpangkat Letnan Kolonel (dengan begitu, menurut Hanafi, usaha perebutan kekuasaan oleh Soeharto telah dilakukan sejak usianya 27 tahun, Soeharto lahir pada 8 Juni 1921; dan sedini tahun 1948 ketika hampir seluruh founding fathers of Indonesia masih hadir dalam kekuasaan, sehingga ada atau tidaknya seorang Soeharto menjadi amat tidak berarti! Keadaan ini berbeda dengan, misalnya, Amir Sjarifuddin, Tan Malaka, atau Semaun, yang harus diakui turut berjasa bagi perjuangan Indonesia merdeka dan memiliki akar yang cukup kuat pada rakyat).

Baik Untung maupun A Latief adalah bekas anak buah Soeharto, ketika yang terakhir ini menjadi Panglima Divisi Diponegoro. Sementara Syam adalah informan, sekaligus spionase, yang setia kepada Soewarto (Komandan Seskoad) yang bersama-sama dengan Soeharto telah merancang skenario untuk melancarkan kudeta. Perkenalan Soeharto dengan Soewarto secara resmi pertama kali, ketika Soeharto dipindahkan dari jabatannya sebagai panglima untuk “sekolah lagi” di Seskoad karena terlibat upaya korupsi dalam wilayah kekuasaannya. Ini menurut Hanafi, menjadi salah satu penyebab kebencian Soeharto baik kepada Achmad Yani maupun AH Nasution yang telah “menyekolahkannya” itu.

Langkah pertama kudeta adalah dengan menyebarkan isu adanya Dewan Jenderal yang hendak mengkudeta Soekarno pada 5 Oktober 1965. Tidak hanya isu kudeta, tetapi juga bahwa dewan tersebut telah mempersiapkan kabinet yang terdiri dari para jenderal untuk menjalankan roda pemerintahan. Menariknya, menurut Hanafi mengutip MR Siregar, dalam susunan itu nama Soeharto tidak tercantum. Menurutnya ini merupakan siasat “udang di balik batu”. Barangkali maksudnya adalah sejak semula dikesankan —dalam isu itu— Soeharto tidak tahu apa-apa. Mengikuti alur ini, menurut saya, tidak dicantumkannya Soeharto adalah wajar saja, mengingat dalam isu itu dijelaskan anggota Dewan Jenderal adalah 40 orang, sementara kabinet itu beranggotakan 11 orang (lihat hlm.212).

Langkah berikutnya adalah berusaha meyakinkan para tokoh bahwa kudeta para jenderal itu benar-benar akan terjadi, dan oleh karena itu perlu dilakukan langkah-langkah untuk mencegahnya, yaitu dengan jalan menculik para jenderal. Dan DN Aidit, karena pendekatan yang dilakukan oleh Syam, termakan oleh isu tersebut. Dikatakannya, antara Aidit dan Syam telah terjalin persahabatan sejak sekitar awal tahun 1950-an. Malahan ide Syam untuk membentuk Biro Khusus, yang bertugas menginfiltrasi tokoh-tokoh militer agar menjadi anggota atau setidaknya bersimpati pada PKI, disetujui oleh Aidit. Dengan begitu, sering ditandaskan Hanafi, PKI sama sekali tidak terlibat dalam kudeta Untung, hanya Aidit dan beberapa tokohnya sajalah, yang akibat “Provokasi Dewan Jenderal”, terlibat secara pribadi. Bahkan Hanafi yakin, jika Aidit membawa ide kudeta itu ke anggota pimpinan (Central Comite) PKI yang lain pastilah mereka akan menolaknya.

Maka, dimulailah persiapan-persiapan untuk menculik para jenderal itu yang berakhir dengan pembantaian para jenderal di Lubang Buaya. Hanafi sangat yakin dengan skenario ini, karena curiga, mengapa seorang jenderal dengan kedudukan strategis (Panglima Kostrad) seperti Mayjen Soeharto tidak turut diculik, jika memang tujuan penculikan itu adalah menggagalkan aksi Dewan Jenderal? Apalagi bahwa pada 30 September 1965 malam, Latief mengunjungi Soeharto di sebuah rumah sakit untuk menjenguk Tommy yang sedang sakit. Kunjungan ini diperkirakan oleh Hanafi sebagai laporan terakhir Latief kepada pimpinan kudetanya bahwa segala sesuatu telah siap dan tinggal menunggu komando untuk bergerak saja. Kunjungan mana menurut Soeharto adalah untuk mengecek keberadaan Soeharto atau untuk membunuhnya yang dibatalkan karena sedang berada di tempat umum (Soeharto memberikan dua jawaban tersebut atas pertanyaan yang sama kepada dua wartawan asing dalam dua kesempatan wawancara yang berbeda).

Tahap pertama kudeta telah berhasil. Pemimpin teras AD telah tiada. Soeharto dengan sendirinya berada di puncak hirarki AD, karena kedudukan panglima Kostrad memungkinkannya menggantikan kedudukan Menteri Panglima AD/KSAD (dijabat oleh Achmad Yani) jika yang belakangan ini berhalangan. Nasution sendiri, walaupun merupakan perwira tinggi yang paling senior, kedudukannya tidak memungkinkannya untuk langsung memberikan komando. Jabatan resminya adalah Kepala Staf Angkatan Bersenjata (jadi keseluruhan angkatan, tidak hanya AD) yang hanya berwenang menangani urusan administrasi dan logistik tentara, dengan demikian tidak punya pasukan. Dalam posisinya inilah Soeharto mulai menggerogoti kekuasaan Soekarno. Aksi-aksi yang dipelopori oleh mahasiswa dalam KAMI dan KAPPI, dikatakan Hanafi sebagai digerakkan oleh Soeharto dan para anak buahnya terutama Kemal Idris dan Sarwo Edhie Wibowo. Aksi mahasiswa ini dimanfaatkan oleh Soeharto guna menekan Soekarno. Untuk menunjukkan keterlibatan Soeharto dalam aksi-aksi mahasiswa itu, melalui Mayjen Sjarief Thayeb, Menteri PTIP, dibentuklah KAMI di rumah menteri ini. Tidak hanya itu, bahkan jaket kuning para mahasiswa UI pun merupakan pemberian Soeharto, yang secara khusus didatangkan dari Hawaii, oleh salah seorang kepercayaan Soeharto yang berada di sana.

Tentu saja, Hanafi juga harus memperkuat argumentasinya dengan menunjukkan dari mana Soeharto memiliki dana untuk membiayai semua itu (padahal rumah Soeharto sendiri, yang waktu itu masih berada di jalan Haji Agus Salim, terlalu sederhana dan kecil untuk ukuran seorang jenderal). Dengan sendirinya yang ditunjuk oleh Hanafi untuk membiayai itu semua adalah kekuatan-kekuatan Nekolim (Neokolonialisme dan imperialisme) yang tidak suka melihat Soekarno lama-lama berkuasa karena kecenderungannya yang anti Barat. Dijelaskannya pula bahwa sejak lama Soeharto telah menjalin hubungan dengan CIA, badan intelijen kenamaan AS. Kompensasi yang diberikan Soeharto atas pendanaan ini adalah diberlakukannya pemerintahan yang pro Barat (Nekolim) dan meninggalkan semua warisan pemikiran dan ideologi Soekarno, jika kudetanya berhasil.

