Minggu, 22 April 2012

Perspektif Historis Hubungan Islam dan Negara

Weko Kuncara 


Ada sebuah adagium menarik yang diterima secara luas di dunia Islam. Bahwa Islam adalah din wa al-dawlah. Islam adalah agama sekaligus negara. Menarik karena dengan adagium ini ingin ditegaskan bahwa Islam, berbeda dengan agama-agama lain, tidak memisahkan urusan agama dan politik; bahkan bila dikembangkan lebih lanjut, Islam tidak menarik garis pemisah antara urusan dunia dan akhirat. Penegasan ini jelas berbeda dengan “doktrin” politik modern bahwa politik harus dipisahkan dari agama. Bila pemuka-pemuka agama-agama selain Islam, tampaknya, tidak terlalu menentang “doktrin” politik modern ini, maka berbeda halnya dengan pemuka-pemuka agama Islam. Tidak masuk bagi akal mereka, bahwa Islam memisahkan urusan negara dari agama, mengingat hampir dua per tiga al-Quran sendiri membicarakan tentang penataan masyarakat yang ideal. Bagi mereka, Islam, lebih dari sekadar sebuah agama (yang konotasinya terlanjur dimaknai sebagai institusi sosial yang mengatur tata ritual), adalah sebuah way of life, sebuah pedoman menjalani kehidupan. Oleh karenanya, semua perkara manusia, baik dalam hubungannya dengan Tuhan (konsep teologis), alam (konsep kosmologis) maupun antar manusia (konsep sosial), merupakan satu-kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, merupakan sebuah sistem. Maka wajar bila pemikiran untuk memisahkan agama dan negara dianggap terlalu mengada-ada.

Walaupun dalam bagian-bagian tertentu, pemikiran tersebut ada benarnya, tetapi, sungguh, penerimaan adagium din wa al-dawlah adalah hal yang cukup problematis. Telah jelas bahwa Islam adalah sebuah agama, namun apakah memang Islam adalah negara? Malahan tidak dijumpai satu kata pun dalam al-Quran yang sepadan arti dengan negara. Kata yang paling dekat dengan arti negara adalah “baldah” (QS. 34:15), tetapi kata ini lebih mendekati makna “negeri” daripada negara, digunakan dalam konteks kekayaan alam, dan karenanya sama sekali tidak memiliki implikasi makna politis apalagi konsep kenegaraan. Kalau demikian halnya, lalu bagaimana sesungguhnya hubungan antara Islam dan negara? Pertanyaan inilah yang hendak dijawab dalam tulisan ini. Selanjutnya, tulisan ini juga akan berusaha menelusuri sejarah hubungan Islam dan negara.

 
Konsepsi Hubungan Islam dan Negara
 
Setidaknya terdapat tiga pendapat mengenai hal ini. Pertama, seperti telah disinggung di muka, adalah pendapat bahwa tidak boleh ada pemisahan antara agama (Islam) dan negara. Di masa modern ini, sejauh yang penulis ketahui, hanya ada dua pengarang yang telah menulis perihal pendapat ini dengan cara yang paling sistematik. Pengarang pertama adalah Maulana al-Mawdudi, seorang pembela Islam-konservatif dari Pakistan yang sangat konsisten, memiliki pengaruh yang mendunia dan, mungkin merupakan satu-satunya pemikir Islam-konservatif yang paling serius dan sistematik. Bukunya yang berjudul Sistem Politik Islam: Hukum dan Konstitusi (Bandung: Mizan, 1990), merupakan terjemahan yang aslinya ditulis dalam bahasa Inggris. Pengarang kedua adalah Muhammad Dhiya’ al-Din al-Rais, seorang profesor ilmu politik dari Mesir, yang menulis buku Teori Politik Islam (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), yang aslinya ditulis dalam bahasa Arab (al-Nazhariyyah al-Siyasiyah al-Islamiyyah, 1957). Kedua buku ini ditulis, meski di tempat yang berjauhan, dalam waktu yang hampir bersamaan dan menghasilkan pemikiran yang boleh dibilang hampir identik. Menurut mereka, Islam, baik melalui al-Quran maupun Sunnah Nabi, telah memberikan konsep yang jelas dalam masalah politik dan kenegaraan. Bahwa sistem pemerintahan yang Islami adalah khilafah (teo-demokrasi dalam istilah al-Mawdudi), dan hanya boleh ada seorang khalifah yang diperkenankan untuk berkuasa di seluruh Dunia Islam (Islamdom). Segala macam perbincangan mengenai demokrasi, misalnya, adalah sama dengan mencoba meng-halal-kan sesuatu yang memang telah haram. Ini karena kedaulatan tidaklah terletak di tangan rakyat, melainkan dalam genggaman Tuhan (sovereignity of God), karena Tuhan-lah yang menciptakan segala yang ada di bumi. Tuhan-lah penguasa yang sesungguhnya. Maka, khalifah bukanlah penguasa yang sesungguhnya, tetapi hanya Wakil Tuhan. Namun, sebagai seorang Wakil Tuhan di muka bumi, ia adalah seorang Muslim terbaik dan karena itu merupakan satu-satunya penafsir Islam yang paling otoritatif.