Puncak dari semua aktivitas itu adalah keluarnya Supersemar yang diartikan sebagai penyerahan kekuasaan oleh Soeharto, padahal tidaklah demikian maksud Soekarno. Jalannya Supersemar, menurut Hanafi, adalah sebagai berikut. Pada pagi 11 Maret 1966 itu, kabinet mengadakan sidangnya untuk membicarakan perkembangan situasi negara. Namun ketika baru dibuka selama 10 menit oleh Soekarno, sidang dihentikan karena Soekarno segera terbang ke Istana Bogor. Kepergian ini disebabkan adanya laporan bahwa istana telah dikepung oleh pasukan tak dikenal (tanpa memakai tanda asal kesatuan) yang datang dari luar kota. Kepergian yang tergesa ini diikuti oleh Chaerul Saleh dan Soebandrio, yang sepatunya tertinggal sebelah karena demikian tergesanya. Soeharto sendiri, selaku Menpangad/KSAD tidak hadir pada sidang itu karena gangguan kesehatan. Hanafi masih bercakap-cakap dengan beberapa menteri lainnya ketika tiga orang jenderal mendatangi istana negara untuk meminta bertemu dengan presiden. Setelah dikatakan bahwa presiden tidak ada, maka ketiga jenderal itu pergi, setelah sebelumnya Brigjen Amir Machmud menelpon ke Istana Bogor guna meminta bertemu dengan presiden untuk membahas persoalan yang gawat.

Sementara itu iring-iringan demonstrasi mahasiswa yang sedianya diarahkan ke Istana Merdeka, sekarang dibelokkan ke arah Istana Bogor, tentu saja dengan pengawalan pasukan Soeharto. Hanafi sendiri sampai di Istana Bogor pada tanggal 13 Maret 1965. Jadi Supersemar itu telah keluar. Namun dengan lancar, Hanafi menuturkan bahwa ketiga jenderal yang sebelumnya mendatangi Istana Negara telah datang ke Istana Bogor dan memaksa Soekarno untuk menandatangani konsep surat yang telah dipersiapkan sebelumnya oleh Soeharto, tentunya.

Sejak memegang Supersemar di tangan itulah Soeharto telah memainkan peranan seolah dialah pemegang pemerintahan. Ini yang kemudian dilanjutkannya dalam sidang MPRS 1967 yang menetapkannya sebagai Pejabat Presiden, dan sidang yang sama telah memberhentikan Soekarno sebagai presiden. Maka kudeta telah berjalan dengan sukses!


Penilaian Personal

Kesimpulan bahwa Supersemar merupakan kudeta Soeharto kepada Soekarno, sejauh kami ketahui, telah menjadi kesepakatan banyak orang. Jadi pada titik ini, kami tidak berbeda pandangan dengan Hanafi. Namun untuk mengatakan bahwa Soeharto juga terlibat dalam G30S, apalagi merupakan dalangnya, adalah persoalan yang masih memerlukan banyak bukti.

    Selama ini setidaknya terdapat 4 versi tentang peristiwa tersebut, yaitu:
  1. Pertentangan internal AD, antara perwira tinggi dengan para perwira menengahnya. Pendapat ini didukung oleh para sarjana dari Cornell University, New York, terutama Benedict Anderson dan Ruth McVey.
  2. Didalangi oleh PKI, karena keinginannya untuk berkuasa. Pendapat ini merupakan pendapat resmi AD dan pemerintah Orde Baru, serta pendapat mayoritas sarjana Barat.
  3. Merupakan upaya Soekarno untuk melindungi dirinya dari apa yang diisukan sebagai Dewan Jenderal.
  4. Didalangi oleh Soeharto. Pendapat ini merupakan versi yang paling tidak populer dan sering ditinggalkan para pengamat karena minimnya bukti yang mengarah ke versi ini.
Kami sendiri lebih mempercayai versi yang ketiga. Mengikuti Sundhaussen, sarjana politik dari Australia, peristiwa G30S merupakan upaya Soekarno untuk melindungi dirinya dari apa yang dinamakan Dewan Jenderal. Isu ini untuk pertama kalinya disebarkan oleh PKI, kemudian semakin santer dan akhirnya malah dipercaya sendiri oleh PKI. Tentu saja alasan bagi pengeluaran isu ini adalah upaya pendiskreditan AD di mata rakyat. Angkatan Darat merupakan satu-satunya lawan politik PKI yang paling kuat yang masih tersisa. Dibanding partai-partai lain, tidak ada satu partai pun yang memiliki kader semilitan dan setangguh yang dimiliki oleh PKI. Hal lain yang menonjol adalah disiplin para anggotanya yang tinggi terhadap partai. Hal-hal mana hanya dapat ditandingi oleh militer, khususnya Angkatan Darat.

Mengharapkan Soekarno untuk membatasi gerakan AD, juga sedikit saja memberikan hasil. Dalam pandangan Feith, Soekarno sengaja memperkokoh kedudukannya dengan dukungan dua pihak yang sama-sama membutuhkannya, AD dan PKI. Maka beberapa kekuasaan AD dihilangkan, terutama dengan penggeseran Nasution yang memiliki berbagai jabatan penting, serta tidak memberikan PKI pada kekuatan yang nyata, seperti kekuasaan ekonomi dan politik (kabinet porto folio).

Tak terkecuali yang mempercayai adanya Dewan Jenderal itu adalah Soekarno sendiri. Maka dia segera memerintahkan Brigjen Sabur, Komandan Resimen Cakrabirawa, untuk “mengambil tindakan terhadap para jenderal yang tak loyal itu.” Sabur sendiri lantas meneruskan perintah itu pada salah satu Komandan Batalyonnya, Letkol Untung, yang telah menyatakan siap menerima setiap perintah Soekarno (baik bukti maupun argumentasi pernyataan-pernyataan ini lihat, Sundhaussen, 1988, hlm.346-365). Perintah “mengambil tindakan” inilah yang diterjemahkan oleh Untung sebagai menghilangkan nyawa para jenderal itu. Masih menjadi perdebatan apakah perintah tanggal 4 Agustus 1965 dari Soekarno pada Untung itu termasuk perintah pembunuhan atau tidak. Namun, dalam sepanjang sejarah kekuasaannya, Soekarno tidak pernah dikisahkan membunuh atau memerintahkan untuk membunuh lawan-lawan politiknya. Pola kepemimpinan yang ditunjukkan juga tidaklah mencerminkan dirinya yang haus darah.