Masalah serius yang dihadapi oleh para penganjur pendapat ini adalah bahwa bukan saja gagasan mereka ini tidak pernah didukung oleh sejarah Islam, dengan kata lain utopis, gagasan ini malah mereka klaim sebagai satu-satunya konsep yang “Islami”. Menjadi serius karena ternyata tidak satu ayat pun dalam al-Quran, juga teladan Nabi, yang dapat dipakai untuk mendukung konsep yang mereka nyatakan sebagai “Islami” itu. Kata khalifah, misalnya, memang ada disebut dalam al-Quran (misalnya QS. 2:30), tetapi jelas konteksnya adalah penciptaan manusia sebagai “khalifah” di bumi, bukan penguasa politik. Kalau kata ini dipaksa memiliki implikasi makna politis, maka hasilnya malah akan membingungkan. Sebabkan bukankah semua manusia itu, berdasarkan ayat tersebut, adalah “khalifah”? Seorang profesor politik dari Pakistan, Qamaruddin Khan, dalam bukunya yang tipis, tetapi sangat menarik dan meyakinkan, Tentang Teori Politik Islam (1987; edisi Inggrisnya ditulis dalam tahun 1973), menunjukkan kepada kita bahwa tidak terdapat satu ayat pun dalam al-Quran yang dapat dikatakan memiliki implikasi konsep politik dan kenegaraan tertentu. Sementara itu, buku Asghar Ali Engineer yang baru terbit dalam bahasa Indonesia, Devolusi Negara Islam (2000; edisi Inggrisnya mungkin ditulis pada awal 1980-an), menunjukkan dengan cukup argumentatif bahwa ide-ide khilafah al-Mawdudi hanyalah penegasan kembali teori politik Islam abad pertengahan yang disusun dalam rangka melanggengkan kekuasaan monarki saat itu. Terlepas dari keberatan penulis atas beberapa gagasan Engineer yang jelas-jelas terpengaruh Marxisme, penulis berpendapat bahwa tulisan ini dapat digunakan sebagai acuan untuk menunjukkan kelemahan serius teori al-Mawdudi.

Pendapat kedua menyatakan bahwa antara Islam dan negara, dan lebih luas lagi politik, tidak terdapat hubungan sama sekali. Keduanya merupakan masalah yang berbeda. Agama mengisi wilayah spiritual manusia, sedang negara atau politik menangani wilayah sosial dan material manusia. Tak ada hal yang dapat menyatukan keduanya. Bahkan, demikian dikatakan pendapat ini, kekuasaan yang dimiliki Nabi Muhammad saw. di Madinah menjelang wafatnya beliau adalah sebuah kekuasaan hasil dari usaha yang “tak disengaja” atau “tak disadari” atas penyebaran dakwah beliau. Misi Nabi saw “hanyalah” menyampaikan wahyu dan risalah Tuhan kepada manusia, bukan untuk membangun negara atau menyusun komunitas politik tertentu. Inilah yang kemudian dikenal sebagai pemikiran sekularisme. Para pendukung sekularisme, yang paling terkenal di antaranya adalah Ali Abdur Raziq dan Mustafa Kemal (Ataturk, bahasa Turki yang berarti Bapak Bangsa). Yang terakhir ini, meski tidak memiliki tulisan sistematis mengenai pemikirannya, tetapi praktik-praktik politik dan pidato-pidatonya jelas mengindikasikan gagasan sekularismenya. Di antaranya yang paling dramatis, dan masih disesalkan oleh banyak Muslim dewasa ini, adalah maklumatnya untuk menghapus kekhalifahan Turki Utsmani di tahun 1924, serta penggantian Syari’ah dengan hukum positif yang diadopsi dari hukum negara Swiss. Sementara Ali Abdur Raziq menuliskan gagasannya dalam sebuah buku, yang meskipun kecil, tetapi ditata dengan cara yang sistematik dan argumentatif. Buku itu, Khilafah dan Pemerintahan dalam Islam (Bandung: Pustaka, 1985; aslinya, al-Islam wa Ushul al-Hukm, 1925), hingga sekarang masih terus-menerus diperdebatkan karena kandungannya yang memang kontroversial dari sudut pandang Islam mainstream. Untuk menunjukkan letak kontroversialnya, cukuplah di sini dikatakan bahwa segera setelah menerbitkan bukunya itu, Abdur Raziq diberhentikan dari jabatannya sebagai salah seorang Syaikh al-Azhar, sebuah posisi sosial yang cukup prestisius, dan dilarang untuk memegang posisi administratif keagamaan apapun di Mesir.