Jika Untung dikendalikan oleh PKI, tentulah setelah pengumuman Dewan Revolusi-nya, dewan itu, sebagaimana terlihat, tidak lantas macet, pasif dan akhirnya hilang sama sekali. Hal yang sama sekali lain dengan ciri khas Aidit atau PKI yang sangat agresif dan taktis dalam memainkan politik tingkat tingginya. Namun, tetap saja dalam kadar tertentu PKI telah memainkan peranannya. Baik dalam pemotivasian kepada Untung melalui Syam maupun penciptaan atmosfir yang anti AD, ataupun juga dalam bentuk yang lain. Dengan begitu, memang masih tidak jelas bagaimana bentuk hubungan antara Soekarno, Untung dan Aidit cs. Harus kami tegaskan di sini, jika tidak ada bukti-bukti lain, maka itulah kesimpulan paling baik yang dapat diperoleh mengenai peristiwa G30S itu.

Di sini masih akan dibicarakan dua hal penting yang sebenarnya saling tidak berhubungan. Yaitu spontanitas rakyat, dalam hal ini mahasiswa, dan keterlibatan pihak asing.

Sejauh menurut pendapat kami, spontanitas mahasiswa dalam hal ini tidak perlu diragukan lagi. Pemerintahan Soekarno yang otoriter, kecenderungannya yang lebih ke kiri, kemuakan terhadap kehidupan mewah para pejabat, dan yang paling kuat daya dorongnya adalah terlantarnya kehidupan rakyat, semuanya merupakan api dalam sekam yang sewaktu-waktu berkobar tinggal menanti percikan minyak saja. Dan itu terjadi dalam peristiwa G30S. Rakyat, yang dicerminkan oleh mahasiswa, memainkan peranannya seperti peranan yang telah pernah dimainkan oleh golongan-golongan muda pada masanya masing-masing. Adalah tidak bijaksana menuduh mereka telah digerakkan  oleh pihak lain. Namun adalah benar apabila dikatakan bahwa AD sengaja memanfaatkan kemarahan rakyat itu untuk kepentingannya sendiri dalam rangka lebih mendiktekan kehendaknya kepada Soekarno. Kami kira, ini mulai terjadi setelah AD di bawah Soeharto meyakini bahwa Soekarno tidak bisa diajak untuk bersama melalui krisis nasional itu. Apalagi dalam penyelidikan AD, ternyata ada bukti kuat bahwa Soekarno memang terlibat —dalam bentuk seperti yang diutarakan di atas— dalam G30S itu. Apabila orang yang paling dihormati dan memegang kekuasaan tertinggi telah tidak bisa lagi diajak bekerja sama memperbaiki keadaan negara, maka cara yang tertinggal hanyalah menyingkirkannya. Pada titik inilah dimulai persiapan-persiapan menuju Supersemar.

Kesan kudeta harus sama sekali dihilangkan. Langkah yang dipilih adalah —istilah ini kemudian menjadi salah satu jargon politik Orde Baru yang sangat terkenal dan ampuh— “jalan konstitusional”. Sedang Presiden harus dikesankan menolak kehendak rakyat. Pada titik inilah Soeharto memerlukan rakyat, yang dalam hal ini adalah mahasiswa. Yang terakhir ini pun tidak mempermasalahkan bahu-membahunya karena tujuan Soeharto telah identik dengan mereka sendiri, yaitu menjatuhkan Soekarno. Bahwa mahasiswa relatif mandiri dari Soeharto dan AD, dibuktikan dari kenyataan bahwa tidak sampai dua tahun setelah Soeharto naik ke tampuk kekuasaan, mahasiswa yang sama kembali melakukan demonstrasi dan berunjuk rasa karena terjadinya banyak korupsi di tubuh pemerintahan Soeharto.

Lalu masalah kedua. Dalam kadar tertentu keterlibatan asing kemungkinan ada. Kadar-kadar yang dimaksud adalah pemberian bantuan finansial, dukungan moral, dan yang tak kalah penting adalah jaminan tempat pelarian yang aman (suaka politik) apabila kudeta gagal. Namun, mengatakan pihak asing, dalam hal ini CIA, bertindak sebagai penggerak kudeta adalah sama dengan meniadakan aspek dinamika dalam kehidupan negeri kita sendiri. Keadaan Indonesia saat itu telah sedemikian buramnya, sehingga setiap orang memiliki hak untuk menuntut adanya perubahan ke arah yang lebih baik. Soekarno tidak perlu dijatuhkan oleh pihak asing, atau Nekolim mengikuti kata-katanya sendiri. Konsepsinya tentang Nasakom sedemikian lemah dan absurdnya sehingga sebenarnya merupakan sebuah konsep untuk menggali liang kubur bagi pemerintahannya sendiri.

La yukalifullahu nafsan ila wus’aha


Daftar Pustaka 
  • Feith, Herbert. 1995. Soekarno-Militer dalam Demokrasi Terpimpin. Terjemahan. Jakarta: Sinar Harapan. 
  • Hanafi, Anak Marhaen. 1998. Menggugat Kudeta Jend. Soeharto dari Gestapu ke Supersemar: Catatan Pengalaman Pribadi Seorang Eksponen Angkatan ’45. Lile: Edition Montblanc.
  • Sundhaussen, Ulf. 1988. Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwi Fungsi ABRI. Terjemahan. Jakarta: LP3ES, cet-2.

Minggu, 22 April 2012

Perspektif Historis Hubungan Islam dan Negara

Weko Kuncara 


Ada sebuah adagium menarik yang diterima secara luas di dunia Islam. Bahwa Islam adalah din wa al-dawlah. Islam adalah agama sekaligus negara. Menarik karena dengan adagium ini ingin ditegaskan bahwa Islam, berbeda dengan agama-agama lain, tidak memisahkan urusan agama dan politik; bahkan bila dikembangkan lebih lanjut, Islam tidak menarik garis pemisah antara urusan dunia dan akhirat. Penegasan ini jelas berbeda dengan “doktrin” politik modern bahwa politik harus dipisahkan dari agama. Bila pemuka-pemuka agama-agama selain Islam, tampaknya, tidak terlalu menentang “doktrin” politik modern ini, maka berbeda halnya dengan pemuka-pemuka agama Islam. Tidak masuk bagi akal mereka, bahwa Islam memisahkan urusan negara dari agama, mengingat hampir dua per tiga al-Quran sendiri membicarakan tentang penataan masyarakat yang ideal. Bagi mereka, Islam, lebih dari sekadar sebuah agama (yang konotasinya terlanjur dimaknai sebagai institusi sosial yang mengatur tata ritual), adalah sebuah way of life, sebuah pedoman menjalani kehidupan. Oleh karenanya, semua perkara manusia, baik dalam hubungannya dengan Tuhan (konsep teologis), alam (konsep kosmologis) maupun antar manusia (konsep sosial), merupakan satu-kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, merupakan sebuah sistem. Maka wajar bila pemikiran untuk memisahkan agama dan negara dianggap terlalu mengada-ada.

Walaupun dalam bagian-bagian tertentu, pemikiran tersebut ada benarnya, tetapi, sungguh, penerimaan adagium din wa al-dawlah adalah hal yang cukup problematis. Telah jelas bahwa Islam adalah sebuah agama, namun apakah memang Islam adalah negara? Malahan tidak dijumpai satu kata pun dalam al-Quran yang sepadan arti dengan negara. Kata yang paling dekat dengan arti negara adalah “baldah” (QS. 34:15), tetapi kata ini lebih mendekati makna “negeri” daripada negara, digunakan dalam konteks kekayaan alam, dan karenanya sama sekali tidak memiliki implikasi makna politis apalagi konsep kenegaraan. Kalau demikian halnya, lalu bagaimana sesungguhnya hubungan antara Islam dan negara? Pertanyaan inilah yang hendak dijawab dalam tulisan ini. Selanjutnya, tulisan ini juga akan berusaha menelusuri sejarah hubungan Islam dan negara.

 
Konsepsi Hubungan Islam dan Negara
 
Setidaknya terdapat tiga pendapat mengenai hal ini. Pertama, seperti telah disinggung di muka, adalah pendapat bahwa tidak boleh ada pemisahan antara agama (Islam) dan negara. Di masa modern ini, sejauh yang penulis ketahui, hanya ada dua pengarang yang telah menulis perihal pendapat ini dengan cara yang paling sistematik. Pengarang pertama adalah Maulana al-Mawdudi, seorang pembela Islam-konservatif dari Pakistan yang sangat konsisten, memiliki pengaruh yang mendunia dan, mungkin merupakan satu-satunya pemikir Islam-konservatif yang paling serius dan sistematik. Bukunya yang berjudul Sistem Politik Islam: Hukum dan Konstitusi (Bandung: Mizan, 1990), merupakan terjemahan yang aslinya ditulis dalam bahasa Inggris. Pengarang kedua adalah Muhammad Dhiya’ al-Din al-Rais, seorang profesor ilmu politik dari Mesir, yang menulis buku Teori Politik Islam (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), yang aslinya ditulis dalam bahasa Arab (al-Nazhariyyah al-Siyasiyah al-Islamiyyah, 1957). Kedua buku ini ditulis, meski di tempat yang berjauhan, dalam waktu yang hampir bersamaan dan menghasilkan pemikiran yang boleh dibilang hampir identik. Menurut mereka, Islam, baik melalui al-Quran maupun Sunnah Nabi, telah memberikan konsep yang jelas dalam masalah politik dan kenegaraan. Bahwa sistem pemerintahan yang Islami adalah khilafah (teo-demokrasi dalam istilah al-Mawdudi), dan hanya boleh ada seorang khalifah yang diperkenankan untuk berkuasa di seluruh Dunia Islam (Islamdom). Segala macam perbincangan mengenai demokrasi, misalnya, adalah sama dengan mencoba meng-halal-kan sesuatu yang memang telah haram. Ini karena kedaulatan tidaklah terletak di tangan rakyat, melainkan dalam genggaman Tuhan (sovereignity of God), karena Tuhan-lah yang menciptakan segala yang ada di bumi. Tuhan-lah penguasa yang sesungguhnya. Maka, khalifah bukanlah penguasa yang sesungguhnya, tetapi hanya Wakil Tuhan. Namun, sebagai seorang Wakil Tuhan di muka bumi, ia adalah seorang Muslim terbaik dan karena itu merupakan satu-satunya penafsir Islam yang paling otoritatif.

Masalah serius yang dihadapi oleh para penganjur pendapat ini adalah bahwa bukan saja gagasan mereka ini tidak pernah didukung oleh sejarah Islam, dengan kata lain utopis, gagasan ini malah mereka klaim sebagai satu-satunya konsep yang “Islami”. Menjadi serius karena ternyata tidak satu ayat pun dalam al-Quran, juga teladan Nabi, yang dapat dipakai untuk mendukung konsep yang mereka nyatakan sebagai “Islami” itu. Kata khalifah, misalnya, memang ada disebut dalam al-Quran (misalnya QS. 2:30), tetapi jelas konteksnya adalah penciptaan manusia sebagai “khalifah” di bumi, bukan penguasa politik. Kalau kata ini dipaksa memiliki implikasi makna politis, maka hasilnya malah akan membingungkan. Sebabkan bukankah semua manusia itu, berdasarkan ayat tersebut, adalah “khalifah”? Seorang profesor politik dari Pakistan, Qamaruddin Khan, dalam bukunya yang tipis, tetapi sangat menarik dan meyakinkan, Tentang Teori Politik Islam (1987; edisi Inggrisnya ditulis dalam tahun 1973), menunjukkan kepada kita bahwa tidak terdapat satu ayat pun dalam al-Quran yang dapat dikatakan memiliki implikasi konsep politik dan kenegaraan tertentu. Sementara itu, buku Asghar Ali Engineer yang baru terbit dalam bahasa Indonesia, Devolusi Negara Islam (2000; edisi Inggrisnya mungkin ditulis pada awal 1980-an), menunjukkan dengan cukup argumentatif bahwa ide-ide khilafah al-Mawdudi hanyalah penegasan kembali teori politik Islam abad pertengahan yang disusun dalam rangka melanggengkan kekuasaan monarki saat itu. Terlepas dari keberatan penulis atas beberapa gagasan Engineer yang jelas-jelas terpengaruh Marxisme, penulis berpendapat bahwa tulisan ini dapat digunakan sebagai acuan untuk menunjukkan kelemahan serius teori al-Mawdudi.

Pendapat kedua menyatakan bahwa antara Islam dan negara, dan lebih luas lagi politik, tidak terdapat hubungan sama sekali. Keduanya merupakan masalah yang berbeda. Agama mengisi wilayah spiritual manusia, sedang negara atau politik menangani wilayah sosial dan material manusia. Tak ada hal yang dapat menyatukan keduanya. Bahkan, demikian dikatakan pendapat ini, kekuasaan yang dimiliki Nabi Muhammad saw. di Madinah menjelang wafatnya beliau adalah sebuah kekuasaan hasil dari usaha yang “tak disengaja” atau “tak disadari” atas penyebaran dakwah beliau. Misi Nabi saw “hanyalah” menyampaikan wahyu dan risalah Tuhan kepada manusia, bukan untuk membangun negara atau menyusun komunitas politik tertentu. Inilah yang kemudian dikenal sebagai pemikiran sekularisme. Para pendukung sekularisme, yang paling terkenal di antaranya adalah Ali Abdur Raziq dan Mustafa Kemal (Ataturk, bahasa Turki yang berarti Bapak Bangsa). Yang terakhir ini, meski tidak memiliki tulisan sistematis mengenai pemikirannya, tetapi praktik-praktik politik dan pidato-pidatonya jelas mengindikasikan gagasan sekularismenya. Di antaranya yang paling dramatis, dan masih disesalkan oleh banyak Muslim dewasa ini, adalah maklumatnya untuk menghapus kekhalifahan Turki Utsmani di tahun 1924, serta penggantian Syari’ah dengan hukum positif yang diadopsi dari hukum negara Swiss. Sementara Ali Abdur Raziq menuliskan gagasannya dalam sebuah buku, yang meskipun kecil, tetapi ditata dengan cara yang sistematik dan argumentatif. Buku itu, Khilafah dan Pemerintahan dalam Islam (Bandung: Pustaka, 1985; aslinya, al-Islam wa Ushul al-Hukm, 1925), hingga sekarang masih terus-menerus diperdebatkan karena kandungannya yang memang kontroversial dari sudut pandang Islam mainstream. Untuk menunjukkan letak kontroversialnya, cukuplah di sini dikatakan bahwa segera setelah menerbitkan bukunya itu, Abdur Raziq diberhentikan dari jabatannya sebagai salah seorang Syaikh al-Azhar, sebuah posisi sosial yang cukup prestisius, dan dilarang untuk memegang posisi administratif keagamaan apapun di Mesir.