Harus dicatat bahwa para penganjur sekularisme, jadi termasuk keduanya, gagal untuk “membuktikan sesuatu yang tidak mungkin, yakni bahwa Nabi Muhammad, ketika beliau bertindak sebagai seorang pembuat hukum atau seorang pemimpin politik, telah bertindak  secara ekstra-religius dan sekular…” (Rahman 1984, 337). Pernyataan ini tidak menafikkan kenyataan bahwa dalam kehidupan politik praktis di dunia Islam dewasa ini, sekularisme merupakan gejala umum.

Pendapat ketiga, sebenarnya, bukanlah orisinal hasil pemikiran modern, karena telah dikemukakan jauh sebelumnya oleh pencetus sesungguhnya gagasan modernisasi Islam, Ibn Taimiyyah. Pembaru yang hidup di jaman pertengahan ini menyatakan bahwa Islam dan negara adalah dua hal yang berbeda. Sebagai sebuah way of life, Islam, dalam hal ini al-Quran, menyediakan sejumlah tata nilai yang dapat digunakan untuk membangun sebuah tata politik. Risalah Islam harus disyiarkan ke seluruh dunia, dan Syari’ah harus dilaksanakan oleh kaum Muslim. Untuk melaksanakan kedua hal tersebut diperlukan suatu kekuatan yang dapat menjamin kelangsungan syiar risalah Islam dan menjaga pelaksanaan Syari’ah Islam, itulah “pedang” Islam. Tetapi jelaslah bahwa “pedang” itu berbeda dengan Islam sendiri. Karena syiar dan Syari’ah Islam tidak dapat dijamin pelaksanaannya tanpa “pedang” itu, maka keberadaan “pedang” itu merupakan suatu necessity conditions, suatu persyaratan yang harus dipenuhi adanya. “Pedang” yang dimaksud tak lain dan tak bukan adalah kekuasaan, sistem politik yang teratur dan kuat, atau, tepatnya lagi, negara itu sendiri. Jadi negara, dalam konsepsi Ibn Taimiyyah, tidaklah identik dengan agama (Islam); melainkan sebuah alat yang harus ada untuk mencapai tujuan-tujuan Islam.
 
Kini kami akan menunjukkan bagaimana pola hubungan antara Islam dan negara ini harus ditempatkan.
 
Pertama-tama, harus disepakati terlebih dahulu bahwa bila Islam itu sendiri adalah agama yang berasal dari Tuhan, dan karenanya tidak bisa salah, tetapi Islam sebagaimana dipahami oleh umatnya bisa jadi salah. Pengamat biasa menyebut yang pertama sebagai Islam-ideal sedang yang kedua sebagai Islam-historis. Inilah sebabnya potret Islam dalam sejarahnya tidak pernah tunggal. Bila al-Quran adalah satu dan sama bagi seluruh kaum Muslim, tetapi tafsir (yakni upaya umat Islam untuk memahami) al-Quran tidak pernah tunggal. Maka membicarakan suatu sistem sosial Islam (dalam hal ini adalah masalah kenegaraan), dapat diartikan sebagai upaya umat Islam untuk menata suatu masyarakat yang didasarkan kepada sumber-sumber ajaran Islam, dalam hal ini al-Quran dan Sunnah (atau teladan Nabi saw.) yang otentik. Klarifikasi atas proposisi ini adalah penting, karena bagi sebagian kaum Muslim, Islam tidak bisa dipertanyakan lagi keabsahannya. Tanpa menyadari bahwa sebenarnya Islam tidak pernah menjelaskan dirinya sendiri kepada kita, melainkan justru kita yang berusaha memahami Islam. Karena kita yang berusaha memahami, dan dengan demikian memasukkan variabel keterbatasan kita sebagai manusia, maka pemahaman itu boleh jadi salah atau setidaknya memiliki kekurangan. Posisi ini tidak perlu dipahami sebagai menafikkan adanya kebenaran-kebenaran yang dapat diraih dalam upaya itu. Sebuah hal yang telah jelas dengan sendirinya.
 
Sebagai sebuah agama yang telah mendapatkan legitimasi dari Tuhan (QS. 5:3; 3:85, 102), Islam meliputi dan mencakup segala sesuatu, tidak ada yang dialpakan oleh Tuhan (QS. 6:38). Islam berbicara mengenai hubungan manusia dengan Tuhan, dengan sesama manusia, dan bagaimana ia sebaiknya berlaku dan bertutur. Ia mengatur mulai dari perkara kecil hingga hal-hal yang besar. Tetapi sebagai sebuah agama, Islam menjelaskan dirinya dalam nuansa yang berbeda dengan yang lazim dijumpai dalam buku-buku sosiologi ataupun hukum. Betapapun juga al-Quran bukanlah sebuah kitab hukum atau risalah sosiologi. Ia menjelaskan segalanya dengan menggunakan bahasa-bahasa religius dan dalam suatu visi yang umum. Bahasa religius diperlukan agar manusia dalam menjalankan aturan-aturan Islam senantiasa tetap berada dalam kerangka Islam itu sendiri. Secara psikologis ia akan merasa tetap dalam naungan Tuhan, motif-motif tindakannya harus berwawasan eskatologis dan mendapatkan tempat keluh kesah yang pantas bila ia menjumpai kesulitan dalam merealisasikan aturan Islam. Maka bila hujan, misalnya, dikatakan oleh ilmuwan sebagai turunnya air laut dari awan yang telah diuapkan oleh matahari, tetapi oleh al-Quran dikatakan sebagai semata-mata diciptakan oleh Tuhan. Tidak ada pertentangan dalam hal ini. Bukankah alam semesta, termasuk di dalamnya matahari, bumi, laut, dan awan adalah ciptaan Tuhan? Juga tidak ada persoalan ketika al-Quran menyatakan bahwa bila seseorang mendapatkan uang karena bekerja, rejekinya itu dikatakan sebagai pemberian Tuhan.
 
Dalam bahasa-bahasa religius yang dipergunakan oleh Tuhan untuk menuntun manusia hidup di dunia itu, seorang Muslim diharapkan mampu menangkap suatu visi umum atas Islam itu sendiri. Visi ini adalah apa yang disebut oleh Fazlur Rahman sebagai: monotheisme, keadilan sosial-ekonomi, dan pertanggungjawaban akhir perbuatan manusia (Rahman 1984, 31-32). Ketiga visi umum ini merupakan suatu “dasar yang kukuh dan tidak berubah bagi semua prinsip-prinsip etik dan moral yang perlu bagi kehidupan ini (Maarif 1985, 10-11). Maka, terlihat di sini bahwa yang merupakan visi umum Islam adalah suatu penataan masyarakat yang berkeadilan yang dijalankan oleh orang-orang yang memiliki moralitas yang baik. Visi yang jelas dari al-Quran ini pada gilirannya harus diejawantahkan dalam suatu sistem sosial yang kongkrit, operable dan telah menanggalkan bahasa-bahasa religius karena ia sudah berbicara dalam realitas yang kongkrit dan material.
 
Dengan pendasaran yang cukup panjang di atas, tulisan ini lebih menyepakati pendapat ketiga. Bahwa negara harus dipandang sebagai alat atau sarana, yang mesti ada, untuk merealisasikan visi al-Quran di atas. Bagaimana bentuk dan sistem sebuah negara harus dilaksanakan bukanlah lagi wilayah yang harus dibahas apalagi dikonseptualisasikan oleh al-Quran. Jelas bahwa bentuk ini tergantung pada keadaan kongkrit masyarakat, yang karenanya dapat berbeda dalam setiap keadaan sosial yang berbeda. Dengan ini dapat dijelaskan, bahwa meskipun seluruh bentuk kekuasaan, baik eksekutif, yudikatif maupun legislatif, berada di tangan Nabi, Abu Bakar dan Umar pada masanya masing-masing — suatu posisi yang dalam ukuran sekarang dinyatakan sebagai tidak demokratis, sedangkan demokrasi sendiri saat ini dipandang sebagai sistem yang lebih mendekati Islam daripada sistem pemerintahan yang lain— namun tidak dapat dikatakan bahwa apa yang dilakukan oleh tiga pemimpin pertama Islam itu sebagai tidak Islami.
 
Dengan ukuran-ukuran di atas, marilah sekarang kita menelusuri perjalanan historis hubungan antara Islam dan negara di sepanjang sejarah Islam.

 
Penelusuran Historis
 
Segera setelah melakukan hijrah ke Madinah, Nabi saw segera membangun masyarakatnya. Berbeda dengan yang diyakini oleh banyak kalangan, di Madinah Nabi saw tidak serta merta mendapatkan kekuasaan politis yang penuh. Dia hanya salah satu di antara beberapa pemimpin Madinah yang lain. Bahkan, sebagaimana terungkap dalam Piagam Madinah, yang dimaksudkan dengan ummah pada saat itu adalah keseluruhan orang, baik Muslim maupun non-Muslim, yang telah mengikatkan diri dalam Piagam Madinah itu. Pembukaan dan pasal pertama perjanjian itu berbunyi,
 
Dengan asma Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Ini adalah kitab (ketentuan tertulis) dari Muhammad, Nabi SAW, antara orang-orang mukmin dan muslim yang berasal dari Quraisy dan Yastrib dan yang mengikuti mereka, kemudian menggabungkan diri dengan mereka dan berjuang bersama mereka. 
(1)    Sesungguhnya mereka adalah umat yang satu, tidak termasuk golongan lain.