Harus dicatat bahwa para penganjur sekularisme, jadi termasuk keduanya, gagal untuk “membuktikan sesuatu yang tidak mungkin, yakni bahwa Nabi Muhammad, ketika beliau bertindak sebagai seorang pembuat hukum atau seorang pemimpin politik, telah bertindak  secara ekstra-religius dan sekular…” (Rahman 1984, 337). Pernyataan ini tidak menafikkan kenyataan bahwa dalam kehidupan politik praktis di dunia Islam dewasa ini, sekularisme merupakan gejala umum.

Pendapat ketiga, sebenarnya, bukanlah orisinal hasil pemikiran modern, karena telah dikemukakan jauh sebelumnya oleh pencetus sesungguhnya gagasan modernisasi Islam, Ibn Taimiyyah. Pembaru yang hidup di jaman pertengahan ini menyatakan bahwa Islam dan negara adalah dua hal yang berbeda. Sebagai sebuah way of life, Islam, dalam hal ini al-Quran, menyediakan sejumlah tata nilai yang dapat digunakan untuk membangun sebuah tata politik. Risalah Islam harus disyiarkan ke seluruh dunia, dan Syari’ah harus dilaksanakan oleh kaum Muslim. Untuk melaksanakan kedua hal tersebut diperlukan suatu kekuatan yang dapat menjamin kelangsungan syiar risalah Islam dan menjaga pelaksanaan Syari’ah Islam, itulah “pedang” Islam. Tetapi jelaslah bahwa “pedang” itu berbeda dengan Islam sendiri. Karena syiar dan Syari’ah Islam tidak dapat dijamin pelaksanaannya tanpa “pedang” itu, maka keberadaan “pedang” itu merupakan suatu necessity conditions, suatu persyaratan yang harus dipenuhi adanya. “Pedang” yang dimaksud tak lain dan tak bukan adalah kekuasaan, sistem politik yang teratur dan kuat, atau, tepatnya lagi, negara itu sendiri. Jadi negara, dalam konsepsi Ibn Taimiyyah, tidaklah identik dengan agama (Islam); melainkan sebuah alat yang harus ada untuk mencapai tujuan-tujuan Islam.
 
Kini kami akan menunjukkan bagaimana pola hubungan antara Islam dan negara ini harus ditempatkan.
 
Pertama-tama, harus disepakati terlebih dahulu bahwa bila Islam itu sendiri adalah agama yang berasal dari Tuhan, dan karenanya tidak bisa salah, tetapi Islam sebagaimana dipahami oleh umatnya bisa jadi salah. Pengamat biasa menyebut yang pertama sebagai Islam-ideal sedang yang kedua sebagai Islam-historis. Inilah sebabnya potret Islam dalam sejarahnya tidak pernah tunggal. Bila al-Quran adalah satu dan sama bagi seluruh kaum Muslim, tetapi tafsir (yakni upaya umat Islam untuk memahami) al-Quran tidak pernah tunggal. Maka membicarakan suatu sistem sosial Islam (dalam hal ini adalah masalah kenegaraan), dapat diartikan sebagai upaya umat Islam untuk menata suatu masyarakat yang didasarkan kepada sumber-sumber ajaran Islam, dalam hal ini al-Quran dan Sunnah (atau teladan Nabi saw.) yang otentik. Klarifikasi atas proposisi ini adalah penting, karena bagi sebagian kaum Muslim, Islam tidak bisa dipertanyakan lagi keabsahannya. Tanpa menyadari bahwa sebenarnya Islam tidak pernah menjelaskan dirinya sendiri kepada kita, melainkan justru kita yang berusaha memahami Islam. Karena kita yang berusaha memahami, dan dengan demikian memasukkan variabel keterbatasan kita sebagai manusia, maka pemahaman itu boleh jadi salah atau setidaknya memiliki kekurangan. Posisi ini tidak perlu dipahami sebagai menafikkan adanya kebenaran-kebenaran yang dapat diraih dalam upaya itu. Sebuah hal yang telah jelas dengan sendirinya.
 
Sebagai sebuah agama yang telah mendapatkan legitimasi dari Tuhan (QS. 5:3; 3:85, 102), Islam meliputi dan mencakup segala sesuatu, tidak ada yang dialpakan oleh Tuhan (QS. 6:38). Islam berbicara mengenai hubungan manusia dengan Tuhan, dengan sesama manusia, dan bagaimana ia sebaiknya berlaku dan bertutur. Ia mengatur mulai dari perkara kecil hingga hal-hal yang besar. Tetapi sebagai sebuah agama, Islam menjelaskan dirinya dalam nuansa yang berbeda dengan yang lazim dijumpai dalam buku-buku sosiologi ataupun hukum. Betapapun juga al-Quran bukanlah sebuah kitab hukum atau risalah sosiologi. Ia menjelaskan segalanya dengan menggunakan bahasa-bahasa religius dan dalam suatu visi yang umum. Bahasa religius diperlukan agar manusia dalam menjalankan aturan-aturan Islam senantiasa tetap berada dalam kerangka Islam itu sendiri. Secara psikologis ia akan merasa tetap dalam naungan Tuhan, motif-motif tindakannya harus berwawasan eskatologis dan mendapatkan tempat keluh kesah yang pantas bila ia menjumpai kesulitan dalam merealisasikan aturan Islam. Maka bila hujan, misalnya, dikatakan oleh ilmuwan sebagai turunnya air laut dari awan yang telah diuapkan oleh matahari, tetapi oleh al-Quran dikatakan sebagai semata-mata diciptakan oleh Tuhan. Tidak ada pertentangan dalam hal ini. Bukankah alam semesta, termasuk di dalamnya matahari, bumi, laut, dan awan adalah ciptaan Tuhan? Juga tidak ada persoalan ketika al-Quran menyatakan bahwa bila seseorang mendapatkan uang karena bekerja, rejekinya itu dikatakan sebagai pemberian Tuhan.
 
Dalam bahasa-bahasa religius yang dipergunakan oleh Tuhan untuk menuntun manusia hidup di dunia itu, seorang Muslim diharapkan mampu menangkap suatu visi umum atas Islam itu sendiri. Visi ini adalah apa yang disebut oleh Fazlur Rahman sebagai: monotheisme, keadilan sosial-ekonomi, dan pertanggungjawaban akhir perbuatan manusia (Rahman 1984, 31-32). Ketiga visi umum ini merupakan suatu “dasar yang kukuh dan tidak berubah bagi semua prinsip-prinsip etik dan moral yang perlu bagi kehidupan ini (Maarif 1985, 10-11). Maka, terlihat di sini bahwa yang merupakan visi umum Islam adalah suatu penataan masyarakat yang berkeadilan yang dijalankan oleh orang-orang yang memiliki moralitas yang baik. Visi yang jelas dari al-Quran ini pada gilirannya harus diejawantahkan dalam suatu sistem sosial yang kongkrit, operable dan telah menanggalkan bahasa-bahasa religius karena ia sudah berbicara dalam realitas yang kongkrit dan material.
 
Dengan pendasaran yang cukup panjang di atas, tulisan ini lebih menyepakati pendapat ketiga. Bahwa negara harus dipandang sebagai alat atau sarana, yang mesti ada, untuk merealisasikan visi al-Quran di atas. Bagaimana bentuk dan sistem sebuah negara harus dilaksanakan bukanlah lagi wilayah yang harus dibahas apalagi dikonseptualisasikan oleh al-Quran. Jelas bahwa bentuk ini tergantung pada keadaan kongkrit masyarakat, yang karenanya dapat berbeda dalam setiap keadaan sosial yang berbeda. Dengan ini dapat dijelaskan, bahwa meskipun seluruh bentuk kekuasaan, baik eksekutif, yudikatif maupun legislatif, berada di tangan Nabi, Abu Bakar dan Umar pada masanya masing-masing — suatu posisi yang dalam ukuran sekarang dinyatakan sebagai tidak demokratis, sedangkan demokrasi sendiri saat ini dipandang sebagai sistem yang lebih mendekati Islam daripada sistem pemerintahan yang lain— namun tidak dapat dikatakan bahwa apa yang dilakukan oleh tiga pemimpin pertama Islam itu sebagai tidak Islami.
 
Dengan ukuran-ukuran di atas, marilah sekarang kita menelusuri perjalanan historis hubungan antara Islam dan negara di sepanjang sejarah Islam.

 
Penelusuran Historis
 
Segera setelah melakukan hijrah ke Madinah, Nabi saw segera membangun masyarakatnya. Berbeda dengan yang diyakini oleh banyak kalangan, di Madinah Nabi saw tidak serta merta mendapatkan kekuasaan politis yang penuh. Dia hanya salah satu di antara beberapa pemimpin Madinah yang lain. Bahkan, sebagaimana terungkap dalam Piagam Madinah, yang dimaksudkan dengan ummah pada saat itu adalah keseluruhan orang, baik Muslim maupun non-Muslim, yang telah mengikatkan diri dalam Piagam Madinah itu. Pembukaan dan pasal pertama perjanjian itu berbunyi,
 
Dengan asma Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Ini adalah kitab (ketentuan tertulis) dari Muhammad, Nabi SAW, antara orang-orang mukmin dan muslim yang berasal dari Quraisy dan Yastrib dan yang mengikuti mereka, kemudian menggabungkan diri dengan mereka dan berjuang bersama mereka. 
(1)    Sesungguhnya mereka adalah umat yang satu, tidak termasuk golongan lain.

Jelaslah bahwa anak kalimat, “dan yang mengikuti mereka” tidak dapat dikatakan sebagai Muslim, baik Muhajirun maupun Anshar, karena kategori itu telah disebutkan sebelumnya. Namun lambat laun, karena strategi politik yang cemerlang, hal mana diakui oleh orientalis sekaliber W. Montgomery Watt, Bernard Lewis, Philip K. Hitti, dan Marshall G.S. Hogdson; Nabi berhasil mengonsolidasikan pengaruhnya dan pada akhirnya memantapkan posisinya sebagai satu-satunya penguasa tunggal Madinah. Menjelang wafatnya, Nabi adalah seorang penguasa efektif hampir seluruh Jazirah Arab, suatu keadaan kesatuan dan posisi politik yang belum pernah dicapai oleh pemimpin Arab manapun sebelumnya. Nabi tidak saja telah menunaikan tugas besarnya sebagai seorang pemimpin politik, tetapi juga secara sukses menundukkan kekuasaannya untuk diabdikan sebagai wahana menyebarkan risalah Ilahi. Nabi dapat saja, misalnya, hidup dalam kemewahan mengingat seperlima harta pampasan perang menjadi haknya, alih-alih seluruh harta itu malah digunakan untuk membiayai ekspedisi militer (ghazwah), dan dakwah Islam ke berbagai pelosok Arabia. Pada waktu meninggalnya, Nabi dicatat hanya memiliki harta tidak lebih dari 10 dinar dan sepetak tanah di Fadak, yang terletak di luar Madinah. Juga, Nabi dapat saja bergelimang dalam kekuasaan karena seluruh bentuk kekuasaan serta pusat kewibawaan berada dalam genggamannya, tetapi kekuasaan dan kewibawaan itu malah digunakannya untuk membuat orang tunduk dan bertakwa kepada Allah, bukan pada diri atau keluarganya. Bagi Muslim saat itu —bahkan boleh jadi hingga dewasa ini— Nabi tidak saja merupakan teladan kebaikan (QS. 33:21), tetapi telah dianggap sebagai perwujudan hidup al-Quran itu sendiri. Dikatakan, bila seseorang ingin mengetahui bagaimana al-Quran harus dilaksanakan, Nabi adalah contoh yang tepat. Meskipun pandangan ini, kelak, akan mengakibatkan permasalahan yang serius dalam metodologi memahami Islam; tetapi jelas bahwa Nabi adalah orang terbaik pada masanya. Seorang cendikiawan Muslim modern, Khalifa Abdul Hakim, mengomentari keadaan Nabi saat itu, ia adalah seorang filsuf-raja yang diimpikan oleh Plato. Seorang penguasa politik, raja, yang memiliki kebijaksanaan dan kearifan bagai seorang filsuf. Bila filsuf Yunani itu tidak sempat menyaksikan “wujud” orang yang diidealkannya, maka kaum Muslim harus bangga karena telah sempat memilikinya.
 
Meskipun pengganti Nabi, Abu Bakar dan kemudian Umar, bukanlah orang-orang yang mendapatkan wahyu secara langsung, namun mereka relatif mampu mempertahankan apa yang telah diupayakan oleh Nabi: menundukkan kekuasaan untuk kepentingan agama. Satu-satunya tindakan Abu Bakar yang dipertanyakan adalah serangannya terhadap kelompok pembangkang yang menolak membayar zakat. Bagi kelompok ini, zakat yang mereka bayarkan hanyalah mengikat kepada Nabi, bukan selainnya. Seiring dengan wafatnya Nabi, mereka menolak membayarkannya kepada penggantinya. Satu-satunya alasan yang dipakai Abu Bakar adalah, bahwa dia sebagai “khalifah” Nabi berhak menuntut ketaatan yang sama terhadap orang-orang yang telah mengikatkan diri kepada Nabi. Abu Bakar menganggap perikatan itu bukan antara kelompok pembangkang dengan Muhammad sebagai individu, tetapi Muhammad sebagai representasi Islam. Jelaslah di sini bahwa Abu Bakar mempersepsikan dirinya bukan sebagai penguasa politis Arab, yang mesti terikat dengan tradisi-politik kesukuan Arab, melainkan sebagai penerus misi Ilahiah Nabi. Sebagai pelanjut misi suci ini, dia berhak mengambil tindakan terhadap orang-orang yang terbukti ingkar terhadap kelangsungan misi tersebut.
 