Jelaslah bahwa anak kalimat, “dan yang mengikuti mereka” tidak dapat dikatakan sebagai Muslim, baik Muhajirun maupun Anshar, karena kategori itu telah disebutkan sebelumnya. Namun lambat laun, karena strategi politik yang cemerlang, hal mana diakui oleh orientalis sekaliber W. Montgomery Watt, Bernard Lewis, Philip K. Hitti, dan Marshall G.S. Hogdson; Nabi berhasil mengonsolidasikan pengaruhnya dan pada akhirnya memantapkan posisinya sebagai satu-satunya penguasa tunggal Madinah. Menjelang wafatnya, Nabi adalah seorang penguasa efektif hampir seluruh Jazirah Arab, suatu keadaan kesatuan dan posisi politik yang belum pernah dicapai oleh pemimpin Arab manapun sebelumnya. Nabi tidak saja telah menunaikan tugas besarnya sebagai seorang pemimpin politik, tetapi juga secara sukses menundukkan kekuasaannya untuk diabdikan sebagai wahana menyebarkan risalah Ilahi. Nabi dapat saja, misalnya, hidup dalam kemewahan mengingat seperlima harta pampasan perang menjadi haknya, alih-alih seluruh harta itu malah digunakan untuk membiayai ekspedisi militer (ghazwah), dan dakwah Islam ke berbagai pelosok Arabia. Pada waktu meninggalnya, Nabi dicatat hanya memiliki harta tidak lebih dari 10 dinar dan sepetak tanah di Fadak, yang terletak di luar Madinah. Juga, Nabi dapat saja bergelimang dalam kekuasaan karena seluruh bentuk kekuasaan serta pusat kewibawaan berada dalam genggamannya, tetapi kekuasaan dan kewibawaan itu malah digunakannya untuk membuat orang tunduk dan bertakwa kepada Allah, bukan pada diri atau keluarganya. Bagi Muslim saat itu —bahkan boleh jadi hingga dewasa ini— Nabi tidak saja merupakan teladan kebaikan (QS. 33:21), tetapi telah dianggap sebagai perwujudan hidup al-Quran itu sendiri. Dikatakan, bila seseorang ingin mengetahui bagaimana al-Quran harus dilaksanakan, Nabi adalah contoh yang tepat. Meskipun pandangan ini, kelak, akan mengakibatkan permasalahan yang serius dalam metodologi memahami Islam; tetapi jelas bahwa Nabi adalah orang terbaik pada masanya. Seorang cendikiawan Muslim modern, Khalifa Abdul Hakim, mengomentari keadaan Nabi saat itu, ia adalah seorang filsuf-raja yang diimpikan oleh Plato. Seorang penguasa politik, raja, yang memiliki kebijaksanaan dan kearifan bagai seorang filsuf. Bila filsuf Yunani itu tidak sempat menyaksikan “wujud” orang yang diidealkannya, maka kaum Muslim harus bangga karena telah sempat memilikinya.
 
Meskipun pengganti Nabi, Abu Bakar dan kemudian Umar, bukanlah orang-orang yang mendapatkan wahyu secara langsung, namun mereka relatif mampu mempertahankan apa yang telah diupayakan oleh Nabi: menundukkan kekuasaan untuk kepentingan agama. Satu-satunya tindakan Abu Bakar yang dipertanyakan adalah serangannya terhadap kelompok pembangkang yang menolak membayar zakat. Bagi kelompok ini, zakat yang mereka bayarkan hanyalah mengikat kepada Nabi, bukan selainnya. Seiring dengan wafatnya Nabi, mereka menolak membayarkannya kepada penggantinya. Satu-satunya alasan yang dipakai Abu Bakar adalah, bahwa dia sebagai “khalifah” Nabi berhak menuntut ketaatan yang sama terhadap orang-orang yang telah mengikatkan diri kepada Nabi. Abu Bakar menganggap perikatan itu bukan antara kelompok pembangkang dengan Muhammad sebagai individu, tetapi Muhammad sebagai representasi Islam. Jelaslah di sini bahwa Abu Bakar mempersepsikan dirinya bukan sebagai penguasa politis Arab, yang mesti terikat dengan tradisi-politik kesukuan Arab, melainkan sebagai penerus misi Ilahiah Nabi. Sebagai pelanjut misi suci ini, dia berhak mengambil tindakan terhadap orang-orang yang terbukti ingkar terhadap kelangsungan misi tersebut.
 
Abu Bakar bukan pula orang yang gampang tergiur dengan kekuasaan besar yang dimilikinya. Ketika Nabi masih hidup dia malah bermaksud menginfakkan seluruh hartanya untuk perjuangan Islam. Pernah pula dikisahkan bahwa dia hanya mau menerima gaji sebesar 9 dirham (bukan dinar!) saja dari 10 dirham yang mestinya dia terima untuk tiap bulan, karena ternyata istrinya mampu menabung “kelebihan” satu dirham itu, meski dengan hidup yang amat sederhana. Padahal maksud istrinya menyimpan itu adalah untuk memberikan baju bagi suaminya, yang khalifah itu, karena Abu Bakar ternyata hanya memiliki dua potong baju.
 
Abu Bakar hanya memegang kekuasaannya selama dua tahun. Penggantinya, Umar, malah dikatakan sebagai orang yang sangat keras terhadap dirinya sendiri dibandingkan dengan sikap kerasnya terhadap orang lain. Sikap keras yang dimaksud di sini adalah keteguhan menjalankan misi Islam dan dalam pola hidup sederhananya. Banyak sekali kisah menarik, menyangkut kehidupan Islaminya, yang dikaitkan dengan cara Umar memerintah. Ia, misalnya, pernah menempuh kebijakan yang tidak populer —karena ditentang oleh mayoritas sahabat Nabi— untuk tidak membagikan tanah rampasan perang kepada para partisipan perang, karena baginya sistem itu akan memperlebar jurang kaya-miskin —suatu hal yang dikecam Islam semenjak awal kemunculannya— yang telah mulai muncul seiring dengan kesuksesannya menaklukkan daerah-daerah di luar Semenanjung Arabia (Mesir, Yerusalem, Syria dan Persia) yang menambah pundi-pundi kekayaan negaranya. Baginya, keadilan sosial dan penutupan kesenjangan kaya-miskin, bukannya memperkaya para peserta perang yang telah kaya raya, jauh lebih sesuai dengan semangat Islam dan al-Quran. Selanjutnya, tak perlu di sini dipaparkan karena kisah-kisah Umar lain karena telah seringkali diceritakan. Yang menjadi catatan di sini adalah keteguhan diri kedua pengganti Nabi itu untuk melanjutkan misi suci Islam. Hal ini menunjang persepsi-diri mereka sebagai “khalifah” Nabi dalam menerapkan pola pemerintah menundukkan kekuasaan dan negara di bawah risalah Islam. Keduanya menggunakan kekuasaan untuk dijadikan “pedang” agama (Islam).
 
Negara dalam Islam agak berbeda ceritanya ketika Utsman naik menggantikan Umar. Perlu dicatat di sini, Utsman menjadi khalifah ketika usianya telah mencapai sekitar 60 tahun dan berkuasa hingga 12 tahun lamanya. Dituturkan dalam sejarah, separo pertama kekuasaannya berjalan dengan tetap mempertahankan pola hubungan negara dan agama sebagai diterapkan oleh ketiga pendahulunya. Tetapi separo berikutnya dicatat sebagai saat kelemahannya sebagai seorang penguasa. Klannya, Umayyah, terlalu besar berpengaruh terhadap dirinya, sehingga dia tidak mampu mengendalikan mereka. Seringkali dituduhkan bahwa Utsman telah mengangkat penguasa-penguasa daerah dari pihak keluarganya sendiri, meskipun mereka itu bukanlah figur ideal dalam cita keislaman. Meskipun benar bahwa Utsman telah mengangkat berbagai pejabat itu dari pihak keluarganya, tetapi sebenarnya kebijakan ini telah ditempuh oleh Umar. Dari kalangan Muslim saat itu, individu-individu klan Umayyah umum dipandang sebagai orang-orang yang mumpuni baik dalam hal militer maupun administrasi pemerintahan, dalam hal ini contoh paling jelas adalah figur Muawiyah ibn Abi Sufyan. Tokoh penting dalam sejarah Islam ini dikenal sebagai orang yang memiliki hilmi, kecerdasan intelektual dan praktis. Bukankah Islam, dalam memilih pejabat pemerintahan lebih mengutamakan kompetensi daripada jenis hubungan apapun (keluarga, misalnya)? Apa yang membedakan pemerintahan Umar dan Utsman adalah bahwa yang pertama itu mampu menekan semangat “klan-isme” keluarga Umayyah yang dianggap sebagai tradisi peninggalan Arab pra-Islam. Sementara Utsman, barangkali karena usia atau kelemahan kepemimpinannya, gagal mengendalikan “klan-isme” itu (Madjid 1994, 673-674). Jadi sebenarnya, secara teknis dan administratif, belum ada yang berubah dalam kebijakan di tingkat khalifah.
 