Abu Bakar bukan pula orang yang gampang tergiur dengan kekuasaan besar yang dimilikinya. Ketika Nabi masih hidup dia malah bermaksud menginfakkan seluruh hartanya untuk perjuangan Islam. Pernah pula dikisahkan bahwa dia hanya mau menerima gaji sebesar 9 dirham (bukan dinar!) saja dari 10 dirham yang mestinya dia terima untuk tiap bulan, karena ternyata istrinya mampu menabung “kelebihan” satu dirham itu, meski dengan hidup yang amat sederhana. Padahal maksud istrinya menyimpan itu adalah untuk memberikan baju bagi suaminya, yang khalifah itu, karena Abu Bakar ternyata hanya memiliki dua potong baju.
 
Abu Bakar hanya memegang kekuasaannya selama dua tahun. Penggantinya, Umar, malah dikatakan sebagai orang yang sangat keras terhadap dirinya sendiri dibandingkan dengan sikap kerasnya terhadap orang lain. Sikap keras yang dimaksud di sini adalah keteguhan menjalankan misi Islam dan dalam pola hidup sederhananya. Banyak sekali kisah menarik, menyangkut kehidupan Islaminya, yang dikaitkan dengan cara Umar memerintah. Ia, misalnya, pernah menempuh kebijakan yang tidak populer —karena ditentang oleh mayoritas sahabat Nabi— untuk tidak membagikan tanah rampasan perang kepada para partisipan perang, karena baginya sistem itu akan memperlebar jurang kaya-miskin —suatu hal yang dikecam Islam semenjak awal kemunculannya— yang telah mulai muncul seiring dengan kesuksesannya menaklukkan daerah-daerah di luar Semenanjung Arabia (Mesir, Yerusalem, Syria dan Persia) yang menambah pundi-pundi kekayaan negaranya. Baginya, keadilan sosial dan penutupan kesenjangan kaya-miskin, bukannya memperkaya para peserta perang yang telah kaya raya, jauh lebih sesuai dengan semangat Islam dan al-Quran. Selanjutnya, tak perlu di sini dipaparkan karena kisah-kisah Umar lain karena telah seringkali diceritakan. Yang menjadi catatan di sini adalah keteguhan diri kedua pengganti Nabi itu untuk melanjutkan misi suci Islam. Hal ini menunjang persepsi-diri mereka sebagai “khalifah” Nabi dalam menerapkan pola pemerintah menundukkan kekuasaan dan negara di bawah risalah Islam. Keduanya menggunakan kekuasaan untuk dijadikan “pedang” agama (Islam).
 
Negara dalam Islam agak berbeda ceritanya ketika Utsman naik menggantikan Umar. Perlu dicatat di sini, Utsman menjadi khalifah ketika usianya telah mencapai sekitar 60 tahun dan berkuasa hingga 12 tahun lamanya. Dituturkan dalam sejarah, separo pertama kekuasaannya berjalan dengan tetap mempertahankan pola hubungan negara dan agama sebagai diterapkan oleh ketiga pendahulunya. Tetapi separo berikutnya dicatat sebagai saat kelemahannya sebagai seorang penguasa. Klannya, Umayyah, terlalu besar berpengaruh terhadap dirinya, sehingga dia tidak mampu mengendalikan mereka. Seringkali dituduhkan bahwa Utsman telah mengangkat penguasa-penguasa daerah dari pihak keluarganya sendiri, meskipun mereka itu bukanlah figur ideal dalam cita keislaman. Meskipun benar bahwa Utsman telah mengangkat berbagai pejabat itu dari pihak keluarganya, tetapi sebenarnya kebijakan ini telah ditempuh oleh Umar. Dari kalangan Muslim saat itu, individu-individu klan Umayyah umum dipandang sebagai orang-orang yang mumpuni baik dalam hal militer maupun administrasi pemerintahan, dalam hal ini contoh paling jelas adalah figur Muawiyah ibn Abi Sufyan. Tokoh penting dalam sejarah Islam ini dikenal sebagai orang yang memiliki hilmi, kecerdasan intelektual dan praktis. Bukankah Islam, dalam memilih pejabat pemerintahan lebih mengutamakan kompetensi daripada jenis hubungan apapun (keluarga, misalnya)? Apa yang membedakan pemerintahan Umar dan Utsman adalah bahwa yang pertama itu mampu menekan semangat “klan-isme” keluarga Umayyah yang dianggap sebagai tradisi peninggalan Arab pra-Islam. Sementara Utsman, barangkali karena usia atau kelemahan kepemimpinannya, gagal mengendalikan “klan-isme” itu (Madjid 1994, 673-674). Jadi sebenarnya, secara teknis dan administratif, belum ada yang berubah dalam kebijakan di tingkat khalifah.
 
Khalifah, Utsman, kemudian tidak lagi menjadi penguasa yang efektif, karena pemerintahan sehari-harinya kini dijalankan sekretaris khalifah, Marwan ibn Hakam, sepupunya. Kini, orang lebih sulit untuk dapat menjumpai khalifah secara langsung, karena harus melalui sekretaris, dan yang terakhir ini dapat saja menolak untuk mempertemukannya dengan khalifah. Itulah yang dihadapi oleh para pemrotes Utsman yang berasal dari Mesir ketika hendak mengeluhkan perilaku gubernur mereka, Amru ibn Ash. Terhadap pemimpin para pemrotes itu, Marwan mengatakan khalifah telah menerima keluhan dan hendaknya mereka segera kembali ke Mesir. Marwan sebenarnya tidak pernah mengatakan apapun kepada sang khalifah, karena memang belum ditemuinya. Alih-alih menyalurkan keluhan para pemrotes, Marwan malah memerintahkan untuk membunuh pemimpin pemrotes. Insiden ini menyebabkan peristiwa yang kemudian dijuluki sebagai fitnah al-kubra pertama, yang ditandai dengan tewasnya Utsman.

Ali, yang dalam keadaan terpaksa menerima tampuk pimpinan untuk menggantikan Utsman, mencoba untuk mengembalikan kekhalifahan sesuai dengan cita ideal yang telah ditegakkan oleh Nabi dan kedua penggantinya. Sayangnya, Ali tidak dapat berbuat lebih banyak untuk itu karena harus menghadapi perang-perang saudara, yang bila ditinjau dari kacamata yang jernih, tidak masuk akal sama sekali. Baik Aisyah (Perang Jamal) maupun Muawiyah (Perang Shiffin) menuntut balas atas kematian Utsman. Bila memang demikian, mengapa keduanya tidak bergabung? Secara tentatif dapatlah dikatakan bahwa keduanya pastilah memilik motif perang yang berbeda. Ali juga harus menghadapi golongan Haruriyah (yang kemudian dijuluki kaum Khawarij, sebuah istilah yang jelas nada pejoratifnya). Tak ada ketenangan dalam pemerintahan Ali, juga tidak ada penataan pemerintahan yang efektif darinya. Wajar karena kewibawaannya sendiri hanya terbatas pengaruhnya. Karena yang terakhir inilah dia sengaja memindahkan pusat kekuasaannya ke Kufah, untuk dapat berada secara langsung di tengah-tengah para pendukungnya. Pemerintahan Ali yang keras, hampir sekeras cara Umar memerintah, berakhir di ujung belati seorang Khawarij, Ibn Muljam.
 
Hasan yang diangkat oleh para pendukung Ali untuk menggantikan ayahnya, hanya bertahan selama beberapa bulan untuk kemudian menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyah. Di tangan Muawiyah inilah, sejarah hubungan negara dan agama dalam Islam benar-benar berubah. Ia segera menata kekuasaannya ke dalam cara orang-orang Byzantium menata kekuasaan. Negara yang didasarkan kepada partisipasi rakyat telah tak ada lagi. Ia menunjuk anaknya, Yazid, sebagai penggantinya. Ia-lah peletak sesungguhnya monarki dalam sejarah Islam. Terlalu banyak sejarawan yang menuturkan, sehingga tak perlu diperbincangkan panjang lebar lagi, bahwa untuk melanggengkan kekuasaannya Muawiyah dan penerusnya menempuh segala cara, bahkan bila perlu menggunakan dalil-dalil keagamaan dan doktrin teologis. Benarlah Jalaluddin Rakhmat (1994, 694-708) ketika mengatakan, “…baik skisma dalam Kristen maupun skisma dalam Islam lebih banyak dilandasi pertikaian kepentingan politik daripada karena pertikaian aqidah.” Pertikaian politik ini kemudian dicarikan legitimasinya dengan pengembangan teologi yang berlainan. Hal mana tidak jarang dilakukan dengan penafsiran yang diselewengkan atau pemalsuan sumber-sumber agama.
 
Kekuasaan dinasti Umayyah yang berlangsung selama 90 tahun digantikan oleh dinasti Abbasiyyah yang sukses mengkudeta dinasti Umayyah di bawah pimpinan Abu Muslim atau Abu Abbas al-Shaffah (salah seorang keturunan Abbas, paman Nabi, darimana kata Abbas diambil, yang sekaligus menunjukkan klaim kemuliaan keluarga Abu Muslim dibanding keluarga Umayyah, yang nenek moyang mereka memusuhi Nabi dan orang-orang beriman pertama). Tak ada praktik kekuasaan yang berbeda antara Umayyah dan Abbasiyyah. Hal yang memberikan ciri beda hanyalah, bila Umayyah lebih mengacu pada pola Byzantium maka Abbasiyyah menggunakan pola Sasanid Persia). Tetapi, tetap, secara keseluruhan mereka adalah dua sisi dari satu mata uang yang sama. Agama tidak lagi digunakan sebagai basis untuk menjalankan kekuasaan, malahan diperalat untuk melanggengkannya. Kekuasaan menindas siapa saja, tidak jarang malah para pemuka agama yang dihormati (misalnya, Abu Hanifah dan Ahmad ibn Hanbal) yang dianggap menentang penguasa, penindasan mana tidak jarang diberi pembenaran agama.
 
Maka bila terhadap Utsman dan Ali, kita agak sulit menilai hubungan antara agama dan negara karena kegelapan sejarah yang melingkupi periode itu, terhadap dinasti model Umayyah dan Abbsiyyah kita dapat dengan mudah memberikan penilaian. Sedikit sekali, kalau bukan malah tidak ada, ciri cita ideal Islami yang telah ditegakkan oleh Nabi. Kekuasaan menjadi korup (baik dalam arti rusak, kotor atau menyeleweng), untuk mengutip istilah Lord Acton. Asghar Ali Engineer (2000), misalnya, dengan tepat mengaksentuasi fakta, bahwa telah semenjak dinasti Umayyah awal, para penguasa dan kelas kayanya, mengumbar hawa nafsu di muka umum bahkan di Madinah. Klub-klub yang mempertontonkan dansa-dansi pria-wanita yang mengumbar birahi dan menyajikan minuman keras banyak dijumpai di Madinah, hanya kira-kira tiga puluh tahun sepeninggal Nabi. Keadaan ini terus-menerus berlangsung sepanjang sejarah kekuasaan dalam Islam, hingga kekhalifahan itu dihapuskan oleh Mustafa Kemal.
 
Menjadi ironi bagi Islam, karena justru dalam kegelapan pola hubungan antara agama dan negara itulah, Islam mencapai puncak kejayaannya. Kejayaan yang barangkali tidak pernah dirasakan oleh peradaban-peradaban besar dunia lainnya. Masa dinasti Umayyah (661-750 di Baghdad dan 756-1031 di Spanyol) mencatatkan dirinya sebagai periode perluasan Dunia Islam yang secara spektakuler mampu menguasai hampir seperlima daratan bumi. Belum lagi bila ini ditambahkan dengan perluasan di masa Turki-Utsmani (1282-1924) dan dinasti Moghul (1526-1858). Sementara itu periode dinasti Abbasiyyah (749-1258 di Baghdad dan 1261-1517 di Mesir) dicatat sebagai masa di mana peradaban Islam menjadi pusat perabadan dunia. Kebudayaan material dan spiritual mendapatkan ekspresinya secara maksimal. Baghdad, dan kemudian Mesir, dianggap sebagai pusat ilmu pengetahuan dunia. Di periode-periode yang kemudian, dalam masa dinasti Safawi (1501-1732) di Persia, kota Isfahan bahkan sampai hari ini dianggap sebagai kota paling cantik yang pernah ada di dunia, jauh lebih cantik dibandingkan taman-taman gantung yang pernah dimiliki Babilonia. Segala penjelasan yang masuk akal atas ironi ini masih merupakan subjek penelitian yang berharga, namun di luar lingkup tulisan ini.

 

Referensi

Affendi, Abdelwahab el-. 1994. Masyarakat Tak Bernegara. terj. Amiruddin Ar-Rani. Yogyakarta: LKiS.
Bosworth, CE. 1993. Dinasti-dinasti Islam. terj. Ilyas Hasan. Bandung: Mizan.
Engineer, Asghar Ali. 2000. Devolusi Negara Islam. terj. Imam Mutaqin. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Khan, Qamaruddin. 1987. Tentang Teori Politik Islam. terj. Taufik Adnan Amal. Bandung: Pustaka.
Maarif, Ahmad Syafii. 1985. Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante. Jakarta: LP3ES.
Madjid, Nurcholish. 1994. “Skisme dalam Islam: Tinjauan Singkat Secara Kritis-Historis Proses Dini Perpecahan Sosial-Keagamaan Islam”. dalam Budhy Munawar-Rachman, (ed). 1994. Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina. hlm. 668-691.
Pulungan, J. Suyuthi. 1994. Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Pulungan, J. Suyuthi. 1996. Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah: Ditinjau dari Pandangan al-Quran. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Cet-2.
Rahman, Fazlur. 1984. Islam. terj. Anas Mahyuddin. Bandung: Pustaka.
Rakhmat, Jalaluddin. 1994. “Skisma dalam Islam: Sebuah Telaah Ulang”. dalam Budhy Munawar-Rachman, (ed). 1994. Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina. hlm. 692-708.
Sjadzali, Munawir. 1993. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: UI-Press. Cet-3.