Khalifah, Utsman, kemudian tidak lagi menjadi penguasa yang efektif, karena pemerintahan sehari-harinya kini dijalankan sekretaris khalifah, Marwan ibn Hakam, sepupunya. Kini, orang lebih sulit untuk dapat menjumpai khalifah secara langsung, karena harus melalui sekretaris, dan yang terakhir ini dapat saja menolak untuk mempertemukannya dengan khalifah. Itulah yang dihadapi oleh para pemrotes Utsman yang berasal dari Mesir ketika hendak mengeluhkan perilaku gubernur mereka, Amru ibn Ash. Terhadap pemimpin para pemrotes itu, Marwan mengatakan khalifah telah menerima keluhan dan hendaknya mereka segera kembali ke Mesir. Marwan sebenarnya tidak pernah mengatakan apapun kepada sang khalifah, karena memang belum ditemuinya. Alih-alih menyalurkan keluhan para pemrotes, Marwan malah memerintahkan untuk membunuh pemimpin pemrotes. Insiden ini menyebabkan peristiwa yang kemudian dijuluki sebagai fitnah al-kubra pertama, yang ditandai dengan tewasnya Utsman.

Ali, yang dalam keadaan terpaksa menerima tampuk pimpinan untuk menggantikan Utsman, mencoba untuk mengembalikan kekhalifahan sesuai dengan cita ideal yang telah ditegakkan oleh Nabi dan kedua penggantinya. Sayangnya, Ali tidak dapat berbuat lebih banyak untuk itu karena harus menghadapi perang-perang saudara, yang bila ditinjau dari kacamata yang jernih, tidak masuk akal sama sekali. Baik Aisyah (Perang Jamal) maupun Muawiyah (Perang Shiffin) menuntut balas atas kematian Utsman. Bila memang demikian, mengapa keduanya tidak bergabung? Secara tentatif dapatlah dikatakan bahwa keduanya pastilah memilik motif perang yang berbeda. Ali juga harus menghadapi golongan Haruriyah (yang kemudian dijuluki kaum Khawarij, sebuah istilah yang jelas nada pejoratifnya). Tak ada ketenangan dalam pemerintahan Ali, juga tidak ada penataan pemerintahan yang efektif darinya. Wajar karena kewibawaannya sendiri hanya terbatas pengaruhnya. Karena yang terakhir inilah dia sengaja memindahkan pusat kekuasaannya ke Kufah, untuk dapat berada secara langsung di tengah-tengah para pendukungnya. Pemerintahan Ali yang keras, hampir sekeras cara Umar memerintah, berakhir di ujung belati seorang Khawarij, Ibn Muljam.
 
Hasan yang diangkat oleh para pendukung Ali untuk menggantikan ayahnya, hanya bertahan selama beberapa bulan untuk kemudian menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyah. Di tangan Muawiyah inilah, sejarah hubungan negara dan agama dalam Islam benar-benar berubah. Ia segera menata kekuasaannya ke dalam cara orang-orang Byzantium menata kekuasaan. Negara yang didasarkan kepada partisipasi rakyat telah tak ada lagi. Ia menunjuk anaknya, Yazid, sebagai penggantinya. Ia-lah peletak sesungguhnya monarki dalam sejarah Islam. Terlalu banyak sejarawan yang menuturkan, sehingga tak perlu diperbincangkan panjang lebar lagi, bahwa untuk melanggengkan kekuasaannya Muawiyah dan penerusnya menempuh segala cara, bahkan bila perlu menggunakan dalil-dalil keagamaan dan doktrin teologis. Benarlah Jalaluddin Rakhmat (1994, 694-708) ketika mengatakan, “…baik skisma dalam Kristen maupun skisma dalam Islam lebih banyak dilandasi pertikaian kepentingan politik daripada karena pertikaian aqidah.” Pertikaian politik ini kemudian dicarikan legitimasinya dengan pengembangan teologi yang berlainan. Hal mana tidak jarang dilakukan dengan penafsiran yang diselewengkan atau pemalsuan sumber-sumber agama.
 
Kekuasaan dinasti Umayyah yang berlangsung selama 90 tahun digantikan oleh dinasti Abbasiyyah yang sukses mengkudeta dinasti Umayyah di bawah pimpinan Abu Muslim atau Abu Abbas al-Shaffah (salah seorang keturunan Abbas, paman Nabi, darimana kata Abbas diambil, yang sekaligus menunjukkan klaim kemuliaan keluarga Abu Muslim dibanding keluarga Umayyah, yang nenek moyang mereka memusuhi Nabi dan orang-orang beriman pertama). Tak ada praktik kekuasaan yang berbeda antara Umayyah dan Abbasiyyah. Hal yang memberikan ciri beda hanyalah, bila Umayyah lebih mengacu pada pola Byzantium maka Abbasiyyah menggunakan pola Sasanid Persia). Tetapi, tetap, secara keseluruhan mereka adalah dua sisi dari satu mata uang yang sama. Agama tidak lagi digunakan sebagai basis untuk menjalankan kekuasaan, malahan diperalat untuk melanggengkannya. Kekuasaan menindas siapa saja, tidak jarang malah para pemuka agama yang dihormati (misalnya, Abu Hanifah dan Ahmad ibn Hanbal) yang dianggap menentang penguasa, penindasan mana tidak jarang diberi pembenaran agama.
 
Maka bila terhadap Utsman dan Ali, kita agak sulit menilai hubungan antara agama dan negara karena kegelapan sejarah yang melingkupi periode itu, terhadap dinasti model Umayyah dan Abbsiyyah kita dapat dengan mudah memberikan penilaian. Sedikit sekali, kalau bukan malah tidak ada, ciri cita ideal Islami yang telah ditegakkan oleh Nabi. Kekuasaan menjadi korup (baik dalam arti rusak, kotor atau menyeleweng), untuk mengutip istilah Lord Acton. Asghar Ali Engineer (2000), misalnya, dengan tepat mengaksentuasi fakta, bahwa telah semenjak dinasti Umayyah awal, para penguasa dan kelas kayanya, mengumbar hawa nafsu di muka umum bahkan di Madinah. Klub-klub yang mempertontonkan dansa-dansi pria-wanita yang mengumbar birahi dan menyajikan minuman keras banyak dijumpai di Madinah, hanya kira-kira tiga puluh tahun sepeninggal Nabi. Keadaan ini terus-menerus berlangsung sepanjang sejarah kekuasaan dalam Islam, hingga kekhalifahan itu dihapuskan oleh Mustafa Kemal.
 
Menjadi ironi bagi Islam, karena justru dalam kegelapan pola hubungan antara agama dan negara itulah, Islam mencapai puncak kejayaannya. Kejayaan yang barangkali tidak pernah dirasakan oleh peradaban-peradaban besar dunia lainnya. Masa dinasti Umayyah (661-750 di Baghdad dan 756-1031 di Spanyol) mencatatkan dirinya sebagai periode perluasan Dunia Islam yang secara spektakuler mampu menguasai hampir seperlima daratan bumi. Belum lagi bila ini ditambahkan dengan perluasan di masa Turki-Utsmani (1282-1924) dan dinasti Moghul (1526-1858). Sementara itu periode dinasti Abbasiyyah (749-1258 di Baghdad dan 1261-1517 di Mesir) dicatat sebagai masa di mana peradaban Islam menjadi pusat perabadan dunia. Kebudayaan material dan spiritual mendapatkan ekspresinya secara maksimal. Baghdad, dan kemudian Mesir, dianggap sebagai pusat ilmu pengetahuan dunia. Di periode-periode yang kemudian, dalam masa dinasti Safawi (1501-1732) di Persia, kota Isfahan bahkan sampai hari ini dianggap sebagai kota paling cantik yang pernah ada di dunia, jauh lebih cantik dibandingkan taman-taman gantung yang pernah dimiliki Babilonia. Segala penjelasan yang masuk akal atas ironi ini masih merupakan subjek penelitian yang berharga, namun di luar lingkup tulisan ini.

 

Referensi

Affendi, Abdelwahab el-. 1994. Masyarakat Tak Bernegara. terj. Amiruddin Ar-Rani. Yogyakarta: LKiS.
Bosworth, CE. 1993. Dinasti-dinasti Islam. terj. Ilyas Hasan. Bandung: Mizan.
Engineer, Asghar Ali. 2000. Devolusi Negara Islam. terj. Imam Mutaqin. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Khan, Qamaruddin. 1987. Tentang Teori Politik Islam. terj. Taufik Adnan Amal. Bandung: Pustaka.
Maarif, Ahmad Syafii. 1985. Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante. Jakarta: LP3ES.
Madjid, Nurcholish. 1994. “Skisme dalam Islam: Tinjauan Singkat Secara Kritis-Historis Proses Dini Perpecahan Sosial-Keagamaan Islam”. dalam Budhy Munawar-Rachman, (ed). 1994. Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina. hlm. 668-691.
Pulungan, J. Suyuthi. 1994. Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Pulungan, J. Suyuthi. 1996. Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah: Ditinjau dari Pandangan al-Quran. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Cet-2.
Rahman, Fazlur. 1984. Islam. terj. Anas Mahyuddin. Bandung: Pustaka.
Rakhmat, Jalaluddin. 1994. “Skisma dalam Islam: Sebuah Telaah Ulang”. dalam Budhy Munawar-Rachman, (ed). 1994. Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina. hlm. 692-708.
Sjadzali, Munawir. 1993. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: UI-Press. Cet-3.